Chereads / AKADEMI WAKTU / Chapter 20 - CHAPTER 20

Chapter 20 - CHAPTER 20

Setelah bertahun-tahun terperangkap dalam kekosongan kekuatan sihir, Aetheris mulai memasuki zaman baru, yang tidak lagi dipenuhi dengan keajaiban magis. Masyarakat yang sebelumnya bergantung pada sihir kini harus beradaptasi dengan dunia yang lebih keras dan lebih materialistis. Zaman Besi, sebuah era di mana teknologi dan kekuatan fisik menggantikan kekuatan magis, dimulai.

Sebagian besar kota-kota di Aetheris yang pernah megah kini berada dalam dekadensi. Dengan hilangnya kemampuan untuk mengakses sihir, banyak peradaban yang runtuh atau harus berjuang keras untuk bertahan hidup. Pertanian dan sumber daya alam menjadi hal yang paling bernilai. Perekonomian beralih sepenuhnya dari penggunaan sihir untuk menciptakan kekuatan dan kemakmuran menjadi perdagangan barang dan logam.

Di tengah kekacauan ini, Kaela dan Rael berusaha mengerti bagaimana cara bertahan hidup di dunia yang telah berubah. Mereka melihat bahwa para penduduk Aetheris mulai menemukan kembali kekuatan yang lebih konvensional: logam, alat-alat sederhana, dan akhirnya, pembuatan senjata. Senjata besi menjadi simbol dari era baru ini, dan banyak yang mulai menggali tambang-tambang logam yang dulu dipenuhi dengan energi sihir, sekarang menjadi sumber daya utama untuk peralatan dan perlengkapan.

Kaela berdiri di depan sebuah bengkel kecil yang sibuk memproduksi alat-alat logam. "Rael, lihatlah semua ini. Tak ada lagi benda-benda yang bisa memanfaatkan energi magis. Kini, besi adalah yang terpenting."

Rael mengangguk dengan hati yang berat. "Kita telah mengubur sebuah zaman, Kaela. Zaman yang penuh dengan keajaiban. Dunia ini mungkin tidak pernah bisa kembali seperti dulu."

Namun, meskipun dunia mulai memasuki era tanpa sihir, semangat bertahan hidup tetap ada. Orang-orang mulai beradaptasi dengan teknologi sederhana, memanfaatkan roda, alat penggali, dan perlahan menguasai kerajinan besi. Bangsa-bangsa kecil yang dulu tersebar di Aetheris, bergantung pada sihir untuk berkomunikasi dan bertahan hidup, kini mulai membangun kembali kekuatan mereka melalui penemuan alat dan struktur yang lebih tahan lama.

Sebagai bagian dari proses beradaptasi, revolusi besi muncul. Alat-alat pertanian yang lebih efisien, senjata yang lebih kuat, dan bahkan mesin yang bisa membantu dalam pembangunan kota baru, semuanya diciptakan dari bahan logam yang ditemukan di dalam Aetheris. Pembuatan senjata-senjata besi menjadi sangat vital, terutama dalam menghadapi ancaman-ancaman dari wilayah lain yang masih mencoba menguasai sisa-sisa kekuatan dunia yang lama.

Kaela, yang kini menjadi seorang pemimpin di antara sekumpulan ilmuwan dan ahli teknologi baru, mulai memahami bahwa mungkin ini adalah keberhasilan terakhir peradaban Aetheris. Mereka harus berpikir lebih rasional dan lebih kuat untuk bisa bertahan hidup tanpa bergantung pada keajaiban. Namun, dia juga masih merasa berat di hatinya, kehilangan sebuah dunia yang lebih indah dan lebih penuh dengan kemungkinan tak terbatas.

"Rael," Kaela mulai berbicara dengan suara rendah, "meskipun kita telah memasuki zaman besi, apakah kita tidak boleh mencoba mencari cara untuk menemukan kembali sihir? Ada banyak misteri di luar sana, dan mungkin kita bisa mencari kunci untuk kembalinya kekuatan itu."

Rael menatap Kaela dengan tatapan serius. "Kaela, kita tahu bahwa kita tidak bisa melawan Tariq's Shadow dengan cara biasa. Tetapi jika ada cara untuk menemukan kembali kekuatan magis itu, kita harus melakukannya dengan hati-hati. Terlalu banyak yang bergantung pada keseimbangan ini."

Namun, meskipun begitu, mereka tahu bahwa langkah pertama untuk kembalinya sihir, jika itu mungkin terjadi, adalah memahami dan menguasai era yang baru ini, era yang dipenuhi dengan materialisme dan teknologi besi yang keras.

