Chereads / Chronicles of the Crimson Prophecy / Chapter 52 - ARC 2, 14

Chapter 52 - ARC 2, 14

"Wah, aku benar-benar menunjukkan sisi yang tidak baik ya," Seraphina menyeringai, mencoba untuk terlihat tenang. "Ini memalukan... ha... ha... ha..." tawanya terdengar sedikit dipaksakan, namun ada sedikit sarkasme di dalamnya. Ia mengangkat bahu, berusaha untuk terlihat acuh tak acuh. "Yah, setidaknya Kai melihat betapa rapuhnya aku. Mungkin ini akan menjadi pelajaran yang berharga."

Kai menatap Seraphina dengan tajam, matanya menyiratkan campuran kekesalan dan keprihatinan. Ia menghela napas panjang. Kemudian, ia bersandar ke bangku batu yang dingin, suaranya berat. "Kau menyebalkan, kau tahu?"

Ia menjentikkan jari, gerakannya sedikit kasar. Tatapannya beralih ke arah bunga-bunga di dekat mereka, bunga-bunga itu layu di ujung rantingnya. Seraphina mengerutkan kening, bingung. "Eh?"

Kai menoleh, tatapannya sedikit melunak. Seutas rambut jatuh di dahinya, ia mendorongnya ke belakang dengan gerakan tangan yang lamban. "Huh," ia menggaruk kepalanya, gerakan yang menunjukkan ketidaknyamanan. "Aku bilang kau menyebalkan," suaranya sedikit lebih lembut, namun tetap tegas. "Apa kau selalu seperti ini?"

Ia terdiam sejenak, mengamati Seraphina dengan saksama. Bayangan di wajahnya membuat ekspresi wajahnya sulit dibaca, namun Kai bisa melihat sedikit getaran di bibirnya. "Yah, aku juga menduganya, sejak awal," katanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan. "Kau mungkin terlihat keren bagi orang-orang, tapi menurutku kau menyebalkan, terutama sekarang." Ia menghela napas lagi, kali ini lebih panjang dan lebih dalam.

Seraphina menghela nafas, ia tersenyum sejenak menatap Kai. "Kau sampai mengatakannya tiga kali," katanya, menunjuk pada pengulangan kata "menyebalkan". "Apa aku semenyebalkan itu?" tanya Seraphina.

Kai mengangguk pelan, tetapi ada sedikit kelembutan di matanya. "Ya. Benar-benar menyebalkan."

Seraphina terdiam sejenak, tatapannya kosong. Angin sore berhembus lembut, mengacak-acak rambutnya yang hitam legam. Ia terlihat sedang mencerna kata-kata Kai, seolah-olah mencoba memahami sudut pandang orang lain untuk pertama kalinya. Kemudian, sebuah senyum tipis muncul di bibirnya, senyum yang tidak sampai ke matanya.

Kemudian, sebuah senyum tipis muncul di bibirnya, senyum yang tidak sampai ke matanya. Ia tertawa kecil, suaranya seperti tawa seorang anak kecil yang sedang berusaha menyembunyikan kesedihannya. Dengan gerakan lembut, ia menyibakkan rambut yang jatuh di wajahnya, menyingkapkan pipinya yang masih sedikit memerah.

Pandangannya tertuju ke depan, menatap ke arah langit senja yang mulai gelap. Kakinya berayun pelan, gerakan yang menunjukkan ketidakpastian dan keraguan. "Begitu ya," katanya, suaranya pelan dan sedikit serak. "Maaf kalau aku menyebalkan menurutmu."

Ia memejamkan matanya sejenak, menikmati hembusan angin yang lembut di wajahnya. Rambutnya yang panjang tertiup angin, menari-nari seperti gelombang di lautan. Suasana hening menyelimuti mereka, hanya suara angin dan dedaunan yang terdengar.

Kai mengangkat tangannya, menutup matanya. Sinar matahari terakhir menyinari tangannya, menonjolkan garis-garis halus di telapak tangannya. Ia bersandar ke bangku, kepala tertunduk. Keheningan menyelimuti mereka, suasana yang dipenuhi dengan emosi yang rumit dan tak terucapkan.

