Chereads / Bayangan Para Penyintas / Chapter 5 - Part 4 Melangkah ke Dunia yang Baru

Chapter 5 - Part 4 Melangkah ke Dunia yang Baru

Udara pagi terasa tegang saat Rey, Maya, dan ibunya melangkah keluar dari supermarket. Dunia di luar terasa seperti planet lain. Jalan-jalan yang dulu dipenuhi kendaraan kini hanya dipadati rongsokan besi dan sisa-sisa kehidupan yang pernah ada. Asap tipis masih mengepul di beberapa tempat, menciptakan aroma hangus yang menusuk hidung.

Rey menggenggam pedang kayunya lebih erat, melirik ke kanan dan kiri. "Kita harus bergerak cepat. Jangan terlalu lama di tempat terbuka."

Maya memimpin jalan, memegang tongkat logamnya dengan tangan yang kokoh. Gadis itu tampaknya lebih terbiasa dengan situasi ini, seolah-olah bertahan hidup sudah menjadi rutinitasnya. Ibunya, di sisi lain, berjalan di belakang mereka dengan langkah hati-hati, memegangi pisau dapur dengan tangan gemetar.

"Ke mana kita akan pergi?" tanya ibunya dengan suara pelan.

"Keluar dari kota," jawab Maya tanpa ragu. "Semakin jauh kita dari sini, semakin kecil kemungkinan kita bertemu dengan kelompok besar zombie."

Rey mengangguk setuju. Ia juga tahu bahwa kota ini tidak lagi aman. Tapi perjalanan keluar dari kota adalah tantangan besar. Jalanan penuh dengan zombie, dan mereka tidak tahu apa yang akan mereka temui di luar.

---

Setelah beberapa blok, mereka berhenti di sebuah tikungan untuk bersembunyi di balik sebuah mobil yang terbalik. Di depan mereka, sekelompok zombie berkumpul, terlihat sibuk dengan sesuatu.

Maya melirik Rey. "Kita harus menghindari mereka. Kalau kita menarik perhatian mereka, kita selesai."

Rey mengangguk, lalu memberi isyarat kepada ibunya untuk tetap tenang. Mereka merayap perlahan di sepanjang dinding bangunan, mencoba tidak membuat suara sedikit pun. Namun, di saat mereka hampir melewati kelompok itu, suara sesuatu yang pecah dari belakang mereka membuat semua zombie menoleh.

Salah satu zombie menggeram keras, lalu mulai berjalan cepat ke arah mereka. Yang lainnya segera mengikuti, bergerak dengan langkah terseret tetapi pasti.

"Lari!" teriak Rey.

Mereka bertiga berlari sekuat tenaga, melewati jalan-jalan yang penuh dengan rongsokan dan puing-puing. Maya memimpin, mencari jalan keluar terbaik, sementara Rey tetap di belakang untuk memastikan ibunya tidak tertinggal.

Namun, ibunya mulai kelelahan. Nafasnya berat, dan langkahnya melambat. Ketika salah satu zombie hampir meraih bahunya, Rey berbalik dan memukul makhluk itu dengan pedang kayunya.

"Cepat, Bu! Kita harus terus bergerak!" teriak Rey.

Mereka akhirnya menemukan sebuah gedung kosong dengan pintu baja yang masih utuh. Maya membuka pintu itu dan mereka bertiga segera masuk, menutupnya rapat-rapat di belakang mereka.

Rey dan Maya mendorong lemari besi untuk menghalangi pintu. Suara dentuman langkah zombie terdengar dari luar, tetapi mereka tidak bisa masuk. Untuk sementara, mereka aman.

---

Di dalam gedung itu, mereka menemukan ruang yang cukup besar dengan beberapa meja dan kursi yang sudah berdebu. Sepertinya gedung ini dulu adalah kantor kecil. Rey membantu ibunya duduk di salah satu kursi, sementara Maya memeriksa ruangan untuk memastikan tidak ada ancaman di dalam.

"Bu, Ibu baik-baik saja?" tanya Rey sambil memegang tangan ibunya.

Ibunya mengangguk lemah. "Aku hanya… terlalu lelah. Maafkan aku, Rey."

"Tidak perlu minta maaf. Kita selamat, itu yang penting."

Maya kembali dengan membawa sebuah botol air yang ia temukan di salah satu meja. Ia menyerahkannya kepada ibunya Rey. "Minumlah. Kita butuh energi untuk perjalanan selanjutnya."

