Langit di Desa Lianhua malam itu tampak cerah. Kilauan bintang menghiasi kegelapan, seolah menari di atas atap-atap rumah penduduk desa yang sudah terlelap. Angin malam berembus lembut, membawa aroma tanah basah yang khas. Mei Ling duduk di beranda kecil rumahnya, mengenakan selimut tipis untuk melawan dingin yang mulai menusuk kulit. Meski tubuhnya lelah setelah perjalanan panjang, pikirannya tak kunjung tenang.
Matanya terpaku pada langit malam, tetapi pikirannya melayang-layang. Dia memikirkan desa ini, rumah barunya, dan terutama sosok pria yang baru saja dikenalnya Lin Hao. Wajahnya, senyumnya, dan nada suaranya yang berat namun lembut terngiang-ngiang dalam benaknya. Ada sesuatu tentang pria itu yang membuat Mei Ling terusik, seolah ada rahasia besar yang tersembunyi di balik sikap tenangnya.
Suara langkah kaki mendadak terdengar, memecah keheningan. Mei Ling menoleh, waspada. Desa ini mungkin kecil dan sunyi, tetapi Mei Ling belum sepenuhnya merasa aman. Namun, rasa cemas itu segera sirna ketika ia melihat Lin Hao muncul dari balik bayangan, membawa lentera kecil di tangannya.
"Masih terjaga?" tanyanya dengan nada yang lembut namun penuh perhatian.
Mei Ling mengangguk pelan. "Aku belum terbiasa dengan suasana malam di sini," jawabnya.
Lin Hao tersenyum kecil dan berjalan mendekat, duduk di anak tangga beranda rumahnya. Jarak mereka kini hanya beberapa langkah, cukup dekat untuk Mei Ling mencium aroma kayu bakar yang melekat pada tubuhnya.
"Desa ini memang seperti itu," katanya sambil memandang ke kejauhan. "Tenang, tapi juga memiliki cara untuk membuatmu merasa gelisah."
Mei Ling mengerutkan kening. "Gelisah? Apa maksudmu?"
Lin Hao tertawa kecil, nada suaranya terdengar hangat namun sedikit menggoda. "Bukan apa-apa. Kau akan terbiasa. Desa ini punya caranya sendiri untuk membuat pendatang merasa seperti di rumah, meski kadang terlalu cepat."
Mei Ling menatapnya, mencoba membaca ekspresi pria itu. Tapi Lin Hao tetap tenang, senyumnya yang samar membuatnya sulit ditebak.
"Kenapa kau datang ke desa ini?" Lin Hao akhirnya bertanya, memecah keheningan.
Pertanyaan itu membuat Mei Ling terdiam. Dia tahu ini pertanyaan sederhana, tetapi jawabannya jauh dari sederhana. Masa lalunya yang kelam, keputusannya untuk meninggalkan kota, dan harapannya untuk memulai hidup baru semuanya terlalu rumit untuk dijelaskan dalam satu kalimat.
"Aku hanya ingin mencari tempat yang tenang," jawabnya akhirnya, memilih untuk tidak terlalu terbuka.
Lin Hao menatapnya dalam, seolah mencoba mencari kebenaran di balik kata-katanya. Tapi dia tidak mendesak. Sebaliknya, dia hanya mengangguk dan tersenyum.
"Kedamaian memang mudah ditemukan di sini. Tapi ingat, desa ini juga menyimpan banyak cerita."
Perkataan itu terasa seperti peringatan, tetapi juga seperti undangan. Sebelum Mei Ling sempat bertanya lebih lanjut, Lin Hao berdiri.
"Waktunya kau istirahat. Esok pagi, aku akan menunjukkan tempat-tempat menarik di desa ini. Kau pasti menyukainya."
Mei Ling hanya bisa mengangguk. Tatapan pria itu membuatnya tak mampu berkata-kata.
Keesokan paginya, matahari baru saja terbit di atas bukit, memandikan Desa Lianhua dengan cahaya keemasan yang hangat. Burung-burung bernyanyi, sementara penduduk desa mulai sibuk dengan aktivitas mereka.
Mei Ling mengenakan pakaian sederhana blus putih dan rok panjang biru tua. Dia mengikat rambutnya dengan pita biru yang ia bawa dari kota, memberikan sentuhan feminin pada penampilannya.
Ketika dia melangkah keluar rumah, Lin Hao sudah menunggunya di depan pagar. Pria itu membawa keranjang berisi makanan, mengenakan kemeja linen putih yang terlihat sedikit kusut, tetapi justru menambah pesonanya.
"Pagi," sapa Lin Hao, suaranya terdengar hangat.
"Pagi," balas Mei Ling, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.
