Chereads / Chronicles of the Crimson Prophecy / Chapter 53 - Arc 2, 15

Chapter 53 - Arc 2, 15

"Tck," desis vampir itu, suaranya seperti batu yang digesekkan. Ia mengamati Seraphina yang gemetaran dengan tatapan dingin, menilai seperti seorang pedagang yang memeriksa kualitas barang dagangannya. "Padahal cuma ternak, kenapa dramatis sekali? Seharusnya kau menerima takdirmu dengan tenang, seperti domba yang menunggu pembantaian." Ia mendekat perlahan, bayangannya jatuh di tubuh mungil Seraphina, membuat gadis itu semakin gemetar. Kemudian, tatapannya berubah. Sebuah senyum tipis, namun memuakkan, merekah di bibirnya. "Oh, tapi apa ini? Ada bunga yang begitu indah di tengah padang rumput yang kering dan layu ini. Sebuah kontras yang... menarik." Ia berlutut, wajahnya mendekat hingga hanya beberapa sentimeter dari wajah Seraphina. Napasnya, dingin dan berbau darah, membasahi pipi gadis itu. "Bunga yang begitu sempurna... sayang sekali jika hanya dibiarkan layu begitu saja."

Seraphina membeku, tubuhnya menegang seperti patung. Vampir itu mencengkeram pipi Seraphina dengan kekuatan yang mengerikan, kuku-kukunya yang tajam meninggalkan bekas merah di kulit halus Seraphina. "Ayo ikut denganku, aku akan merawat bunga cantik sepertimu." Sentuhan vampir itu seperti sengatan listrik yang menyambar tubuh Seraphina. Rasa sakit yang luar biasa menusuk kepalanya, pandangannya mulai kabur, dan tubuhnya lemas, dengan gerakan cepat, vampir itu menjatuhkan Seraphina ke tanah, tubuhnya terbanting keras. Seraphina kehilangan kesadaran, dunianya tenggelam dalam kegelapan.

Kegelapan. Lalu, sesuatu yang samar-samar mulai muncul. Bau darah. Rasa sakit di pipinya. Kemudian, suara itu. Suara anak kecil. "Laurent..." Nama itu menggerakkan sesuatu di dalam benaknya. Ingatan yang masih kabur, seperti bayangan yang menari-nari di tepi kesadarannya. Ia ingat wajah vampir itu, tatapan mata yang dingin dan mengerikan. Ia ingat rasa takut yang mencengkeram hatinya.

"Laurent...!" Suara itu kembali terdengar, lebih jelas kali ini. Ia ingin membuka matanya, namun kelopak matanya terasa berat.

Ia membuka matanya, kemudian dengan perlahan dia duduk, kepalanya terasa pusing.Ingatan mulai berdatangan lebih jelas. Wajah ayahnya, tangisannya, serangan vampir.

"Ayah...!!!!" Jeritannya pecah, penuh dengan kesedihan dan ketakutan. Ia menatap sekitar dengan mata yang membesar.

"Syukurlah kau sudah sadar." Suara itu membuat Seraphina menoleh dengan cepat. "Kau... Lily kan? Apa yang terjadi? Ini di mana?" Suaranya gemetar, namun ia berusaha untuk mencari jawaban di dalam ingatannya.

Lily menggeleng, "Aku juga tidak tahu, ketika sadar sudah berada di sini. Aku tidak ingat apa-apa sebelum itu." Ia menatap Seraphina dengan ekspresi bingung. "Seingatku desa kita diserang, dan tiba-tiba sudah di sini. Semuanya kacau balau." Ia menggigit bibir bawahnya. "Hanya ada anak seusia kita di sini. Tidak ada orang tua kita." Ia menatap Seraphina dengan mata yang penuh pertanyaan. "Apa para orang dewasa berada di sini juga ya?"

"Mereka semua... sudah mati." Seraphina menjawab dengan suara yang datar, menunjukkan kesedihan yang mendalam.

Mata Lily membulat sempurna. Ia menggelengkan kepala berulang kali, seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Tidak... tidak mungkin," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, jari-jarinya mencengkeram rambutnya dengan kuat.

