Fajar perlahan merayap di atas Desa Lianhua, memandikan desa itu dengan cahaya keemasan. Mei Ling terbangun dengan perasaan yang sulit dia gambarkan. Hembusan angin pagi yang lembut menyelinap melalui celah jendela, membawa aroma bunga liar yang bercampur dengan embun. Namun, yang paling melekat di pikirannya adalah malam yang baru saja berlalu malam di mana dia telah menyerahkan hatinya sepenuhnya kepada Lin Hao.
Dia menatap langit-langit kamar sambil menarik selimut lebih erat. Sentuhan, ciuman, dan bisikan Lin Hao masih terasa begitu nyata. Seolah semuanya baru terjadi beberapa detik yang lalu. Hatinya penuh dengan rasa bahagia, tetapi juga dibayangi oleh ketakutan yang perlahan muncul.
"Apakah semua ini benar?" gumamnya pada dirinya sendiri.
Ketukan pintu tiba-tiba memecah lamunannya. Mei Ling segera duduk dan merapikan rambutnya.
"Mei Ling, bangunlah! Hari sudah siang!" terdengar suara ibunya dari balik pintu.
"Iya, Ibu! Aku segera turun!" jawab Mei Ling dengan suara serak, mencoba menyembunyikan gejolak yang masih membara di dadanya.
Rindu yang Tak Terelakkan
Saat Mei Ling melangkah keluar dari kamar, pandangannya langsung tertuju pada halaman depan rumah. Jarak di antara mereka begitu dekat tadi malam, tetapi kini terasa sangat jauh. Apakah Lin Hao memikirkan hal yang sama seperti dirinya?
Di tempat lain di desa, Lin Hao sedang duduk di tepi sungai kecil. Wajahnya memancarkan ketenangan, tetapi pikirannya tidak berhenti mengulang kembali setiap momen yang dia habiskan bersama Mei Ling. Bibirnya melengkungkan senyum kecil saat mengingat bagaimana Mei Ling terlihat begitu polos tetapi menggairahkan di waktu yang sama.
"Apa yang kau pikirkan, Lin Hao?" tanya seorang suara yang tiba-tiba.
Lin Hao terkejut dan menoleh ke belakang. Itu adalah sahabatnya, Yuan Jie, yang memandangnya dengan mata penuh rasa ingin tahu.
"Tidak ada," jawab Lin Hao singkat, mencoba mengalihkan perhatian.
"Jangan bercanda. Wajahmu tidak bisa berbohong," balas Yuan Jie sambil tersenyum lebar. "Apa ini tentang Mei Ling?"
Lin Hao terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Aku tidak bisa berhenti memikirkannya, Yuan Jie. Dia... dia berbeda."
"Berbeda? Bagaimana maksudmu?" Yuan Jie duduk di samping Lin Hao, menatapnya dengan serius.
"Dia membuatku merasa hidup," kata Lin Hao pelan. "Tapi aku tahu ini tidak akan mudah. Keluargaku tidak akan pernah setuju, dan keluarganya juga pasti tidak akan menerima hubungan ini."
Yuan Jie menepuk bahu Lin Hao. "Kalau begitu, kau harus memutuskan. Apakah dia cukup berarti untukmu melawan semuanya?"
Lin Hao tersenyum kecil. "Dia lebih dari cukup. Aku hanya harus mencari cara untuk melindunginya."
Mata yang Mengawasi
Sementara itu, di pasar kecil Desa Lianhua, Mei Ling sedang membantu ibunya menjual hasil panen keluarga mereka. Meskipun dia tersenyum dan berbicara ramah kepada pelanggan, pikirannya terus melayang ke Lin Hao.
Namun, tanpa dia sadari, sepasang mata sedang memperhatikannya dari kejauhan. Mata itu milik salah satu tetangga mereka, seorang wanita tua yang dikenal sebagai penggosip. Wanita itu mengerutkan alis, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tidak seharusnya dia ketahui.
"Mei Ling," panggil wanita itu dengan nada yang sedikit mencurigakan.
Mei Ling menoleh dan tersenyum sopan. "Ya, Nenek Yu? Ada yang bisa saya bantu?"
Wanita tua itu mendekat, menatapnya dengan tajam. "Kau terlihat berbeda pagi ini. Ada apa? Kau tidak menyembunyikan sesuatu, bukan?"
Mei Ling merasa jantungnya berdegup kencang, tetapi dia berhasil tetap tenang. "Saya tidak tahu apa yang Nenek maksud," jawabnya dengan lembut.
Namun, Nenek Yu tidak puas dengan jawaban itu. Dia mendekatkan wajahnya dan berbisik, "Aku melihatmu tadi malam. Kau pikir aku tidak tahu ke mana kau pergi?"
Mei Ling membeku. Tubuhnya terasa dingin, dan kata-kata wanita tua itu menusuknya seperti pisau.
"Jangan khawatir, aku tidak akan mengatakan apa-apa... untuk saat ini," kata Nenek Yu sambil tersenyum licik.
Mei Ling hanya bisa mengangguk pelan, berharap pembicaraan itu segera berakhir. Tetapi dalam hatinya, dia tahu bahwa rahasianya mungkin tidak akan bertahan lama.
Kembali ke Dalam Pelukan
Malam itu, Lin Hao kembali mengunjungi jendela Mei Ling. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran, tetapi juga tekad yang kuat.
"Ada yang terjadi?" tanya Lin Hao begitu Mei Ling membuka jendela.
