Pagi pagi sekali, Awik sudah bersiap di toko. Setelah kejadian kemarin, ia bertekad untuk lebih baik hari ini. Ia sudah membawa buku catatan dan mencatat hal-hal penting yang perlu diperhatikan saat bekerja.
Ibunya menyambut Awik dengan senyuman. "Hari ini jangan lupa, Wik, teliti ya. Kalau ada masalah, panggil Mama."
"Iya, Ma. Tenang aja. Awik udah siap seratus persen," jawab Awik penuh semangat.
Tidak lama setelah toko buka, Edo datang untuk nongkrong di depan toko, seperti biasa. Dengan sebungkus roti di tangan, ia menyapa Awik.
"Wik, hari ini gua taruhan ,lu bakal bikin kesalahan di sekitaran jam makan siang," ledek Edo sambil memakan roti.
Awik mendelik. "Lu tuh hobi banget nyumpahin gua ya. Tapi sorry seribu sorry, kali ini gua nggak bakal bikin kesalahan, Do."
"Kita liat aja nanti," balas Edo sambil tertawa kecil.
Tantangan pagi
Tidak lama setelah perbincangan mereka, toko mulai ramai. Awik mulai sibuk melayani pelanggan yang berdatangan. Sambil tetap tersenyum, ia menghitung uang kembalian dengan lebih hati-hati.
"Mas, ini uang kembalinya," ujar Awik sambil menyerahkan uang kembalian kepada seorang pelanggan.
Pelanggan itu memeriksa uang kembalian dengan seksama.
"Ok Makasih ya, Mas", ujar pelanggan itu sembari menyimpan uangnya.
Awik menghela napas lega. "Yes, nggak salah lagi," gumamnya pelan.
Namun, tantangan sebenarnya muncul ketika seorang pelanggan membawa banyak barang dan meminta diskon.
"Mas, kalau saya beli banyak gini, nggak ada diskon nya nih?" tanya pelanggan itu dengan nada setengah memaksa.
Awik terdiam sesaat. Ia tidak tahu apakah ia berhak memberikan diskon atau tidak. Ia mencoba menjelaskan, "Maaf, Bu. Untuk diskon, biasanya hanya ada saat promo tertentu."
"Ah, masa sih? Saya kan langganan di sini," jawab pelanggan itu dengan nada tidak puas.
Awik semakin bingung harus bagaimana. Edo yang sejak tadi mengamati dari luar toko akhirnya masuk.
"Bu, kalau langganan mah dapet diskon nya senyum aja, ya. Tapi barangnya tetap dibayar penuh ya heheheh," canda Edo sambil tersenyum lebar.
Ibu itu tertawa kecil, meski jelas masih agak kecewa. Akhirnya, ia tetap membayar tanpa banyak protes lagi.
Setelah ibu itu pergi, Awik langsung memarahi Edo. "Do, lu tuh nggak bantu sama sekali. Malah bikin suasana makin nggak enak."
"Eh, setidaknya gue bikin dia ketawa, kan?" Edo nyengir.
Ide dari Nita
Sore harinya, Nita datang ke toko lagi. Kali ini ia membawa beberapa makanan ringan dan minuman.
"Wik, lu nggak kelaparan kerja mulu?" tanya Nita sambil meletakkan barang-barangnya di meja kasir.
Awik mengangguk kecil. "Kelaparan sih enggak, cuman suka stres aja. Apalagi kalo harus ngadepin pelanggan yang ribet, bingung gua harus gimana."
Nita tertawa kecil. "Yah, itu sih seni kerja di toko. Gua dulu juga pernah kerja di minimarket, dan itu lumayan chaos."
"Terus gimana lo ngadepin pelanggan yang ribet?" tanya Awik penasaran.
"Simple, Wik. Lo harus belajar ngerayu mereka. Kalau mereka mulai marah, lo senyumin aja sambil bilang maaf. Biasanya itu lumayan ngefek."
Awik mengangguk, mencatat saran Nita di kepalanya. Ia merasa saran itu mungkin bisa membantu di kemudian hari.
Malam Renungan
Setelah toko tutup, Awik duduk di ruang tamu bersama ayahnya. Kali ini ia ingin mendengar pendapat dari sisi lain.
"Pak, menurut Bapak, Gimana kalo Awik ga betah ditoko?" tanya Awik tiba-tiba.
Ayahnya terdiam sejenak. "Betah atau enggaknya ya itu gimana kamu, Wik. Tapi yang penting, kamu tetep nyaman dan ga kepaksa waktu kerja,Wik. Kalau kamu merasa ini bukan jalanmu, nggak apa-apa juga. Kamu bisa coba cari kerja atau usaha lain."
Kata-kata itu membuat Awik merenung. Ia tahu bahwa bekerja di toko keluarganya adalah kesempatan bagus, tapi ia masih merasa ada sesuatu yang kurang. Ia ingin menemukan jalannya sendiri, meski ia belum tahu apa itu.
"Awik bakal pikir-pikir lagi, Pak. Tapi sementara ini, Awik bakal coba yang terbaik," jawab Awik.
Ayahnya tersenyum. "Itu baru anak Bapak".
Sesaat sebelum tidur Awik kembali mencatat di buku catatan nya:
Ayo diriku semangat, kamu pasti bisa. Semua orang mendukung mu. Ayo temukan kebahagiaan mu.