"Hmm… Alma ya… Cukup untuk malam ini membacanya. aku jadi lelah.
Lebih baik aku tidur."
____________
PAGI DI BANDUNG
Triiiiiiing!
Suara alarm memecah keheningan. Aku mengerang pelan, menekan tombol snooze sambil bergumam, "Aah… berisik." Mataku terasa berat, masih enggan terbuka sepenuhnya. Aku melirik ke jam menunjukan pukul—05:00 pagi.
"Ah, lima menit lagi…" gumamku, menarik selimut lebih erat.
Tapi sebelum sempat kembali terlelap, suara pintu kamar terbuka perlahan. Suara berat itu terdengar dari luar.
"Kakang… hei, Kakang! Bangun, sholat subuh dulu."
Itu suara ayah.
Aku mendesah pelan, "Hmm… iya."
"Cepat, keburu terlambat!" katanya tegas.
Dengan malas, aku memaksakan tubuhku untuk duduk di ranjang. Mata masih setengah tertutup, tubuh terasa berat. Lampu kamar yang menyala terang menambah silau, membuatku semakin enggan bergerak. Aku mengucek mata beberapa kali, lalu akhirnya menyeret langkah ke kamar mandi. Air wudhu yang menyentuh wajah langsung menyapu sisa kantuk. Dingin, menyegarkan.
Setelah sholat subuh, aku keluar dari kamar dengan suasana pagi yang masih sejuk. Dari dapur, aroma kopi hitam bercampur dengan harumnya nasi goreng buatan bunda. Suasana rumah yang hangat membuat pagi ini terasa nyaman.
"Kang, kamu kuliah?" suara bunda memecah lamunanku.
"Iya," jawabku sambil menarik kursi.
"Oke, nanti pulangnya bunda titip kelapa muda, ya" katanya sambil menyiapkan piring.
"Oke."
Sambil menikmati sarapan, aku mendengar suara motor ayah menyala di luar.
"Kang, ayah sama bunda duluan, ya! Jangan lupa kunci rumah sama pagar."
"Iya, siap," jawabku.
Setelah mereka pergi, aku kembali ke kamar, mengambil handuk, lalu mandi. Air dingin menyentuh kulit, sedikit membuatku menggigil, tapi cukup untuk menyegarkan tubuh.
Saat keluar dari kamar mandi, ponselku berbunyi.
Ting! Notifikasi WhatsApp.
Fatir: "Vin, ngampus?"
Aku menjawab singkat. "Yoi."
Fatir: "Oke, bareng bro. Gua agak telat."
"Dasar anak Banjaran, jauh banget rumahnya, pasti kena macet," gumamku sambil tersenyum kecil.
Aku mengenakan pakaian, memakai sepatu, lalu mengambil kunci motor. Tapi sebelum pergi, aku menyempatkan duduk di teras rumah.
Udara pagi masih sejuk. Langit sedikit berkabut, jalanan masih sepi. Aku menyeruput kopi hitam buatan bunda yang masih panas. Harumnya khas, rasa pahitnya pas. Di sampingku, kucing peliharaanku sedang makan dengan lahap,aku mengelus nya perlahan."dasar mujaer gumamku"
Aku menarik napas dalam-dalam, menikmati suasana ini.
"Ah… ini pas kalau sebatang dulu."
Aku mengambil rokok dari saku, menyalakannya, lalu menghisap pelan. Asapnya keluar perlahan, berpadu dengan udara pagi. Aku tersenyum kecil, mengingat satu kutipan yang pernah kubaca:
"Kebahagiaan ada pada hal-hal sederhana."
Jam menunjukkan pukul 06:17. Aku mematikan rokok, mengambil helm dan sarung tangan, lalu menyalakan motor. Dengan musik dari Spotify mengalun di earphone, aku bersiap berangkat.
Di Jalan Menuju Kampus
Jalanan mulai ramai. Lalu lintas pagi Bandung tidak seindah yang orang bayangkan. Kemacetan di Dayeuhkolot dan Buahbatu selalu jadi tantangan. Apalagi lampu merah di Kircon yang terkenal lama.
Aku melaju dengan kecepatan 70 km/jam, menembus riuhnya kota. Motor sportku bergetar halus di bawah genggaman.
Setelah perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya aku tiba di kampus. Di halte depan, mahasiswa dan mahasiswi tampak duduk, ada yang berjalan bersama teman, ada yang sibuk dengan pasangannya. Aku mencari tempat parkir, yang seperti biasa penuh dan tidak beraturan.
