Awik menatap cermin kecil di kamarnya. Kemeja putih yang ia pakai terlihat agak kebesaran, tapi ia merasa itu bukan masalah besar. "Lumayan rapi", gumamnya sambil menyisir rambut dengan jari.
Pagi itu, ia bersiap untuk pekerjaan pertamanya sebagai kurir makanan di sebuah warung makan terkenal di kotanya, Warung Makan Barokah. Bukan karena dia lolos seleksi ketat, tapi karena rekomendasi temannya, Edo.
"Nggak usah takut, Wik. Bos di sini tuh santai. Kalau lu niat kerja, pasti bisa", kata Edo sehari sebelumnya.
Awik, yang baru saja lulus SMA, merasa sedikit gugup. Setelah menolak tawaran orang tuanya untuk membantu di toko keluarga, ia ingin membuktikan kalau dia bisa berdiri di atas kaki sendiri. Meski tidak memiliki keahlian khusus, ia percaya diri.
"Pokoknya semangat aja. Kalau ada masalah, ya improvisasi", pikirnya.
Hari Pertama: Semangat Semangat pagi
Awik tiba di Warung Makan Barokah dengan motor tuanya yang sudah sering mogok.
Edo sudah menunggu di dalam."Wik, sini dulu! Nih, Gua kenalin sama Pak Hendro, bos kita," panggil Edo sambil melambai.
Pak Hendro, seorang pria tambun berusia sekitar 40-an dengan wajah ramah, menyambut Awik dengan senyum lebar.
"Awik, ya? Edo udah cerita banyak tentang kamu. Katanya kamu rajin dan mau belajar?", Ujar pak Hendro sembari menepuk bahu Awik.
Awik mengangguk cepat. "Iya, Pak. Saya siap kerja keras."
Pak Hendro tertawa kecil. "Bagus. Yang penting kamu teliti sama alamat. Jangan sampai ada yang salah antar ya. Kalau customer sampai komplain, bakal repot."
"Siap, Pak!" jawab Awik mantap.
Edo menyerahkan tas delivery besar kepada Awik. "Nih, tugas pertama lu. Kirim makanan ini ke Pak Adi di Jalan Melati. Deket kok, cuma lima menit naik motor."
Awik menerima tas itu dengan percaya diri. "Oke siap, gua langsung jalan."
Pertama dan Kesalahan
Awik mengikuti peta di ponselnya sambil melaju dengan motor tua. Jalan Melati ternyata tidak sejauh yang ia bayangkan, tapi ada satu masalah: Jalan Melati punya dua gang dengan nomor rumah yang sama.
"Ini benerkan gangnya?" gumamnya sambil melihat ponsel dan tas delivery. Tanpa berpikir panjang, ia masuk ke gang itu dan mengetuk pintu rumah yang sesuai dengan alamat.
"Permisi Pak Adi, Saya nganter pesenan", katanya sambil memegang pesanan makanan Pak Adi.
Seorang pria tua muncul dari dalam rumah. "Hah, Pak Adi?, siapa pak Adi?, Ini siapa yang pesen ?".
Awik menggaruk kepala. "Oh, maaf, Pak. Kayaknya saya salah alamat."
Pria itu menutup pintu sambil mengomel pelan. Awik buru-buru keluar dari gang dan menuju gang di sebrang nya, tempat yang seharusnya ia datangi sejak awal. Setelah beberapa menit, ia akhirnya menemukan Pak Adi yang benar.
"Maaf, Pak. Tadi sempat salah gang,"
katanya sambil menyerahkan makanan.
Pak Adi hanya tersenyum tipis. "Ya sudah, Mas. Lain kali lebih teliti ya.
Susulan Kedua
Pesanan berikutnya adalah untuk seorang pelanggan bernama Bu Ratna. Alamatnya di kompleks perumahan mewah. Awik, yang belum pernah ke daerah itu, merasa sedikit canggung.
"Wik, hati-hati kalau antar ke situ. Orangnya suka bawel," kata Edo sembari memberikan pesanan.
Awik mengangguk santai. "Santai aja, Do. Gua profesional."
Sesampainya di kompleks, ia mencari rumah Bu Ratna. Setelah beberapa kali salah belok, ia akhirnya tiba.
Ia mengetuk pintu dengan senyum lebar."Selamat siang, Bu. Saya nganter pesenan."
Namun saat membuka tas, ia tersadar ada yang salah. Makanan di dalam tas ternyata bukan pesanan Bu Ratna. "Aduh, salah bawa," gumamnya pelan, tapi cukup keras untuk didengar Bu Ratna.
"Apa? Salah? Mas, saya ini udah nunggu setengah jam ya!" seru Bu Ratna dengan nada tinggi.
"Eh, maaf, Bu. Saya tuker dulu ya. Nanti saya balik lagi", ujar Awik dengan panik
Bu Ratna menghela napas panjang sambil melotot. "Cepet, ya!!! awas aja kalo lama!!.
Awik langsung menghubungi Edo untuk minta bantuan. "Do, gua salah bawa makanan Bu Ratna, ketuker kayaknya?"
Edo tertawa kecil di ujung telepon. "Wi, lu kacau, deh. Buruan kesini, tuker paketnya."
Dengan perasaan malu, Awik kembali ke warung untuk menukar paket. Saat ia kembali ke rumah Bu Ratna, wanita itu langsung menyambutnya dengan ekspresi kesal.
"Mas, lain kali lebih hati-hati, ya. Saya nggak mau kejadian begini lagi," katanya sambil mengambil pesanannya.
"Iya, Bu. Maaf banget," jawab Awik sambil menunduk.
Beratnya Malam
Hari itu, Awik merasa hari pertama kerjanya penuh dengan kegagalan. Saat kembali ke warung, Pak Hendro memandangnya dengan senyum tipis.
"Gimana, Awik? Lancar nggak?" tanya Pak Hendro.
Awik hanya bisa tersenyum kaku. "Ya... ada sedikit masalah sih Pak."
Pak Hendro mengangguk. "Namanya juga baru belajar. Besok lebih hati-hati, ya.
Jangan bikin customer kecewa lagi."
Malamnya, di rumah, Awik merenung sambil tiduran di kasurnya. Ia mulai merasa ragu pada dirinya sendiri. "Gua beneran bisa sukses nggak, ya? Kalau jadi kurir aja begini..."
Tapi suara gaduh di ruang tamu membuyarkan pikirannya. Agus, salah satu kakaknya, masuk ke kamar sambil membawa piring berisi gorengan.
"Wik, gimana kerjaan hari ini?" tanya Agus sambil mengunyah bakwan.
"Ah, jangan tanya, Gus. Pokoknya kacau," jawab Awik sambil menutupi wajah dengan bantal.
Agus tertawa. "Lu tuh harus belajar fokus. Kalau lu gagal fokus terus, bisa-bisa lu balik ke toko keluarga, lho!"
"Ogah!" sahut Awik cepat.
Agus hanya tertawa lagi. "Ya udah, yang penting jangan nyerah aja."
Awik diam, tapi dalam hatinya ia tahu, besok adalah kesempatan baru untuk membuktikan diri.