Matahari pagi mulai menembus tirai tipis di kamar Mei Ling, memberikan kehangatan lembut yang perlahan membangunkannya dari tidur. Tubuhnya masih terasa letih, seolah semalaman dia berlari tanpa henti. Saat membuka matanya, Mei Ling memandang ke langit-langit kamar dengan pikiran yang kacau.
Bayangan malam sebelumnya melintas di pikirannya, membuat wajahnya memerah. Sentuhan tangan Lin Hao, bisikannya yang rendah, dan setiap kehangatan yang mereka bagi membuat hatinya berdebar lagi. Dia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya, tidak pernah tahu bahwa kedekatan fisik bisa membawa sensasi yang begitu memabukkan.
Tapi bersama rasa itu, ada juga ketakutan. Apa yang akan orang-orang katakan jika mereka tahu? Apa yang Lin Hao pikirkan tentangnya sekarang? Mei Ling duduk di tepi ranjang, menatap keluar jendela sambil menggigit bibir bawahnya, mencoba mencari jawaban di tengah kebingungannya.
Tiba-tiba, ketukan lembut di pintu mengagetkannya.
"Mei Ling, kau sudah bangun?" Suara Yan'er terdengar dari balik pintu.
Mei Ling panik. Dia memeriksa dirinya sendiri, memastikan tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. "Iya, aku bangun," jawabnya, mencoba terdengar tenang.
Pintu terbuka perlahan, dan Yan'er masuk dengan senyum khasnya. "Kau terlihat lelah. Apakah kau tidur nyenyak?" tanyanya sambil membawa nampan berisi sarapan.
"Iya... aku hanya sedikit susah tidur tadi malam," jawab Mei Ling, menundukkan wajah agar tidak terlihat canggung.
Yan'er meletakkan nampan itu di meja, lalu menatap Mei Ling dengan penuh perhatian. "Kau yakin tidak ada yang mengganggumu?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius.
Mei Ling menggeleng cepat. "Tidak ada apa-apa," jawabnya, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Oh, ini sarapanku? Terima kasih, Yan'er."
Yan'er mengangguk, tetapi tatapannya tetap penuh selidik. "Kalau begitu, aku akan pergi dulu. Tapi jika ada yang ingin kau ceritakan, kau tahu di mana mencariku," katanya sebelum keluar dari kamar.
Pertemuan Tak Terduga
Setelah sarapan, Mei Ling memutuskan untuk berjalan-jalan ke sekitar desa untuk mengusir pikirannya yang kacau. Langkah kakinya membawanya ke tepi sungai, tempat yang biasanya sepi dan menenangkan. Namun, kali ini dia tidak sendirian.
Lin Hao berdiri di sana, membelakangi Mei Ling, dengan tangan di saku celananya. Saat mendengar langkah kakinya, Lin Hao berbalik, dan senyum tipis muncul di wajahnya.
"Mei Ling," panggilnya.
Mei Ling terdiam sejenak. Dia tidak tahu harus berkata apa atau bagaimana harus bersikap. Rasa malu menyelimutinya, tetapi dia tahu dia tidak bisa menghindar selamanya.
"Kau... kenapa ada di sini?" tanya Mei Ling akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan.
Lin Hao melangkah mendekat, membuat Mei Ling merasa gugup. "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja setelah tadi malam," katanya dengan nada lembut.
Mei Ling menunduk, menghindari tatapan Lin Hao yang begitu menusuk. "Aku baik-baik saja," jawabnya, meskipun hatinya masih berdebar keras.
Lin Hao tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya berdiri di depan Mei Ling, memandanginya dengan intensitas yang membuat gadis itu semakin sulit bernapas. "Kalau begitu, aku lega," katanya akhirnya, tetapi nada suaranya mengandung sesuatu yang lebih.
Saat mereka berdua berdiri di tepi sungai itu, keheningan yang melingkupi mereka terasa penuh dengan ketegangan. Mei Ling tahu dia seharusnya pergi, tetapi tubuhnya tidak mau bergerak. Lin Hao, di sisi lain, tampaknya menikmati momen itu, seolah dia tahu bahwa Mei Ling tidak akan mampu menjauh darinya.
"Mei Ling," panggilnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih rendah.
Mei Ling mengangkat wajahnya, menatap Lin Hao dengan hati-hati. "Apa?" tanyanya pelan.
Lin Hao tersenyum, lalu mengulurkan tangannya. "Mari kita jalan-jalan. Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan padamu."
Mei Ling mengikuti Lin Hao dengan langkah ragu, tetapi rasa ingin tahunya mendorongnya untuk tetap melangkah. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang dipenuhi dedaunan basah oleh embun pagi. Udara terasa segar, tetapi keberadaan Lin Hao di dekatnya membuat Mei Ling merasa hangat dengan cara yang tak biasa.
"Aku ingin menunjukkan sesuatu yang jarang orang ketahui," kata Lin Hao sambil menoleh ke arahnya dengan senyum yang membuat jantung Mei Ling berdetak lebih cepat.
