Pagi itu, sinar matahari masuk lembut melalui celah jendela kamar Rania. Dari balkon apartemennya di pusat Kota Medan, pemandangan gedung-gedung tinggi tampak megah, seolah ikut menyapa awal hari yang cerah. Rania berdiri di depan cermin besar, mengagumi pantulan dirinya yang mengenakan kebaya putih sederhana."Ini bakal jadi baju akad nikahku," bisiknya sambil membelai lembut bahan kebaya. Hatinya berdebar membayangkan momen yang akan segera tiba.Sebulan lagi, ia akan menikah dengan Haris, lelaki yang dianggapnya hadiah terbaik dari Tuhan. Selama dua tahun menjalin hubungan, Haris selalu menunjukkan dirinya sebagai pria yang sabar, saleh, dan penuh kasih. Rania sering merasa beruntung memiliki calon suami seperti dia.Di atas meja kamar, tumpukan undangan pernikahan sudah siap untuk didistribusikan. Rania mengambil satu undangan dan membaca namanya di samping nama Haris.Rania & HarisAkad Nikah: 12 DesemberLokasi: Masjid Raya MedanIa tersenyum, membayangkan masa depan yang indah. Haris sering berkata bahwa hidup bersama akan seperti doa yang dijawab. Tapi di lubuk hatinya, entah kenapa, ada rasa gelisah yang sulit ia jelaskan."Kenapa aku terus merasa seperti ini?" gumamnya, menatap langit biru di luar jendela. Ia menggeleng, mengusir pikiran buruk. "Semua akan baik-baik saja. Tuhan pasti merencanakan ini untukku."Di tempat lain, di sebuah kafe kecil di Jalan Zainul Arifin, Haris duduk dengan gelisah. Di hadapannya, Mira—sahabat Rania—menatapnya dengan pandangan tajam."Kau gak bisa terus sembunyi, Haris," kata Mira, suaranya penuh kemarahan. "Kau pikir aku mau terus membohongi sahabatku sendiri?"Haris menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Aku akan bilang padanya, Mira. Aku hanya… belum siap.""Belum siap? Apa maksudmu belum siap?" Mira menyandarkan tubuhnya ke kursi, nadanya semakin tajam. "Kau sudah menghancurkan semuanya. Ini gak cuma soal kau dan dia, Haris. Ini soal kepercayaan. Kau bahkan…"Mira menggigit bibirnya, menahan kata-kata yang ingin ia lontarkan."Aku gak bisa terus menyembunyikan ini, Haris. Kalau kau gak bilang, aku yang akan bicara dengan Rania. Dia berhak tahu kebenarannya!""Tolong jangan, Mira," potong Haris dengan nada memohon. "Aku gak mau dia tahu dari orang lain. Aku hanya… butuh waktu untuk membereskan semuanya."Mira mendengus. "Waktu? Kau pikir waktu akan mengubah fakta bahwa kau sudah…" ia menahan diri untuk tidak menyelesaikan kalimatnya, lalu berdiri dengan tegas. "Aku akan memberimu satu minggu, Haris. Kalau dalam waktu itu kau masih belum jujur, aku yang akan bicara."Mira pergi meninggalkan kafe, meninggalkan Haris yang termenung. Matanya memandang kosong ke cangkir kopi di depannya. Dalam hatinya, ia tahu waktu yang diminta tidak akan cukup untuk memperbaiki semuanya.Rania baru saja tiba di sebuah restoran tempat ia dan Haris berjanji bertemu. Haris selalu memilih tempat ini untuk pertemuan mereka; restoran kecil dengan suasana tenang yang sering menjadi saksi percakapan panjang mereka tentang rencana masa depan.Namun, kali ini Haris tampak berbeda. Ia terlihat gelisah, tidak seperti biasanya."Kenapa kau telat?" tanya Rania dengan senyum kecil, mencoba mencairkan suasana.Haris tersentak. "Maaf, aku tadi ada urusan mendadak."Rania mengangguk, meski merasa ada sesuatu yang aneh. Ia memesan makanan seperti biasa, sementara Haris hanya memesan secangkir teh."Kau kenapa? Kau kelihatan gak tenang," tanya Rania, mencoba membaca wajah Haris.Haris menghela napas panjang, menggenggam tangan Rania di atas meja. "Rania, aku… aku mau bicara sesuatu.""Bicara saja. Ada apa?" Rania merasa firasat gelisah di hatinya semakin kuat.Haris membuka mulutnya, tetapi tidak ada kata yang keluar. Ia terlihat ragu, seolah sedang bergulat dengan pikirannya sendiri."Aku tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi…" Haris terdiam lagi.Rania menarik tangannya perlahan, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Haris, kau membuatku takut. Ada apa?"Haris menunduk, menghindari tatapan Rania. "Rania, aku gak sempurna seperti yang kau pikir. Aku…"Kata-katanya terpotong ketika ponselnya bergetar di atas meja. Nama Mira muncul di layar. Rania menatap layar itu, lalu menatap Haris dengan ekspresi bingung."Kenapa Mira meneleponmu?" tanyanya.Haris tampak panik, cepat-cepat mematikan panggilan itu. Tapi Rania sudah tahu ada yang tidak beres."Haris, jelaskan. Kenapa Mira meneleponmu?" tuntut Rania, suaranya mulai meninggi.Haris menggigit bibirnya, berusaha mencari kata-kata. Namun, sebelum ia sempat bicara, Rania meraih tasnya dan berdiri."Kalau kau gak mau bicara sekarang, aku akan bertanya langsung pada Mira. Aku gak punya waktu untuk teka-teki, Haris."Haris berdiri cepat, menahan lengan Rania. "Tunggu! Rania, aku… aku salah. Aku gak pantas untukmu.""Salah apa, Haris? Apa maksudmu?"Haris terdiam. Matanya memohon pengertian, tapi Rania sudah kehilangan kesabarannya."Aku gak tahu apa yang kau sembunyikan, tapi kalau kau pikir aku akan tetap menikah dengan seseorang yang gak jujur, kau salah besar."Dengan air mata mengalir di pipinya, Rania meninggalkan Haris yang masih terpaku di tempatnya.Di luar, hujan mulai turun, menyamarkan isak tangis Rania yang pecah di tengah keramaian kota. Namun, hatinya tahu, badai yang sebenarnya baru saja dimulai.