"Hei, Kai," Seraphina membuka suara, suaranya pelan namun terdengar sedikit tegang. Ia menggigit bibir bawahnya, menatap ke arah langit senja yang mulai gelap. "Apa kau ingat ketika aku memberikan ramuan kepadamu hari itu?" Ia menatap Kai dengan intens, menunggu jawabannya.

Kai mengangguk pelan, sebuah senyum tipis muncul di bibirnya. "Ah, ramuan itu," katanya, suaranya terdengar sedikit misterius. "Tentu saja aku ingat. Kebetulan aku mempelajarinya hari ini," Ia menatap Seraphina dengan tajam, menunggu penjelasan.

"Dan juga," Seraphina melanjutkan, suaranya sedikit berbisik, tatapannya tertuju pada langit senja yang semakin gelap. "Apa kau ingat aku mengatakan ketika melaksanakan misi, aku selalu membawa sesuatu yang menurutku penting?" Ia menatap Kai dengan penuh arti, menunggu reaksi. "Ada alasan aku mengatakan itu, alasan yang sangat penting." Ia menggigit bibir bawahnya, seolah-olah menahan sesuatu.

Kai mengerutkan kening, mengingat kembali perkataan Seraphina sebelumnya. "Oh, aku ingat," katanya, suaranya terdengar sedikit ragu-ragu. "Jangan bilang kau membawa gunting itu juga karena ada alasan?" Ia menatap Seraphina dengan penuh pertanyaan.

Seraphina tertawa sejenak, suaranya riang. "Sayang sekali," katanya, suaranya terdengar ceria. "Gunting itu kebetulan hanya berada di saku jas ku. Aku tidak bermaksud membawa itu. Aku hanya lupa untuk meninggalkannya di penginapan."

Kai berdeham, menatap Seraphina dengan penuh perhatian. "Hoo..." katanya, suaranya terdengar lembut. "Jadi, kenapa kau menanyakan itu kepadaku?" Seraphina tersenyum. "Mau ku ceritakan cerita yang membosankan?" katanya, suaranya terdengar penuh dengan semangat.

"Yah, kurasa tidak keberatan," kata Kai, suaranya lembut namun tegas. Ia menatap Seraphina dengan penuh perhatian, menunggu kelanjutan ceritanya. Bayangan di wajahnya membuat ekspresi wajahnya sulit dibaca, namun Kai bisa melihat sedikit rasa simpati di matanya.

Seraphina menunduk sedikit, menutup matanya sejenak, seolah-olah mengingat kembali kenangan pahit yang terkubur dalam ingatannya. Angin malam berhembus, membawa aroma bunga-bunga yang sedikit getir. Ketika ia membuka matanya, sebuah senyum tipis namun menyedihkan muncul di bibirnya. "Sama seperti mu Kai," katanya, suaranya pelan dan sedikit gemetar. "Tempat tinggal ku dulu juga diserang oleh kawanan vampir."

"Mereka menyerang orang dewasa dan mengisap darah mereka hingga kering, tetapi mereka tidak melakukan itu kepada anak kecil." Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. "Tetapi mereka membawanya, untuk melakukan percobaan." Ia menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang hampir jatuh.

"Ini terjadi 8 tahun yang lalu," katanya, suaranya sedikit serak. Ia menatap Kai dengan mata yang berkaca-kaca, menunggu reaksi. Suasana hening menyelimuti mereka, hanya suara angin dan dedaunan yang terdengar. Bau tanah basah dan melati memenuhi udara, menciptakan aroma yang tenang namun sedikit melankolis.

Cerita kembali ke delapan tahun yang lalu. Seraphina kecil, berusia sembilan tahun, sedang bermain di taman dekat rumahnya. Tawa riangnya tiba-tiba terhenti. Ia mendengar suara-suara gaduh dari kejauhan, suara-suara yang semakin lama semakin dekat. Ia melihat bayangan-bayangan hitam bergerak cepat di antara rumah-rumah penduduk, menciptakan suasana yang mencekam. Ketakutan memenuhi hatinya, ia berlari sekencang-kencangnya menuju rumahnya.

"Laurent, Kau akhirnya pulang," ucap seorang pria paruh baya, suaranya terdengar lelah dan putus asa. Wajahnya pucat pasi, matanya dipenuhi dengan ketakutan. Ia memegang erat tangan seorang gadis kecil, yang terlihat ketakutan dan bingung. "Kita tidak bisa tinggal disini lagi... tempat ini tidak aman." Ia memeluk erat putrinya, seolah-olah berusaha untuk melindunginya dari bahaya. Rumah mereka hancur berantakan, bekas serangan terlihat jelas di dinding dan perabotan. Bau darah masih memenuhi udara.

