Beberapa menit sebelumnya, Seraphina tersenyum tipis, ia menatap Kai dengan tenang. "Aku akan menunggu di sini, ada yang akan kulakukan sebentar lagi," jawabnya, suaranya terdengar tenang dan penuh keyakinan. "Lagipula Nona Lilia berada di sana bukan?" Ucapnya tenang. Ia melirik jam tangannya, menunjukkan waktu yang hampir menunjukkan pukul 15:00. Seraphina menghela napas pelan. Ia sudah menjadwalkan pertemuan dengan Glaen, Komandan Hunter, untuk melaporkan beberapa hal penting.
"Apa Komandan sedang kedatangan tamu yang sangat penting?" gumamnya, merasakan firasat buruk mulai mencengkeram hatinya.
Ia memutuskan untuk mengintip sedikit, keingintahuannya mengalahkan kesabarannya. Dengan hati-hati, ia menempelkan telinga ke pintu kayu tua itu. Suara-suara dalam ruangan masih samar, namun ia berhasil menangkap potongan-potongan kalimat yang menegangkan. "...Crimson Veil...fallen angel...bahaya besar..." Seraphina tersentak. Ini jauh lebih serius daripada yang ia bayangkan." Seraphina tersentak. Potongan-potongan informasi itu membentuk sebuah gambaran yang mengerikan dalam pikirannya.
Tiba-tiba, bunyi derit pintu kayu tua itu memecah kesunyian, menciptakan suara yang nyaring dan menusuk. Sosok tinggi dan tegap Kaelus muncul di ambang pintu, bayangan jubah hitamnya menelan sebagian cahaya ruangan. Ia menarik tudung jubahnya lebih dalam, mengungkapkan sepasang mata tajam yang menyapu Seraphina sekejap, sebelum ia melangkah melewati Seraphina dengan langkah tenang namun penuh wibawa.
Tanpa ragu, Seraphina mendorong pintu dan masuk ke ruangan Glaen. "Komandan...!" suaranya hampir tak terdengar, diliputi oleh getaran yang tak tertahankan.
"Maaf jika saya menguping pembicaraan anda dengan tamu anda sebelumnya, tapi... apa yang saya dengar sebelumnya itu benar?!" Matanya berkaca-kaca, mencerminkan ketakutan dan keputusasaan yang mendalam.
Glaen menatapnya dengan ekspresi serius, wajahnya tampak pucat. "Seraphina, kenapa kau... Seingatku aku tidak memanggilmu."
Seraphina mengabaikan pertanyaan dari Glaen , tatapannya tajam dan penuh tekad. "Saya sengaja ingin menemui anda," suaranya tegas, "Crimson Veil, apa mereka benar-benar ada disini...?!" Ia menatap Glaen dengan intens, menunggu jawaban yang akan menentukan langkah selanjutnya.
Glaen menghela napas panjang, tangannya mengepal di atas meja. "Tenanglah Seraphina...." Suaranya terdengar lelah, menunjukkan keputusasaannya.
"Tidak bisa Komandan, saya akan menyelidiki tugas ini," Seraphina memotongnya, suaranya bergetar karena emosi, "kalau tidak warga lokal disini akan menjadi korban—". Ia tak mampu menahan kepanikan yang mulai menguasainya.
"Seraphina Laurent!" Glaen menaikkan suaranya, suaranya bergema di ruangan yang tiba-tiba terasa sunyi dan mencekam. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mengendalikan emosinya. "Sudah kubilang tenanglah!" Ia membuka matanya, tatapannya tajam dan menusuk. "Apa kau sebegitu yakinnya aku akan menugaskan ini kepadamu?" Ia menunjuk Seraphina dengan jari yang gemetar, menunjukkan betapa khawatirnya ia terhadap keselamatan Seraphina.
