"Kali ini juga gagal." Liora menghempaskan papan tempat ia mencatat data penelitiannya, sebuah bunyi gedebuk kecil memecah kesunyian laboratorium. Ia menyenderkan badannya di kursi, rambutnya yang biasanya tertata rapi kini sedikit berantakan, menggambarkan kelelahan yang mendalam. Matanya menatap kosong ke arah dinding laboratorium yang dingin.
"Aku sampai bertanya-tanya, apa kemampuanmu tidak sehabat itu?" Valerius menyahut, suaranya terdengar dingin, tanpa simpati. Ia menatap Liora dengan tatapan tajam, seolah menilai kemampuannya sebagai seorang ilmuwan.
"Apa???" Liora mendongak, matanya menyipit tajam. "Huh, semuanya sesuai prosedur, cuman objek yang kau dapatkan kali ini tidak bagus." Ia mengusap wajahnya dengan kasar.
"Begitulah, tidak banyak manusia yang bisa menahannya ketika meminum darah vampir," Valerius mendekati Liora, langkahnya tenang namun penuh otoritas. "Hanya setetes saja membuatnya gila, itulah mengapa ternak itu akan selamanya menjadi ternak." Ia berhenti sejenak, menatap Liora dengan sorot mata yang sulit diartikan.
"Oh ya, apa semua 'ternak' itu sudah tidak ada sekarang?" Valerius bertanya, suaranya berat dan dingin. Ia berputar perlahan di kursinya yang terbuat dari kayu gelap, menatap dua orang berjubah hitam yang berdiri tegak di belakangnya seperti patung. Cahaya lilin yang remang-remang menerangi ruangan, menyorot detail-detail rumit ukiran di kursi dan meja kerja yang terbuat dari kayu jati tua. Bau anyir darah masih terasa samar di udara, meskipun Liora telah membersihkan sebagian besarnya. Valerius mengangkat gelas anggur kristal yang berisi cairan merah tua, cahaya lilin memantul di permukaannya.
"Hanya tersisa satu, Tuan," jawab salah satu orang berjubah itu, suaranya hampir tak terdengar, seperti bisikan angin malam. Ia sedikit membungkuk, tubuhnya tegang, menunjukkan rasa hormat yang dalam kepada Valerius.
"Begitu ya..." Valerius bergumam, mengetuk-ngetuk gelasnya dengan jari-jari lentiknya yang panjang. Bunyi ketukan itu bergema pelan di ruangan yang sunyi. Ia kemudian melemparkan gelas itu ke arah wastafel marmer di sudut ruangan. Gelas itu pecah berkeping-keping, suara berderak tajam memenuhi ruangan, menciptakan kontras yang aneh dengan suasana sunyi sebelumnya. Potongan-potongan kristal berserakan di atas wastafel, bercampur dengan sisa-sisa darah yang masih melekat. Valerius menghela napas panjang, sebelum berkata dengan suara keras dan tegas, "Tunggu apa lagi? Bawakan dia kepada Liora! Segera!"
"B-Baik, Tuan." Kedua orang berjubah itu membungkuk dalam-dalam, kemudian menghilang ke dalam lorong gelap yang berada di sisi ruangan, langkah kaki mereka tak terdengar sama sekali, seperti bayangan yang menari di kegelapan.
Di sel yang sempit dan lembap, Seraphina duduk di lantai yang dingin dan berdebu, jari-jarinya menggores-gores lantai dengan ujung yang kotor, menciptakan coretan-coretan acak yang tak bermakna. Rambutnya yang panjang dan kusut menutupi sebagian wajahnya yang pucat. Ia menggigil, bukan hanya karena dingin, tetapi juga karena ketakutan dan ketidakpastian. Tiba-tiba, dua sosok berjubah hitam muncul di ambang pintu selnya, menyergapnya dari kegelapan. Mereka bergerak dengan cepat dan efisien, melepaskan rantai besi yang mengikat kakinya dengan gerakan terampil.
"Sekarang giliranmu." Salah satu orang berjubah itu berkata, suaranya datar dan tanpa ekspresi, seperti mesin yang menjalankan perintah.
"B-Baik!!" Seraphina menjawab, suaranya bergetar, campuran ketakutan dan harapan yang tak terduga. Ia berdiri dengan kaki gemetar, mengikuti kedua orang berjubah itu melewati lorong-lorong yang gelap dan panjang, aroma anyir darah dan bau apak memenuhi hidungnya. Jantungnya berdebar kencang, menciptakan irama yang mencekam di telinganya.
Mereka tiba di laboratorium Liora, ruangan yang luas dan dingin, dipenuhi dengan berbagai peralatan aneh dan tabung-tabung berisi cairan berwarna-warni. Bau kimia yang menyengat bercampur dengan aroma anyir darah. Liora berdiri di dekat meja kerja yang berantakan, memperhatikan mereka dengan tatapan dingin dan tanpa ekspresi.