Namun, meskipun dunia Aetheris telah memasuki Zaman Besi, dampak dari hilangnya sihir tidak bisa langsung diatasi. Negara-negara dan kerajaan-kerajaan yang sebelumnya terbentuk karena ikatan magis kini terbagi-bagi menjadi wilayah yang lebih kecil dan terpecah. Perang kecil mulai merebak di berbagai tempat karena perebutan sumber daya logam dan akses ke tambang-tambang baru.

Kota-kota yang lebih besar mencoba untuk bertahan dengan teknologi yang mereka bangun, sementara kelompok-kelompok yang lebih kecil, yang kehilangan banyak dalam transisi ini, mulai bergantung pada kekuatan fisik untuk bertahan. Perdagangan besi menjadi salah satu pilar utama dari ekonomi baru ini, dan para pengrajin besi mulai dihormati layaknya penyihir yang dahulu menjadi pusat penghormatan masyarakat.

Namun, di balik semua itu, potensi untuk kebangkitan tetap ada. Meskipun dunia kini dikuasai oleh kekuatan fisik dan besi, banyak yang percaya bahwa siapa pun yang bisa menguasai pengetahuan yang telah hilang, baik itu mengenai teknologi atau sihir kuno, akan memiliki kekuatan untuk mengubah kembali takdir Aetheris. Rael dan Kaela, yang menjadi simbol dari harapan masa depan, tetap menjaga semangat mereka untuk mencari cara agar dimensi ini tidak tenggelam lebih dalam ke dalam kegelapan zaman besi yang baru saja dimulai.

Namun, meskipun teknologi telah berkembang, sihir tetap memiliki tempat di dalam legenda. Diceritakan dalam cerita rakyat Aetheris, bahwa suatu saat nanti, sebuah kekuatan kuno yang dapat menyatukan kembali kekuatan sihir dan besi akan muncul, dan mereka yang menemukannya akan memimpin dunia menuju zaman baru, jauh di luar batas zaman besi yang mereka sekarang

Di tengah dunia yang terbagi dan terpecah, masih ada segelintir kelompok yang percaya bahwa keajaiban zaman sihir tidak sepenuhnya hilang. Mereka melakukan pencarian di dalam reruntuhan kuno dan mengikuti jejak-jejak tersembunyi yang mungkin membawa mereka pada pengetahuan yang hilang. Sementara itu, di sisi lain Aetheris, misteri Tariq's Shadow masih menggantung, sebuah ancaman yang semakin mengaburkan masa depan dimensi ini.

Namun, dalam dunia yang penuh dengan kekuatan besi dan teknologi, harapan kecil terus menyala. Siapa yang tahu? Mungkin suatu saat, kekuatan sihir akan menemukan jalan kembali ke Aetheris, membawa bersama kebangkitan dan perubahan besar bagi dunia yang telah lama terperangkap dalam zaman besi.

Saat Aetheris memasuki Zaman Besi, perubahan tidak hanya terjadi pada aspek kehidupan sosial dan teknologi. Alam sendiri mulai menunjukkan gejolak yang tak terduga. Musim-musim yang dulu mengikuti siklus alami kini menjadi semakin liar dan tak menentu. Ada yang mengatakan bahwa ini adalah dampak dari hilangnya keseimbangan sihir yang selama ini mengatur iklim dan cuaca.

Puncaknya terjadi ketika sebuah badai besar yang tak terduga melanda wilayah selatan Aetheris. Hujan deras mengguyur tanah yang sebelumnya kering kerontang, sementara di utara, salju turun dalam jumlah yang tidak wajar, lebih banyak daripada yang pernah tercatat dalam sejarah Aetheris. Wilayah yang biasa mengalami musim panas yang panjang kini terjebak dalam hujan yang terus menerus selama berbulan-bulan, mengubah lanskap pertanian dan perdagangan yang tergantung pada cuaca stabil.

Kaela dan Rael, yang tengah berada di kota pelabuhan Thaloros, menyaksikan dampak langsung dari gejolak cuaca ini. Perairan yang biasanya tenang kini bergejolak, memutuskan jalur perdagangan laut yang menghubungkan banyak kerajaan. "Rael, ini lebih dari sekadar badai musiman," kata Kaela dengan wajah cemas. "Ada sesuatu yang salah dengan dunia ini, sepertinya alam juga berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan besar."