Mei Ling menceritakan percakapannya dengan Nenek Yu, dan Lin Hao langsung mengepalkan tangannya dengan marah. "Kita tidak bisa membiarkan dia menghancurkan kita," katanya tegas.
"Tapi apa yang bisa kita lakukan?" Mei Ling bertanya, suaranya bergetar.
Lin Hao menarik napas dalam-dalam. "Kita harus lebih hati-hati. Tapi aku tidak akan menyerah, Mei Ling. Aku akan melindungimu, apa pun yang terjadi."
Mei Ling merasa matanya memanas. Dia tahu perjalanan mereka tidak akan mudah, tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak sendirian. Di bawah sinar bulan yang sama, mereka saling berjanji untuk melawan dunia demi cinta mereka.
Setelah pertemuan mereka di bawah sinar bulan, Mei Ling duduk di tepi tempat tidurnya. Kata-kata Lin Hao terus terngiang di telinganya: "Aku akan melindungimu, apa pun yang terjadi."
Namun, jauh di dalam hatinya, ada rasa takut yang tak bisa dia enyahkan. Desa Lianhua adalah tempat kecil di mana gosip menyebar lebih cepat daripada angin, dan Nenek Yu dikenal tak pernah melepaskan sesuatu yang menarik untuk dijadikan bahan cerita.
Langkah-Langkah Diam-Diam
Malam itu, Lin Hao memutuskan untuk mengambil tindakan lebih jauh. Dia tahu bahwa jika dia ingin menjaga Mei Ling aman, dia harus memastikan bahwa Nenek Yu tidak punya alasan untuk berbicara. Dengan hati-hati, dia menyelinap keluar dari rumah keluarganya dan menuju ke rumah Nenek Yu yang berada di pinggir desa.
Setibanya di sana, Lin Hao memperhatikan bahwa lampu di dalam rumah sudah padam. Dengan tenang, dia mengitari rumah itu, mencari tanda-tanda kehidupan. Saat dia hendak berbalik pergi, dia mendengar suara batuk kecil dari dalam rumah.
"Nenek Yu..." gumam Lin Hao pelan sambil mengepalkan tangan.
Lin Hao mengatur napasnya, mencoba menenangkan diri. Dia tidak ingin membuat masalah besar, tetapi dia juga tidak bisa membiarkan wanita tua itu menghancurkan segalanya.
Keesokan paginya, sebelum Nenek Yu sempat keluar rumah, Lin Hao sudah menunggunya di depan pintu.
"Ada apa pagi-pagi begini?" tanya Nenek Yu, menyipitkan mata.
Lin Hao tersenyum tipis, tetapi ada kekerasan dalam tatapannya. "Aku ingin bicara, Nenek."
Wanita tua itu terlihat bingung, tetapi dia mempersilakan Lin Hao masuk.
Perbincangan yang Berbahaya
"Begini," Lin Hao memulai, suaranya tenang tetapi tegas. "Aku tahu kau melihat sesuatu malam itu, dan aku tahu kau ingin menjadikannya bahan gosip."
Nenek Yu tertawa kecil. "Anak muda, kau tahu aku tidak bisa menyimpan rahasia seperti itu. Lagipula, apa salahnya berbagi cerita kecil?"
Lin Hao mencondongkan tubuh ke depan, membuat wanita tua itu sedikit terkejut. "Kalau kau berbicara, kau tidak hanya akan menghancurkan hidupku, tapi juga hidup Mei Ling. Dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi."
Nenek Yu menatap Lin Hao dengan tatapan tajam. "Apa kau mengancamku?"
"Bukan ancaman," jawab Lin Hao sambil tersenyum tipis. "Hanya permohonan. Tolong, biarkan ini tetap menjadi rahasia."
Wanita tua itu terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. "Baiklah, Lin Hao. Tapi ingat, aku tidak berjanji untuk selamanya."
Gejolak Hati Mei Ling
Di rumahnya, Mei Ling tidak bisa tenang. Dia terus-menerus memikirkan kemungkinan terburuk. Jika keluarganya tahu tentang hubungan ini, mereka pasti akan memisahkan dirinya dari Lin Hao.
Ibunya, Nyonya Wu, memperhatikannya dengan saksama. "Mei Ling, kau kenapa? Kau terlihat tidak seperti biasanya."
Mei Ling tersenyum lemah. "Tidak apa-apa, Ibu. Hanya sedikit lelah."
Namun, Nyonya Wu tidak mudah percaya. Dia mendekati putrinya dan memegang tangannya. "Kau tahu, Mei Ling, Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu. Jika ada sesuatu yang mengganggumu, kau bisa memberitahu Ibu."
Mei Ling hanya mengangguk, tetapi dalam hatinya, dia tahu bahwa dia tidak bisa mengatakan apa pun.
Malam yang Panjang
Malam itu, saat bulan kembali bersinar terang, Lin Hao kembali ke jendela Mei Ling. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Mereka tidak berbicara banyak; hanya saling menatap dalam keheningan.
Lin Hao meraih tangan Mei Ling melalui jendela, dan tanpa berkata apa-apa, dia menariknya ke dalam pelukan.
"Maafkan aku," bisik Lin Hao. "Aku akan memastikan semuanya baik-baik saja."
Mei Ling mengangguk, tetapi air matanya mulai mengalir. Dia tahu bahwa cinta mereka akan terus diuji, tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak akan pernah menyerah.