Arya berjalan bersama Naya, matanya memandangi setiap sudut jalan yang dikenalnya dengan baik. Meskipun kini semuanya tampak lebih sederhana dan bahkan lebih suram, ada sesuatu yang sangat familiar. Lingkungan ini adalah tempat di mana ia dan keluarganya pernah tinggal—sebuah kawasan kumuh di pinggiran kota, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan modern yang ia kenal di masa depan.
Tidak jauh dari situ, sebuah rumah kecil yang rapuh berdiri dengan dinding-dinding yang mulai lapuk dimakan waktu. Atapnya bocor, dan pintu depan yang hampir patah tampak tak pernah benar-benar tertutup rapat. Itu adalah rumah tempat ia dan adiknya, Naya, tumbuh besar. Rumah itu tak lebih dari sebuah gubuk kecil yang penuh dengan kenangan pahit—kenangan tentang perjuangan ibunya yang bekerja keras untuk memberi mereka makan, dan tentang kekurangan yang mereka alami setiap hari.
Di masa lalu, Arya sering melihat ibunya bekerja dari pagi hingga malam, tak mengenal lelah. Ibunya, seorang wanita yang kuat, selalu memastikan anak-anaknya tidak pernah merasa lapar meskipun mereka hanya memiliki sedikit. Namun, meskipun segala daya dan upaya ibunya, hidup mereka selalu dihadapkan pada keterbatasan. Arya ingat betul bagaimana ibunya sering terlihat lelah, wajahnya yang tampak lebih tua dari usianya karena beban yang dipikulnya.
Makanan yang mereka makan sering kali hanya nasi dengan sedikit sayur atau tempe, kadang-kadang mereka hanya memiliki bubur. Arya tahu betul betapa sulitnya mengisi perut dengan makanan yang hampir tidak ada gizi, tetapi ibunya selalu berusaha membuatnya terlihat seperti sebuah hidangan istimewa. Itulah yang membuat Arya merasa sakit setiap kali mengingat betapa ia tak mampu memberikan kebahagiaan yang layak untuk ibunya.
Di tengah perjuangan hidup mereka, Arya merasa terjebak dalam perasaan tak berdaya. Ia ingin membantu, ingin memberikan yang terbaik untuk ibunya, tapi bagaimana bisa? Semua usaha yang dia coba lakukan tak pernah cukup. Tidak ada peluang yang datang untuknya. Mimpinya untuk keluar dari kemiskinan seakan selalu terhalang oleh kenyataan yang keras.
Pernah suatu malam, Arya terbangun karena mendengar suara tangisan ibunya yang terisak pelan. Ia melihat ibunya duduk di tepi tempat tidur, tangan memeluk tubuhnya yang kurus, wajahnya pucat dan penuh kecemasan. "Apa yang akan kita makan besok, Arya?" Ibunya bertanya, suara yang penuh dengan keputusasaan yang tak bisa disembunyikan. Arya hanya bisa terdiam, tak mampu memberi jawaban, karena ia tahu, besok mereka mungkin hanya akan makan nasi putih yang sudah mulai keras, dan sedikit air untuk menemani. Itu adalah satu-satunya hal yang bisa mereka andalkan.
Namun, meskipun dalam kesulitan yang begitu berat, ibunya tetap berusaha memberi mereka senyuman. Ia tak pernah mengeluh, tak pernah menyerah, meskipun hidup mereka dipenuhi dengan penderitaan. Ibunya terus berjuang demi anak-anaknya, berharap suatu hari mereka bisa keluar dari kesulitan ini. Tetapi, meskipun Arya berusaha sekuat tenaga, ia merasa bahwa harapan itu semakin jauh dari jangkauannya.
Arya menatap rumah kecil itu, merasakan kesedihan yang begitu dalam. Ia merasa ada beban berat di dadanya, sebuah penyesalan yang tak bisa dia ubah. Ibunya, adiknya—mereka semua pernah mengandalkan dia. Namun pada akhirnya, ia gagal. Ia gagal memberikan kebahagiaan untuk mereka, dan mereka pergi terlalu cepat. Arya tahu, ini adalah kesempatan kedua baginya untuk memperbaiki semuanya. Namun perasaan itu tetap menyakitkan, seolah dia takkan pernah cukup membayar semua pengorbanan yang telah diberikan oleh ibunya.
Di kejauhan, Arya melihat sosok ibunya yang tampak lelah duduk di depan rumah, menatap matahari yang mulai terbenam. Wajahnya masih penuh dengan kerutan, meskipun ia selalu berusaha untuk tersenyum. Arya ingin berlari kepadanya, memeluknya, memberitahunya bahwa ia sudah berhasil—bahwa semuanya akan berubah. Namun, ia harus berhati-hati. Tak ada yang bisa tahu siapa dia sekarang, tidak ada yang bisa mengenali dirinya.
Arya hanya bisa berdiri diam, menatap sosok ibu yang telah lama dirindukannya, dengan mata yang mulai terasa hangat. Ini adalah kesempatan yang datang sekali seumur hidup, namun juga penuh dengan rasa sakit yang begitu mendalam. Ia harus melangkah dengan hati-hati, memastikan bahwa ia bisa mengubah masa depan keluarga ini tanpa menghancurkan kenyataan yang ada.