Ketika fajar menyingsing, sinar matahari pertama menerobos melalui jendela supermarket yang tertutup debu. Cahaya itu seolah mengejek situasi yang ada, membawa kehangatan ke dunia yang kini dingin dan penuh kengerian. Rey menggosok matanya yang lelah setelah semalaman berjaga. Suara geraman zombie di luar perlahan mereda, tetapi ia tahu, keheningan ini bukan berarti mereka aman.
Maya terbangun lebih dulu. Gadis itu meregangkan tubuhnya sambil mengusap leher yang kaku. Tatapan mereka bertemu, dan Rey bisa melihat bayangan kelelahan di wajah Maya.
"Kau berjaga sepanjang malam?" tanya Maya pelan.
Rey mengangguk sambil memegang pedang kayunya. "Aku tidak bisa tidur. Terlalu banyak suara di luar."
Maya duduk di sebelahnya, membawa tongkat logam yang ia gunakan sebagai senjata. "Kau harus istirahat. Kalau kau terus begini, kau akan kehabisan tenaga sebelum kita benar-benar butuh bertarung."
Rey menatap Maya, ingin membantah, tetapi dia tahu Maya benar. "Baiklah. Kau yang berjaga sekarang."
Sementara Rey mencoba tidur, Maya mengambil posisi di dekat jendela, memandang keluar dengan hati-hati. Supermarket itu memang aman untuk sementara, tetapi Maya tahu betul bahwa perlindungan ini tidak akan bertahan lama.
---
Beberapa jam kemudian, Rey terbangun karena suara pelan dari ibunya. Ia mendekati ibunya yang sedang duduk di pojok, menatap sebuah foto keluarga yang telah lama ia simpan di dompet.
"Ayahmu…" Suara ibunya bergetar. "Dia selalu bilang kita harus tetap bersama, apa pun yang terjadi."
Rey duduk di samping ibunya, menahan emosi yang mendesak untuk keluar. "Aku akan menjaga Ibu. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh Ibu."
Ibunya memandang Rey, mencoba tersenyum meskipun air mata terus mengalir. "Kau anak yang kuat, Rey. Ayahmu pasti bangga padamu."
Sebelum Rey sempat menjawab, suara langkah kaki di luar memecah momen itu. Maya yang sedang berjaga langsung memberi isyarat agar mereka semua diam. Rey segera mengambil pedang kayunya, sementara Maya memegang tongkat logamnya dengan erat.
Dari balik jendela, mereka melihat bayangan beberapa zombie yang berjalan dengan langkah terseret. Mereka tidak bergerak menuju supermarket, tetapi hanya melintas. Rey merasa napasnya tertahan, menunggu makhluk-makhluk itu menjauh.
Namun, satu suara kecil—mungkin botol plastik yang jatuh dari rak—menarik perhatian salah satu zombie. Makhluk itu berhenti, kepalanya menoleh ke arah supermarket. Mata merahnya menatap tajam ke dalam ruangan, seperti mencoba mencari sumber suara.
Rey merasakan tubuhnya tegang. Jika zombie itu membuat suara, kelompok lain akan segera datang. Dia melirik Maya, yang mengangguk tipis, menunjukkan bahwa mereka harus bersiap bertarung.
Zombie itu mulai mendekati pintu, mendorong rak yang menghalangi jalan. Rey tahu mereka tidak bisa membiarkannya masuk. Dengan isyarat tangan, dia meminta Maya untuk menjaga ibunya sementara dia sendiri mendekati pintu.
Rey menarik napas dalam-dalam, kemudian dengan satu gerakan cepat, dia membuka celah kecil di pintu dan menghantam kepala zombie itu dengan pedangnya. Pukulan itu cukup kuat untuk membuat makhluk itu terjatuh ke lantai. Sebelum zombie itu sempat bangkit, Rey menyerang lagi, memastikan makhluk itu tidak akan bergerak lagi.
Dia menutup pintu kembali dan mengatur ulang penghalangnya. Ketika ia kembali ke dalam, ibunya memeluknya erat.
"Jangan lakukan itu lagi, Rey. Kau bisa terluka," kata ibunya dengan suara gemetar.
"Kalau aku tidak melakukannya, mereka akan masuk," jawab Rey sambil mencoba tersenyum, meskipun tangannya masih gemetar karena adrenalin.
---
Setelah keadaan kembali tenang, mereka bertiga berkumpul untuk merencanakan langkah selanjutnya. Persediaan di supermarket semakin menipis, dan mereka tidak bisa tinggal di sana lebih lama lagi.
"Kita harus keluar dari kota ini," kata Maya. "Semakin lama kita tinggal, semakin besar risiko kita dikepung. Kota ini sudah mati."
"Tapi kita tidak tahu apa yang ada di luar," balas Rey. "Bagaimana kalau di luar lebih buruk daripada di sini?"
"Tidak ada tempat yang benar-benar aman sekarang," kata Maya tegas. "Tapi setidaknya di luar, kita punya peluang untuk menemukan tempat yang lebih baik. Di sini, kita hanya menunggu mati."
Rey menghela napas. Dia tahu Maya benar, tetapi meninggalkan tempat ini berarti menghadapi ketidakpastian yang mengerikan.
"Aku setuju," kata ibunya pelan. "Kita harus mencoba keluar. Kalau tidak, kita tidak akan punya kesempatan."
Rey akhirnya mengangguk. "Baiklah. Kita harus mempersiapkan diri dulu. Ambil apa pun yang bisa kita gunakan sebagai senjata atau perlengkapan."
Mereka mulai mencari di setiap sudut supermarket, mengumpulkan barang-barang yang bisa berguna. Rey menemukan beberapa kaleng makanan yang belum kadaluarsa, sementara Maya menemukan ransel kecil untuk membawa persediaan. Mereka juga menemukan sebotol alkohol, beberapa perban, dan pisau dapur tambahan.
Setelah semuanya siap, mereka berdiri di depan pintu supermarket, memandang dunia luar yang suram dan penuh bahaya.
"Kalau kita ingin selamat, kita harus bekerja sama," kata Rey, mencoba menyemangati mereka.
Maya mengangguk sambil menggenggam tongkat logamnya. "Aku sudah siap."
Ibunya, meskipun tampak ragu, memaksakan senyum kecil. "Aku percaya pada kalian."
Dengan hati-hati, mereka membuka pintu dan melangkah keluar ke dunia yang penuh dengan bayangan.