〈 MISI 1: Menjadi istri Maxim von Waldeck hanya dalam nama! 〉
Misi konyol ini dimulai pada hari dia memutuskan untuk pensiun.
༺♰༻
Saat fajar menyingsing, Daisy berdoa di sebuah kapel kecil. Dengan kedua telapak tangan bertaut, dia berbisik pelan,
"Bapa di surga, aku telah melakukan banyak dosa, tetapi… aku berjanji tidak akan pernah mengambil nyawa lagi. Mulai sekarang, aku akan menjalani hidup yang baik dan benar."
Doanya dipenuhi penyesalan atas masa lalunya serta tekad untuk menjadi pribadi yang baru.
…Karena, sejak awal, Daisy bukanlah "Daisy."
[ CODENAME: EASY ]
Dulu, dia adalah pembunuh bayaran terbaik dari organisasi revolusioner rahasia yang dikenal sebagai "Clean."
Tugas utamanya adalah menghabisi "anjing-anjing" dari faksi kerajaan.
Dia tidak memiliki ingatan tentang orang tuanya. Sebagai seorang yatim piatu, dia dibesarkan sejak kecil untuk menjadi agen, dan bahkan tidak pernah memiliki nama yang sebenarnya.
Di dalam organisasi, mereka memanggilnya "Easy" karena betapa mudahnya dia menyingkirkan targetnya. Di luar organisasi, dia selalu menggunakan berbagai nama samaran, masing-masing disesuaikan dengan misi yang ia jalani. Baginya, pekerjaan itu adalah sesuatu yang alami, dan dia tidak pernah memiliki keluhan berarti.
***
[ Daisy ]
"…Daisy."
Saat sedang berdoa, tangannya tanpa sadar menelusuri ukiran di salib, dan dia bergumam pelan. Pikirannya kembali ke hari di mana dia menjadi "Daisy."
Dulu, saat masih dikenal sebagai "Easy"—atau lebih tepatnya, selama misi terakhirnya ketika dia menggunakan nama "Barbara Austin"—dia memiliki satu kelemahan besar.
Dia terlalu lembut jika menyangkut bayi dan hewan.
"Aghhh—!"
Pria yang baru saja ia habisi adalah seorang informan rahasia kerajaan yang telah menyebabkan kematian beberapa rekannya. Itulah sebabnya dia menjadi target hari ini. Namun, tepat setelah misinya selesai, Easy mendengar tangisan bayi dari ruangan lain. Seketika, kepanikannya melanda.
Target yang baru saja ia bunuh ternyata adalah satu-satunya wali dari bayi itu. Jika dia meninggalkannya, bayi itu akan menangis hingga kelelahan dan akhirnya mati kelaparan.
"Apa yang harus kulakukan?"
Tanpa pilihan lain, Easy menggendong bayi itu. Namun, saat hendak pergi, salah satu rekan target yang masih hidup menebas pinggangnya dengan pisau.
Dia lengah.
Meski begitu, Easy dengan cepat menghabisinya. Luka itu tidak terlalu dalam, tetapi masalah sebenarnya adalah racun di bilah pisau.
Dia berniat meninggalkan bayi itu di panti asuhan, tetapi dia kehilangan kesadaran tepat ketika tiba di sana.
***
"Apa kau sudah sadar?"
Anehnya, saat membuka mata, hal pertama yang muncul dalam pikirannya adalah rasa lega.
Dia sudah membunuh banyak orang tanpa ragu, berulang kali. Namun sekarang, hanya karena dirinya masih hidup, dia merasa luar biasa lega.
Dalam keadaan setengah sadar, pemikiran itu membuatnya tertawa kecil dengan kosong.
Ketika akhirnya dia membuka matanya sepenuhnya, pandangannya bertemu dengan sepasang mata yang menatapnya dengan penuh perhatian.
Seorang wanita paruh baya dalam jubah biarawati sedang menatapnya.
"Aku Sister Sophia. Siapa namamu, sayang?"
Nama.
Sebuah nama, ya?
Aku tidak punya nama. Apa yang harus kukatakan?
Pikirannya berkecamuk, sampai matanya menangkap bunga aster (daisy) di vas di atas meja samping tempat tidur.
"…Daisy."
Awalnya, kata itu keluar begitu saja—seolah-olah dia hanya mencoba mencari jawaban.
"Namaku Daisy."
Dan begitu saja, berkat Sister Sophia, wanita yang telah menyelamatkan hidupnya, "Easy" terlahir kembali sebagai "Daisy."
***
Biara kecil itu terletak di desa pegunungan, menampung anak-anak yatim piatu yang tidak memiliki tempat lain untuk pergi. Daisy telah tinggal di sana selama setahun terakhir, membantu para biarawati dengan pekerjaan sehari-hari dan mengajar anak-anak. Hari-hari mereka sederhana, tetapi dipenuhi dengan ketenangan dan kebahagiaan.
