(12 September 1993, jam 06.00 pagi)
"Havi... Havi... Sarapan sudah siap. Ayo bangunlah!", teriak seorang wanita yang memanggil.
Havi yang saat itu masih memejamkan mata nya, langsung saja terbangun saat mendengar teriakan yang begitu sangat familiar di telinga nya.
"I.. Ibu...!!!", balas Havi yang terkejut.
Havi melihat ke arah sekeliling nya dengan mata terbelalak. Kamar kecil ini, meja belajar ini, dan buku-buku pelajaran yang tersusun rapi di dalam sebuah kardus kosong bekas mie instant.
Havi melihat kalender di dinding kamar yang dia buat sendiri dengan menggunakan kertas. Keluarga mereka sendiri tidak memiliki kalender saat ini.
Havi membuat nya sendiri di sekolah dengan menyalin dari kalender sekolah. Dia membuat kalender tahun 1993 setahun penuh, dan juga membuat satu lagi untuk di tempel di ruang keluarga nya, sehingga untuk urusan hari dan tanggal, orang tua nya tidak merasa kesulitan lagi dalam menentukan hari dan tanggal.
Meskipun remang-remang karena memang desa nya belum di aliri listrik, tapi dengan mata tajam Havi, dia bisa melihat angka dengan cukup jelas di kalender.
Kebiasaan Havi adalah selalu menandai dengan pulpen jika hari atau tanggal telah berlalu. Dia mengamati tanda silang terakhir di kalender yang telah di tandai nya dan kemudian sangat terkejut.
"Sekarang adalah Hari Minggu tanggal 12 September 1993. Kemungkinan sekarang adalah jam 6 pagi. Dan.. Apaaaa... Tahun 1993?! Yang benar saja. Itu arti nya saat ini usiaku 17 tahun dan masih duduk di kelas 3 SMA!!", kata Havi setengah berteriak.
Ternyata semua ini benar, ini memang nyata. Havi mendapatkan kesempatan untuk hidup kembali untuk yang kedua kali nya dari Tuhan. Ada perasaan senang, sedih, sekaligus bangga dengan anugerah yang telah di berikan oleh Tuhan.
Havi berjalan kemudian melihat ke cermin. Wajah muda tampan yang di kenal nya dari pantulan bayangan dari cermin, semakin menambah rasa syukur nya kepada Tuhan.
Havi malah merasa jika saat ini, wajah nya terlihat lebih tampan lagi di bandingkan dengan usia nya saat 17 tahun di kehidupan lama nya. Seketika itu juga, Havi langsung bersimpuh kemudian bersujud di lantai.
'Allah.. Tuhanku.. Tuhan Semesta Alam.. Terima kasih sekali lagi atas anugerah ini', ujar Havi yang menangis dalam sujud nya.
Tok.. Tok.. Tok..
Pintu kamar Havi di ketuk tiga kali di sertai suara yang benar-benar di rindukan nya siang dan malam di kehidupan kedua nya.
"Havi.. Nak? Apa kamu sudah bangun? Ini sarapan sudah siap", kata Bu Saras, ibu dari Havi.
"A.. Aku sudah bangun Bu. Sebentar Havi pakai baju dulu ya?", balas Havi yang masih menangis dalam sujud nya.
"Ya sudah.. Kamu keluar dan segera sarapan ya?", kata Bu Saras lagi.
"I.. Iya Bu..", balas Havi kemudian bangun dari sujud nya dan segera keluar menuju ke tempat makan sederhana milik keluarga nya.
(Di Meja Makan)
Di meja makan kecil nan sederhana yang berbentuk persegi panjang inilah masa-masa bahagia Havi dalam mengawali hari-hari nya di mulai di masa silam. Kenangan akan kehidupan pertama dan kedua nya seolah sedang bercampur aduk di dalam pikiran Havi.
'Oh Tuhan... Aku benar-benar kembali', kata Havi dalam hati kemudian perlahan air mata nya kembali menetes keluar.
Tap.. Tap.. Tap.. Tap..
Havi mendengar suara langkah dari dua orang yang akan segera memasuki ruangan. Empat langkah kaki yang terdengar di setiap pijakan-pijakan nya membuat jantung Havi semakin berdebar-debar saja.
Saat kedua orang itu memasuki ruangan, Havi langsung berlari ke arah kedua nya, memeluk dan mencium mereka, kemudian bersimpuh di bawah kedua kaki mereka juga.
Kejadian ini membuat orang tua Havi, Pak Ridho dan Bu Saras saling memandang satu sama lain. Ada apa dengan anak nya hari ini, pasti begitu pikir kedua orang paruh baya tersebut.
"Havi.. Kau kenapa nak?", tanya Pak Ridho kepada Havi.
"Ayah.. Ibu.. Havi salah selama ini. Maafin Havi", balas Havi yang masih bersimpuh di antara kedua kaki orang tua nya.
Sebagai orang tua, Pak Ridho dan Bu Saras, meskipun mereka berdua tampak sedikit kebingungan dengan keadaan anak nya saat ini, tetap berusaha berkata bijak sambil menahan kedua air mata nya yang akan segera jatuh dari pelupuk kedua nya.
