Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Jeda waktu

Alvin_Suryadilaga
21
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 21 chs / week.
--
NOT RATINGS
177
Views
Synopsis
Jeda Waktu Di bawah langit malam yang tenang, di tepi danau yang memantulkan sinar bulan, seorang laki-laki duduk bersandar di bawah pohon besar. Siluetnya menyatu dengan kegelapan, seolah menjadi bagian dari bayangan yang selalu mengikutinya. Di sampingnya, seorang wanita duduk diam, menghadirkan kehangatan di antara dinginnya udara malam. Ia bukan lagi orang yang sama seperti dulu. Waktu telah mengubahnya—bukan karena pilihan, tetapi karena perasaan yang perlahan meresap ke dalam dirinya. Cinta yang ia temukan begitu nyata, begitu dalam, namun juga penuh luka. Di antara kenangan yang menghantuinya dan masa depan yang samar, ia berjuang melawan konflik batinnya sendiri. Bisakah ia menerima perubahan itu? Ataukah ia hanya terjebak dalam jeda waktu yang tidak pernah benar-benar bergerak? Sebuah kisah tentang perjalanan menemukan diri, mencintai dengan segenap hati, dan menghadapi takdir yang tidak selalu berpihak
VIEW MORE

Chapter 1 - waktu yang kembali

Jeda waktu

Waktu yang kembali

Aku berjalan ke arah coffee shop di sudut jalan. Udara sore terasa sejuk, angin berhembus pelan, membawa aroma kopi yang khas. Saat aku membuka pintu kafe, suara lonceng kecil berbunyi.

"Jir, tunggu tai," suara yang familiar terdengar dari belakang, diikuti tepukan di pundakku.

Aku menoleh. "Oh, kirain siapa..."

Dia Ojan, teman SMA yang sampai sekarang masih sering nongkrong bareng. Rambutnya mulai beruban, makanya dipanggil "Babeh" sama anak-anak, tapi aku tetap panggil dia Ojan.

Kami berjalan ke meja kasir. Seorang barista cewek tersenyum ramah.

"Mau pesan apa, Kak?" tanyanya.

Ojan langsung menjawab, "Es jeruk sama mie pakai telur, laper coo."

Aku masih melihat menu sebentar sebelum akhirnya berkata, "Kopi latte aja."

"Baik, ditunggu ya," kata barista sambil tersenyum.

Begitu dia pergi, Ojan menyikut lenganku pelan dan berbisik, "Jir, cantik coo."

Aku hanya mendengus pelan. "Hmm... Sut, tai."

Kami memilih duduk di halaman belakang. Tempat itu sejuk, dihiasi tanaman hijau, dan lebih santai karena bisa merokok di sana. Aku menyalakan rokok, menghisapnya pelan sambil menikmati suasana.

Ojan mulai membuka obrolan lagi. "Lu banyak kenal cewek cantik, tapi nggak pacaran juga. Lebar!"

Aku tetap diam, menghisap rokok dan menikmatinya lagi.

"Eh, lu tau Alma nggak? Cewek cantik di kampus," lanjutnya.

Aku menoleh pelan. "Alma?"

"Iya, gua denger-denger katanya lu kenal."

"Oh... Iya. Dulu teman SD," jawabku singkat.

"Anjir, kenal lama dong," Ojan semakin penasaran.

"Hmm… Nggak juga."

Sebelum Ojan bisa bertanya lebih jauh, seorang barista datang membawa pesanan kami. Aku mendongak, lalu terkejut.

"Vin?"

Aku menoleh ke arah suara itu. "Eh, Amel?"

Dia tersenyum. "Iya, ini pesanan kamu."

Aku mengambil cangkir kopi dengan anggukan kecil. "Oke, makasih."

Amel masih berdiri di sana. "Sehat kamu?"tanya amel ke arahku.

"Sehat. Kamu?"

"Aku juga sehat." Jawab amel.

Aku bisa merasakan tatapan Ojan yang penuh rasa penasaran. Dengan suara pelan, dia berbisik kepadaku, "Siapa, siapa?"

Aku meliriknya sekilas sebelum akhirnya berkata, "Oh, ini Ojan, teman SMA. Jan, kenalin ini Amel, teman SD dulu."

Mereka saling berjabat tangan, dan aku bisa melihat Ojan agak salting.

Amel tersenyum. "Aku kerja dulu ya."