Rael menatap horizon yang gelap, angin keras menampar wajah mereka. "Apa yang bisa kita lakukan? Jika alam sendiri mulai bergejolak, mungkin ini adalah tanda bahwa Zaman Besi bukan hanya perubahan dalam teknologi, tapi juga dalam keseimbangan alam semesta."

Bukan hanya cuaca yang berubah drastis, tetapi juga tanah dan flora Aetheris. Banyak wilayah yang sebelumnya subur dengan tanaman magis kini terancam punah. Tanaman yang dulu hanya bisa tumbuh dengan bantuan sihir, kini mulai layu dan mati. Beberapa tanaman yang ditemukan dalam reruntuhan purba mulai tumbuh kembali, tetapi dalam bentuk yang lebih keras dan penuh duri, seolah alam pun telah beradaptasi dengan kerasnya dunia baru ini.

Di tengah kekacauan ini, perburuan untuk sumber daya alam, terutama logam dan tanaman obat, semakin sengit. Banyak kelompok yang terpaksa berkelana jauh ke dalam hutan atau ke dalam perbukitan yang sebelumnya tidak terjamah, mencari kekayaan alam yang kini dianggap lebih berharga dari sebelumnya.

Namun, ada satu fenomena yang lebih membingungkan: beberapa wilayah Aetheris mulai mengalami perubahan geografis yang aneh. Gunung-gunung yang dulu tak tergerak mulai bergerak perlahan, menambah kecemasan di kalangan penduduk. Seolah-olah, Aetheris sendiri mulai merespons perubahan zaman ini dengan cara yang sangat tidak terduga.

Rael, yang lebih skeptis, tetap mencoba berpikir logis. "Jika alam benar-benar terpengaruh oleh hilangnya sihir, kita harus menemukan cara untuk menstabilkan kembali dunia ini. Semua ini mungkin tidak hanya disebabkan oleh hilangnya kekuatan magis, tapi juga oleh ketidakseimbangan yang diciptakan oleh perubahan zaman."

Kaela, yang lebih sensitif terhadap perubahan alam, mulai menyelidiki lebih dalam. Bersama tim ilmuwan dan peneliti yang dipimpinnya, mereka mulai mengumpulkan data mengenai perubahan iklim dan fenomena alam yang terjadi di berbagai belahan dunia Aetheris. Mereka menemukan bahwa kekuatan alam yang selama ini tersembunyi dalam sihir mungkin masih ada, tersembunyi di dalam inti bumi dan langit yang mulai bergejolak.

Namun, meskipun pertempuran besar antara teknologi dan sihir semakin mendekat, ada satu hal yang tidak bisa dihindari: Aetheris telah berubah. Keajaiban yang pernah ada tidak akan kembali dengan mudah. Masyarakat kini dipaksa untuk beradaptasi dengan kekuatan yang lebih keras dan fisik. Tapi bagi Kaela dan Rael, harapan masih ada. Mereka percaya bahwa di balik gejolak alam dan perubahan dunia, ada kunci untuk menemukan keseimbangan baru, sebuah cara untuk mengembalikan keseimbangan dunia yang mungkin tidak melibatkan sihir seperti dulu, namun tetap mampu menghubungkan manusia dengan kekuatan lebih besar daripada besi.

"Rael," kata Kaela suatu hari ketika mereka berdiri di atas bukit, melihat langit yang seakan bergolak dengan warna yang tidak wajar, "aku tidak tahu apakah kita akan bisa mengembalikan sihir, tapi kita harus terus mencari. Dunia ini, dalam kekacauannya, mungkin sedang mencoba memberitahukan kita sesuatu."

Rael menatap Kaela dengan mata yang tajam. "Kita mungkin tidak akan menemukan jalan kembali ke masa lalu. Tetapi mungkin, kita bisa menciptakan masa depan yang lebih baik, meski dunia ini telah berubah.

Musim-musim yang semakin ekstrim dan gejolak alam yang tak terduga mungkin hanyalah tanda bahwa Aetheris sedang memasuki babak baru yang lebih gelap, namun penuh dengan potensi tak terduga. Kaela dan Rael tahu bahwa jalan mereka tidak akan mudah. Dunia ini telah melupakan sihir, namun mungkin ada cara untuk menghidupkan kembali sebuah kekuatan baru yang bisa menyatukan apa yang telah terpisah.

Dengan tekad yang baru, mereka memutuskan untuk melangkah lebih jauh, melewati badai alam dan perubahan musim yang keras, untuk menemukan kunci bagi kebangkitan Aetheris. Dunia mungkin tidak akan pernah kembali seperti dulu, tetapi dalam kegelapan zaman besi yang menguasai dunia ini, mungkin ada cahaya harapan yang tersembunyi, siap untuk ditemukan.