Mereka berdua yang memang tidak tahu apa-apa, hanya bisa memaafkan entah kesalahan apa yang sudah di perbuat oleh Havi. Kedua nya lalu menyuruh Havi untuk segera bangkit berdiri dan menceritakan kondisi nya.
Saat Havi sudah bangkit berdiri dan melihat anak semata wayang nya itu, Pak Ridho dan Bu Saras sedikit terkejut.
Mereka berdua perlahan mengingat Havi yang mereka kenal, meskipun memiliki tubuh tinggi dan juga tampan, dan memiliki kulit putih, tapi tidak setampan dan sebersih ini.
"Ayah.. Ibu.. Ada apa?", tanya Havi kepada kedua orang tua nya.
"Nak.. ternyata kau sudah dewasa", jawab Pak Ridho kemudian menepuk bahu kiri Havi. Pak Ridho diam-diam merasa bangga dengan anak nya ini.
"Benar nak.. Ibu juga sama terkejut nya dengan ayahmu. Melihatmu sangat cepat dalam proses kedewasaan membuatku sangat terharu. Terasa baru kemarin kau lahir dan ku gendong, dan sekarang...", jawab Bu Saras yang menghentikan ucapan nya kemudian menangis.
"Ayah.. Ibu.. Havi berjanji mulai hari ini, Havi akan lebih giat dalam belajar. Dan Havi pun berjanji akan membantu ayah dan ibu untuk mendapatkan penghasilan tambahan untuk meningkatkan ekonomi keluarga kita", kata Havi bertekad dengan ekspresi dari kedua mata nya yang berbinar.
"Nak.. Tidak perlu di pikirkan lagi masalah ekonomi keluarga kita. Ayah dan Ibu yang akan menyediakan segala keperluanmu", ujar Pak Ridho yang di dalam hati nya merasa khawatir dengan tekad Havi.
"Tidak apa-apa Ayah.. Biar nanti Havi yang memikirkan bagaimana cara nya mendapatkan penghasilan tambahan. Sekarang, ayo Ayah dan Ibu, kita sarapan bersama. Sudah hampir 30 tahun kita semua tidak lagi berada dalam satu meja makan yang sama. Ibu.. Havi juga sangat kangen dengan masakan Ibu, sejak Ayah dan Ibu meninggal...", kata Havi yang keceplosan dalam hal berbicara.
Pak Ridho dan Bu Saras yang mendengar perkataan Havi, terkejut bukan main. Sebenar nya ada apa dengan Havi hari ini. Perkataan nya terasa begitu aneh bahkan berkata juga jika kedua nya seolah seperti sudah meninggal sejak lama.
Havi yang baru menyadari ini pun, mengutuk diri nya sendiri di dalam hati nya.
'Lidah.. Lidah.. Kau ini bagaimana sih? Keceplosan terus. Sebaik nya aku segera memisahkan ingatan kehidupan di masa laluku. Jika tidak, bisa gawat ini', ujar Havi di dalam hati nya.
"Nak.. Apa maksudmu dengan sudah tidak pernah makan semeja dengan kami selama lebih dari 30 tahun? Dan juga tadi kau mengatakan jika kami berdua sudah meninggal? Apa kamu yakin nak jika hari ini sedang baik-baik saja? Jika kamu sakit, mari Ayah antar ke dokter", kata Pak Ridho yang kemudian memegang dahi Havi yang tidak terasa panas itu.
"Aneh.. Kau terlihat sehat dan tidak sedang demam", kata Pak Ridho lagi.
"Apa sebaik nya kita bawa Havi ke Puskesmas saja pak. Ibu jadi khawatir", lanjut Bu Saras yang juga ikut memeriksa dahi Havi, seolah saat ini mereka berdua adalah seorang dokter pribadi Havi.
'Ayolah Ayah, Ibu.. Apa kalian berdua sudah menganggapku gila', ujar Havi kemudian menghela nafas.
"Ayah.. Ibu.. Bukan begitu maksud Havi. Maksud Havi, Havi itu pernah mendengar cerita dari Yono teman baik Havi itu. Dia pernah cerita jika salah satu paman nya sangat rindu dengan orang tua nya yang sudah lama meninggal. Kata paman nya Yono, dia sedang membayangkan makan bersama dengan orang tua nya seperti saat paman Yono itu masih muda", jelas Havi dengan 1001 macam alasan yang di buat-buat.
"Oh jadi begitu", jawab kedua orang tua nya bersamaan sambil mengangguk.
'Selamet... Selamet...', ujar Havi di dalam hati nya.
"Sudahlah.. Ayo Bu.. Ayo Havi.. Kita sarapan bersama", kata Pak Ridho lagi dan mereka bertiga pun akhir nya sarapan bersama dengan hati gembira.
Namun, Pak Ridho dan Bu Saras tidak mengetahui jika Havi saat ini sedang sarapan sambil memikirkan hal lain nya. Yaitu tentang sahabat baik nya yang bernama Sayono alias Yono.
'Yono.. Di kehidupan lamaku, kau selalu menolongku. Bahkan kau adalah orang yang pertama kali berdiri memasang badan dan juga selalu membelaku, meskipun itu semua adalah akibat dari aksi-aksi kriminalku selama ini'.
'Sahabatku.. di kehidupan keduaku ini, aku pastikan aku akan membayar semua kebaikanmu di kehidupan lamaku', tekad Havi di dalam hati.
=======================