Aku hanya mengangguk pelan. "Hmm."

Dia tertawa kecil. "Dari dulu nggak berubah."

Aku hanya tersenyum kecil, sementara Ojan langsung berkomentar, "Cantik cooo."

Aku tidak menanggapi, hanya menghisap rokok lagi, membiarkan percakapan mengalir begitu saja.

---

Malamnya, setelah meninggalkan kafe, aku melaju di jalanan kota yang mulai sepi. Lampu jalan berpendar redup, mengiringi pikiranku yang melayang entah ke mana.

Sesampainya di rumah, aku membuka pintu dengan pelan. "Assalamualaikum," ucapku, tapi tak ada jawaban. Orang tua masih belum pulang. Aku masuk ke kamar, melempar tas ke kasur, lalu merebahkan diri.

Aku menutup mata, mencoba menenangkan diri. Tapi justru percakapan di kafe tadi kembali terngiang—saat Ojan tiba-tiba menyebut nama Alma.

Bayangan Alma langsung muncul di kepalaku. Aku menarik napas panjang, berusaha mengabaikannya, tapi semakin aku mencoba, semakin jelas wajahnya terlintas di benakku.

Aku mendengus pelan, lalu tiba-tiba...

"AAAH!"

Aku berteriak sambil bangun, frustrasi dengan pikiranku sendiri. Dengan cepat, aku membuka laptop, berniat mengerjakan tugas agar pikiranku teralihkan. Tapi sialnya, bayangan Alma masih terus mengganggu.

Aku mencoba fokus, tapi entah bagaimana, tanganku malah kehilangan keseimbangan. Kursi yang aku duduki bergeser, dan aku jatuh dengan keras ke lantai.

"Bruk!"

Bersamaan dengan itu, buku-buku di meja ikut terjatuh, berserakan di lantai. Aku menggerutu sambil membereskan semuanya.

"Sialan..."

Saat aku sedang memungut buku yang jatuh, mataku terpaku pada satu buku bersampul coklat. Aku mengambilnya, memandangnya lama, lalu tanpa sadar bergumam,

"Ini kan ...."

Tiba-tiba, pandanganku beralih pada sebuah buku yang tergeletak di sudut meja. Buku diari lama ku —buku yang selama ini terabaikan. Aku mengambilnya, membuka halaman demi halaman, dan mulai membaca tulisan-tulisanku dari masa lalu.

Ini... diari ku waktu dulu.

Ahh, aku menulis semuanya dulu, itu aku, ahhh... Sudah deh. Aku membaca tulisan ini lagi, seakan-akan aku bisa merasakan lagi bagaimana rasanya menjadi diriku yang dulu.

PROLOG

Kakang, yah, orang biasa memanggilku begitu. Nama ku sih Alvin. Anak yang dibilang nakal, dibilang cengeng, iya. Penakut, iya. Pinter, iya. Baik, iya. Namun yang menonjol adalah pemalu dan pendiam.

Aku terbiasa berbohong untuk menutupi kekuranganku dan juga untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Aku berubah menjadi pribadi yang lihai berbohong, bukan karena aku mau, tapi karena aku harus. Berbohong menjadi cara untuk bertahan hidup di dunia yang tak selalu ramah.

Namun, semua itu berubah saat dia datang—" Alma. "

Kehadirannya tak hanya mengguncang rutinitasku, tapi juga memaksa aku untuk menghadapi diriku sendiri, meski aku tak tahu siap atau tidak.

Gadis kecil yang tanpa sengaja menjadi warna baru di hidup ku.

BAB 1: PERTEMUAN PERTAMA

2012 ,juli,8 ,(bandung)

Hari itu, awal semester di kelas 3 SD, aku sedang duduk diam di bangkuku, menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong seperti biasa. Tidak ada yang spesial—hanya hari lain yang harus dilewati di sekolah.

Namun, suasana kelas tiba-tiba menjadi sedikit berisik. Seorang anak baru datang, ditemani Bu Heni, wali kelas kami.

"Anak-anak, ini teman baru kalian. Perkenalkan namanya," kata Bu Heni sambil menatap anak itu dengan senyum hangat.

Gadis itu maju selangkah, tampak agak canggung, tetapi tetap tersenyum.

"Hai, aku Alma !" katanya dengan suara yang ceria.

Aku melihatnya sekilas. Rambutnya dikuncir dua, matanya berbinar, dan dia tampak seperti tipe anak yang mudah bergaul.

