Malam itu, bulan menggantung seperti luka di langit.
Cahaya merah darahnya membelah kegelapan, memandikan dunia dalam kesan fana.
Di atap kastil yang tinggi, seorang pemuda berdiri sendirian.
Jubahnya berkibar diterpa angin yang dingin.
Tatapan emasnya menembus realitas, melihat benang-benang tipis yang menjalin takdir dunia.
Gabriel Encore.
Dia bukanlah pahlawan.
Bukan juga seorang penyelamat.
Yang menggerakkannya bukan keadilan atau kebencian, melainkan kekosongan.
Ratu Lilith telah membantai keluarganya.
Tapi ketika mereka mati, Gabriel tidak menangis.
Tidak berteriak.
Yang ia rasakan hanyalah sesuatu yang menghilang dalam dirinya.
Seolah-olah kehidupannya yang sederhana telah ditelan oleh kehampaan yang tak bisa dikembalikan.
Dia tidak ingin balas dendam.
Dia hanya ingin menjalani takdir yang telah diputuskan untuknya.
Jika dunia berkata bahwa ia harus membunuh Ratu Vampir, maka ia akan melakukannya.
Tanpa benci.
Tanpa ragu.
Tanpa ampun.
Karena itulah dirinya.
Orang-orang yang pernah mengenalnya menyebutnya tidak manusiawi.
Tapi bagi Gabriel, manusia hanyalah makhluk yang berjalan di atas benang yang telah ditentukan.
Mereka yang menerima nasibnya disebut manusia.
Dan mereka yang melawan disebut pahlawan.
Namun bagaimana dengan dirinya, yang bisa memutuskan takdir itu sesuka hati?
---
Takdir yang Retak
Di hadapannya, Ratu Lilith duduk di singgasana.
Tersenyum dengan keangkuhan seorang yang tahu bahwa ia tak terkalahkan.
"Kau datang jauh-jauh hanya untuk mati, manusia," katanya dengan suara lembut namun dingin.
"Mereka yang menantang takdirku selalu berakhir sama-hancur tanpa bekas."
Gabriel tetap diam.
Matanya menyipit, memperhatikan ribuan benang merah yang menjalin tubuh Lilith.
Mereka berkelok-kelok di udara, membelit keabadian sang ratu.
Namun, di antara benang itu, ada satu yang berbeda.
Benang emas tipis yang hampir tak terlihat, membelit jantungnya seperti sebuah simpul.
Benang yang menentukan keabadiannya.
Gabriel melangkah maju.
Lilith tersenyum mengejek.
"Kau tidak bicara? Atau sudah pasrah?"
Gabriel mengangkat tangannya.
Dan benang itu bergetar.
Lilith berhenti tersenyum.
"...Apa yang kau lakukan?"
Gabriel tidak menjawab.
Jari-jarinya perlahan menelusuri udara kosong, mencari titik kelemahan benang itu.
Dunia di sekelilingnya terasa melambat.
"Kau tidak seharusnya bisa..." suara Lilith bergetar.
Matanya membelalak saat tubuhnya mulai merasakan sesuatu yang asing-ketidakpastian.
Untuk pertama kalinya dalam ribuan tahun, ia merasakan ketakutan.
Gabriel menarik benang itu dan memutuskannya.
Hening.
Lilith tersentak.
Cahaya merah di matanya meredup.
Tubuhnya bergetar, seolah-olah dirinya sendiri tidak mengerti apa yang baru saja terjadi.
"Apa... yang kau lakukan padaku...?"
Gabriel menatapnya tanpa ekspresi.
"Aku hanya melakukan apa yang sudah ditentukan."
Retakan mulai muncul di kulit Lilith.
Darah hitam menetes dari sudut bibirnya.
Keabadiannya telah berakhir.
"Aku... abadi..." bisiknya, matanya dipenuhi keputusasaan.
Gabriel hanya menatapnya dengan tatapan kosong.
"Tak ada yang abadi."
Lilith menjerit.
Tubuhnya meledak menjadi abu yang tersapu angin malam.
Dan akhirnya, keheningan menyelimuti kastil.
---
Sebuah Takdir Tanpa Makna
Gabriel berdiri di tempatnya, memandangi abu yang tersisa.
Dendamnya telah terbalaskan.
Tapi mengapa ia tidak merasakan apapun?
Dia telah memutuskan takdir seseorang.
Dia telah mengubah dunia dengan tangannya sendiri.
Namun, apa yang tersisa untuknya sekarang?
Sejak kecil, Gabriel tahu bahwa ia berbeda.
Orang lain menjalani kehidupan mereka, sementara ia hanya menonton.
Perasaan yang ia miliki selalu tumpul.
Seolah-olah sesuatu dalam dirinya tidak bekerja seperti seharusnya.
Ia tidak pernah benar-benar merasakan kesedihan, cinta, atau kemarahan.
Satu-satunya hal yang pernah ia rasakan adalah... kehilangan.
Dan sekarang, setelah semua ini selesai, ia menyadari sesuatu yang ironis.
Ia tidak pernah menginginkan balas dendam.
Bukan karena ia baik hati.
Bukan karena ia memaafkan.
Tapi karena tidak ada yang bisa mengembalikan perasaan yang telah hilang dalam dirinya.
Mungkin... sejak awal, ia hanya ingin mencari alasan untuk merasakan sesuatu.
Namun kini, bahkan dengan tangan berlumuran darah, hatinya tetap kosong.
Malam itu, di bawah bulan merah yang perlahan meredup, Gabriel berdiri sendiri.
Takdir telah ia putus.
Namun dirinya sendiri... tetap tanpa arah.