Aku memutuskan parkir di spot favoritku—depan balong dan lobi kampus. Tempat ini strategis, mudah keluar nanti. Setelah memarkir motor, aku membuka helm dan merapikan rambut di spion.
"Kayaknya udah saatnya cukur rambut," gumamku.
Tiba-tiba terdengar suara yang familiar.
"Kang! Kakang!"
Aku menoleh. Itu Seva, teman sekelasku. Seperti biasa, dia tampil rapi dengan kemeja hitam, rambut tertata bak pegawai negeri.
"Eeeh, Seva," sapaku.
"Bareng ke kelas, Kang?" tanyanya.
"Oh, nunggu Fatir dulu. Dia telat," jawabku.
"Oke, duduk di balong aja dulu," kata Seva.
Kami berjalan ke sana.
"Lu udah ngerjain tugas SDM?" tanya Seva sambil membuka tasnya.
"Udah," jawabku santai.
"Nyontek dong," katanya sambil melirikku.
Aku menghela napas, lalu menyerahkan laptopku padanya. "Nih."
Seva tertawa kecil. "Thanks, bro."
Dia memang pintar, tapi soal tugas? Selalu nyontek atau pakai joki. Untungnya dia punya pacar yang pintar dan sering mengerjakan tugasnya.
Kenapa nggak minta pacar lu aja?" tanyaku iseng.
"Kasihan dia, sibuk juga," jawabnya cepat.
Aku hanya mengangguk.
Tiba-tiba, suara lembut memanggil namaku.
"Vin?"
Aku menoleh. Itu Elisa, teman sekelasku. Dia kecil, cantik, dan pintar—banyak yang suka dia. Bukan hanya di kelas, tapi juga di angkatan.
"Vin sendiri?" tanyanya dengan suara pelan.
"Enggak, sama Seva," jawabku.
Elisa tersenyum, lalu menoleh ke Seva. "Lagi apa?"
"Nyontek," jawab Seva santai.
Elisa mendesah. "Kebiasaan. Kamu juga, Vin, suka ngasih aja."
"Biarin lah, kasian," jawabku santai.
"Kamu mah gitu ke semua orang. Nggak baik tahu," katanya sambil duduk di sebelahku.
Aku tersenyum kecil. "Biarin lah."
Dia hanya menggeleng pelan, lalu menatapku. "Bareng ke kelas, ya"
Aku melihat jam. "Fatir belum datang".
"Yaudah, bareng aja," jawabnya.
---
Suara motor terdengar khas di parkiran kampus. Dari kejauhan, aku melihat Fatir datang dengan celana cargo, baju oversize, dan helm Bogoo khasnya.
"Gas," kataku ke Seva dan Elisa.
"Yoo!" jawab mereka kompak.
"Oi, tunggu! Gue parkir motor dulu," sahut Fatir buru-buru.
Aku mendengus. "Hayu, lama!"
"Iya, iya! Bentar!" jawabnya sambil mencari tempat parkir.
Setelah semuanya siap, kami naik lift menuju kelas. Saat pintu kelas terbuka, suasana sudah ramai. Aku langsung mencari tempat favorit—pojokan. Biasalah, itu tempatku.
Mata kuliah ini 3 SKS. Lama juga. Dua jam di kelas, dan rasa bosan mulai menyerang. Ditambah kantuk yang semakin menjadi.
"Pak, izin ke air," kataku tiba-tiba.
Dosen mengangguk. "Silakan."
Aku melangkah keluar. Jujur saja, niat ke toilet hanya alasan. Aku tetap aku. Begitu keluar kelas, aku langsung turun lewat lift dan berjalan menuju kantin.
Begitu sampai, aku melihat kantin penuh, panas, dan sesak. Suasananya ramai, terlalu berisik buatku.
"Ah, sudah kuduga," gumamku sambil memutar badan.
Akhirnya, aku memutuskan pergi ke tempat yang lebih sepi. Saat menoleh ke arah balong, aku melihat tempat itu kosong. Pagi tadi memang ada orang, tapi sekarang benar-benar sunyi. Pas.
Aku berjalan ke sana, duduk di kursi kayu di bawah pohon besar, lalu membuka bekal kopi susu dari rumah. Aromanya langsung menguar, menenangkan. Aku menghirupnya pelan sebelum menyesapnya.