"Silakan duduk, Alma. Kamu bisa duduk di bangku kosong di sebelah Alvin," kata Bu Heni sambil menunjuk bangku kosong di sebelahku.

Aku sedikit terkejut. Biasanya, anak-anak baru duduk di belakang, tapi entah kenapa kali ini Bu Heni langsung menempatkannya di sebelahku.

Saat dia berjalan ke arahku, aku menegakkan punggungku sedikit, bersiap menghadapi kenyataan bahwa sekarang aku punya teman sebangku baru.

Saat dia berjalan ke arahku, aku menegakkan punggungku sedikit, bersiap menghadapi kenyataan bahwa sekarang aku punya teman sebangku baru.

"Hai," sapanya sambil duduk dan meletakkan tasnya.

Aku hanya mengangguk pelan.

Dia menatapku sebentar, lalu menyandarkan punggungnya di kursi. "Kamu pendiam banget, ya?"

Aku menoleh sebentar, lalu mengangkat bahu. "Mungkin."

Alma tersenyum kecil. "Oke. Berarti aku bakal jadi yang paling banyak ngomong di sini."

Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa pertemuan ini akan mengubah banyak hal dalam hidupku.

BAB 2: KEBERSAMAAN YANG TAK TERDUGA

Sejak hari itu, aku dan Alma sering bekerja dalam kelompok yang sama. Entah itu tugas sekolah, kerja kelompok, atau bahkan saat ada kegiatan di sekolah, kami selalu berada di kelompok yang sama.

Meskipun awalnya aku tidak terbiasa dengan sifatnya yang sangat cerewet dan aktif, perlahan aku mulai terbiasa.

"Alvin, kamu ngerti gak sama tugas ini?" tanyanya suatu hari saat kami sedang mengerjakan tugas kelompok.

Aku menatap lembar tugas di depan kami dan mengangguk. "Ngerti, kenapa?"

"Ya bantuin lah! Aku gak paham bagian ini," katanya sambil menggeser kertas ke arahku.

Aku menghela napas, lalu mulai menjelaskan. Alma mendengarkan dengan serius, tapi sesekali dia mencorat-coret kertas dengan pensilnya.

"Paham?" tanyaku setelah selesai menjelaskan.

Dia menatapku sejenak, lalu tersenyum. "Hmm... enggak, ulangi lagi."

Aku memutar mata. "ALMAAAAA..."

Dia tertawa kecil. "Hehe, bercanda. Aku paham kok. Makasih ya, Alvin!"

Aku tidak membalas, hanya mengangguk pelan.

Hari demi hari berlalu, dan kami semakin dekat. Tapi saat naik ke kelas 4, segalanya berubah.

Kami tidak lagi satu kelompok. Alma punya teman-teman baru, dan aku kembali menjadi anak yang pendiam di sudut kelas. Kami masih saling menyapa, tapi tidak seintens dulu.

Aku pikir, mungkin memang seperti ini jalannya.

Tapi ternyata, takdir masih punya cara lain untuk mempertemukan kami kembali.

BAB 3: RELAWAN YANG DIPILIH TAKDIR

Saat kami naik ke kelas 5, Bu Heni kembali menjadi wali kelas kami.

Suatu hari, saat pelajaran akan dimulai, Bu Heni berdiri di depan kelas dan tersenyum sambil melipat tangan di depan dadanya.

"Anak-anak, saya butuh dua relawan untuk proyek kelas kita."

Kelas langsung riuh. Semua bertanya-tanya proyek apa yang dimaksud.

"Tapi ada syaratnya," lanjut Bu Heni. "Saya ingin satu anak yang periang dan cerewet, serta satu anak yang pendiam."

Tanpa ragu, hampir seluruh kelas serempak menjawab, "ALMA!"

Aku melihat Alma yang duduk beberapa baris di depan. Dia terkejut, lalu tertawa kecil. "Hah? Aku?"

Bu Heni mengangguk sambil tersenyum. "Ya, kamu aja."

Kemudian, beliau kembali bertanya, "Sekarang, siapa anak yang paling pendiam di kelas ini?"

Beberapa anak langsung menoleh ke arahku.

Tak lama kemudian, beberapa suara terdengar, "ALVIN!"

Aku terdiam.