"Tapi saya..." Seraphina mengepalkan tangannya, kukunya menancap ke telapak tangan hingga terasa sakit, namun ia tak merasakannya. Amarah dan kekecewaan membuncah di hatinya. "Komandan, saya sudah menyelesaikan banyak misi dari anda, bahkan misi yang jauh lebih berbahaya dari ini. Misi-misi yang nyaris merenggut nyawa saya. Apa anda masih meragukan kemampuan saya?" Suaranya bergetar, namun ia berusaha untuk tetap tenang. Ia menatap Glaen dengan tatapan yang penuh harap dan sedikit getir.
Glaen menghela nafas panjang, mengusap wajahnya dengan telapak tangan yang gemetar. Ia terlihat lelah, bahkan tampak lebih tua dari usianya. "Aku tidak meragukan kemampuanmu, Seraphina. Kau adalah salah satu hunter terbaik yang pernah kutemui. Kau berani, cerdas, dan loyal. Tapi ini berbeda. Crimson Veil bukan musuh biasa. Terutama karena mereka pernah berhubungan denganmu." Suaranya terdengar berat, dibebani oleh beban tanggung jawab yang besar. Ia menatap Seraphina dengan tatapan yang penuh kekhawatiran.
Seraphina merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Jadi, apa maksud anda? Anda akan membiarkan mereka bebas berkeliaran dan mengancam warga sipil? Anda akan membiarkan mereka terus meneror kota ini?" Suaranya bergetar karena emosi, campuran amarah, kekecewaan, dan keputusasaan.
Glaen menunduk sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Dengar, aku tau kau ingin membalas perbuatan mereka, dan aku mengagumi keberanianmu. Tapi, aku tidak akan membiarkanmu mengambil risiko yang tidak perlu." menatap Seraphina dengan tatapan yang penuh kasih sayang dan kekhawatiran.
"Dan juga, masih belum ada bukti yang benar-benar kuat bahwa mereka sudah datang ke kota ini," Glaen menambahkan, suaranya terdengar lebih lembut, mencoba menenangkan Seraphina. "Jadi, bisa jadi informasi itu tidak akurat, atau mungkin hanya desas-desus." Ia menatap Seraphina dengan tatapan yang penuh pengertian.
Seraphina menghela nafas panjang, merasakan kekecewaan yang mendalam. Ia tahu Glaen mengatakan itu untuk menenangkannya, namun ia tetap merasa gelisah. Ia mengangguk pelan, menerima penjelasan Glaen. Ia memahami bahwa Glaen memprioritaskan keselamatannya.
"Untuk sekarang, kau tunda dulu hal yang ingin kau bicarakan kepadaku," Glaen melanjutkan, suaranya terdengar lebih hangat. "Kau terlihat tidak sehat, wajahmu pucat. Sebaiknya kau pulang ke penginapan dan beristirahat yang cukup. Kita bisa membicarakan ini lagi nanti, ketika kau sudah merasa lebih baik." Ia menunjukkan kepeduliannya terhadap Seraphina.
Seraphina mengangguk lagi, merasakan kelelahan yang luar biasa. "Maaf atas ketidaksopanan saya, Komandan," suaranya terdengar lelah, "kalau begitu saya permisi." Ia menunduk hormat, kemudian melangkah keluar dari ruangan Glaen dengan langkah yang gontai.
Glaen menghela nafasnya, mengusap wajahnya dengan lelah. "Huh," gumamnya, suaranya terdengar berat. "Sebenarnya aku tidak berharap anak itu mendengar ini, tapi tidak kusangka dia akan se-sensitif ini. Aku seharusnya lebih berhati-hati." Ia merasa bersalah karena Seraphina telah mendengar pembicaraan rahasia tersebut. "Yah, Crimson Veil memberikan kenangan yang tidak bagus untuk anak itu. Mereka telah merenggut banyak hal berharga darinya, dan meninggalkan luka yang dalam di hatinya." Ia merenungkan masa lalu ketika pertemuan pertamanya dengan Seraphina dan bagaimana Crimson Veil telah memengaruhi hidupnya.
