Dalam kekacauan itu, Seraphina, yang masih terikat di meja operasi, secara tidak sengaja menemukan celah kecil di ikatannya. Dengan tenaga yang tersisa, ia berusaha untuk melepaskan ikatan itu. Ia menarik dan menggeliat, mencoba untuk melepaskan diri dari belenggu yang menahannya. Dengan usaha yang luar biasa, ia berhasil melepaskan salah satu ikatan di pergelangan tangannya. Ia memanfaatkan kesempatan itu untuk melepaskan ikatan lainnya, bergerak dengan cepat dan terampil. Ia berhasil membebaskan dirinya dari ikatan yang mengikatnya, namun tubuhnya masih terasa lemas dan sakit.
Seraphina, dengan tubuh yang masih gemetar dan lemas, berhasil melepaskan diri dari meja operasi. Ia merangkak ke lantai, kemudian berdiri dengan susah payah. Ia tahu ia harus segera pergi dari tempat itu. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju pintu laboratorium. Jantungnya berdebar kencang, ketakutan masih mencengkeram hatinya.
Ketika ia mencapai pintu, ia melihat dua sosok tinggi besar berdiri di ambang pintu, menghalangi jalannya. Dua vampir dengan mata merah menyala dan taring yang panjang dan tajam. Mereka menatapnya dengan tatapan dingin dan haus darah. Seraphina tersentak, ketakutan yang luar biasa kembali menghantamnya. Ia merasa putus asa, seakan-akan tak ada jalan keluar.
Namun, dalam keputusasaan itu, ia melihat sebuah kesempatan. Di lantai, berhamburan pecahan tabung reaksi dan cairan yang tumpah akibat alarm tadi. Ia melihat sebuah cairan berwarna ungu tua, berbau menyengat. Dengan gerakan cepat dan terampil, ia mengambil pecahan tabung reaksi yang tajam, kemudian mencampurkan cairan ungu itu dengan cairan lain yang berwarna hijau muda. Reaksi kimia terjadi secara instan, mengeluarkan asap ungu yang tebal dan berbau sangat menyengat. Asap itu menyebar dengan cepat, menyelimuti kedua vampir itu. Kedua vampir itu tampak terhuyung-huyung, mata mereka merah menyala, tetapi gerakan mereka menjadi lambat dan tidak terkoordinasi. Mereka tampak kesakitan, menahan napas karena bau yang sangat menyengat. Seraphina memanfaatkan kesempatan itu, berlari melewati kedua vampir yang terhuyung-huyung itu, meninggalkan laboratorium dan menyelamatkan dirinya.
Liora kembali ke laboratorium, tatapannya menyapu meja eksperimen yang berantakan. "Huh, inilah kenapa kebersihan itu utama..." Ia menghela napas panjang, rasa frustrasinya terlihat jelas. Seraphina telah kabur, dan kekacauan di sekitarnya semakin menambah kekesalannya. "Hilang?? Kemana objek itu pergi?!" Ia berteriak pelan, suaranya penuh amarah tertahan. "Sialan! Apa yang dilakukan oleh dua orang itu... Mereka bahkan tidak bisa menjaga objek dengan baik!" Ia menggerutu, kemudian berjalan menuju pintu keluar. Dua vampir yang sebelumnya menjaga pintu kini tertidur lelap di lantai, tubuh mereka terkulai lemas, menunjukkan efek dari reaksi kimia yang terjadi sebelumnya.
Kemudian matanya menangkap pecahan botol ramuan berwarna ungu tua di antara puing-puing. Ia mengambilnya dengan ekspresi dingin.
"Ramuan ini?" Liora bergumam, mengamati cairan ungu tua itu dengan saksama. Bau menyengat yang familiar menusuk hidungnya. "Bagaimana bisa ada di sini? Apa objek uji coba itu yang mengambilnya?" Pertanyaan itu muncul di benaknya, menimbulkan kecurigaan yang dalam. Ia membayangkan Seraphina, berjuang untuk melepaskan diri, mencari jalan keluar di tengah kepanikan.
"Sialan, jika Valerius mengetahui ini....!" Liora menggeram, kemarahan dan ketakutan bercampur aduk dalam dirinya. Bayangan Valerius, dengan tatapan dingin dan penuh otoritas, terlintas di benaknya. Ia harus menutupi jejaknya. Sebuah rencana jahat mulai terbentuk di pikirannya.
Ia teringat objek uji coba sebelumnya yang dikurung di bawah tanah karena berubah menjadi vampir liar—makhluk haus darah yang tak terkendali. "Tidak ada pilihan lain, jika kau memilih kabur maka kau akan mati gadis kecil." Ia tersenyum sinis, kemudian menekan tombol remot kontrol yang terhubung ke kurungan bawah tanah itu. Suara berderak dari sistem hidrolik terdengar nyaring di laboratorium yang sunyi.
