Matahari baru saja muncul di ufuk timur ketika Arya dan Budi berjalan menyusuri jalanan tanah yang masih basah oleh embun pagi, membawa keranjang besar berisi 200 bungkus keripik pisang yang mereka siapkan dengan susah payah selama seminggu terakhir. Tangan mereka terasa pegal, punggung nyeri karena bekerja tanpa henti, tetapi di hati mereka ada semangat yang menyala. Ini adalah titik balik bagi mereka, bagi usaha yang masih kecil tetapi penuh harapan.
Saat tiba di toko Pak Herman, Arya menarik napas dalam-dalam sebelum masuk. Pak Herman sudah menunggu di belakang meja kayu, menatap mereka dengan ekspresi yang sulit ditebak. Tanpa berkata-kata, ia mengambil satu bungkus keripik, membukanya, dan mencicipi. Arya menahan napas, memperhatikan setiap gerakan pria itu dengan jantung berdegup kencang. Jika kali ini mereka gagal, tidak ada jaminan bahwa Pak Herman akan memberi mereka kesempatan lagi.
Pak Herman mengunyah perlahan, lalu mengangguk. "Bagus. Rasa dan kualitasnya masih sama. Aku ambil semuanya."
Seketika, Arya merasakan beban besar terangkat dari pundaknya. Kakinya terasa lebih ringan, dan ia hampir tidak bisa menyembunyikan senyum lega yang muncul di wajahnya. Ia segera menyerahkan catatan transaksi, dan dalam hitungan menit, ia menerima pembayaran penuh untuk pesanan itu. Untuk pertama kalinya, ia melihat tumpukan uang hasil kerja kerasnya—bukan uang kecil yang biasanya ia kumpulkan lembar demi lembar, tetapi jumlah yang cukup untuk benar-benar mengubah sesuatu.
Namun, ia tidak ingin berhenti di sini. Setelah menenangkan diri, ia mengajukan pertanyaan yang sudah lama ia pikirkan. "Pak Herman, apakah Anda tertarik untuk memesan dalam jumlah lebih banyak di bulan depan?"
Pak Herman mengangkat alisnya, tertarik dengan keberanian Arya. "Berapa banyak yang bisa kau sediakan?"
Arya berpikir cepat. Dengan tambahan pekerja dan sistem produksi yang lebih baik, ia yakin bisa meningkatkan jumlahnya hingga dua kali lipat. "Saya bisa menyediakan 500 bungkus."
Pak Herman menyipitkan mata, menimbang tawaran itu. "Baiklah, aku pesan 500 bungkus. Tapi ingat, aku butuh barangnya tepat waktu, dan kualitasnya harus tetap sama."
Saat keluar dari toko itu, Arya merasa seperti baru saja menaklukkan dunia. Tetapi ia tahu bahwa ini bukan akhir—ini adalah awal dari tantangan yang lebih besar.
Di rumah, ia duduk bersama ibunya di ruang tamu yang sederhana tetapi hangat. Wanita itu menatapnya dengan penuh kebanggaan dan kelelahan. "Nak, kau sudah bekerja sangat keras. Aku bangga padamu."
Arya tersenyum, tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa masih banyak yang harus dilakukan. Ia ingin membeli peralatan yang lebih baik, merekrut lebih banyak pekerja, dan bahkan mungkin mencari tempat produksi yang lebih besar. Ia tidak hanya ingin mengubah hidup keluarganya, tetapi juga memberi kesempatan kepada orang-orang di sekitarnya untuk keluar dari kemiskinan.
Di malam yang sunyi, Arya kembali memikirkan rencananya. Ia tidak hanya ingin berdagang, tetapi juga ingin membangun bisnis yang sesungguhnya—bisnis yang bisa bertahan lama dan berkembang. Ia tahu bahwa di masa depan, industri makanan ringan akan terus berkembang, dan ia ingin menjadi bagian dari itu sejak awal.
Namun, ada satu hal yang terus menghantuinya. Waktu. Ia tidak tahu berapa lama ia akan berada di masa lalu ini. Apakah ia akan tetap di sini selamanya? Ataukah suatu saat ia akan kembali ke masa depan yang kosong dan dingin?
Tetapi untuk saat ini, ia hanya bisa fokus pada satu hal: membangun sesuatu yang berarti, sesuatu yang bisa ia tinggalkan sebagai warisan. Ia menatap langit malam, bintang-bintang bersinar terang di atas sana, seolah memberikan restu atas perjalanan yang baru saja ia mulai.