Ditemani kopi, aku menyalakan rokok dan mulai menghisapnya perlahan. Suasana sepi seperti ini memang yang terbaik. Banyak orang bilang pohon besar di sini ada penunggunya. Aku? Tidak terlalu percaya hal begitu. Selama ini baik-baik saja.
Tiba-tiba, suara keras terdengar.
"Brug!"
Aku menoleh. Seorang mahasiswi terjatuh di kejauhan. Tanpa pikir panjang, aku berjalan mendekat dan membantunya berdiri.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyaku.
Dia mengusap lututnya yang sedikit kotor, lalu mengangguk. "Gapapa. Maaf ya, makasih."
Saat wajahnya lebih jelas, aku sedikit terkejut. Dia?
"Eh, Alvin?" tanyanya.
Aku menatapnya. Alma.
"Alma?" tanyaku memastikan.
Dia tersenyum kecil. "Lama nggak ketemu, ya."
Aku mengangguk pelan. "Hmm… iya."
Dia menatapku sebentar, lalu tertawa kecil. "Kamu nggak berubah, ya?"
Aku mengangkat bahu. "Gitu, deh."
"Mau ke mana?" tanya Alma.
"Nggak ke mana-mana. Kamu?" tanyaku balik.
"Sama, nggak ke mana-mana."
Aku hanya mengangguk.
"Oh iya, makasih ya udah bantuin aku," kata Alma sambil tersenyum.
"Iya, nggak papa."
Dia melirik ke arahku. "Sendiri?"
Aku hanya mengangguk.
"Lagi apa? Ganggu nggak kalau aku ikut duduk sama kamu?" tanyanya.
Aku menatapnya sebentar, lalu menggeleng. "Nggak ganggu, kok. Lagian sendiri ini, aku juga nggak kemana-mana."
Alma tersenyum. "Oke, makasih."
Kami berjalan ke kursi kayu di tepi balong. Suasana mendadak canggung. Lama nggak ketemu, rasanya aneh juga. Aku merasa kurang nyaman dengan keheningan ini, jadi aku akhirnya bertanya,
"Aku ngerokok, gapapa?"
Alma mengangkat bahu. "Gapapa, kok."
Aku menyalakan rokok, menghisapnya perlahan, sementara dia hanya duduk diam. Kami tidak saling bertanya, tidak juga sibuk dengan ponsel. Hanya hening.
Tiba-tiba, Alma bersuara. "Kamu tau nggak? Katanya tempat ini angker. Ada penunggunya."
Aku mengangkat alis. "Hmm? Nggak tahu."
Alma menatapku kesal. "Ih, serius tau!"
Aku tersenyum tipis. "Mungkin aku penunggunya. Soalnya, cuma aku yang betah duduk di sini."
Kami tertawa bersama.
Alma menggeleng sambil tersenyum. "Kamu dari dulu nggak berubah, ya. Masih aja sendiri, cuek, tapi baik… lucu lagi."
Aku tersenyum kecil. "Nggak juga."
Tiba-tiba, terdengar suara teriakan dari kejauhan.
"Almaa!"
Seorang cewek memanggilnya.
"Hayu! Kita ada kelas!" katanya.
Aku menoleh ke Alma. "Tuh, dipanggil. Kamu ada kelas?"
Alma mengangguk. "Iya, ada."
Aku mengangguk pelan. "Yaudah, masuk sana."
Alma memanyunkan bibir. "Ih, lama nggak ketemu, sekali ketemu malah diusir. Jahat."
Aku hanya mengangkat bahu. "Hmm."
"Ih, nyebelin! Udah, aku duluan ya," kata Alma sambil berdiri.
"Oke."
Dia melambaikan tangan. "Dadah!"
Tapi sebelum beranjak pergi, dia tiba-tiba berhenti.
"Eh, bentar. Minta nomor kamu dong."
Aku mengangkat alis. "Buat apa?"
Alma mendengus kesal. "Nggak buat apa-apa! Minta aja. Nih, catat!"
Aku tertawa kecil, tingkahnya masih sama seperti dulu. Tanpa banyak tanya lagi, kami bertukar kontak.
"Dadah!" katanya lagi sebelum berlari kecil ke arah temannya.
Aku hanya tersenyum kecil dan melambaikan tangan.
yah suasana kembali sperti semula sendiri tenang
Aku menghisap rokok dalam diam, membiarkan pikiranku melayang. Tapi tiba-tiba, aku tersadar.