Seraphina, atau dengan nama kecilnya Laurent menatap ayahnya dengan mata yang berkaca-kaca. "Ayah, aku melihat hal yang mengerikan diluar, bayangan-bayangan hitam bergerak cepat di antara rumah-rumah penduduk. Mereka... mereka haus darah." Ia menunjuk ke arah jendela yang pecah, di mana ia melihat bayangan-bayangan itu.

Ayahnya menghela napas panjang, wajahnya dipenuhi dengan keputusasaan. "Ayah juga tidak tau Laurent," katanya, suaranya bergetar. "Dari isu yang terdengar sekawanan vampir menyerang wilayah ini. Mereka menyerang tanpa ampun. Jadi kita harus... kita harus pergi dari sini sekarang juga!" Ia meraih tas kecil, mengisi tas itu dengan beberapa barang penting.

Tiba-tiba, sebuah tombak yang terbuat dari darah memantul dari kegelapan dan menancap di dada ayahnya. Darah segar menyembur keluar, menciptakan pemandangan yang mengerikan.

"Ayah!!!" Seraphina berteriak histeris, menyaksikan ayahnya roboh ke tanah, muntah darah segar. Ia memeluk erat tubuh ayahnya yang tak berdaya, tangisannya memecah kesunyian malam. Bayangan-bayangan hitam itu semakin dekat, mendekati mereka dengan langkah kaki yang sunyi namun mematikan.

Seorang sosok tinggi besar, berbalut jubah hitam yang kusam, muncul dari kegelapan. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan, namun Seraphina bisa merasakan hawa dingin yang menusuk dari sosok itu. Bau darah memenuhi udara, campur aduk dengan aroma busuk yang menyengat. Sosok itu adalah seorang vampir, salah satu dari kawanan yang telah menyerang desa mereka. Ia melangkah melewati Laurent yang masih memeluk tubuh ayahnya yang tak berdaya, tanpa sedikitpun rasa simpati. Ia menatap tubuh ayahnya yang tergeletak di tanah, dengan tatapan yang dingin dan tanpa emosi.

"Dasar, ternak itu seharusnya bersikap seperti ternak," ucap vampir itu, suaranya serak dan dingin, seperti suara ular yang merayap di malam hari. Ia menendang tubuh ayahnya dengan kasar, menciptakan suara yang menjijikkan. "Padahal Aku lebih suka ternak yang masih segar." Ia menunduk, menghisap darah ayahnya dengan rakus, menciptakan suara yang menjijikkan. Darah segar mengalir deras dari mulut vampir itu, menciptakan pemandangan yang mengerikan. Setelah puas, ia melemparkan tubuh ayahnya ke dinding dengan kasar, seperti melempar boneka kain usang. Tubuh ayahnya terbanting dengan keras, menciptakan suara yang mengerikan. Seraphina hanya bisa menangis, menyaksikan kejadian mengerikan itu dengan mata yang penuh air mata. Ketakutan dan keputusasaan memenuhi hatinya.

Ayah Seraphina, yang tergeletak tak berdaya di lantai, tiba-tiba bergerak. Matanya terbuka sedikit, menatap putrinya dengan tatapan yang lemah namun penuh kasih sayang. Darah segar masih mengalir dari mulutnya, menciptakan pemandangan yang menyayat hati. Ia berusaha untuk berbicara, namun hanya suara serak yang keluar dari bibirnya.

"L...Laurent...." katanya, suaranya hampir tak terdengar. Ia meraih tangan putrinya, mencoba untuk menggenggamnya dengan erat. Namun, tenaganya sudah habis. Jari-jarinya yang lemah dan dingin terlepas dari genggaman Seraphina. Matanya tertutup kembali, napasnya semakin melemah dan tidak bisa bertahan di pelukan putrinya yang masih kecil. Seraphina menangis tersedu-sedu, memeluk erat tubuh ayahnya yang sudah dingin. Kehilangan dan keputusasaan memenuhi hatinya. Vampir itu hanya memperhatikan kejadian itu dengan tatapan dingin dan tanpa emosi.

(To be Continued)