Liu berjalan terseok-seok, meninggalkan tangga batu yang menjulang tinggi di belakangnya. Darah masih menetes dari lukanya, membasahi tanah di sepanjang jalannya. Pukulannya, tendangan yang ia terima, serta penghinaan yang dilemparkan kepadanya, masih terngiang di kepalanya. Namun, ia tidak menyerah.
"Aku harus menjadi lebih kuat..."
Langit mulai gelap, dan angin malam bertiup dingin. Liu menoleh ke belakang, melihat sekte besar yang melayang di atas awan, jauh di atas sana, tempat para kultivator kuat berkumpul dan menyempurnakan kekuatan mereka.
Namun, tempat itu bukan untuknya.
Bukan untuk seseorang yang bahkan belum bisa berkultivasi dengan benar.
Ia mengepalkan tangannya, melanjutkan perjalanan tanpa tujuan yang jelas.
Hari pertama
Tubuh Liu lemah, tetapi ia terus berjalan. Tanpa makanan, tanpa air, hanya mengikuti jalan setapak yang tidak diketahui ke mana arahnya.
Saat malam tiba, ia terpaksa tidur di bawah pohon besar. Angin gunung yang dingin menusuk hingga ke tulangnya, membuatnya menggigil. Tapi ia tetap bertahan.
Hari kedua dan ketiga
Matahari terbit dan terbenam tanpa belas kasihan. Liu masih berjalan, kakinya semakin lemah, tetapi ia tidak berhenti.
Di sepanjang perjalanan, ia melihat para kultivator melayang di langit dengan pedang terbang mereka. Beberapa dari mereka bahkan hanya melihat sekilas ke arahnya sebelum pergi, seperti melihat seekor semut yang tidak berarti.
"Aku juga seorang kultivator... Tapi kenapa aku begitu lemah?"
Liu hanya bisa menggertakkan giginya dan terus berjalan.
Hari keempat dan kelima
Lapar mulai menggerogoti tubuhnya. Tanpa makanan dan air, ia tahu bahwa ia tidak akan bertahan lebih lama lagi.
Namun, setelah berhari-hari berjalan, pemandangan di depannya mulai berubah.
Pegunungan yang luas membentang di hadapannya. Kabut tipis melayang di antara pepohonan hijau yang menjulang tinggi, dan aliran sungai jernih mengalir dengan tenang.
Energi spiritual di tempat ini terasa berbeda—lebih murni, lebih tenang.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Liu merasa sedikit lega.
Hari keenam
Liu berjalan mendekati sungai dan segera menenggak air jernih dengan rakus. Rasa segar mengalir di tenggorokannya, memberikan sedikit tenaga bagi tubuhnya yang lelah.
Setelah mengisi perutnya dengan air, ia mulai mengumpulkan kayu kering. Meskipun ia tidak memiliki alat atau api, ia tahu bahwa di malam hari suhu akan turun drastis, dan ia butuh sesuatu untuk bertahan.
Ketika matahari mulai tenggelam di balik puncak gunung, Liu duduk di dekat tumpukan kayu yang ia kumpulkan.
"Aku tidak bisa terus begini..." gumamnya.
Hidup di alam liar bukanlah hal mudah, apalagi bagi seseorang yang belum memiliki kekuatan sejati. Jika ia ingin bertahan, ia harus mencari makanan.
Namun, satu-satunya makanan yang bisa ia dapatkan di sini adalah daging binatang roh—dan berburu binatang roh bukanlah tugas yang mudah.
Keesokan paginya, Liu memutuskan untuk berburu.
Menggunakan cabang kayu yang ia runcingkan dengan batu tajam, ia mulai mencari jejak binatang roh.
Setelah beberapa jam berjalan di dalam hutan, ia akhirnya melihat seekor kelinci roh kecil dengan bulu putih bercahaya.
Tanpa ragu, ia segera melemparkan tombak kayunya.
Swish!
Namun, binatang itu dengan mudah menghindar dan langsung berlari menjauh.
Liu mengejarnya, tetapi saat ia hampir menangkapnya, sesuatu yang lain muncul.
Graaah!
Dari semak-semak, seekor serigala roh hitam melompat ke arahnya.
Liu terkejut. Ia mencoba menghindar, tetapi cakaran serigala itu lebih cepat.
Slash!
Luka baru muncul di lengan Liu, darah mulai mengalir.
Dengan napas tersengal, ia segera berlari menjauh. Serigala itu mengejarnya, tetapi untungnya Liu berhasil menemukan celah sempit di antara batu-batu besar dan menyelinap masuk.
Serigala itu menggeram, tetapi tidak bisa mengejarnya lebih jauh.
Liu terengah-engah, menekan lukanya dengan kain robek dari pakaiannya.
"Aku... terlalu lemah."
Rasa sakit mengingatkannya pada kejadian di sekte. Bagaimana ia dihina, ditolak, dan sekarang bahkan seekor serigala pun hampir membunuhnya.
Setelah kejadian itu, Liu menyerah untuk berburu.
Setiap kali ia mencoba, ia selalu terluka.
Tanpa senjata yang layak, tanpa teknik bertarung, ia hanyalah seorang bocah tak berdaya di dunia yang dipenuhi monster dan kultivator kuat.
Liu mulai menjalani hidup sederhana di pegunungan itu.
Ia mengandalkan buah-buahan liar untuk bertahan hidup, mengumpulkan air dari sungai, dan menghindari binatang roh sejauh mungkin.
Di malam hari, ia duduk di bawah langit berbintang, mencoba berkultivasi lagi.
Namun, seperti sebelumnya, ia tidak bisa merasakan aliran energi spiritual dalam tubuhnya.
Ia tahu bahwa bertahan hidup saja tidak cukup. Jika ia ingin tetap hidup di dunia ini, ia harus menjadi lebih kuat.
Tetapi bagaimana caranya?
Liu menatap langit dengan mata kosong.
"Aku harus menemukan jalanku sendiri..."
Di pegunungan yang sunyi ini, perjalanan Liu baru saja dimulai.