"Apa yang sedang kau doakan dengan begitu sungguh-sungguh?"
Tersentak dari lamunannya, Daisy sedikit terlonjak mendengar suara seseorang di sampingnya.
Itu Sister Sophia.
"Oh, Sister. Aku hanya… Aku tidak bisa tidur. Berdoa kadang membantuku tidur."
"Aku tahu. Itu sebabnya aku juga ada di sini," kata Sister Sophia, duduk di sebelahnya.
"…Suster, menurutmu… seseorang seperti aku bisa masuk surga?"
Itu adalah pertanyaan yang sama yang selalu Daisy tanyakan selama setahun terakhir.
Dan setiap kali, Sister Sophia selalu memberikan jawaban yang sama, penuh ketulusan.
"Tentu saja. Siapa pun bisa diselamatkan."
"Benarkah? Tidak peduli apa pun yang telah kulakukan di masa lalu, aku masih bisa diampuni?"
Melihat Daisy yang masih tampak ragu, mata Sister Sophia melunak, sudut bibirnya membentuk senyum hangat.
"Jangan khawatir, sayang. Yang penting bukan siapa dirimu di masa lalu, tapi siapa dirimu sekarang."
Benarkah itu?
Meskipun dia telah menghabisi begitu banyak nyawa, apakah Tuhan masih bisa memaafkannya?
Dia bertobat dan berdoa setiap hari, namun keraguan itu tetap ada.
Setiap targetnya adalah bagian dari sebuah keluarga, seseorang yang dicintai oleh orang lain. Ketika akhirnya dia merasakan hal itu secara pribadi, dia ingin melupakan seluruh masa lalunya.
Dia tidak yakin apakah dirinya bisa dimaafkan, tapi dia bisa membuat sebuah janji pada dirinya sendiri.
Dia tidak akan pernah mengambil nyawa siapa pun lagi.
***
"Permisi, Suster. Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Nona Daisy."
Saat itu juga, seorang biarawati lain masuk ke kapel, memberi tahu mereka tentang seorang tamu.
'Jam segini? Siapa yang mencariku? Aku tidak mengenal siapa pun yang akan datang menemuiku.'
Mata Daisy membesar.
"Dia mengaku sebagai… ayah Nona Daisy."
Saat dia menoleh, dia melihat seorang pria paruh baya dengan tatapan licik, bersandar di pintu masuk kapel sambil melambaikan tangan dengan senyuman sinis.
"Sudah lama tidak bertemu, putriku."
Count Therese, pemimpin organisasi revolusioner rahasia yang dikenal sebagai "Clean."
Dulu, dia adalah atasan Easy.
Namun bagi Daisy, dia hanyalah tamu yang tidak diinginkan.
Tentu saja, mereka sebenarnya bukan ayah dan anak.
"Bagaimana kau menemukanku?"
Mereka melangkah keluar dari kapel. Begitu Daisy memastikan tak ada orang di sekitar, dia langsung menuntut jawaban dari Count Therese.
"Eh, begitukah caramu berbicara dengan ayahmu?"
"Siapa yang bilang aku akan memanggilmu 'Ayah'?"
"Kau tahu keahlianku. Informasi adalah mata pencaharianku. Tidak mungkin aku tidak bisa menemukanku."
Count Therese mengangkat bahu seolah itu bukan masalah besar, tapi Daisy benar-benar kesal. Dia sudah berusaha keras untuk bersembunyi, hanya untuk tetap ditemukan.
Entah dia menatap tajam atau tidak, Count Therese tetap tersenyum santai.
"Jangan menatapku seperti itu. Ayah mana yang tidak khawatir jika putrinya tak pernah pulang? Dan serius, Easy, ada apa dengan semua ini? Apa kau berubah pikiran saat aku tidak mengawasimu?"
Saat Count Therese mencoba menyentuh kalung salib yang tergantung di leher Daisy, dia menepis tangannya.
"Aku sudah mengirimmu surat. Aku pensiun, jadi jangan repot-repot mencariku."
"Aku tidak ingat pernah menerima surat seperti itu."
Sebenarnya, surat itu lebih seperti 'pemberitahuan sepihak', tapi Daisy sudah dengan jelas menyatakan bahwa dia pensiun. Dia telah bersumpah untuk tidak membunuh lagi, jadi dia tidak bisa kembali ke dunia itu.
"Tetap saja, kemampuanmu belum pudar. Aku akui, melacakmu cukup sulit. Aku butuh waktu satu tahun—tidak menyangka akan selama itu."
"Kenapa kau harus mengatakan hal menyakitkan seperti itu?"
Tuhan, anak-Mu hampir melakukan satu tindakan kekerasan terakhir yang tak terhindarkan.