Alma menoleh ke belakang, menatapku dengan ekspresi kaget sekaligus geli. Aku hanya menunduk, malas menerima kenyataan bahwa aku baru saja dipilih tanpa persetujuanku.

"Baik, berarti Alma dan Alvin yang saya pilih," kata Bu Heni dengan senyum puas.

Aku menghela napas dalam hati.

Alma masih menatapku sambil menahan tawa. Lalu, saat aku menatapnya balik, dia tersenyum lebar. "Kayaknya bakal seru, nih."

Aku hanya bisa menghela nafas.

BAB 4: PERASAAN YANG TUMBUH

Sejak hari itu, aku dan Alma kembali sering bersama. Kami banyak berbicara, bekerja sama, bahkan bercanda satu sama lain.

Namun, sesuatu mulai terasa berbeda.

Aku mulai menyadari sesuatu yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya.

Setiap kali Alma tersenyum, ada sesuatu di dadaku yang terasa aneh.

Setiap kali dia berbicara denganku, aku ingin waktu berhenti.

Aku mulai bertanya-tanya... apakah ini yang disebut suka?

Namun, aku tidak punya keberanian untuk mengakuinya.

Undangan Tak Terduga

Suatu siang, saat jam istirahat hampir berakhir, Alma tiba-tiba menarik lenganku dengan semangat.

"Alvin, nanti pulang sekolah ikut aku ke rumah, ya!" katanya dengan mata berbinar.

Aku menatapnya, sedikit bingung. "Kenapa?"

"Gak ada alasan khusus. Aku cuma mau ngajak aja," jawabnya sambil tersenyum.

Aku terdiam sejenak. Biasanya, aku tidak terlalu suka pergi ke rumah orang lain. Aku lebih nyaman pulang langsung ke rumah, tapi melihat ekspresi Alma yang penuh harap, aku merasa sulit untuk menolak.

"Oke," jawabku akhirnya.

Begitu bel pulang berbunyi, aku mengikuti Alma menuju rumahnya. Sepanjang jalan, dia terus bercerita tentang berbagai hal—tentang guru baru, teman-teman kelas, dan hal-hal kecil yang terjadi di rumahnya. Aku hanya mendengarkan sambil sesekali menanggapi.

Rumahnya tidak terlalu jauh dari sekolah. Saat kami sampai, aku terkesima melihat halaman rumahnya yang luas dan rapi. Banyak tanaman hijau di sekelilingnya, memberikan kesan nyama

Begitu kami masuk, Alma langsung mengajakku ke ruang tamu.

"Duduk dulu ya, aku ambilin minum," katanya sambil berjalan ke dapur.

Aku mengamati ruangan itu. Ada banyak foto keluarga di dinding, dan suasana rumahnya terasa hangat. Tidak lama kemudian, Alma kembali dengan dua gelas teh dingin.

"Nih, minum dulu. Gak nyangka kan aku bisa nyuguhin sesuatu?" candanya.

Aku tersenyum kecil. "Lumayanlah."

Kami menghabiskan waktu dengan mengobrol, menonton TV, dan sesekali bercanda. Saat itu, aku merasa tenang. Aku merasa diterima.

Namun, kebahagiaan kecil itu tidak berlangsung lama.

---

Ancaman di Sudut Sekolah

Beberapa hari setelah kunjunganku ke rumah Alma, aku merasa ada yang mengawasi. Dan ternyata, aku tidak salah.

Suatu siang sepulang sekolah, saat aku berjalan di lorong belakang kelas, Regi—anak nakal dari geng sekolah—tiba-tiba menarik kerah bajuku dan menyeretku ke sudut gedung yang sepi.

Aku meronta sedikit, berusaha melepaskan diri, tapi cengkeramannya kuat.

"Jangan banyak gerak," katanya dengan nada dingin.

Aku menatapnya tajam, berusaha tetap tegar meskipun hatiku berdebar kencang.

Regi merangkul leherku dengan gaya seolah-olah kami berteman, padahal aku tahu maksudnya jauh dari itu. Dia menunduk sedikit, mendekatkan wajahnya ke telingaku.

"Jangan terlalu dekat-dekat sama Alma," katanya dengan suara rendah, namun penuh ancaman.

Aku tetap diam, tidak ingin menunjukkan ketakutan.

"Dengar gak?" katanya lebih keras, mengguncang bahuku sedikit.

Aku menelan ludah dan menjawab, "Hmm."

Regi menyipitkan mata. "Hmm? Maksudnya apa?!"