"Ke mana kita pergi?" tanya Mei Ling, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
"Ke tempat yang tenang, tempat di mana aku bisa berbicara tanpa merasa diawasi," jawab Lin Hao, suaranya rendah namun menggoda.
Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di sebuah paviliun kecil yang tersembunyi di balik hutan bambu. Lokasinya terpencil, dikelilingi oleh keheningan yang hanya ditemani suara gemerisik dedaunan. Paviliun itu terlihat tua namun kokoh, dengan ukiran tradisional yang rumit menghiasi setiap sudutnya.
Lin Hao duduk di salah satu bangku kayu, lalu menepuk tempat di sebelahnya, mengisyaratkan Mei Ling untuk duduk di sampingnya.
"Kenapa aku merasa kau sedang merencanakan sesuatu?" tanya Mei Ling, mencoba terdengar santai meskipun hatinya masih berdebar.
Lin Hao hanya tersenyum, lalu menatapnya dengan mata yang penuh arti. "Aku hanya ingin mengenalmu lebih dalam, itu saja," katanya sambil menyandarkan tubuhnya pada tiang paviliun.
Godaan yang Menggelitik
Mei Ling duduk dengan kaku, merasa tidak nyaman dengan jarak di antara mereka yang begitu dekat. Lin Hao tampaknya tidak terganggu, bahkan tampak menikmati kebisuan yang terjadi di antara mereka.
"Kenapa kau gugup, Mei Ling?" tanyanya tiba-tiba, membuat Mei Ling tersentak.
"Aku tidak gugup," jawabnya cepat, meskipun pipinya mulai memerah.
Lin Hao tersenyum lebar, lalu mendekat sedikit. "Benarkah? Karena wajahmu berkata sebaliknya," bisiknya, suaranya nyaris seperti angin yang menyentuh lembut telinga Mei Ling.
Gadis itu mencoba mengalihkan pandangannya, tetapi Lin Hao tidak memberinya kesempatan. Tangannya yang hangat menyentuh dagu Mei Ling, memaksanya untuk kembali menatap ke arah lelaki itu.
"Kau tahu, sejak pertama kali melihatmu, ada sesuatu tentangmu yang tidak bisa aku abaikan," kata Lin Hao dengan nada yang lebih serius.
Mei Ling terpaku, tidak mampu berkata apa-apa. Tatapan Lin Hao begitu intens, seolah-olah dia sedang membaca setiap pikiran dan perasaan yang ada di dalam dirinya.
"Lin Hao…" Mei Ling akhirnya membuka mulutnya, tetapi suaranya tercekat.
Lin Hao mendekat lebih jauh, jarak di antara mereka semakin tipis. "Aku tidak ingin menakutimu," katanya pelan, tangannya masih memegang dagu Mei Ling. "Tapi aku juga tidak bisa berpura-pura bahwa aku tidak menginginkanmu."
Saat Semua Pertahanan Runtuh
Mei Ling merasa dirinya kehilangan kendali. Perasaan yang mengalir di tubuhnya begitu kuat, menggoyahkan semua pertahanan yang dia coba bangun. Ketika Lin Hao akhirnya menciumnya, semua ketegangan yang menahan mereka seakan meledak dalam satu momen yang memabukkan.
Ciuman itu penuh gairah, tetapi tetap ada kelembutan di dalamnya. Lin Hao tidak terburu-buru; dia memberi Mei Ling waktu untuk menyesuaikan diri dengan apa yang mereka bagi. Tangannya turun, memegang pinggang Mei Ling dengan lembut, menariknya lebih dekat.
Mei Ling, meskipun awalnya canggung, akhirnya menyerah pada perasaan itu. Tangannya meremas lengan Lin Hao, mencoba menemukan pegangan di tengah badai emosi yang melandanya.
"Lin Hao…" bisiknya di antara ciuman mereka, suaranya penuh keraguan tetapi juga keinginan.
"Aku di sini," jawab Lin Hao, suaranya dalam dan menenangkan. "Katakan jika kau ingin aku berhenti."
Mei Ling tidak menjawab dengan kata-kata. Sebagai gantinya, dia membalas ciuman Lin Hao dengan lebih berani, menunjukkan bahwa dia juga menginginkannya.
Mereka kehilangan diri mereka dalam momen itu, membiarkan semua kekhawatiran dan ketakutan lenyap untuk sementara waktu. Di tempat yang tersembunyi itu, hanya ada mereka berdua, saling berbagi hasrat yang tidak bisa mereka ungkapkan dengan kata-kata.
Ketika akhirnya mereka berhenti untuk menarik napas, Mei Ling menatap Lin Hao dengan mata yang berkaca-kaca. "Apa yang sedang kita lakukan?" tanyanya pelan, suaranya penuh kebingungan.
Lin Hao menyentuh pipinya, memberikan senyuman lembut. "Kita hanya mengikuti hati kita, Mei Ling. Tidak ada yang salah dengan itu."