Daisy melepas jepit rambutnya, dan rambutnya yang semula tertata rapi langsung terurai seperti air terjun. Dalam sekejap, dia mengarahkan ujung tajam jepit rambutnya tepat ke arteri karotis Count Therese.
"Kemampuan seperti ini tidak mudah hilang."
"Wah, Easy, aku mengerti. Tenanglah."
"Sepertinya ada seseorang yang terlalu percaya diri datang ke sini sendirian."
"Tidak perlu banyak bicara. Kau sudah cukup beristirahat. Waktunya kembali bekerja."
"Aku tidak akan melakukannya."
Daisy menolak mentah-mentah.
"Kenapa kau tidak memberitahuku jika targetnya memiliki seoranganak?"
"Aku tidak sengaja menyembunyikan itu. Sepertinya tim intel kita melewatkannya. Aku minta maaf atas itu."
Count Therese mengakui kesalahannya, meletakkan tangan di dadanya dan membungkukkan kepala sedikit, dengan gaya berlebihan seperti biasanya.
"Tapi Easy, anjing-anjing royalis¹ itu masih harus disingkirkan. Entah mereka punya anak atau tidak, misi tetaplah misi."
"...."
"Kau benar-benar semakin lembek."
Melihat Daisy tetap diam, dia mendecakkan lidahnya dengan nada kecewa.
"Itu tidak penting; aku sudah selesai dengan semua itu. Mulai sekarang, aku hanya ingin hidup normal—jatuh cinta, bekerja seperti orang biasa, dan menjalani kehidupan yang sederhana dan damai. Jadi, tolong, tinggalkan aku sendiri."
"Kau tahu aturannya, Easy. Menolak perintah berarti eksekusi. Tidak ada pengecualian."
"Kalau begitu, lakukan saja. Bunuh aku."
"Masih keras kepala seperti dulu."
Count Therese menghela napas panjang sebelum melanjutkan.
"Jadi, kalau pembunuhan sudah tidak bisa dilakukan, ada hal lain yang kubutuhkan darimu."
"Apa maksudmu?"
Daisy mengerutkan kening.
Pilihan apa lagi yang dimiliki seorang pembunuh selain menghabisi targetnya?
"Ini misi yang sederhana. Mulai sekarang, kau adalah putri rahasiaku. Kau hanya perlu berperan sebagai pengantin, menerima bayaran, dan tak lama setelah itu, kau akan bebas."
"Pernikahan dan kebebasan bukanlah dua hal yang berjalan beriringan."
"Dalam kasus ini, iya. Suamimu akan berangkat ke medan perang sebagai umpan meriam. Dia akan mati sebelum kau bahkan sempat menghabiskan malam pertama. Kau akan menjadi janda dalam sekejap."
Bisnis pasti sedang sepi. Pembunuhan tampaknya sudah tidak laku, jadi sekarang dia mencoba perjodohan.
Daisy menatapnya dengan tidak percaya, tapi Count Therese hanya menaikkan alisnya, tak tergoyahkan, dan melanjutkan.
"Nama suamimu adalah Maxim von Waldeck."
"Aku tidak tertarik, jadi pergi sebelum aku berubah pikiran."
Daisy menarik kembali jepit rambutnya dari lehernya dan mendorong Count Therese menjauh.
"Imbalannya satu juta emas."
Mata Daisy membelalak mendengar jumlah yang begitu fantastis.
"Hadiah pensiun spesial yang sudah kusiapkan untukmu, putriku. Jika kau tak tertarik, aku bisa mencari orang lain."
"Jadi maksudmu… aku benar-benar bisa pensiun setelah ini?"
"Tentu saja. Selama kau menyelesaikan misi ini, aku akan mengabulkan permintaanmu."
Sejujurnya, tawaran itu sangat menggoda.
Biara kecil tempatnya tinggal sedang kesulitan. Tidak ada donatur besar, dan beberapa anak yatim di sana jatuh sakit. Mereka bahkan tidak mampu membeli makanan, apalagi membayar pengobatan.
Dia tak bisa menyangkal bahwa mereka benar-benar membutuhkan uang itu.
Dengan dana yang cukup, anak-anak bisa mendapatkan perawatan medis yang mereka butuhkan dan tumbuh sehat. Mereka bisa belajar dan menjadi orang yang jauh lebih baik daripada dirinya…
"Satu juta emas, dan aku masih mendapatkan dana pensiun terpisah. Benar, 'Ayah'?"
Easy dan Daisy mencintai uang. Di dunia yang kejam ini, satu-satunya hal yang bisa ia andalkan adalah uang. Tapi saat itu, dia sama sekali tak menyangka bahwa suaminya sekaligus target terakhirnya, Maxim von Waldeck, akan menjadi pria paling berbahaya yang pernah ia hadapi.