Ketika Aetheris memasuki Zaman Besi, pergeseran dalam struktur dunia yang lebih besar mulai terjadi. Gejolak alam yang semakin intens, ditambah dengan hilangnya sihir, mempercepat perpecahan dimensi ini. Benua-benua yang dulunya bersatu kini terpisah oleh berbagai fenomena alam yang aneh dan setiap benua tersebut tumbuh dengan kekuatan dan identitas yang berbeda, menyesuaikan diri dengan dunia baru yang keras dan penuh tantangan.

Keeravon, yang dulu dikenal sebagai pusat magis Aetheris, kini menjadi benua yang dipenuhi dengan tambang logam dan sumber daya alam yang melimpah. Sebelum perubahan besar, Keeravon adalah rumah bagi kota-kota yang dikenal dengan keindahan arsitektur magisnya. Namun, dengan hilangnya sihir, Keeravon bertransformasi menjadi pusat industri dan pertambangan terbesar di Aetheris.

Sumber daya alam yang melimpah, besi, tembaga, dan logam langka, menjadi tulang punggung perekonomian di benua ini. Kota-kota yang dulunya bercahaya dengan energi magis kini dipenuhi dengan asap dari pabrik-pabrik besi dan peleburan logam. Bangsa Keeravon, yang dulu dikenal karena kebijaksanaan dan kemegahan magisnya, sekarang dikenal sebagai pengrajin logam ulung dan ahli dalam pembuatan senjata. Keeravon menjadi benua yang penuh dengan perang internal untuk menguasai tambang-tambang logam dan wilayah yang kaya sumber daya.

Namun, di balik industri yang menguasai tanah ini, ada kelompok-kelompok pemberontak yang berusaha untuk menghidupkan kembali kekuatan sihir kuno mereka. Mereka percaya bahwa dengan memanfaatkan kekuatan alam yang tertinggal, mereka bisa membangkitkan kembali kekuatan magis yang telah lama hilang.

Sylvessa adalah benua yang sangat berbeda dari Keeravon. Sebelum kejatuhan sihir, Sylvessa dikenal sebagai hutan yang penuh dengan makhluk-makhluk magis dan alam yang sangat terhubung dengan sihir. Namun, setelah kehilangan kekuatan magis, banyak dari tanaman dan makhluk yang bergantung pada energi sihir mengalami kepunahan. Meskipun demikian, Sylvessa bertahan dengan cara yang unik.

Sebagian besar wilayah Sylvessa kini dipenuhi dengan hutan-hutan yang semakin keras dan berbahaya. Flora dan fauna yang ada mulai beradaptasi dengan kerasnya dunia baru. Tumbuhan dan pohon besar yang dulu melambangkan kedamaian kini menjadi lebih keras dan penuh duri, sedangkan makhluk-makhluk magis yang tersisa bersembunyi di dalam hutan-hutan terpencil. Kelompok manusia di Sylvessa menjadi ahli dalam pertanian dan pengelolaan sumber daya alam, menggunakan keterampilan bertahan hidup untuk menghadapi lingkungan yang semakin liar.

Namun, ada yang percaya bahwa di dalam kedalaman hutan-hutan besar, masih ada sisa-sisa kekuatan kuno yang tersembunyi, sesuatu yang bisa mengembalikan keseimbangan sihir yang hilang. Sebagian besar penduduk Sylvessa kini adalah penjaga alam, menjaga keseimbangan ekosistem yang mulai rapuh, dan berusaha untuk menemukan kembali hubungan mereka dengan energi alam yang dahulu mengalir melalui dunia.

Di bagian selatan Aetheris, Thalasson muncul sebagai benua yang sangat bergantung pada lautan dan pulau-pulau terpencil. Sebelum perpecahan besar, Thalasson dikenal sebagai pusat perdagangan laut yang pesat, dengan jalur perdagangan yang menghubungkan banyak kerajaan melalui pelabuhan-pelabuhan besar. Namun, ketika dunia memasuki Zaman Besi dan cuaca mulai bergejolak, Thalasson menjadi lebih terisolasi.

Pulau-pulau besar yang dulu dihuni oleh banyak peradaban maritim kini terbagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang berusaha bertahan dengan perdagangan laut dan penangkapan ikan. Namun, gejolak cuaca yang semakin tidak stabil membuat pelayaran menjadi lebih berbahaya, dan sebagian besar pelabuhan utama telah tenggelam atau hancur akibat badai besar yang datang secara tiba-tiba.