Seraphina berlari tanpa henti, napasnya tersengal-sengal, hingga akhirnya ia sampai di tepi hutan. Sinar bulan menerobos dedaunan lebat, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di tanah. Udara malam terasa dingin dan lembap, bau tanah dan dedaunan basah memenuhi hidungnya. Ia berjalan di tengah hutan yang gelap, langkahnya gontai dan lemas. Tubuhnya masih gemetar, tetapi rasa lega mulai mengalahkan ketakutannya. Ia berhasil kabur. Namun, rasa lelah dan ketakutan masih menghantuinya.
Di kejauhan, di bawah sinar bulan yang remang-remang, ia melihat sesosok tubuh yang familiar. Sebuah harapan muncul di hatinya, sebuah harapan yang telah lama hilang. Ia mendekat dengan hati-hati, langkahnya semakin pelan.
"Lily....?" Seraphina memanggil pelan, suaranya bergetar karena campuran kegembiraan dan keraguan.
"Kau ternyata berhasil kabur.!" Seraphina memeluk Lily erat-erat, rasa lega dan syukur membanjiri hatinya. Namun, pelukan itu terasa dingin dan aneh. Bau anyir darah, sangat kuat dan menyengat, tiba-tiba memenuhi hidungnya. Ia mencoba menarik diri, namun Lily memegangnya lebih erat. "Bagaimana yang lain, apa semuanya berhasil kabur?" Ia bertanya, suaranya bergetar karena kelelahan dan kecemasan. Tidak ada jawaban. Hanya sebuah desisan pelan dari Lily, suaranya seperti suara ular yang merayap.
Kemudian, sebuah kata terucap dari bibir Lily, suaranya serak dan mengerikan, "Darah....!!!" Sebelum Seraphina sempat bereaksi, dua taring panjang dan tajam muncul dari mulut Lily, menancap di lengan Seraphina. Rasa sakit yang luar biasa menusuk lengannya, seperti ribuan jarum yang menusuk sekaligus. Darah segar mengalir deras, membasahi pakaian mereka berdua.
Seraphina menjerit, rasa sakit yang luar biasa membuatnya terhuyung mundur. Ia jatuh terduduk, tatapannya tak percaya menatap Lily. Wajah Lily yang dulu dikenal, kini berubah menjadi mengerikan. Kulitnya pucat pasi, mata merah menyala seperti bara api, mengeluarkan cahaya yang menakutkan. Taring-taringnya yang panjang dan tajam berkilauan di bawah sinar bulan, menunjukkan betapa hausnya ia akan darah. Rambutnya yang dulu terurai rapi, kini kusut dan berantakan, seperti sarang burung yang usang.
Aroma darah yang menyengat memenuhi udara, bercampur dengan bau anyir tanah dan dedaunan basah. Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena rasa sakit, tapi juga karena keputusasaan yang mendalam. Ia menyadari, Lily yang dikenalnya telah hilang, diganti oleh monster haus darah yang haus akan darahnya. Air mata mengalir di pipinya, bercampur dengan darah yang mengalir deras dari lengannya.
Sebelum Seraphina sempat memproses kejadian mengerikan itu, sesuatu menerjangnya dari belakang. Tubuhnya terdorong ke depan, jatuh tersungkur ke tanah. Ia merasakan gigitan tajam di punggungnya, rasa sakit yang luar biasa membuatnya menjerit. Itu adalah vampir liar yang dilepaskan Liora—makhluk haus darah yang tak terkendali. Ia berusaha untuk melawan, namun tubuhnya lemas karena kehilangan darah. Vampir liar itu terus menggigitnya, menghisap darahnya dengan rakus.
Dengan sisa tenaga yang ada, Seraphina mencoba untuk bangkit dan melarikan diri. Namun, ketika ia hendak berdiri, ia melihat sesuatu yang lebih mengerikan. Di depannya, berdiri beberapa sosok yang dikenalnya. Anak-anak yang dikurung bersama dengannya dua bulan lalu, kini telah berubah menjadi vampir-vampir haus darah. Mata mereka merah menyala, taring-taring tajam mencuat dari bibir mereka. Mereka menatapnya dengan tatapan lapar dan haus darah. Seraphina terperangkap, dikepung oleh monster-monster haus darah yang dulu dikenalnya sebagai manusia. Keputusasaan memenuhi hatinya, ia menyadari bahwa tidak ada jalan keluar.