"Kami sudah membawakannya." Salah satu orang berjubah itu melaporkan, suaranya masih serendah bisikan.
"Terima kasih." Liora menjawab singkat, matanya kemudian tertuju pada Seraphina. Namun, Seraphina tak melihat Liora. Pandangannya terpaku pada sosok Valerius yang berdiri di sudut ruangan, tertutupi bayangan, tetapi ia mengenalinya dengan jelas. Wajahnya yang kejam dan dingin, mata tajam yang penuh dengan keangkuhan dan kekejaman. Dialah yang telah membunuh ayahnya. Sebuah jeritan tertahan pecah dari bibir Seraphina, suara yang penuh dengan keputusasaan dan ketakutan. Tubuhnya bergetar hebat, lututnya lemas, hampir tak mampu menahan beban tubuhnya lagi. Ia terhuyung mundur, mencoba untuk menjauh dari sosok mengerikan yang telah menghancurkan hidupnya.
"Tck, itulah kenapa 'ternak' itu menyebalkan," Valerius bergumam, suaranya penuh dengan rasa jijik. Ia berdiri dari kursinya, langkahnya tenang namun penuh otoritas. Ia berjalan keluar dari laboratorium, meninggalkan Seraphina yang masih terhuyung-huyung ketakutan. Bau anyir darah dan aroma kimia yang menyengat masih memenuhi hidungnya.
"Kau akan pergi sekarang?" Liora bertanya, suaranya terdengar sedikit terkejut. Ia menatap punggung Valerius yang menghilang di balik pintu.
"Ya, begitulah. Kau juga tidak ingin diganggu dengan penelitianmu, kan?" Valerius menjawab tanpa menoleh, suaranya terdengar dari balik pintu. "Oi, kalian berdua juga keluar!" Perintahnya terdengar keras dan tegas, ditujukan kepada dua orang berjubah yang masih berdiri di dekat pintu.
"Baik, Tuan." Kedua orang berjubah itu membungkuk hormat sebelum mengikuti Valerius keluar. Bunyi pintu yang tertutup terdengar nyaring di ruangan yang tiba-tiba menjadi sunyi.
Liora tersenyum, suara fufufu pelan terdengar dari bibirnya. Ia mendekati Seraphina yang masih terpaku di tempatnya, wajahnya pucat pasi. Liora membungkuk, wajahnya mendekat ke arah Seraphina. Tatapannya tajam dan mengancam. "Hai, manis. Kita bertemu lagi. Kau ingat denganku, kan?" Suaranya lembut, namun ada sesuatu yang dingin dan berbahaya di balik kelembutan itu.
"Kau kakak yang waktu itu kan?" Seraphina bertanya, suaranya masih bergetar, namun ada sedikit keberanian yang mulai muncul. Ia menatap Liora dengan mata yang waspada, mencoba untuk mengingat kembali kejadian di ruangan gelap itu.
"Astaga, kau mengenaliku," Liora terkejut, ia menutup mulutnya dengan tangannya seolah-olah terharu. Air matanya sedikit keluar mendukung akting terharu miliknya.
"Anu, apa Lily dan lainnya juga sudah tidak ada di sini?" Seraphina bertanya lagi, suaranya sedikit lebih pelan, menunjukkan rasa cemas yang mendalam. Ia takut mendengar jawabannya.
"Oh, apa maksudmu anak-anak sebelumnya?" Liora bertanya balik, mencoba untuk mengulur waktu. Ia menatap Seraphina dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran rasa bersalah dan ketakutan.
Seraphina mengangguk pelan, menunjukkan kepastian akan pertanyaannya. Liora tersenyum, sebuah senyum yang dingin dan misterius, kemudian duduk di kursi tinggi yang terbuat dari kayu gelap di dekat meja kerjanya. Ia menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya, seolah-olah mengundang Seraphina untuk duduk bersamanya. Seraphina, dengan langkah gontai dan tubuh yang masih gemetar, menuruti ajakan itu, duduk di samping Liora. Bau anyir darah dan aroma kimia yang menyengat masih memenuhi hidungnya, membuat kepalanya terasa pening.
"Bagaimana kalau kau minum ini dulu?" Liora menawarkan sebuah gelas berisi cairan bening yang berkilauan. Cahaya lilin yang remang-remang memantul di permukaan cairan itu, menciptakan efek yang aneh dan sedikit menakutkan. "Kau akan tahu sebentar lagi," Liora menambahkan, suaranya terdengar lembut namun penuh teka-teki.