Thalasson kini menjadi benua yang penuh dengan kekuatan militer laut dan para pelaut yang terampil. Sumber daya utama mereka adalah perdagangan bahan bakar dan logam langka, serta senjata-senjata yang dibuat dari logam dan teknologi baru. Benua ini juga terkenal dengan pulau-pulau tersembunyinya, yang menyimpan rahasia-rahasia kuno tentang sihir dan teknologi maritim yang hilang.

Ardentis adalah benua yang paling keras dan berbahaya di antara empat benua. Dulu, benua ini dipenuhi dengan gunung berapi aktif dan lahan tandus, namun kini, dengan hilangnya sihir yang mengendalikan keseimbangan alam, Ardentis telah menjadi tanah yang terbelah dan penuh dengan lahan vulkanik yang membara. Sebelum Zaman Besi, Ardentis adalah pusat pengetahuan kuno dan kekuatan api, tempat di mana banyak peradaban kuno bermula.

Namun, dengan hilangnya sihir, gunung-gunung berapi yang semula digunakan untuk menyalurkan energi magis kini hanya menyisakan kehancuran dan bahaya. Para penduduk Ardentis, termasuk bangsa yang dikenal dengan kemampuan dalam menambang mineral panas dan pengolahan api, harus berjuang keras untuk bertahan hidup.

Walaupun kehidupan di Ardentis penuh dengan ancaman alam yang ekstrem, kekuatan api dan magma masih digunakan oleh beberapa kelompok untuk menciptakan senjata atau bangunan yang tahan lama. Dalam peradaban yang keras ini, para pemimpin sering kali mengandalkan pertempuran fisik dan kekuatan api untuk menguasai wilayah, sedangkan mereka yang lebih cerdas berusaha untuk menemukan cara menggunakan magma dan api sebagai sumber energi baru bagi kehidupan mereka.

Masing-masing benua ini mulai berkembang dengan cara yang sangat berbeda, menciptakan kerajaan-kerajaan kecil yang terus bersaing dan bertarung untuk menguasai sumber daya alam yang terbatas. Perang antar benua mulai membara, dengan Keeravon yang menguasai teknologi besi dan senjata, Sylvessa yang mencoba menjaga kekuatan alam, Thalasson yang mengandalkan jalur perdagangan laut, dan Ardentis yang menguasai kekuatan api dan magma.

Namun, meskipun ada perpecahan yang besar, masih ada kelompok-kelompok yang percaya bahwa kekuatan kuno dari zaman sihir yang hilang bisa menyatukan kembali dunia Aetheris. Mereka mencari petunjuk yang tersembunyi di reruntuhan kuno atau melalui ramalan, berharap menemukan jalan untuk menyatukan kembali empat benua yang kini terpisah oleh perbedaan kekuatan dan kepentingan.

Kaela dan Rael, yang kini berada di pusat pergerakan untuk mencari pengetahuan yang hilang, tahu bahwa tugas mereka menjadi semakin besar. Tidak hanya dunia mereka yang terpecah, tetapi Aetheris itu sendiri sedang berjalan menuju masa depan yang tidak pasti. Namun harapan mereka masih menyala: mungkin suatu saat nanti, ada cara untuk menyatukan kembali empat benua dan mengembalikan keseimbangan yang hilang, baik itu melalui kekuatan besi, api, alam, atau mungkin sihir yang terlupakan.

Perpecahan yang semakin dalam antara empat benua Aetheris, ditambah dengan perubahan alam yang tak terduga dan kehilangan keseimbangan sihir, akhirnya memunculkan gejolak peperangan yang mengerikan. Seiring dengan berjalannya waktu, keserakahan menjadi akar dari hampir setiap konflik, di tengah perebutan sumber daya alam yang sangat terbatas dan pencarian kekuatan yang lebih besar.

Di Keeravon, perang pertama dimulai setelah penemuan tambang logam baru yang sangat kaya akan bahan langka. Sebuah kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang pemimpin ambisius bernama Holtar, berhasil menemukan cadangan besi berkualitas tinggi yang tersembunyi jauh di dalam gunung. Mereka segera mengklaim wilayah tersebut, dan ini memicu perseteruan dengan kerajaan besar lainnya yang menginginkan sumber daya yang sama.