"Eeh, Alma? Kok dia bisa ada di sini? Kok bisa dia kuliah di kampus ini?"
Aku menggeleng, mencoba mengabaikan pikiran itu. Memikirkannya hanya membuat kepalaku semakin pusing.
Ting!
Suara notifikasi HP mengalihkan perhatianku. Sekilas aku melihat pesan dari Seva:
"Kang, absen bentar lagi! Cepet ke kelas!"
Aku langsung mematikan rokokku dan bergegas menuju kelas.
Seusai mata kuliah, aku bersiap untuk pulang.
Ping!
Notifikasi HP berbunyi lagi. Aku melihat layar.
"Bro, lu di rumah?" tulis Ojan.
"Nggak, baru mau pulang," jawabku.
"Oke, gue kesana ya."
"Hmm."
Aku memasukkan HP ke saku dan berjalan ke parkiran. Setelah mengenakan helm, aku menyalakan motor, siap untuk pulang. Tapi karena hari ini cuma ada satu mata kuliah, aku memutuskan untuk mengambil jalan memutar. Aku memang lebih suka menyendiri, menikmati perjalanan tanpa gangguan.
Aku memilih rute lewat GBLA (Gelora Bandung Lautan Api). Jalanan di sana lebih sepi, dikelilingi pepohonan dan sawah yang membentang luas. Suasana ini mengingatkanku pada masa kecil—tenang, damai, dan jauh dari hiruk-pikuk kota.
Setelah beberapa saat, akhirnya aku sampai di rumah. Sepi. Orang tuaku belum pulang. Aku masuk ke kamar, meletakkan barang-barangku, lalu merebahkan diri di kasur.
Tak lama kemudian, kucingku, Grey, melompat ke ranjang. Dengan manja, ia menggesekkan kepalanya di lenganku, meminta dielus. Aku tersenyum, mengelus bulunya yang lembut, membiarkannya meringkuk di sampingku.
Saat mataku tertuju pada meja, aku melihat buku diari lama. Aku menghela napas, lalu mengambilnya dan membuka halaman-halaman yang sudah mulai menguning.
Nostalgia SMP
Aku kembali ke masa SMP—masa di mana aku masih mencari jati diri.
"Kang, mabal, gas?" tanya Fahmi, teman sekelasku.
"Gas lah!" jawabku santai.
Kami pun memanjat jendela belakang kelas dan melompat keluar sekolah. Tujuan kami jelas: Kopo Lanud—tempat nongkrong langganan anak-anak mabal.
Sesampainya di sana, kami langsung menuju warung Bang Roy.
"Bang!" sapaku.
"Eeh, maneh, Kakang! Aduh, Fahmi juga!" balasnya sambil terkekeh.
"Hehe," kami hanya nyengir.
"Kopi biasa satu," pesanku.
"Gue susu soda aja, Bang," kata Fahmi.
"Siap!" sahut Bang Roy.
Di sana, bukan cuma kami yang bolos. Banyak anak SMP dan SMA yang juga nongkrong sambil main game. Aku bisa langsung tahu mereka mabal karena masih pakai seragam sekolah.
Kami duduk di meja bundar dekat jalan. Lalu, Fahmi membuka pembicaraan.
"Lu tau tentang Sahal?" tanyanya.
"Sahal kenapa?" aku balik bertanya.
"Kemarin dia dikeroyok anak-anak geng Barbor."
"Hah?! Serius?! Gua nggak tau!"
"Iya, katanya pas pulang malem, dia dicegat anak-anak itu. Lagi pada mabok."
Sebelum aku sempat merespons, Bang Roy datang dengan minuman pesanan kami.
"Nih, kopi hitam buat kamu, Kang. Susu soda buat kamu, Mi. Lagian, sekarang lagi musim begal, tawuran. Hati-hati kalian, jangan sampai kena. Kemarin aja di sini ada yang kena razia polisi," Bang Roy memperingatkan.
"Iya, Bang," sahut Fahmi.
"Terus, Sahal gimana?" tanyaku.
"Sekarang di rumah sakit. Tangan patah, punggung kena bacok," jawab Fahmi.
Aku terdiam sejenak. Zaman sekarang makin gila.
"Kamu hati-hati, Alvin. Jangan asal nafsu," tegur Bang Roy.
Aku tertawa kecil sambil menghisap rokokku.
"Santai, Bang. Kalo ada yang berani bacok, gua bacok balik!" jawabku bercanda.