Seraphina, dengan ragu-ragu, menerima gelas itu dan meminum cairan bening tersebut. Rasanya manis di awalnya, namun kemudian berubah menjadi pahit dan menusuk lidah. Sebuah sensasi aneh menjalar di tubuhnya, kepala terasa berputar, pandangannya mulai kabur. Dunia di sekitarnya berputar-putar, suara-suara terdengar samar dan jauh. Tubuhnya terasa lemas, tenaga seakan-akan terkuras habis. Dengan perlahan, kelopak matanya menutup, dunianya tenggelam dalam kegelapan. Tubuhnya jatuh ke samping, terkulai lemas di lantai yang dingin dan berdebu.
"Oh, ini objek yang patuh," Liora bergumam, mengamati Seraphina yang terbaring tak sadarkan diri. Senyum tipis muncul di bibirnya. "Berbeda dengan sebelumnya. Dia selalu mengoceh tentang jalan keluar, hah, menyebalkan." Ia menghela napas, kemudian kembali ke meja kerjanya, mencatat sesuatu di buku catatannya dengan pena bulu yang elegan. "Kurasa aku harus mengubah prosedurnya untuk mencegah kegagalan lagi," ia bergumam lagi, matanya tertuju pada Seraphina yang tertidur lelap, tak menyadari nasib yang menunggunya.
Seraphina tersentak. Kepalanya terasa berat, pandangannya masih kabur. Ia berusaha membuka matanya, namun kelopak matanya terasa berat. Perlahan-lahan, pandangannya mulai jernih. Ia terkejut. Tubuhnya terikat erat di sebuah meja operasi yang terbuat dari baja dingin. Berbagai macam kabel terhubung ke tubuhnya, menempel di kulitnya dengan perekat yang lengket. Sensasi dingin dan sedikit menyengat menjalar di sekujur tubuhnya. Ia mencoba menggerakkan tangannya, namun gerakannya terbatas. Kabel-kabel itu menahannya dengan kuat.
Di sekelilingnya, terdapat berbagai macam peralatan medis yang aneh dan menakutkan, berkilauan di bawah cahaya lampu ruangan yang terang benderang. Bau kimia yang menyengat memenuhi hidungnya, membuat tenggorokannya terasa kering dan sesak. Ia mencoba berteriak, namun hanya suara mendesah lemah yang keluar dari bibirnya. Ketakutan yang luar biasa mencengkeram hatinya. Ia menyadari, ia telah menjadi objek penelitian Liora. Ia adalah sebuah eksperimen.
"Oh, astaga, aku tidak menyangka kau akan sadar secepat ini," Liora berkata, suaranya terdengar terkejut, namun ada sedikit kekaguman di dalamnya. Ia mendekati meja operasi, mengamati Seraphina dengan tatapan yang tajam dan penuh minat ilmiah. "Sudah kuduga, mengubah prosedur itu memang ide bagus." Ia tersenyum puas, sebuah senyum yang dingin dan menakutkan.
Liora mulai bersenandung pelan, suaranya seperti nyanyian seorang penyihir yang sedang meramu ramuan ajaib. "Fufufu, sudah kuduga, aku memang jenius~," ia bergumam, matanya berbinar-binar. "Sekarang aku akan menunggu kabar potongan jiwa itu dari Valerius," ia melanjutkan, suaranya sedikit lebih serius. "Dan memasukkannya ke tubuhmu dengan darah vampir… ahh~ seperti apa bentuknya ya~ itu pasti sangat menakjubkan…"
"Kau penasaran dengan nasib anak-anak itu, kan?" Liora bertanya, suaranya terdengar dingin dan tanpa emosi. Ia menatap Seraphina dengan tatapan yang tajam dan mengancam. "Mereka itu objek yang sangat tidak bagus, mereka menggila dan mati begitu saja. Sangat membosankan." Ia menggelengkan kepalanya, seolah-olah merasa kecewa dengan kegagalan eksperimen sebelumnya.
"Dan kau…!" Liora mendekat, wajahnya semakin dekat ke wajah Seraphina. Suaranya berbisik, menciptakan suasana yang semakin mencekam. "Bisa bertahan sejauh ini… ini sebuah keberuntungan~," ia melanjutkan, suaranya terdengar seperti tawa pelan yang menyeramkan. Senyumnya semakin melebar, menunjukkan deretan gigi yang putih dan tajam.
Tiba-tiba, bunyi alarm nyaring bergema di ruangan, menciptakan suasana yang semakin menegangkan. Lampu ruangan berkedip-kedip, menambah rasa panik. Suara alarm itu diikuti oleh bunyi berderak dari rak-rak yang berisi berbagai macam bahan kimia di sudut ruangan. Beberapa tabung reaksi jatuh dan pecah, mengeluarkan cairan berwarna-warni yang berbau menyengat.
"Ck, apa ada tikus lagi?" Liora menggerutu, wajahnya menunjukkan ekspresi kesal. Ia meletakkan buku catatannya, kemudian berjalan menuju sumber suara, memeriksa rak-rak yang berantakan. "Padahal aku sering membersihkan tempat ini," ia menambahkan, suaranya terdengar sedikit frustrasi.
( To be Continued)