Chereads / Jeda waktu / Chapter 5 - BAB 3: RELAWAN YANG DIPILIH TAKDIR

Chapter 5 - BAB 3: RELAWAN YANG DIPILIH TAKDIR

Saat kami naik ke kelas 5, Bu Heni kembali menjadi wali kelas kami.

Suatu hari, saat pelajaran akan dimulai, Bu Heni berdiri di depan kelas dan tersenyum sambil melipat tangan di depan dadanya.

"Anak-anak, saya butuh dua relawan untuk proyek kelas kita."

Kelas langsung riuh. Semua bertanya-tanya proyek apa yang dimaksud.

"Tapi ada syaratnya," lanjut Bu Heni. "Saya ingin satu anak yang periang dan cerewet, serta satu anak yang pendiam."

Tanpa ragu, hampir seluruh kelas serempak menjawab, "ALMA!"

Aku melihat Alma yang duduk beberapa baris di depan. Dia terkejut, lalu tertawa kecil. "Hah? Aku?"

Bu Heni mengangguk sambil tersenyum. "Ya, kamu aja."

Kemudian, beliau kembali bertanya, "Sekarang, siapa anak yang paling pendiam di kelas ini?"

Beberapa anak langsung menoleh ke arahku.

Tak lama kemudian, beberapa suara terdengar, "ALVIN!"

Aku terdiam.

Alma menoleh ke belakang, menatapku dengan ekspresi kaget sekaligus geli. Aku hanya menunduk, malas menerima kenyataan bahwa aku baru saja dipilih tanpa persetujuanku.

"Baik, berarti Alma dan Alvin yang saya pilih," kata Bu Heni dengan senyum puas.

Aku menghela napas dalam hati.

Alma masih menatapku sambil menahan tawa. Lalu, saat aku menatapnya balik, dia tersenyum lebar. "Kayaknya bakal seru, nih."

Aku hanya bisa menghela nafas.

 PERASAAN YANG TUMBUH

Sejak hari itu, aku dan Alma kembali sering bersama. Kami banyak berbicara, bekerja sama, bahkan bercanda satu sama lain.

Namun, sesuatu mulai terasa berbeda.

Aku mulai menyadari sesuatu yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya.

Setiap kali Alma tersenyum, ada sesuatu di dadaku yang terasa aneh.

Setiap kali dia berbicara denganku, aku ingin waktu berhenti.

Aku mulai bertanya-tanya... apakah ini yang disebut suka?

Namun, aku tidak punya keberanian untuk mengakuinya.

Undangan Tak Terduga

Suatu siang, saat jam istirahat hampir berakhir, Alma tiba-tiba menarik lenganku dengan semangat.

"Alvin, nanti pulang sekolah ikut aku ke rumah, ya!" katanya dengan mata berbinar.

Aku menatapnya, sedikit bingung. "Kenapa?"

"Gak ada alasan khusus. Aku cuma mau ngajak aja," jawabnya sambil tersenyum.

Aku terdiam sejenak. Biasanya, aku tidak terlalu suka pergi ke rumah orang lain. Aku lebih nyaman pulang langsung ke rumah, tapi melihat ekspresi Alma yang penuh harap, aku merasa sulit untuk menolak.

"Oke," jawabku akhirnya.

Begitu bel pulang berbunyi, aku mengikuti Alma menuju rumahnya. Sepanjang jalan, dia terus bercerita tentang berbagai hal—tentang guru baru, teman-teman kelas, dan hal-hal kecil yang terjadi di rumahnya. Aku hanya mendengarkan sambil sesekali menanggapi.

Rumahnya tidak terlalu jauh dari sekolah. Saat kami sampai, aku terkesima melihat halaman rumahnya yang luas dan rapi. Banyak tanaman hijau di sekelilingnya, memberikan kesan nyama 

 Begitu kami masuk, Alma langsung mengajakku ke ruang tamu.

"Duduk dulu ya, aku ambilin minum," katanya sambil berjalan ke dapur.

Aku mengamati ruangan itu. Ada banyak foto keluarga di dinding, dan suasana rumahnya terasa hangat. Tidak lama kemudian, Alma kembali dengan dua gelas teh dingin.

"Nih, minum dulu. Gak nyangka kan aku bisa nyuguhin sesuatu?" candanya.

Aku tersenyum kecil. "Lumayanlah."

Kami menghabiskan waktu dengan mengobrol, menonton TV, dan sesekali bercanda. Saat itu, aku merasa tenang. Aku merasa diterima.

Namun, kebahagiaan kecil itu tidak berlangsung lama.

---

Ancaman di Sudut Sekolah

Beberapa hari setelah kunjunganku ke rumah Alma, aku merasa ada yang mengawasi. Dan ternyata, aku tidak salah.

Suatu siang sepulang sekolah, saat aku berjalan di lorong belakang kelas, Regi—anak nakal dari geng sekolah—tiba-tiba menarik kerah bajuku dan menyeretku ke sudut gedung yang sepi.

Aku meronta sedikit, berusaha melepaskan diri, tapi cengkeramannya kuat.

"Jangan banyak gerak," katanya dengan nada dingin.

Aku menatapnya tajam, berusaha tetap tegar meskipun hatiku berdebar kencang.

Regi merangkul leherku dengan gaya seolah-olah kami berteman, padahal aku tahu maksudnya jauh dari itu. Dia menunduk sedikit, mendekatkan wajahnya ke telingaku.

"Jangan terlalu dekat-dekat sama Alma," katanya dengan suara rendah, namun penuh ancaman.

Aku tetap diam, tidak ingin menunjukkan ketakutan.

"Dengar gak?" katanya lebih keras, mengguncang bahuku sedikit.

Aku menelan ludah dan menjawab, "Hmm."

Regi menyipitkan mata. "Hmm? Maksudnya apa?!"

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menatap lurus ke matanya. "serah."

Regi menggeram, mencengkeram kerah bajuku lebih erat. Aku bisa merasakan ketegangan di udara, tapi aku tidak ingin menunjukkan bahwa aku takut.

"Triiiiiiing... "bel berbunyi menandakan waktu istirahat telah selesai.

Setelah beberapa detik yang terasa lama, dia akhirnya melepas cengkeramannya dengan kasar dan mendorongku sedikit ke belakang.

"Ingat baik-baik, Vin. Jangan macam-macam."

Setelah mengatakan itu, dia berbalik dan pergi, meninggalkanku berdiri di sana dengan napas sedikit tertahan.

Aku menggertakkan gigi, merasa marah, tapi aku tahu bahwa aku tidak bisa melawannya secara langsung.

Dan saat itu, aku menyadari sesuatu.

Aku tidak hanya ingin menjadi temannya Alma.

Aku ingin melindunginya.

Tapi… apakah aku bisa? tanya ku dalam hati.