"Siap?" tanya Lin Hao, mengangkat keranjang di tangannya.
Mei Ling mengangguk. Mereka mulai berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi ladang bunga liar. Lin Hao berjalan di depan, tetapi sesekali menoleh untuk memastikan Mei Ling tidak tertinggal.
"Ke mana kita pergi?" Mei Ling akhirnya bertanya, tak tahan dengan rasa penasarannya.
"Ke tempat yang jarang diketahui orang luar," jawab Lin Hao singkat. "Sebuah lembah kecil di balik bukit. Kau pasti menyukainya."
Mereka berjalan cukup lama, melewati ladang, hutan kecil, dan akhirnya sampai di sebuah lembah tersembunyi. Pemandangan di sana benar-benar menakjubkan sebuah danau kecil dengan air yang jernih seperti kaca, dikelilingi oleh pepohonan yang menjulang tinggi. Bunga-bunga liar tumbuh di tepian, menambah keindahan tempat itu.
Mei Ling terdiam, terpesona oleh keindahan yang ada di depannya. "Ini... luar biasa," gumamnya.
Lin Hao tersenyum kecil, puas melihat reaksinya. "Aku tahu kau akan menyukainya. Ini tempat favoritku."
Mereka duduk di tepi danau, menikmati keindahan alam yang tenang. Lin Hao membuka keranjang dan mengeluarkan makanan sederhana buah-buahan segar, roti, dan termos berisi teh hangat.
Saat mereka makan bersama, percakapan mulai mengalir. Kali ini, Lin Hao bercerita lebih banyak tentang masa lalunya tentang keluarganya yang pernah tinggal di desa ini, tentang kehidupannya yang sederhana, dan alasan dia memilih untuk tinggal sendiri.
Mei Ling mendengarkan dengan saksama, merasa dirinya semakin terhubung dengan pria itu. Ada sesuatu dalam cara Lin Hao berbicara yang membuatnya merasa nyaman, tetapi juga penasaran.
Ketika matahari mulai meninggi, Lin Hao berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah Mei Ling. "Kita harus kembali. Ladang membutuhkan perhatianku."
Mei Ling meraih tangannya, merasakan kehangatan yang mengalir melalui sentuhan mereka. Jantungnya berdebar lebih cepat, tetapi dia mencoba untuk tetap tenang.
Saat mereka kembali ke desa, suasana mulai terasa berbeda. Matahari sudah cukup tinggi, dan hiruk-pikuk kehidupan penduduk Desa Lianhua terdengar dari kejauhan. Namun, langkah kaki Mei Ling terasa berat. Ada sesuatu yang masih terngiang dalam pikirannya perkataan Lin Hao tentang "cerita" yang tersembunyi di desa ini.
Ketika mereka hampir sampai di rumah, Lin Hao menghentikan langkahnya tiba-tiba. Dia menoleh ke Mei Ling dengan ekspresi serius.
"Ada sesuatu yang ingin kukatakan," ujarnya, suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya.
Mei Ling menatapnya dengan bingung, tetapi juga penasaran. "Apa itu?"
Lin Hao menarik napas dalam, seolah mencoba mengumpulkan keberanian. "Kau harus berhati-hati di sini. Desa ini mungkin terlihat tenang, tapi ada hal-hal yang lebih baik tidak kau ketahui."
Mei Ling mengernyit, merasa terganggu oleh nada misteriusnya. "Apa maksudmu? Hal-hal seperti apa?"
Lin Hao menggelengkan kepala, menghindari tatapannya. "Aku tidak bisa menjelaskan sekarang. Tapi, jika kau mendengar sesuatu bisikan, cerita aneh, atau bahkan peringatan dari orang lain jangan abaikan. Itu bisa menyelamatkanmu."
Mei Ling merasa bulu kuduknya meremang. Kata-kata Lin Hao terdengar seperti peringatan serius, tetapi dia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Sebelum dia sempat bertanya lagi, Lin Hao melangkah pergi, meninggalkannya sendirian di depan rumah.
Hari itu berlalu dengan perlahan, tetapi pikirannya terus dipenuhi dengan teka-teki yang ditinggalkan oleh Lin Hao. Mei Ling mencoba mengalihkan perhatiannya dengan beres-beres rumah, tetapi perasaan tidak tenang itu tidak kunjung hilang.
Saat malam tiba, suasana desa berubah drastis. Ketenangan yang biasanya menenangkan kini terasa mencekam. Angin malam berembus lebih dingin, dan bayangan bulan di tanah terlihat lebih gelap dari biasanya. Mei Ling duduk di ruang utama rumahnya, menyalakan lampu minyak untuk menerangi kegelapan.