Kami semua tertawa.
Namun, tawa kami terhenti ketika suara khas motor RX-King menggema dari kejauhan.
Braaap! Braaap!
Enam motor berhenti di depan warung. Kami menoleh.
"Oiii!" sapa salah satu anak motor dari sekolahku.
"Oiii!" kami balas.
"Mabal nggak ngajak, lu parah!" kata Irfan sambil merangkulku.
"Tuh, Alvin!" Fahmi menyalahkanku.
Irfan menatap kami serius.
"Lu pada udah tau soal Sahal, kan?"
"Baru aja kita bahas," jawabku.
"Jadi gimana, Vin?" Rezki ikut nimbrung.
"Gimana apaan?" aku pura-pura nggak paham.
"Masa kita diemin aja?! Kita harus balas!" katanya berapi-api.
Aku sudah menduga ini akan terjadi. Aku menghisap rokok dalam-dalam sebelum menjawab.
"Ngapain? Lu pikir kalo kita serang, kita bakal menang tanpa korban?"
"Kang, dulu lu nggak sepengcut ini! Sekarang jadi ciut?" Irfan mendesakku.
Bang Roy ikut bicara.
"Bener kata Alvin, menang kalah juga nggak ada gunanya."
Aku menambahkan, "Sekarang yang penting, kita tengok Sahal dulu. Kasihan dia sama orang tuanya."
"Bener! Tengokin dulu aja," Fahmi membelaku.
Anak-anak terdiam. Aku bisa lihat beberapa dari mereka kecewa. Tapi aku tetap pada pendirianku.
"Yaudah, kapan?" tanya mereka akhirnya.
"Minggu. Kumpul di sini."
"Oke, kabarin di grup."
Aku bisa merasakan ketegangan yang masih tersisa. Beberapa dari mereka masih tampak kesal, tapi aku tak peduli.
Kembali ke Masa Sekarang
Ting!
Notifikasi HP membawaku kembali ke kenyataan.
"Bro, dah sampe," pesan dari Ojan.
"Hmm, gua keluar," balasku.
Aku menutup buku diari, meletakkannya kembali di atas meja, lalu keluar menemui Ojan.
"Kenapa lu ke sini?" tanyaku.
"Main lah! Gabut gue," jawabnya santai.
"Hmm," aku hanya mengangguk sambil membuka gerbang.
Tiba-tiba, Ojan menatapku dengan ekspresi aneh.
"Eh, lu viral, co!" katanya tiba-tiba.
Aku mengernyit.
"Hah? Viral kenapa?" tanyaku heran.
Ojan menyerahkan HP-nya padaku. Aku melihat layar dan terkejut.
Anjir...
Di layar itu, ada foto Alma dan aku—tertawa bersama di Balong, tadi pagi di kampus.
"Lah, kok gua gak tahu?" tanyaku heran.
Ah, dia kan terkenal cantik, wajar banyak yang suka. Ditambah kamu deket sama dia, ya iri lah orang," sahut Ojan.
Aku menghela napas. "Kamu tau Alma yang kamu maksud itu? Aku beneran gak kenal sumpah. Waktu kamu nanya Alma di kafe waktu itu, aku kira orang lain. Soalnya aku belum pernah lihat mukanya, tapi namanya aku inget. Dulu ada teman SD yang namanya sama, jadi aja aku jawab kenal. Ternyata itu beneran teman gua, bro."
"Serius kau?" Ojan menatapku tajam.
"Serius."
"Makanya aku nanya waktu itu, kamu kenal dia atau nggak. Soalnya ada gosip bilang kamu deket sama dia."
Aku menghela napas panjang.
"Makanya kalau orang ngomong tuh dengerin Serius. lu mah, bego," kata Ojan, sedikit kesal.
"Huh... ya sudahlah. Paling satu-dua minggu juga reda ini gosip."jawabku
"Mungkin... tapi gimana kalau lebih lama? Gak mikir gimana kalau ada yang labrak lo?" kata Ojan dengan nada menggoda.
Aku hanya mengangkat bahu. "Ah, biarin aja."
"Dah, main PS aja. Bahas ginian pusing." ajakku.
"Gas lah! Gabut gua," jawabnya antusias.
Kami bermain sampai jam delapan malam.
"Gua pulang lah, masih banyak tugas," kata Ojan sambil merapikan barang-barangnya.
"Lu kalau ada apa-apa kabarin gua," tambahnya.