"Terima kasih, Maya," kata ibunya dengan suara lirih sebelum meminum air itu sedikit demi sedikit.

Rey duduk di lantai, mencoba mengatur napasnya. Matanya tertuju pada Maya, yang tampak sibuk menyusun rencana berikutnya.

"Kau terlihat terbiasa dengan semua ini," kata Rey akhirnya.

Maya mengangkat bahu. "Aku sudah sendirian sejak hari pertama. Aku tidak punya pilihan selain belajar bertahan hidup."

"Sendirian? Apa kau tidak punya keluarga?"

Maya diam sejenak, matanya menatap lantai. "Aku punya, tapi mereka… mereka tidak bertahan lama. Aku harus meninggalkan mereka untuk tetap hidup."

Rey merasakan perasaan bersalah menyelimuti dirinya. Dia masih memiliki ibunya, sementara Maya harus menghadapi semua ini sendiri.

"Aku minta maaf," kata Rey pelan.

"Tidak perlu," jawab Maya singkat. "Kita semua kehilangan sesuatu di dunia ini."

---

Beberapa jam kemudian, ketika keadaan di luar mulai tenang, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Mereka keluar dari gedung itu melalui pintu belakang, mencoba menghindari kelompok zombie yang sebelumnya mengejar mereka.

Saat mereka berjalan, Rey memperhatikan Maya lebih dekat. Gadis itu tampaknya memiliki insting yang tajam, selalu memeriksa setiap sudut dan memastikan jalan aman sebelum mereka melangkah. Rey merasa kagum sekaligus penasaran, bagaimana Maya bisa begitu kuat di tengah situasi ini.

Ketika mereka sampai di sebuah taman kecil, mereka berhenti untuk beristirahat sejenak. Taman itu penuh dengan daun kering dan bangku-bangku yang sudah rusak. Di tengah taman, ada sebuah patung besar yang hampir runtuh.

"Kita harus mencari tempat untuk bermalam," kata Maya. "Hari hampir gelap."

Rey melihat sekeliling, mencoba menemukan sesuatu yang bisa digunakan sebagai tempat berlindung. "Bagaimana dengan gedung di sana?" tanyanya, menunjuk ke sebuah rumah tua di ujung taman.

Maya mengangguk. "Itu bisa jadi pilihan. Tapi kita harus hati-hati."

Mereka berjalan menuju rumah itu dengan hati-hati. Pintu depan rumah itu terbuka sedikit, tetapi tidak ada suara yang terdengar dari dalam. Rey masuk lebih dulu, memegang pedang kayunya dengan siap.

Rumah itu tampak kosong, meskipun bau busuk samar terasa di udara. Rey dan Maya memeriksa setiap ruangan, memastikan tidak ada zombie yang bersembunyi. Setelah yakin tempat itu aman, mereka menutup semua jendela dan pintu, lalu mulai menyusun rencana untuk bermalam.

---

Malam itu, mereka berbagi makanan dan mencoba beristirahat. Rey berjaga lebih dulu, sementara Maya dan ibunya tidur di ruang tamu yang berdebu. Di luar, suara geraman zombie terdengar dari kejauhan, tetapi tidak ada tanda-tanda mereka mendekati rumah itu.

Ketika giliran Maya berjaga, Rey terbangun sebentar. Ia melihat Maya duduk di dekat jendela, memegang tongkat logamnya sambil memandang ke luar.

"Kau tidak tidur?" tanya Rey.

"Aku sudah cukup istirahat," jawab Maya tanpa menoleh.

Rey duduk di sebelahnya, memandang keluar jendela. "Kau benar-benar tangguh, ya?"

Maya tersenyum tipis. "Bukan soal tangguh. Aku hanya tidak punya pilihan."

Rey mengangguk. Ia menyadari bahwa dunia ini tidak lagi memberi ruang untuk kelemahan. Jika mereka ingin selamat, mereka harus terus bergerak, terus bertahan, apa pun yang terjadi.

---

Fajar menyingsing, membawa awal yang baru. Rey, Maya, dan ibunya bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Mereka tahu, tantangan yang lebih besar menunggu di depan.

Namun, di tengah ketakutan dan kegelapan, mereka mulai menemukan sesuatu yang berharga: kepercayaan dan harapan.