Tiba-tiba, dia mendengar suara ketukan di pintu. Ketukan itu tidak keras, tetapi cukup untuk membuatnya waspada. Dengan ragu, dia berjalan ke arah pintu, memegang sebuah tongkat kecil untuk berjaga-jaga.
"Siapa di sana?" tanyanya dengan suara gemetar.
Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang menjawab.
Mei Ling menarik napas panjang sebelum membuka pintu perlahan. Di luar, hanya ada kegelapan. Tidak ada orang, tidak ada suara, hanya angin malam yang berembus lembut.
Namun, ketika dia hendak menutup pintu, pandangannya tertuju pada sebuah benda kecil di tanah. Sebuah amplop tua yang sudah terlihat usang, dengan tulisan tangan yang hampir tidak terbaca.
Dengan hati-hati, Mei Ling mengambil amplop itu dan membawanya masuk ke dalam rumah. Dia duduk di meja, membuka amplop dengan perlahan. Di dalamnya terdapat selembar kertas yang terlipat rapi. Tulisan tangan di kertas itu terlihat seperti milik seseorang yang terburu-buru, tetapi masih bisa dibaca:
"Pergilah sebelum semuanya terlambat. Desa ini tidak seperti yang kau pikirkan."
Mei Ling merasa tubuhnya membeku. Pesan itu membuat pikirannya berputar-putar. Apa maksud dari semua ini? Siapa yang meninggalkan pesan ini?
Keesokan harinya, Mei Ling bangun dengan perasaan tidak nyaman. Dia merasa seolah ada mata yang terus mengawasinya, meskipun dia tahu itu tidak mungkin. Untuk mengalihkan pikirannya, dia memutuskan untuk pergi ke pasar desa, tempat para penduduk berkumpul.
Pasar Desa Lianhua adalah tempat yang penuh warna. Pedagang menjajakan hasil panen mereka, anak-anak berlarian, dan suara tawar-menawar terdengar di mana-mana. Namun, suasana pasar tidak cukup untuk menghilangkan kegelisahan Mei Ling.
Dia melihat Lin Hao berdiri di salah satu sudut pasar, berbicara dengan seorang wanita tua yang terlihat mengenakan pakaian tradisional. Wajah wanita itu penuh keriput, tetapi matanya memancarkan kewaspadaan yang tajam. Mei Ling memperhatikan mereka dari kejauhan, tetapi ketika Lin Hao menyadari keberadaannya, dia segera mengakhiri pembicaraannya dan berjalan menghampirinya.
"Kau di sini," katanya sambil tersenyum, tetapi ada sesuatu dalam suaranya yang terdengar seperti ketegangan.
"Siapa wanita itu?" tanya Mei Ling, menunjuk ke arah wanita tua yang kini berjalan menjauh.
Lin Hao tampak ragu sejenak sebelum menjawab. "Dia salah satu tetua desa. Dia tahu banyak tentang tempat ini."
Mei Ling merasa ada lebih banyak yang tidak diungkapkan Lin Hao, tetapi dia memilih untuk tidak mendesak. Sebaliknya, dia memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan.
"Ada yang aneh tadi malam," katanya pelan.
Lin Hao mengangkat alis. "Aneh? Apa maksudmu?"
Mei Ling menjelaskan tentang ketukan di pintu dan amplop misterius yang dia temukan. Saat dia menceritakan hal itu, ekspresi Lin Hao berubah menjadi serius.
"Di mana amplop itu sekarang?" tanyanya cepat.
Mei Ling merasa bingung dengan reaksinya. "Di rumah. Kenapa?"
Lin Hao menghela napas panjang. "Kita harus memeriksanya. Ini bisa menjadi sesuatu yang penting."
Mereka segera kembali ke rumah Mei Ling. Saat mereka sampai, Lin Hao langsung mengambil amplop itu dan membacanya dengan saksama. Ekspresinya menjadi semakin gelap setelah membaca isi pesan itu.
"Aku tahu siapa yang menulis ini," katanya akhirnya.
Mei Ling terkejut. "Siapa?"
Lin Hao menatapnya dengan mata yang penuh kekhawatiran. "Seseorang yang mencoba memperingatkanmu. Tapi aku tidak yakin dia akan selamat setelah melakukan ini."
Mei Ling merasa seluruh tubuhnya gemetar. Dia ingin tahu lebih banyak, tetapi Lin Hao tampak enggan untuk menjelaskan lebih lanjut.
"Aku akan menjelaskan semuanya pada waktunya," kata Lin Hao akhirnya. "Tapi untuk sekarang, kau harus berhati-hati. Jangan percaya siapa pun di desa ini, termasuk aku."