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menatap lurus ke matanya. "serah."

Regi menggeram, mencengkeram kerah bajuku lebih erat. Aku bisa merasakan ketegangan di udara, tapi aku tidak ingin menunjukkan bahwa aku takut.

"Triiiiiiing... "bel berbunyi menandakan waktu istirahat telah selesai.

Setelah beberapa detik yang terasa lama, dia akhirnya melepas cengkeramannya dengan kasar dan mendorongku sedikit ke belakang.

"Ingat baik-baik, Vin. Jangan macam-macam."

Setelah mengatakan itu, dia berbalik dan pergi, meninggalkanku berdiri di sana dengan napas sedikit tertahan.

Aku menggertakkan gigi, merasa marah, tapi aku tahu bahwa aku tidak bisa melawannya secara langsung.

Dan saat itu, aku menyadari sesuatu.

Aku tidak hanya ingin menjadi temannya Alma.

Aku ingin melindunginya.

Tapi… apakah aku bisa?

SIKAP YANG BERUBAH

Ada yang Berubah

Sudah dua minggu sejak Regi mengancamku, dan aku mulai menjaga jarak dari Alma. Aku tahu dia mulai menyadarinya.

Siang itu, saat jam istirahat, aku sedang tidur di meja dengan tangan menyilang di atas kepala. Dari sela-sela lengan, aku melihat Alma mendekat dan berdiri di samping meja.

"Kamu kenapa?" tanyanya pelan.

Aku bergumam, "Hmm."

Alma mengerutkan kening. "Apa-apaan sih hmm? Aku tanya kamu kenapa?"

Aku mengangkat kepala dan menatapnya dengan mata setengah terbuka. "Kenapa apa?" tanyaku datar.

Alma menatapku serius. "Kamu beda. Udah dua minggu lebih, kamu kayak ngejauh dari aku."

Aku menarik napas, lalu menjawab santai, "Perasaan kamu aja itu mah."

Alma tidak percaya begitu saja. Dia menoleh ke temannya, Karin, yang sedang berdiri di dekatnya.

"Rin, Alvin beda kan? Kayak ngejauh."

Karin mengangguk. "Iya, ih. Kasihan Alma."

Aku hanya diam sebentar sebelum akhirnya berkata, "Iya deh, maaf. Aku juga gak apa-apa ini."

Alma cemberut, lalu kembali ke tempat duduknya. Aku menarik napas panjang dan mencoba tidur lagi, meskipun rasa bersalah mulai menyelinap.

Diantar Pulang

Sepulang sekolah, aku bersiap untuk pulang sendirian, tapi tiba-tiba Alma muncul lagi di depanku.

"Hai! Antar aku pulang, yuk!" katanya dengan senyum khasnya.

Aku menatapnya sebentar. "Kenapa?"

"Kan ada tugas (KerKom) juga. Sekalian aja!" ujarnya santai.

Aku menarik napas, lalu akhirnya mengangguk. "Iya."

Bagaimanapun, aku sulit menolak saat dia memasang wajah memelas seperti itu.

Di perjalanan, suasana awalnya hening. Tidak ada yang berbicara. Aku berjalan di sampingnya tanpa suara, hingga akhirnya dia tiba-tiba menarik lenganku ke tempat jajanan.

"Aku mau jajan!" katanya ceria.

Aku hanya menarik napas, membiarkan dia memilih makanannya. Setelah itu, suasana berubah. Alma mulai cerita banyak hal, dari kejadian di sekolah, tentang gurunya yang lucu, sampai hal-hal kecil yang membuatnya tertawa. Aku hanya mendengarkan sambil sesekali mengangguk atau memberi tanggapan singkat.

Begitu sampai di rumahnya, dia mengajakku ke kamarnya.

"Duduk aja di situ. Aku mau ganti baju," katanya santai sambil mengambil baju dari lemari.

Aku terkejut. "Hah? Ganti baju? Gila! Aku di sini tau! Aku keluar aja, nanti kalau udah bilang."

Dia tertawa kecil. "Gak papa kali, aku di belakang pintu ini."

Aku mengerutkan dahi. "Aaaah, matamu." Aku segera keluar kamar.

Setelah beberapa menit, Alma berseru, "Udah!"

Aku kembali masuk, lalu duduk di tempat semula.

