Setiap pagi, Arya terbangun sebelum ayam berkokok, tubuhnya masih terasa lelah dari pekerjaan sehari sebelumnya, tetapi pikirannya terus berputar mencari cara agar usahanya berkembang lebih cepat. Sejak keberhasilannya memasok keripik pisang ke toko Pak Herman, permintaan semakin meningkat. Namun, ia masih menghadapi keterbatasan. Peralatan produksi masih sederhana, bahan baku harus dibeli setiap hari, dan tenaga kerja hanya dirinya serta ibunya. Ia ingin lebih, tetapi tanpa modal tambahan, segalanya terasa sulit.
Di dapur kecil rumahnya, sang ibu sudah lebih dulu bangun, menggoreng irisan pisang di dalam wajan yang mulai menghitam karena sering digunakan. Tetesan minyak yang panas melompat, mengenai tangan sang ibu, tetapi ia hanya meringis tanpa mengeluh. Arya melihat itu dan hatinya mencubit perasaan bersalah. Ia tahu ibunya sudah lelah, tetapi tidak ada pilihan lain. Jika mereka ingin bertahan, mereka harus terus bekerja. Namun, apakah ini hidup yang ia inginkan untuk ibunya? Ia kembali mengingat masa depan yang pernah ia tinggalkan—kemewahan, teknologi, kehidupan tanpa kesulitan finansial. Tetapi di balik semua itu, ia hidup dalam kesepian yang mendalam. Sekarang, ia memiliki keluarganya kembali, tetapi ia tidak ingin melihat mereka menderita.
Hari itu, Arya membawa keripik pisang ke toko Pak Herman seperti biasa. Tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Pak Herman tampak lebih serius, ekspresi wajahnya tidak seperti biasanya yang ramah. Setelah mencatat jumlah barang yang dikirim Arya, ia menatap pemuda itu dengan pandangan penuh pertimbangan. "Arya, barangmu bagus, dan pelanggan menyukainya. Tapi jujur saja, aku butuh lebih banyak stok. Kalau kau tidak bisa menambah produksi, aku mungkin harus mencari pemasok lain."
Kata-kata itu menusuk hati Arya. Ia tidak bisa kehilangan pelanggan sebesar Pak Herman. Ia tahu bahwa jika ia tidak bisa memenuhi permintaan, usahanya akan stagnan, atau lebih buruk lagi, digantikan oleh orang lain. Tetapi bagaimana ia bisa meningkatkan produksi tanpa modal tambahan?
Dalam perjalanan pulang, Arya memikirkan berbagai cara untuk mendapatkan uang lebih banyak. Ia tidak ingin berhutang kepada rentenir, dan mencari pinjaman ke bank bukanlah pilihan karena ia tidak memiliki jaminan. Namun, tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalanya.
Di masa depan, ia pernah membaca tentang strategi bisnis di mana pengusaha kecil bisa mendapatkan modal tanpa meminjam, yaitu dengan sistem pre-order. Ia bisa meminta uang muka dari pelanggan yang memesan dalam jumlah besar, lalu menggunakan uang itu untuk membeli bahan baku dalam jumlah lebih besar. Dengan cara ini, ia bisa meningkatkan produksi tanpa harus mengeluarkan uang dari kantong sendiri.
Malam itu, Arya duduk di teras rumahnya, memikirkan bagaimana ia bisa menawarkan sistem ini kepada Pak Herman. Ia tahu bahwa meyakinkan seseorang untuk membayar lebih dulu bukanlah hal yang mudah, tetapi ia juga tahu bahwa Pak Herman adalah orang yang rasional. Jika ia bisa menunjukkan bahwa sistem ini akan menguntungkan kedua belah pihak, mungkin ia bisa mendapatkan kesepakatan.
Keesokan harinya, Arya kembali menemui Pak Herman dengan sebuah proposal sederhana. Ia menjelaskan bahwa jika Pak Herman mau membayar setengah dari total pesanan di muka, maka Arya bisa membeli bahan dalam jumlah besar, yang akan membuat harga produksi lebih murah dan stabil. Dengan begitu, Arya bisa menjual lebih banyak dengan harga lebih rendah, dan Pak Herman tetap bisa mendapat keuntungan.
Pak Herman mengernyitkan dahi, berpikir sejenak. "Kalau aku bayar di muka, bagaimana aku bisa yakin kau akan benar-benar menyediakan barang?"
Arya mengerti kekhawatiran itu. Ia lalu mengeluarkan sebuah buku kecil yang mencatat semua transaksi yang pernah ia lakukan dengan Pak Herman, menunjukkan bahwa ia selalu mengirim barang tepat waktu. "Pak, saya tidak akan mempertaruhkan kepercayaan ini. Jika saya gagal, saya akan mengembalikan uang Bapak."
Pak Herman terdiam sejenak, lalu akhirnya mengangguk. "Baiklah, aku akan mencoba. Aku pesan 200 bungkus minggu depan, dan aku bayar setengahnya sekarang."
Hati Arya melonjak kegirangan. Ini adalah langkah besar pertama dalam memperluas bisnisnya. Dengan uang muka itu, ia bisa membeli lebih banyak bahan baku, mempercepat produksi, dan mulai berpikir untuk merekrut pekerja tambahan.
Kembali ke rumah, Arya segera memberi tahu ibunya. Sang ibu tampak terkejut, tetapi juga sedikit cemas. "Nak, itu tanggung jawab besar. Jika kita tidak bisa memenuhi pesanan, kita bisa mengecewakan orang."
Arya tersenyum, menggenggam tangan ibunya yang mulai kasar karena terlalu sering bekerja. "Bu, aku percaya kita bisa. Ini adalah kesempatan kita untuk keluar dari kemiskinan."
Beberapa hari berikutnya, Arya dan ibunya bekerja lebih keras dari sebelumnya. Dengan uang muka yang mereka terima, mereka membeli pisang dalam jumlah besar langsung dari petani, bukan dari pasar, sehingga harganya lebih murah. Mereka juga membeli wajan baru yang lebih besar, agar bisa menggoreng lebih banyak sekaligus. Namun, bahkan dengan semua perbaikan itu, mereka masih menghadapi kendala: tenaga kerja.
Ibunya sudah terlalu lelah, dan Arya tidak bisa mengerjakan semuanya sendiri. Ia butuh bantuan, tetapi membayar pekerja tetap masih terlalu mahal.
Di saat kebingungan itu, ia teringat kepada Budi, anak jalanan yang pernah ia pekerjakan untuk membantu mengantarkan barang. Ia tahu bahwa Budi mungkin bersedia membantu, dan ini bisa menjadi peluang bagi anak itu untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih tetap.
Arya mencari Budi di tempat biasa ia mengamen, dan menemukan bocah itu sedang duduk di pinggir jalan, meniup harmonika kecil dengan wajah muram.
"Budi, kau masih ingin bekerja?"
Budi menatap Arya dengan mata berbinar. "Benarkah, Kak? Aku boleh bekerja lagi?"
"Kali ini lebih dari sekadar mengantar barang. Aku butuh seseorang yang bisa membantuku memproduksi makanan. Aku akan membayarmu lebih baik dari sebelumnya."
Tanpa berpikir dua kali, Budi mengangguk dengan penuh semangat.
Dengan tambahan tenaga kerja, produksi menjadi lebih cepat. Malam-malam mereka habiskan di dapur, mengiris