"Oke," jawabku santai.
"Serius, lol."
Aku terkekeh. "Iya iya, nanti gua panggil lu kaya jin."
"Anjir, disamain sama setan," balasnya sambil tertawa.
Kami tertawa bersama, lalu Ojan pun pulang. Suasana kembali hening.
Sepi. Yah, sudah biasa. Nyaman juga.
Tapi terkadang, ada rasa kosong dan hampa yang menyelinap di dada.
Aku berbaring di kasur, menarik napas dalam-dalam.
"Alma, ya... pantes aja kaget." Aku menggumam pelan, lalu mengambil buku diari dan membacanya sambil berbaring.
---
kembali ke buku
Ting!
Sebuah notifikasi masuk.
Seva: "Kang, kita jadi jenguk Sahal gak?"
Aku segera membalas.
"Ya, gua OTW. Kumpul di Bang Roy jam 10 pagi."
Aku bangun dari kasur, bersiap untuk mandi.
"Kang!" panggil Bunda dari dapur.
"Kenapa, Bun?" tanyaku.
"Tumben pagi-pagi udah bangun. Minggu lagi. Mau ke mana?" tanya Bunda penasaran.
"Mau kumpul sama anak-anak, jenguk Sahal."
"Sahal kenapa?"
"Masuk UGD, kecelakaan."
Bunda terdiam sejenak. "Innalillahi... Salam buat Sahal, ya."
"Iya, Bun."
Aku pun bersiap dan bergegas pergi.
Di jalan, aku melaju kencang dengan motor custom-ku. Yah,karna aku memang terlambat.
Sesampainya di tempat kumpul, cukup banyak orang yang sudah hadir. Aku memarkirkan motor dan berjalan menghampiri mereka.
"Eeeh, lama!" ledek mereka.
Aku hanya menghela napas. "Hmm, biasa macet," alasan klise yang kupakai.
"Udah kumpul semua?" tanyaku.
"Sudah! Gas, kita berangkat!"
Aku menatap mereka serius. "Ingat, jangan ribut. Yang masuk ke sana nanti kita bagi biar gak ricuh, ya."
"Siap!" jawab mereka serempak.
"Gas!"
Kami pun berangkat ke RS Al Ihsan, Baleendah.
Di rumah sakit, aku bertemu dengan orang tua Sahal.
"Assalamualaikum." Aku menyapa dengan sopan.
"Ehh, Alvin..." bu Sahal langsung memelukku erat.
Aku bertanya pelan, "Gimana Sahal, Bu?"
Suaranya bergetar. "Dia koma, Nak... dokter bilang ada benturan di kepala, pendarahan hebat..."
Aku menahan pilu di dada.
Bapaknya Sahal menghampiri, menepuk pundakku. "Vin, kalian harus jaga satu sama lain. Jangan sampai ada yang kejadian seperti Sahal."
Aku menelan ludah. "Om, gimana kejadiannya?"
Bapaknya Sahal menarik napas panjang sebelum menjelaskan.
"Malam itu, Sahal mau jemput kakaknya di Gatsu. Tiba-tiba dia dihadang delapan motor. Mereka mabok. Sahal coba kabur, tapi gak bisa. Mereka banyak. Akhirnya motornya ditendang. Sahal jatuh, kepalanya kena trotoar... habis itu, dia dikeroyok habis-habisan. Sampai akhirnya dibacok di punggung."
Aku terdiam, mendengar penjelasan itu seperti mendengar kabar buruk yang tak ingin kupercayai.
"Untung ada warga yang melihat, jadi dia langsung dibawa ke rumah sakit," lanjut bapaknya. "17 jahitan di punggung, 6 di kepala, tangan patah..."
Aku mengepalkan tangan. Rasa bersalah menyelimuti hatiku.
"Om... Alvin minta maaf. Gara-gara jaket kami, Sahal jadi korban..." suaraku nyaris bergetar.
Bapaknya Sahal menggeleng. "Bukan salah kamu, Nak."
Aku menunduk. Tapi tetap saja, aku merasa bersalah.
Aku melangkah keluar rumah sakit, berdiri di lorong dengan kepala penuh pikiran.
Tanpa sadar, aku menghantam tembok dengan kepalan tangan.
"Brak!"
Aku menggeram pelan. Luka di tanganku tak seberapa dibandingkan luka yang kurasakan di hati ini.
Sahal koma...
Dan aku tak bisa melakukan apa-apa.