Chereads / Bayangan Para Penyintas / Chapter 3 - Part 2 Hilangnya Keamanan

Chapter 3 - Part 2 Hilangnya Keamanan

Rey dan ibunya berjalan cepat di lorong sempit di belakang rumah mereka. Udara malam terasa dingin, tetapi bukan itu yang membuat tubuh mereka menggigil. Suara geraman dan langkah-langkah kaki yang menyeret terdengar semakin dekat dari segala arah.

"Ibu, tenang. Ikuti aku," ujar Rey, mencoba menenangkan ibunya yang terus memegangi pisau dapur dengan tangan gemetar.

Mereka melewati tumpukan sampah dan pagar yang sudah berkarat. Cahaya rembulan samar-samar menyinari jalan setapak, cukup untuk menunjukkan jalan, tetapi juga terlalu redup untuk memberikan rasa aman. Rey terus mengawasi sekeliling, mengingat semua yang dia pelajari dari game survival yang sering dia mainkan.

"Tetap di tempat gelap. Jangan buat suara."

Namun, ibunya mulai kehilangan kendali. Napasnya terdengar berat, dan langkah kakinya terseret. Rey menghentikan langkahnya dan memegang bahu ibunya.

"Ibu, kita harus diam. Kalau kita terlalu banyak bergerak atau membuat suara, mereka akan menemukan kita," bisiknya, berusaha menenangkan ibunya.

"Tapi, Rey... ayahmu..." Suara ibunya pecah, dan tangisnya mulai terdengar.

Rey ingin menangis juga, tetapi dia tahu ini bukan waktunya. Dia menggenggam tangan ibunya erat-erat dan berkata dengan tegas, "Kita akan selamat, Bu. Kita harus pergi ke tempat aman dulu. Tolong, percayalah padaku."

Ibunya mengangguk, meskipun air mata terus mengalir. Rey menarik napas panjang dan memimpin mereka menuju jalan utama.

---

Ketika mereka sampai di ujung lorong, Rey mengintip ke jalan. Pemandangan di depannya membuatnya ingin mundur. Jalanan yang biasanya dipenuhi kendaraan kini kosong, kecuali beberapa mobil yang terbalik dan sebuah bus yang terbakar di kejauhan. Di antara reruntuhan, puluhan zombie berkeliaran, beberapa menyeret tubuh mereka dengan lambat, sementara yang lain bergerak dengan kecepatan yang mengerikan.

Mereka harus melewati jalan ini untuk mencapai supermarket kecil di ujung blok. Rey tahu supermarket itu mungkin sudah dijarah, tetapi dia juga tahu bahwa itu satu-satunya tempat yang mungkin memiliki persediaan makanan dan air.

"Kita harus bergerak cepat," kata Rey, lebih kepada dirinya sendiri daripada ibunya.

Mereka mulai berjalan perlahan di sepanjang dinding, mencoba tetap berada di bayang-bayang. Rey menggenggam pedang kayunya erat-erat, siap menyerang jika diperlukan. Tapi setiap langkah terasa seperti ledakan kecil di telinganya.

Tiba-tiba, suara kaca pecah menggema di udara. Rey membeku. Dari sudut jalan, dua zombie yang sebelumnya tidak menyadari kehadiran mereka kini menoleh ke arah mereka.

"Bu, lari!" Rey berteriak.

Mereka mulai berlari sejauh yang mereka bisa. Rey menggenggam tangan ibunya erat-erat, tetapi ia bisa merasakan kelemahan di langkah kaki ibunya. Zombie-zombie itu mengejar mereka, gerakan mereka tidak teratur tetapi cukup cepat untuk mendekat.

Ketika mereka sampai di dekat supermarket, salah satu zombie hampir meraih punggung ibunya. Tanpa berpikir, Rey berbalik dan mengayunkan pedang kayunya sekuat tenaga. Pukulan itu mengenai kepala zombie tersebut, membuatnya terhuyung ke belakang.

"Masuk ke dalam!" Rey berteriak, menunjuk pintu supermarket yang sebagian terbuka.

Mereka berhasil masuk, dan Rey segera mendorong sebuah rak untuk menghalangi pintu. Dia terengah-engah, tubuhnya gemetar karena adrenalin. Ibunya duduk di lantai, menatap Rey dengan mata penuh rasa takut dan kebingungan.

"Bu, apa Ibu baik-baik saja?" Rey bertanya, mencoba mengatur napas.

Ibunya mengangguk perlahan, meskipun jelas terlihat ia masih terguncang. "Kita... kita tidak bisa terus seperti ini, Rey."

Rey ingin menjawab, tetapi sebuah suara dari sudut ruangan membuatnya terdiam. Bukan suara zombie, tetapi suara manusia.

"Siapa di sana?"

Rey mengangkat pedangnya, bersiap menghadapi ancaman baru. Dari balik rak-rak yang gelap, seorang gadis muncul. Rambutnya berantakan, wajahnya kotor, tetapi matanya menunjukkan keberanian yang jarang terlihat. Ia memegang sesuatu yang menyerupai tongkat logam, siap mengayunkannya.

"Jangan mendekat!" seru gadis itu.

"Kami tidak ingin menyakitimu," kata Rey cepat-cepat. "Kami hanya mencari tempat untuk berlindung."

Gadis itu memandang Rey dan ibunya dengan penuh kecurigaan, tetapi kemudian ia menurunkan tongkatnya sedikit. "Kalian tidak terinfeksi, kan?"

"Tidak," jawab Rey tegas. "Kami hanya mencoba bertahan hidup."

Gadis itu menghela napas dan menurunkan senjatanya sepenuhnya. "Aku Maya," katanya. "Aku sudah di sini sejak pagi. Tidak banyak yang tersisa, tapi setidaknya tempat ini cukup aman untuk sementara."

Rey menatap Maya dengan rasa terima kasih yang tulus. "Aku Rey. Ini ibuku."

Maya mengangguk, tetapi matanya menunjukkan bahwa dia sudah lelah dengan semua ini. "Kalau kalian mau tinggal di sini, kita harus berbagi tugas. Tidak ada yang bisa bertahan hidup sendirian sekarang."

Rey tersenyum tipis. "Itu sudah jelas."

---

Malam itu, mereka bertiga berbagi persediaan makanan yang ada: sekotak biskuit yang sudah hampir kadaluarsa dan beberapa botol air mineral. Rey memutuskan untuk berjaga sementara ibunya dan Maya beristirahat.

Di luar, suara geraman zombie terus terdengar, membuat Rey merasa seperti ada bayangan yang terus mengintai, siap menyerang kapan saja. Namun, untuk pertama kalinya sejak malam itu dimulai, dia merasa ada harapan kecil. Dia tidak lagi sendirian dalam menghadapi kegelapan ini.

Tetapi Rey tahu, ini baru permulaan.