Seraphina keluar dari ruangan Glaen dengan langkah gontai, bahunya terkulai lesu. Wajahnya pucat, matanya sembab. Ia tampak sangat lelah, baik secara fisik maupun mental. Ia berjalan dengan cepat, ingin segera meninggalkan tempat itu. Saat ia berjalan di koridor panjang, ia tak sengaja melewati Kai yang baru saja selesai dari kelas Alkemi.
Kai yang melihat itu, Ia memperhatikan ekspresi wajah Seraphina yang lesu, dan ia langsung menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Namun, Seraphina tampak mengabaikannya, ia terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. Kai terdiam sejenak, memperhatikan Seraphina yang menghilang di balik tikungan koridor. Ia merasa khawatir, tapi ia tidak tahu harus berbuat apa.
Tanpa ragu, ia memutuskan untuk mengikutinya. "Ada apa dengannya?" gumamnya, perasaannya campur aduk antara kekhawatiran dan rasa ingin tahu. Ia membayangkan berbagai kemungkinan yang terjadi, mungkin Seraphina terlibat dalam masalah yang berbahaya, mungkin ia sedang dalam keadaan tertekan, atau mungkin ada sesuatu yang ia sembunyikan. Pikiran-pikiran itu memenuhi benaknya, menambah rasa khawatirnya. Ia berjalan di belakang Seraphina, menjaga jarak yang aman, mencoba untuk tidak terlalu mencolok. Ia ingin tahu apa yang terjadi, tetapi ia juga tidak ingin menganggu Seraphina.
Kai mengikuti Seraphina dengan hati-hati, mencoba untuk tidak terlalu mencolok di antara keramaian, namun di persimpangan jalan yang ramai, di antara deru kendaraan dan hiruk pikuk kota, ia kehilangan jejaknya. Ia berlari kecil, menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari keberadaan Seraphina. "Sial," gumamnya, "sudah kuduga, dia tidak menuju penginapan. Wajahnya terlihat sangat buruk sebelumnya."
Ia terus mencari, mencari di setiap sudut jalan, di setiap gang kecil. Hingga akhirnya, di sebuah taman kecil yang tersembunyi di balik deretan toko, ia melihatnya. Seraphina duduk termenung di sebuah bangku taman yang terbuat dari batu, kepala tertunduk, bahu terkulai. Sebuah kesedihan yang mendalam terpancar dari tubuhnya. Ia tampak begitu kecil dan rapuh, seakan-akan seluruh beban dunia dipikulnya sendirian.
Kai menghampirinya perlahan, hati nya berdebar-debar. "Seraphina," panggilnya lagi, kali ini dengan suara yang lebih lembut. Seraphina tersentak, mengangkat wajahnya, matanya yang sembab menatap Kai. Ekspresi wajahnya sulit diartikan, campuran antara terkejut, sedih, dan sedikit lega. Ia tampak ragu untuk berbicara.
"Kai?" Seraphina bertanya, suaranya nyaris seperti bisikan, terdengar terkejut dan sedikit bingung. Matahari sore mulai tenggelam, menciptakan bayangan panjang di antara pepohonan taman kecil yang sunyi itu. Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga-bunga yang harum, namun tidak mampu menghilangkan rasa dingin yang menyelimuti Seraphina. "Apa yang kau lakukan di sini? Kau harusnya sudah kembali ke penginapan. Bagaimana jika kita ketahuan? Ini sangat berbahaya, kau tahu." Ia merasa heran dan khawatir sekaligus.
Kai duduk di samping Seraphina, mencoba untuk menenangkannya dengan tatapan yang lembut dan penuh pengertian. "Aku mengikutimu karena arahmu tidak menuju ke penginapan," jawabnya, suaranya tenang dan menenangkan. "Aku melihatmu terlihat sangat sedih, bahkan dari jauh pun aku bisa melihatnya. Wajahmu pucat sekali. Kau tampak seperti sedang membawa beban berat. Kenapa kau berada disini, apa yang terjadi?." Ia berusaha menciptakan suasana yang aman dan nyaman bagi Seraphina untuk bercerita
( To be Continued.)