Pagi itu, Awik sudah bangun sebelum alarm berbunyi. Ia mengenakan pakaian kerjanya dan keluar menuju toko. Semangatnya sedikit lebih tinggi dibandingkan hari sebelumnya. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya mampu menjalani pekerjaan ini dengan lebih baik.
Di toko, ibunya sedang mengatur susunan barang di rak. "Wik, kamu bantu Mama di sini dulu, ya. Rak yang itu perlu ditata ulang. Jangan lupa cek tanggal kedaluwarsa juga."
Awik mengangguk. "Oke, Ma." Ia mulai menyusun ulang barang barang di rak dengan hati-hati, mencoba memastikan semuanya terlihat rapi.
Saat sedang sibuk, Edo muncul di depan toko, mengenakan jaket hitam dan celana jeans lusuh. "Woi, Wik!" panggilnya sambil melambaikan tangan.
Awik menoleh, setengah kaget. "Eh, Edo? Ngapain pagi-pagi ke sini?"
Edo masuk ke toko tanpa ragu. "Cuma mau mampir. Gua lagi ngantar barang ke dekat sini. lu gimana, Wik? Toko aman?"
"Ya, gitu deh," jawab Awik sambil tersenyum tipis. "Masih belajar. Kemarin aja Gua masih salah kasih kembalian."
Edo tertawa keras. "Hahaha! Klasik bet Wik. Jangan-jangan lu kasih Rp100 ribu ke yang belanja permen?"
Awik mendengus kesal. "Nggak separah itu, lah! Tapi iya, hampir segitu juga ,hehehe."
Obrolan mereka terhenti ketika seorang pelanggan datang. Awik segera ke meja kasir, meninggalkan Edo yang asyik mengunyah permen dari rak dekat pintu.
Momen Kesabaran
Pelanggan yang datang adalah seorang bapak-bapak paruh baya dengan wajah serius. Ia membeli beberapa barang, termasuk beras dan minyak goreng. Saat Awik mulai menghitung totalnya, ia mencoba terlihat lebih percaya diri.
"Totalnya Rp123.500, Pak," kata Awik sambil tersenyum ramah.
Namun, bapak itu mengernyit. "Masa iya segitu? Tadi saya hitung nggak sampai seratus ribu."
Awik langsung panik. "Eh, sebentar ya, Pak. Saya cek ulang." Ia menghitung lagi, kali ini lebih hati-hati.
Ternyata memang ada kesalahan. Totalnya seharusnya Rp98.500. Dengan malu-malu, Awik meminta maaf. "Maaf, Pak. Saya salah hitung tadi."
Bapak itu hanya menggeleng pelan. "Nggak apa-apa. Namanya juga belajar."
Setelah bapak itu pergi, Edo yang sejak tadi mengamati langsung menghampiri. "Wik, serius deh, lu harus belajar pakai kalkulator. Atau lu perlu pelatih pribadi?"
Awik mendengus. "Ah lu juga nggak bantu, cuma ngetawain doang!"
"Ya gimana Gua bantu? Gua kan juga sama kek lu ," balas Edo sambil tertawa.
Pelajaran dari Ayah
Saat toko sepi di siang hari, Awik duduk di belakang sambil memainkan kalkulatornya. Ayahnya masuk membawa segelas teh.
"Capek, Wik?" tanyanya sambil duduk di samping anaknya.
"Capek sih nggak, Pak. Cuma, kok Awik masih sering salah ya?", jawab awik dengan lesuh.
Ayahnya tersenyum dan menyerahkan teh itu kepada Awik. "Namanya juga baru belajar. Bapak dulu juga gitu. Pas pertama buka toko, sering salah hitung, salah catat. Tapi kalau kamu mau belajar, lama-lama pasti bisa."
Awik mengangguk pelan. "Tapi kadang Awik ngerasa kayak nggak cocok kerja di toko. Awik nggak ada bakat dagang, Pak."
"Yang penting itu niat, Wik. Bakat bisa dilatih, tapi kalau niatnya nggak ada, sehebat apapun kamu, nggak akan berhasil."
Ucapan ayahnya itu membuat Awik berpikir. Ia menyadari bahwa selama ini ia sering menyerah sebelum mencoba sepenuh hati.
Pertemuan Tanpa prediksi
Menjelang sore, toko mulai ramai. Salah satu pelanggan yang datang adalah seorang perempuan muda dengan rambut panjang yang tergerai rapi. Awik mengenalinya sebagai Nita, teman dari masa kecil yang jarang ia temui sejak lulus SMA.
"Nita? lu ngapain di sini?" tanya Awik, setengah tidak percaya.
Nita tersenyum. "Hai, Wik. Gua lagi mampir beli kopi buat di rumah. Eh, lu sekarang nerusin toko orang tu lu?"
"Engga, cuman lagi bantu-bantu orang tua aja. lu sendiri gimana?"
"Gua masih kerja di kantor yang dulu, jadi admin. lu keliatan beda banget sekarang, Wik," jawabnya sambil tertawa kecil.
"Hah? beda gimana?" jawab awik dengan penasaran.
"Lebih... Kalem, lebih rapih, yah begitu deh." jawab Nita dengan tersenyum.
"Halah, perasaan lu aja itu, gua mah udah dari dulu si ganteng kalem", jawab Awik sembari tertawa.
Percakapan mereka berakhir singkat karena antrian mulai panjang. Namun, kehadiran Nita meninggalkan kesan tersendiri bagi Awik.
Hari Malam di Merenung
Setelah toko tutup, Awik kembali duduk di ruang tamu bersama kedua orang tuanya. Mereka menghitung hasil penjualan hari itu, dan meskipun tidak sempurna, Awik merasa ada kemajuan.
"Ma, Pak, Awik ada satu pertanyaan," kata Awik tiba-tiba.
"Apa, Nak?" jawab ibunya.
"Kalau Awik nggak betah di toko ini, kalian bakal kecewa nggak?", ujar Awik penasaran.
Ibunya tersenyum lembut. "Kita nggak pernah kecewa sama anak kita. Yang penting kamu bahagia jalanin apa yang kamu mau. Kalau kamu nggak cocok di sini, cari jalan lain. Yang penting kamu menikmati proses dan engga menyerah."
Kata-kata itu membuat hati Awik terasa lebih ringan. Ia tahu perjalanan hidupnya masih panjang, tetapi dukungan keluarganya adalah kekuatan yang ia butuhkan untuk terus mencoba.
Sebelum tidur Awik menulis beberapa kata di bukunya:
Hari ini gua bertemu banyak orang yang sebelumnya engga pernah gua sadari, hanya karena gua terlalu fokus memikirkan ke gagalan.