Bayangan gelap di sudut ruangan bergeser sedikit. Sebuah cahaya redup muncul, diikuti oleh sosok seorang wanita yang membawa lentera kecil. Liora, laboran itu, tampak lelah dan sedikit menyeramkan. Rambutnya berantakan, matanya berkantong hitam, dan pakaian laboratoriumnya kotor dan berlumuran sesuatu yang tampak seperti noda darah. Cahaya lentera itu menghasilkan bayangan yang menyeramkan di dinding.

"Uh..." Liora berdeham, suaranya serak dan lelah. "Inilah kenapa kandang ini sangat memusingkan. Terlalu banyak emosi yang bercampur baur."

"Laurent, kau mendengar sesuatu kan?" Lily berbisik, mencoba untuk tetap tenang. "Ada suara orang dewasa...!" Ia menatap sekitar dengan hati-hati. "Paman... bibi... kami semua di sini." Suaranya sedikit lebih kuat.

Liora diam saja sejenak, matanya memperlihatkan sesuatu yang sulit dibaca. Cahaya lentera itu menghasilkan bayangan yang menyeramkan di wajahnya. Ia menatap anak-anak itu dengan tatapan yang dingin dan mengancam. "Halo adik-adik yang manis." Suaranya lembut, namun menimbulkan rasa takut di hati anak-anak itu. Ada sesuatu yang salah dengan senyum itu.

"Kakak....! Aku tidak mengenalmu tapi kau akan menyelamatkan kami kan?" Lily berteriak, matanya memperlihatkan seberkas harapan. Seraphina masih berada di belakang Lily, menatap Liora dengan waspada.

Liora hanya tersenyum mendengar itu, senyumnya terlihat paksa dan mencurigakan. Dua orang berjubah berdiri di belakangnya, wajah mereka tersembunyi di balik tudung yang menutupi kepala mereka. Mereka membawa nampan yang berisi makanan. Liora menatap orang-orang berjubah itu sejenak, lalu menunjuk ke arah anak-anak. "Berikan itu kepada mereka." Suaranya lembut, namun ada sesuatu yang tidak beres dengan nada suaranya.

"Adik-adik manis, kalian harus makan ini ya, akan merepotkan jika kalian tidak sehat." Senyum Liora semakin lebar, namun matanya tetap menunjukkan sesuatu yang mencurigakan. Ada sesuatu yang tidak beres dengan makanan itu. Anak-anak itu merasakan suasana yang mengancam.

Dua orang berjubah itu, dengan gerakan yang senyap dan efisien, meletakkan nampan berisi makanan di lantai, tepat di depan sel yang terbuat dari besi itu. Langkah kaki mereka tidak terdengar, seperti hantu yang melayang. Mereka tidak menatap anak-anak, tetapi langsung berbalik dan menghilang di balik bayangan. Liora, dengan senyum yang masih tersungging di bibirnya, berbalik dan perlahan menjauh, diikuti oleh dua orang berjubah itu. Bayangan mereka menghilang di balik lorong gelap, meninggalkan anak-anak itu dalam keheningan yang menyeramkan.

"Kakak, kau belum menjawab pertanyaanku!" Lily berteriak, suaranya penuh dengan kecemasan.

Liora berhenti sejenak, lalu menoleh dengan lambat. Senyumnya masih tersungging di bibirnya, namun matanya menunjukkan sesuatu yang mencurigakan.

"Fufufu, tentu saja aku akan mengeluarkan kalian dari sini." Suaranya lembut, namun ada sesuatu yang tidak beres dengan nada suaranya. "Untuk sementara kalian harus terlihat sehat dan siap sebelum keluar dari sana." Ia berbalik dan menghilang dengan cepat, meninggalkan anak-anak itu dalam kebingungan dan ketakutan.

Setelah kepergian Liora yang tiba-tiba, kehidupan anak-anak itu berubah menjadi rutinitas yang membosankan dan mencekam. Setiap tiga hari sekali, tepatnya pada tengah malam, dua sosok berjubah muncul dari kegelapan lorong. Langkah kaki mereka yang pelan dan sunyi, seperti tikus yang merayap, mengumandangkan kehadiran mereka di ruangan yang sunyi. Mereka meletakkan nampan berisi makanan — roti kering, sup yang hangat, dan air bersih— setiap harinya dengan gerakan yang efisien dan tanpa kata-kata. Setelah itu, mereka menghilang lagi ke dalam kegelapan, meninggalkan anak-anak itu dalam kesunyian yang mencekik dan mengerikan. Dua bulan berlalu dalam rutinitas yang menyiksa itu, menghitung hari-hari yang sunyi dan mengerikan di dalam tempat tertutup itu, menghitung hari-hari yang membuat waktu berasa seperti berhenti.