Tepat saat vampir liar itu hendak menggigit leher Seraphina, suara tembakan menggema di hutan. Peluru melesat tepat mengenai dada vampir liar itu, membuatnya menjerit kesakitan sebelum lenyap seketika dalam kabut darah. Seraphina tersentak, belum sempat bernapas lega, ia mendengar suara tebasan pedang yang tajam di belakangnya. Sebuah bayangan melintas cepat, menghasilkan suara desisan yang mematikan. Ia menoleh, melihat seseorang dengan pedang yang berkilauan di bawah sinar bulan, sedang mengayunkan pedangnya dengan cepat dan tepat, menebas para vampir yang mengepungnya.
Di tengah pertarungan yang kacau, pria itu berhasil menghindari serangan vampir liar. Napasnya tersengal, keringat bercucuran, namun ia tetap berusaha bertahan. "Apa informasi dari orang itu tidak benar? Di sini tidak ada apa pun selain hewan liar dan vampir liar itu sialan!" Ia mengayunkan pedangnya dengan kasar, menebas lengan vampir itu. Darah segar menyembur, membasahi tanah. Gerakannya terlihat kurang terlatih dibandingkan dengan gerakan Lilia yang lebih lincah dan terampil.
Suara Lilia yang tajam menusuk telinganya. "Jangan banyak bicara dan fokus ke pertarunganmu, dasar bodoh!!!" Ia mengarahkan pistol miliknya dengan cepat dan menembakkan peluru dengan tepat tepat, menembus jantung vampir lain yang hendak menyerangnya.
Pria itu, yang terengah-engah karena kelelahan, membalas, "Aku tahu itu, jangan menceramahiku, Lilia!" Ia kembali fokus pada pertarungannya, mencoba untuk mengikuti irama pertarungan Lilia yang lebih terampil. Perbedaan gaya bertarung dan kepribadian mereka sangat kontras, namun mereka bekerja sama untuk menghadapi bahaya yang mengancam mereka.
Seraphina menyaksikan pertarungan itu dengan mata terbelalak. Ia tak menyangka pria itu—yang baru dikenalnya beberapa saat lalu—berani melawan vampir-vampir itu dengan nekat. Rasa syukur memenuhi hatinya. Ia bersyukur karena ada orang-orang yang berani melawan kegelapan, yang berani membantunya. Ia bersyukur karena masih ada harapan.
Pria itu mengayunkan pedangnya, "Ini yang terakhir....!" Ia berteriak, suaranya hampir tak terdengar.
"Glaen, dibelakangmu!" Tiba-tiba, suara tembakan menggema. Lilia menembakkan peluru tepat mengenai dada vampir liar yang hendak menyerang Glaen dari belakang. Glaen terhuyung, hampir jatuh.
Glaen menghela napas panjang, rasa lelah dan lega bercampur aduk dalam dirinya. Ia tersenyum tipis, menatap Lilia dengan penuh syukur. "Terimakasih," ujarnya, suaranya masih sedikit serak. "Aku berhutang kali ini." Lilia mengulurkan tangannya, tangannya yang terlatih dan kuat. Glaen meraihnya, tangan Lilia terasa dingin, namun kuat dan kokoh. Dengan bantuan Lilia, ia kembali berdiri, tubuhnya masih gemetar karena kelelahan.
Glaen, dengan napas tersengal, mencoba untuk berdiri tegak. Ia menepuk debu di pakaiannya yang robek dan berlumuran darah. "Sepertinya sudah selesai di sini," ujarnya, suaranya masih sedikit serak. "Ayo kembali ke rombongan." Ia hendak meninggalkan tempat itu, Tiba-tiba, Seraphina mengeluarkan suara tersedak yang pilu, "Hikk...!!" Suaranya teredam, namun terdengar jelas di tengah kesunyian hutan. Tubuhnya bergetar semakin hebat, bahu-bahunya terangkat-turun seperti sedang menahan isakan. Ia terlihat sangat ketakutan, trauma yang dialaminya terlihat jelas.
Lilia, yang selalu waspada, menarik Glaen ke belakang. "Sialan, ternyata masih ada," bisiknya, kemudian bersiap siap mengarahkan pistol ke arah Seraphina. Seraphina masih gemetar ketakutan melihat itu.
Glaen, walaupun kelelahan, mendekati Seraphina. Ia berjongkok di hadapannya, suaranya lembut, "Tunggu, Lilia." Ia menatap Seraphina dengan penuh perhatian, mencoba untuk menenangkannya. "Jadi, kenapa ada gadis kecil sepertimu di sini? Kau sendirian?" Pertanyaannya menunjukkan kepeduliannya, namun juga rasa ingin tahunya yang besar terhadap misteri di balik kehadiran Seraphina di hutan yang berbahaya itu.
( To be Continued.)