Ada yang Berubah
Sudah dua minggu sejak Regi mengancamku, dan aku mulai menjaga jarak dari Alma. Aku tahu dia mulai menyadarinya.
Siang itu, saat jam istirahat, aku sedang tidur di meja dengan tangan menyilang di atas kepala. Dari sela-sela lengan, aku melihat Alma mendekat dan berdiri di samping meja.
"Kamu kenapa?" tanyanya pelan.
Aku bergumam, "Hmm."
Alma mengerutkan kening. "Apa-apaan sih hmm? Aku tanya kamu kenapa?"
Aku mengangkat kepala dan menatapnya dengan mata setengah terbuka. "Kenapa apa?" tanyaku datar.
Alma menatapku serius. "Kamu beda. Udah dua minggu lebih, kamu kayak ngejauh dari aku."
Aku menarik napas, lalu menjawab santai, "Perasaan kamu aja itu mah."
Alma tidak percaya begitu saja. Dia menoleh ke temannya, Karin, yang sedang berdiri di dekatnya.
"Rin, Alvin beda kan? Kayak ngejauh."
Karin mengangguk. "Iya, ih. Kasihan Alma."
Aku hanya diam sebentar sebelum akhirnya berkata, "Iya deh, maaf. Aku juga gak apa-apa ini."
Alma cemberut, lalu kembali ke tempat duduknya. Aku menarik napas panjang dan mencoba tidur lagi, meskipun rasa bersalah mulai menyelinap.
Diantar Pulang
Sepulang sekolah, aku bersiap untuk pulang sendirian, tapi tiba-tiba Alma muncul lagi di depanku.
"Hai! Antar aku pulang, yuk!" katanya dengan senyum khasnya.
Aku menatapnya sebentar. "Kenapa?"
"Kan ada tugas (KerKom) juga. Sekalian aja!" ujarnya santai.
Aku menarik napas, lalu akhirnya mengangguk. "Iya."
Bagaimanapun, aku sulit menolak saat dia memasang wajah memelas seperti itu.
Di perjalanan, suasana awalnya hening. Tidak ada yang berbicara. Aku berjalan di sampingnya tanpa suara, hingga akhirnya dia tiba-tiba menarik lenganku ke tempat jajanan.
"Aku mau jajan!" katanya ceria.
Aku hanya menarik napas, membiarkan dia memilih makanannya. Setelah itu, suasana berubah. Alma mulai cerita banyak hal, dari kejadian di sekolah, tentang gurunya yang lucu, sampai hal-hal kecil yang membuatnya tertawa. Aku hanya mendengarkan sambil sesekali mengangguk atau memberi tanggapan singkat.
Begitu sampai di rumahnya, dia mengajakku ke kamarnya.
"Duduk aja di situ. Aku mau ganti baju," katanya santai sambil mengambil baju dari lemari.
Aku terkejut. "Hah? Ganti baju? Gila! Aku di sini tau! Aku keluar aja, nanti kalau udah bilang."
Dia tertawa kecil. "Gak papa kali, aku di belakang pintu ini."
Aku mengerutkan dahi. "Aaaah, matamu." Aku segera keluar kamar.
Setelah beberapa menit, Alma berseru, "Udah!"
Aku kembali masuk, lalu duduk di tempat semula.
Alma melipat tangan, menatapku sambil mendecak kesal. "Kenapa sih jawaban kamu selalu 'hmm' atau 'oke' doang?"
Aku tertawa kecil. "Bebas."
Dia hanya mendengus kesal, lalu mengambil buku . Kami mulai belajar, tapi seperti yang kuduga, Alma tidak fokus.
"Aduh, pusing," keluhnya sambil menopang kepalanya.
Aku menghela napas. "Kalau gak bisa fokus, aku pulang aja, ya."
Dia mengerutkan dahi. "Ih, baper. Lagian aku gabut, pusing juga. Susah ini!"
Aku hanya menjawab, "Hmm," sambil melihatnya.
Alma balik menatapku. Mata kami saling bertemu. Tapi detik berikutnya, dia malah mencoret bajuku dengan pulpen.
"Woi!" protesku.
Dia tertawa jahil. Aku langsung membalas dengan mencoret bajunya juga. Kami saling bercanda, tertawa bersama, dan untuk sesaat, semuanya terasa seperti dulu lagi.
Namun, tiba-tiba, Alma berubah serius.
"Aku mau ngomong," katanya pelan.
Aku mengernyit. "Ngomong aja. Aneh banget."
Dia mendengus. "Ih, sebel! Serius, tahu!"
Aku hanya menjawab, "Hmm."
Dia menarik napas panjang. "Regi ngedeketin aku."
Aku terdiam. Aku sudah tahu. Sejak awal, aku sudah tahu. Tapi mendengar dia mengatakannya sendiri… rasanya tetap menyesakkan.
Aku hanya menahan sakit itu dan menjawab singkat, "Hmm."
Alma mengerutkan dahi. "Hmm lagi? Kamu denger gak sih? Aku bilang Regi ngedeketin aku!"
Aku akhirnya meledak. "Ish, apa sih! Dari tadi Regi-Regi terus! Kalau suka, ya bilang aja! Kenapa bawa-bawa aku?!"
Dia terkejut melihat reaksiku.
"Kamu kenapa sih?" tanyanya dengan tatapan penuh tanya
Aku terdiam.
"Baru kali ini aku cerita tentang Regi, dan kamu langsung gini. Kamu berubah karena dia, kan?"
Aku tidak menjawab.
Alma semakin yakin. "Kamu ngejauhin aku karena dia, kan?"
Aku menelan ludah. Ketahuan.
"Kamu gak bisa bohongin aku, Alvin. Aku tahu ada sesuatu," katanya dengan nada lebih lembut.
Aku tetap memalingkan wajah, enggan menatapnya.
Alma berdiri, lalu menarik tanganku agar kami saling berhadapan. Tatapan matanya tegas, penuh tuntutan.
"Jujur, plis."
Aku menarik napas panjang, lalu berkata pelan, "Cukup. Aku gapapa."
Setelah itu, aku berbalik dan pergi.
Aku meninggalkan rumahnya tanpa berpamitan, tanpa menoleh ke belakang.
Saat berjalan pulang, aku merasa rasa bersalah menggerogoti hatiku. Tapi aku tahu… aku tidak bisa melakukan apa pun.
Aku hanya bisa… menjauh.
PERPISAHAN YANG TAK TERHINDARKAN
Beberapa bulan kemudian, aku mendengar kabar itu.
Saat jam istirahat, Alma datang menghampiriku di tempat biasa aku duduk.
Dia tersenyum, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam senyumnya.
"Aku jadian," katanya pelan.
Aku menatapnya beberapa detik, berusaha menelan kenyataan itu.
Sebenarnya, aku sudah tahu ini akan terjadi. Aku sudah mempersiapkan diri.
Tapi kenapa tetap sakit?
Aku menghela napas.
"Hmm."
Alma mengerutkan kening. "Kok cuma 'hmm'?"
Aku tersenyum kecil, meskipun terasa pahit.
"Yaudah, selamat. Semoga langgeng."
Lalu, tanpa menunggu jawabannya, aku berdiri dan pergi.
Aku membayar makananku, lalu sekalian membayar minuman yang dipesannya.
Setelah itu, aku tidak lagi banyak berbicara dengannya. Aku pura-pura tidak tahu saat dia mencuri pandang ke arahku. Aku berpura-pura baik-baik saja.
Hingga akhirnya, kami lulus SD.
Aku masuk SMP.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku benar-benar merasa kehilangan sesuatu yang berharga.