Chereads / Bayangan Para Penyintas / Chapter 2 - Part 1 Bayangan di Ambang Kiamat

Chapter 2 - Part 1 Bayangan di Ambang Kiamat

Rey menatap layar monitor di depannya. Musik latar game samurai favoritnya, Way of the Blade, mengalun lembut di telinganya. Dia memegang mouse dengan tangan kanan dan jari-jarinya yang cekatan bergerak lincah di atas tombol keyboard, mengendalikan karakter samurai yang ia namai Kaizen. Dalam game ini, dia dikenal sebagai salah satu pemain terbaik, mampu mengalahkan lawan dengan strategi yang brilian dan serangan yang mematikan.

Di layar, Kaizen melompat ke udara, pedangnya berkilauan saat menyapu musuh terakhir. Tubuh lawan jatuh ke tanah, dan layar menampilkan tulisan besar: "Victory!"

"Lagi-lagi sempurna," gumam Rey sambil meregangkan tubuh. Di balik kacamata tipisnya, matanya bersinar dengan rasa bangga. Baginya, game ini bukan sekadar hiburan, melainkan pelarian dari dunia nyata yang kadang terlalu membosankan.

Suara langkah kaki terdengar dari luar kamar. Rey memutar kursinya, melihat pintu kamarnya terbuka perlahan. Ibunya berdiri di ambang pintu dengan senyum lelah di wajahnya.

"Rey, kamu belum makan sejak siang. Ayo turun," kata ibunya.

"Sebentar lagi, Bu. Aku mau coba satu level lagi," jawab Rey sambil menunjuk layar.

Ibunya menghela napas pelan. "Jangan terlalu lama, ya. Mata kamu bisa rusak kalau terus-terusan begadang seperti ini."

"Tenang saja, Bu. Aku tahu batasnya," balas Rey, meski ia sendiri tidak yakin kapan terakhir kali ia benar-benar istirahat dari bermain game.

Setelah ibunya pergi, Rey kembali fokus ke layar. Namun, ia merasa ada sesuatu yang aneh. Terdengar suara gemuruh dari kejauhan, samar tapi cukup jelas untuk membuatnya berhenti sejenak. Ia melepas headset dan menajamkan pendengarannya.

"Apa itu?" gumamnya.

Rey berjalan ke jendela kamar dan menarik tirai. Malam sudah gelap, tetapi ia melihat sesuatu yang tidak biasa: lampu-lampu jalanan berkedip-kedip, dan suara sirine polisi terdengar dari kejauhan. Itu bukan pemandangan biasa di lingkungan tempat tinggalnya yang biasanya tenang.

"Bencana apa lagi ini?"

Ketika ia mencoba mengabaikannya dan kembali ke game, suara berita dari televisi ruang keluarga menarik perhatiannya. Dengan rasa penasaran, ia turun ke bawah dan melihat ayahnya duduk di sofa, menatap layar televisi dengan wajah tegang.

"...sebuah wabah yang belum diketahui asal-usulnya telah menyebar dengan cepat di seluruh kota. Para ahli memperingatkan masyarakat untuk tetap berada di dalam rumah dan menghindari kontak dengan siapa pun yang menunjukkan gejala aneh…"

Rey berdiri membeku di ambang pintu ruang keluarga. "Wabah? Apa yang terjadi, Ayah?"

Ayahnya menoleh ke arah Rey, matanya menunjukkan kelelahan bercampur kecemasan. "Aku tidak tahu pasti. Tapi ini lebih buruk dari yang bisa kubayangkan. Semua orang panik."

Di layar televisi, cuplikan video dari kerumunan orang yang berlarian muncul. Sebagian tampak seperti manusia biasa, tapi sebagian lainnya… berbeda. Mata mereka merah menyala, tubuh mereka bergerak dengan gerakan yang tidak wajar, dan mereka menyerang siapa saja yang mendekat.

"Zombie?" bisik Rey, hampir tidak percaya pada apa yang dilihatnya.

"Aku tidak tahu apa namanya," jawab ayahnya. "Tapi kita harus bersiap-siap. Kalau situasi makin buruk, kita mungkin harus pergi dari sini."

Belum sempat Rey meresapi kata-kata ayahnya, terdengar ketukan keras di pintu depan. Bukan ketukan biasa, melainkan seperti seseorang yang sedang mencoba mendobrak masuk.

"Siapa itu?!" tanya ibunya yang muncul dari dapur, wajahnya penuh kekhawatiran.

Ayah Rey bangkit perlahan, mengambil tongkat kayu yang biasa ia gunakan untuk menjaga rumah. Rey merasa jantungnya berdegup kencang. Ia mengikuti ayahnya menuju pintu, tapi suara ketukan itu semakin keras dan agresif.

"Jangan buka pintunya!" seru Rey dengan nada panik.

Namun, sebelum mereka bisa memutuskan apa yang harus dilakukan, jendela ruang tamu pecah dengan suara keras. Sebuah tubuh melompat masuk, matanya merah menyala dan mulutnya mengeluarkan suara geraman mengerikan. Itu bukan manusia lagi.

"Ayah, hati-hati!" Rey berteriak, tetapi makhluk itu sudah menyerang ayahnya dengan kecepatan yang mustahil.

Ayahnya mencoba melawan dengan tongkat kayu, tetapi serangannya tidak cukup kuat. Makhluk itu menjatuhkan ayahnya ke lantai. Jeritan ibunya memenuhi udara, tetapi Rey tidak berpikir dua kali. Ia meraih pedang kayu yang tergeletak di dekat tangga—pedang yang biasanya ia gunakan untuk latihan ringan.

Dengan teriakan penuh adrenalin, Rey menghantamkan pedang kayu itu ke kepala makhluk tersebut. Pukulan pertama membuatnya terguncang, tetapi tidak cukup untuk menghentikannya. Rey mengayunkan pedang itu lagi, kali ini dengan seluruh tenaganya. Kepala makhluk itu akhirnya terkulai, dan tubuhnya jatuh ke lantai tanpa gerakan.

"Rey! Cepat ke sini!" teriak ibunya dari dapur.

Rey menoleh dan melihat ibunya memegang pisau dapur, wajahnya pucat. "Kita harus keluar dari sini!"

"Ayah?!" Rey berlari ke arah ayahnya yang terbaring tak bergerak. Ia mengguncang tubuh ayahnya, tetapi yang ia temukan hanyalah tatapan kosong. Luka gigitan di lehernya terlihat jelas.

"Rey, kita tidak bisa tinggal di sini. Ayahmu…" Suara ibunya bergetar, matanya penuh air mata.

Rey merasa tubuhnya membeku. Ia ingin menangis, berteriak, atau menghancurkan sesuatu, tetapi waktu tidak berpihak padanya. Dari luar rumah, terdengar suara geraman lainnya, lebih banyak dari sebelumnya.

"Ibu, kita harus pergi sekarang," katanya dengan suara serak. Ia tahu, jika mereka tetap tinggal, mereka akan bernasib sama seperti ayahnya.

Ibunya mengangguk, meski air mata terus mengalir di pipinya. Dengan hati yang hancur, Rey dan ibunya meninggalkan rumah mereka melalui pintu belakang, meninggalkan semua kenangan dan keamanan yang pernah mereka miliki.

Malam itu, hidup Rey berubah selamanya.