Seperti biasa, dua sosok berjubah itu kembali. Namun, hari ini terasa berbeda. Mereka tidak membawa nampan makanan seperti biasanya. Salah satu dari mereka, dengan gerakan yang pelan dan hati-hati, mendekati salah satu anak kecil dan mulai melepaskan rantai yang mengunci kakinya. Suasana menjadi sangat menegangkan.

"Kau ikuti kami." Suara orang berjubah itu datar dan tanpa ekspresi, menimbulkan rasa takut dan ketidakpercayaan.

Lily menatap orang berjubah itu dengan tatapan yang penuh dengan pertanyaan. Ia merasa bingung, namun juga sedikit lega. "Orang berjubah, apa yang kalian lakukan, kalian tidak membawakan makanan hari ini?" Suaranya penuh dengan keingintahuan.

"Oh, kami akan membebaskan kalian, tapi tidak bisa sekaligus, setiap harinya kami akan membebaskan salah satu dari kalian." Suara orang berjubah itu masih datar, namun ada sesuatu yang tidak beres dengan nada suaranya.

Orang berjubah itu menarik anak yang dibebaskannya—wajahnya masih mencerminkan kebingungan dan ketakutan—lalu menatap anak-anak yang tertinggal. "Tenang saja," katanya dengan suara datar, "tunggu giliran kalian. Prosesnya akan memakan waktu." Kalimatnya terdengar hampa, tanpa janji yang nyata. Ia menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan keheningan yang lebih mencekik daripada sebelumnya.

"Kau dengar itu, Laurent?" bisik Lily, suaranya gemetar. Ketegangan terasa di udara. "Apa memang begitu? Aku masih ragu," jawab Seraphina, keraguan terpancar dari suara dan ekspresinya. "Terlalu mudah untuk dipercaya. Ini mungkin jebakan."

"Tidak ada salahnya berharap, kan?" kata Lily, suaranya penuh dengan harapan. "Mereka memberi kita makanan yang cukup baik selama beberapa hari ini. Mungkin... mungkin mereka benar-benar akan membebaskan kita."

Keraguan Seraphina mulai sedikit berkurang. Melihat salah satu teman mereka dibebaskan, seberkas harapan mulai tumbuh di hatinya, menggantikan sedikit ketakutannya.

Seperti bayangan yang muncul dan menghilang, orang-orang berjubah itu kembali. Satu per satu, anak-anak yang sebelumnya dikurung di ruangan itu dibebaskan, diantar perlahan menghilang ke dalam lorong gelap. Hanya Seraphina dan Lily yang tersisa, dikelilingi oleh keheningan yang mengerikan. Kepergian anak-anak lainnya meninggalkan suasana yang lebih menegangkan daripada sebelumnya.

Orang itu mendekati Lily, bayangannya menutupi wajah Lily sejenak. Dengan gerakan yang lambat dan hati-hati, ia melepaskan rantai yang mengunci kaki Lily. Suara derit rantai itu bergema di ruangan yang sunyi. "Hari ini giliranmu, ikuti aku," kata orang berjubah itu dengan suara yang datar dan tanpa ekspresi.

Lily menatap Seraphina dengan mata yang berkaca-kaca, campuran lega dan sedih terpancar dari wajahnya. Ia memeluk Seraphina dengan erat, mencoba untuk menahan air mata yang mengalir di pipinya.

"Akhirnya... aku bebas," bisiknya, suaranya bergetar karena emosi. "Laurent... Aku duluan ya... aku akan menunggumu... janji." Ia memegang tangan Seraphina, kemudian pergi bersama orang itu dan perlahan menghilang ke dalam lorong gelap, meninggalkan Seraphina sendirian dalam keheningan, namun dengan seberkas harapan yang baru.

( To be Continued.)