Hujan terus mengguyur kota Medan. Langit mendung seakan mencerminkan hati Rania yang kini penuh awan kelabu. Ia duduk di pojok kafe, menatap ke arah pintu sambil menggenggam secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Pandangannya kosong, pikirannya melayang pada potongan-potongan ingatan tentang Haris.Haris, lelaki yang selama ini terlihat sempurna.Sosok yang ia kenal sebagai pria religius, penuh perhatian, dan selalu mengutamakan kejujuran. Kini, bayangan tentang kesempurnaan itu mulai retak.Mira muncul dengan langkah ragu-ragu. Wajahnya sedikit pucat, seperti seseorang yang akan menyampaikan berita buruk yang ia tahu akan menghancurkan hati sahabatnya."Rania…" suara Mira pelan, tapi penuh beban.Rania menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada harapan, ada ketakutan, dan ada keinginan kuat untuk mendengar kebenaran meski ia tahu itu mungkin akan menyakitinya."Mira, aku minta tolong… Jangan bertele-tele. Kau harus jujur sekarang," kata Rania dengan suara tegas, meski dalam hatinya ia bergetar. "Apa yang kau sembunyikan dariku? Siapa Siska?"Mira menundukkan pandangannya sejenak, menarik napas panjang sebelum berbicara. "Siska adalah mantan Haris. Mereka pernah menjalin hubungan serius sebelum kau datang. Awalnya, aku pikir hubungan mereka sudah berakhir. Tapi… aku salah. Mereka masih sering bertemu di belakangmu."Kata-kata itu menghantam Rania seperti badai besar. Dunia di sekitarnya terasa berhenti. Ia menatap Mira dengan tatapan kosong, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya."Masih bertemu?" ulang Rania dengan suara bergetar. "Jadi selama ini aku hanya pengganti?"Mira menggenggam tangan Rania, matanya basah oleh air mata. "Bukan, Ran. Aku yakin Haris juga mencintaimu, tapi dia terlalu pengecut untuk benar-benar melepaskan masa lalunya. Aku tahu aku harus memberitahumu, tapi aku juga takut menyakitimu. Aku menunggu waktu yang tepat… tapi waktu itu tak pernah ada."Air mata mulai mengalir di pipi Rania. Ia berusaha tetap tegar, tapi hatinya terasa seperti diiris perlahan. "Seandainya kau memberitahuku lebih cepat, Mira… mungkin aku tak akan merasa dikhianati sedalam ini.""Aku tahu. Aku salah, Ran. Maafkan aku," kata Mira dengan suara serak. "Tapi kau berhak tahu sekarang. Kau harus berhenti hidup dalam bayang-bayang kebohongan Haris."Malam itu, Rania duduk di kamarnya, menatap cincin pertunangan yang melingkar di jarinya. Kenangan indah tentang Haris berkelebat di kepalanya seperti film lama yang diputar ulang.Momen-momen saat Haris melamarnya di bawah sinar rembulan, kata-kata manis yang selalu ia ucapkan, dan janji-janji yang kini terasa kosong.Rania menggenggam cincin itu erat-erat, seolah ingin merasakan kembali kehangatan masa lalu. Tapi yang ada hanya dingin.Ia mengambil ponsel dan mengetik pesan singkat. "Kita harus bicara. Besok, jam 8 malam di taman tempat biasa. Jangan coba-coba menghindar."Pesan itu terkirim. Ia menatap layar ponsel, menunggu tanda centang biru. Haris membaca pesannya, tapi tak membalas."Besok akan menjadi hari penentu," gumam Rania pelan. Ia tahu bahwa pertemuan itu akan mengubah segalanya.Keesokan malamnya, Rania tiba di taman tempat mereka biasa menghabiskan waktu bersama. Udara malam terasa dingin, angin berembus lembut, membuat daun-daun berguguran.Ia berdiri di bawah lampu taman, menatap ke arah jalan setapak dengan hati penuh kecemasan. Tak lama kemudian, Haris muncul. Ia berjalan pelan, tangannya dimasukkan ke dalam saku jaketnya. Wajahnya tampak serius."Rania, ada apa? Kau kelihatan tegang," tanya Haris, mencoba tersenyum, meski senyumnya terasa dipaksakan.Rania menatapnya tajam. "Haris, aku gak ingin basa-basi. Aku tahu tentang Siska. Aku tahu kalian masih bertemu."Haris terkejut. Wajahnya langsung berubah. "Apa maksudmu? Siapa yang bilang?""Itu gak penting. Yang penting sekarang, aku mau dengar penjelasan langsung darimu. Jujurlah, Haris. Aku gak bisa hidup dengan kebohongan," kata Rania dengan suara tegas.Haris menghela napas panjang. Ia tahu ini adalah akhir dari kebohongan yang selama ini ia sembunyikan. "Baiklah… aku akan jujur. Ya, aku masih bertemu Siska. Tapi itu bukan seperti yang kau pikirkan, Ran. Aku hanya… sulit benar-benar melepaskannya. Kami punya banyak sejarah bersama."Rania merasa lututnya hampir lemas. Ia menatap Haris dengan tatapan penuh luka. "Jadi, selama ini kau bersandiwara di depanku? Kau membuatku percaya bahwa aku adalah satu-satunya?""Aku mencintaimu, Rania. Aku benar-benar mencintaimu," kata Haris, mencoba meraih tangan Rania. "Tapi aku juga manusia. Aku bingung dengan perasaanku sendiri."Rania mundur selangkah, menghindar dari sentuhan Haris. "Cinta bukan alasan untuk menyakiti, Haris. Kalau kau benar-benar mencintaiku, kau gak akan membagi hatimu dengan orang lain."Haris terdiam, tak bisa membantah. Ia tahu Rania benar.Rania menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Aku butuh waktu, Haris. Waktu untuk berpikir. Aku gak tahu apakah aku bisa mempercayaimu lagi."Haris menatapnya dengan penuh penyesalan. "Aku akan menunggumu, Ran. Aku akan membuktikan kalau aku bisa berubah."Tanpa berkata lagi, Rania berbalik dan berjalan menjauh. Air mata kembali mengalir di pipinya, tapi ia tidak peduli. Ia tahu bahwa langkah-langkah yang ia ambil malam itu akan membawa hidupnya ke arah yang berbeda.