Alma melipat tangan, menatapku sambil mendecak kesal. "Kenapa sih jawaban kamu selalu 'hmm' atau 'oke' doang?"

Aku tertawa kecil. "Bebas."

Dia hanya mendengus kesal, lalu mengambil buku . Kami mulai belajar, tapi seperti yang kuduga, Alma tidak fokus.

"Aduh, pusing," keluhnya sambil menopang kepalanya.

Aku menghela napas. "Kalau gak bisa fokus, aku pulang aja, ya."

Dia mengerutkan dahi. "Ih, baper. Lagian aku gabut, pusing juga. Susah ini!"

Aku hanya menjawab, "Hmm," sambil melihatnya.

Alma balik menatapku. Mata kami saling bertemu. Tapi detik berikutnya, dia malah mencoret bajuku dengan pulpen.

"Woi!" protesku.

Dia tertawa jahil. Aku langsung membalas dengan mencoret bajunya juga. Kami saling bercanda, tertawa bersama, dan untuk sesaat, semuanya terasa seperti dulu lagi.

Namun, tiba-tiba, Alma berubah serius.

"Aku mau ngomong," katanya pelan.

Aku mengernyit. "Ngomong aja. Aneh banget."

Dia mendengus. "Ih, sebel! Serius, tahu!"

Aku hanya menjawab, "Hmm."

Dia menarik napas panjang. "Regi ngedeketin aku."

Aku terdiam. Aku sudah tahu. Sejak awal, aku sudah tahu. Tapi mendengar dia mengatakannya sendiri… rasanya tetap menyesakkan.

Aku hanya menahan sakit itu dan menjawab singkat, "Hmm."

Alma mengerutkan dahi. "Hmm lagi? Kamu denger gak sih? Aku bilang Regi ngedeketin aku!"

Aku akhirnya meledak. "Ish, apa sih! Dari tadi Regi-Regi terus! Kalau suka, ya bilang aja! Kenapa bawa-bawa aku?!"

Dia terkejut melihat reaksiku.

"Kamu kenapa sih?" tanyanya dengan tatapan penuh tanya

Aku terdiam.

"Baru kali ini aku cerita tentang Regi, dan kamu langsung gini. Kamu berubah karena dia, kan?"

Aku tidak menjawab.

Alma semakin yakin. "Kamu ngejauhin aku karena dia, kan?"

Aku menelan ludah. Ketahuan.

"Kamu gak bisa bohongin aku, Alvin. Aku tahu ada sesuatu," katanya dengan nada lebih lembut.

Aku tetap memalingkan wajah, enggan menatapnya.

Alma berdiri, lalu menarik tanganku agar kami saling berhadapan. Tatapan matanya tegas, penuh tuntutan.

"Jujur, plis."

Aku menarik napas panjang, lalu berkata pelan, "Cukup. Aku gapapa."

Setelah itu, aku berbalik dan pergi.

Aku meninggalkan rumahnya tanpa berpamitan, tanpa menoleh ke belakang.

Saat berjalan pulang, aku merasa rasa bersalah menggerogoti hatiku. Tapi aku tahu… aku tidak bisa melakukan apa pun.

Aku hanya bisa… menjauh.

BAB 5 : PERPISAHAN YANG TAK TERHINDARKAN

Beberapa bulan kemudian, aku mendengar kabar itu.

Saat jam istirahat, Alma datang menghampiriku di tempat biasa aku duduk.

Dia tersenyum, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam senyumnya.

"Aku jadian," katanya pelan.

Aku menatapnya beberapa detik, berusaha menelan kenyataan itu.

Sebenarnya, aku sudah tahu ini akan terjadi. Aku sudah mempersiapkan diri.

Tapi kenapa tetap sakit?

Aku menghela napas.

"Hmm."

Alma mengerutkan kening. "Kok cuma 'hmm'?"

Aku tersenyum kecil, meskipun terasa pahit.

"Yaudah, selamat. Semoga langgeng."

Lalu, tanpa menunggu jawabannya, aku berdiri dan pergi.

Aku membayar makananku, lalu sekalian membayar minuman yang dipesannya.

Setelah itu, aku tidak lagi banyak berbicara dengannya. Aku pura-pura tidak tahu saat dia mencuri pandang ke arahku. Aku berpura-pura baik-baik saja.

Hingga akhirnya, kami lulus SD.

Aku masuk SMP.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku benar-benar merasa kehilangan sesuatu yang berharga.