Holtar dengan cepat membentuk pasukan besar, menggunakan kekuatan teknologi besi yang mereka kuasai untuk memproduksi senjata dan mesin perang. Kerajaan-kerajaan tetangga, yang terancam kehilangan akses ke logam yang sangat diperlukan untuk mendirikan kekuatan mereka, segera mengirimkan pasukan untuk merebut tambang tersebut. Pabrik-pabrik senjata yang dulunya menjadi simbol kemakmuran, kini menjadi pusat pembuatan alat perang, sementara kota-kota yang dulunya damai berubah menjadi benteng-benteng yang terlindung dengan pertahanan logam yang kokoh.

"Jika kita tidak merebut sumber daya ini, kita akan dihancurkan!" teriak Bane, salah satu jenderal Keeravon, kepada pasukannya yang mulai mengobarkan perang terbuka. Sebuah perang yang kemudian dikenal sebagai Perang Logam, perang besar yang menyebar ke seluruh Keeravon, merusak tatanan yang sebelumnya hanya dipenuhi dengan pencarian kemakmuran dan inovasi teknologi.

Sementara itu, di Sylvessa, perang yang lebih subtil namun sama berbahayanya sedang berlangsung. Ketika hutan-hutan besar mulai mengering dan sumber daya alam mulai menipis akibat gejolak iklim, suku-suku yang tinggal di dalam hutan berperang untuk menguasai sumber air yang tersisa dan tanah subur yang masih bisa ditanami. Bangkai tanaman magis yang dulu menjadi kekayaan alam Sylvessa kini terancam punah, dan hanya beberapa kawasan yang masih bisa mendatangkan hasil.

Namun, keserakahan tidak hanya datang dari dalam. Kelompok pedagang dari Keeravon yang sangat bergantung pada sumber daya alam juga mulai mengeksploitasi tanah dan flora yang tersisa di Sylvessa. Mereka merambah hutan-hutan untuk mencari bahan baku baru, tanpa memperhitungkan dampaknya pada ekosistem yang sudah rapuh.

Di tengah kebingungannya, Tariana, seorang pemimpin besar dari suku Velenor, mengumpulkan pasukan untuk melawan invasi tersebut. "Kita akan mempertahankan tanah ini dengan segala cara," katanya dengan tegas. "Alam adalah bagian dari kita, dan kita akan mengorbankan segalanya untuk menjaganya."

Di Thalasson, perdagangan laut yang dulunya menjadi urat nadi ekonomi benua ini kini juga menjadi sumber perpecahan. Dengan cuaca yang semakin tak stabil, jalur laut yang dulu aman kini menjadi sangat berbahaya. Pulau-pulau yang lebih kecil mulai terisolasi, dan perdagangan dengan benua lainnya semakin sulit. Namun, keserakahan para pedagang Thalasson mengarah pada perebutan kontrol atas jalur laut yang tersisa.

Raja Darius, penguasa salah satu kerajaan terbesar di Thalasson, mengerahkan armada kapal terbesarnya untuk merebut pulau-pulau yang dianggap kaya akan logam dan rempah-rempah yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Perang terbuka di laut pun tak terelakkan, dengan kapal perang yang saling bertarung di tengah badai besar yang semakin sering terjadi.

Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa para pelaut dan pedagang mulai menggunakan pengetahuan sihir kuno yang tersembunyi di pulau-pulau tertentu untuk menciptakan senjata yang dapat mengendalikan cuaca. Ini membuat pertempuran semakin intens dan tak terduga dan banyak kapal yang hilang begitu saja tanpa jejak.

Sementara itu, di Ardentis, pertempuran mencapai tingkat yang lebih mematikan. Tanah yang dipenuhi dengan gunung berapi dan lahar yang membara kini menjadi tempat yang penuh dengan konflik untuk menguasai sumber magma dan mineral berharga yang tersembunyi di bawah permukaan tanah.

Kekuatan api, yang dulu digunakan untuk membangun dan melindungi, kini digunakan untuk merusak dan menghancurkan. Negara-negara kecil yang tinggal di bawah bayang-bayang gunung berapi berperang untuk menguasai titik-titik panas yang dapat digunakan untuk menciptakan senjata yang sangat kuat. Beberapa kelompok di Ardentis bahkan menggunakan magma sebagai senjata untuk menghancurkan musuh mereka, menciptakan bahaya yang tak terbayangkan.

Namun, keserakahan yang melanda juga menciptakan aliran lava tak terkendali yang merusak wilayah yang sebelumnya subur dan menjadi sangat berbahaya bagi kehidupan yang tersisa. Kebakaran besar yang disebabkan oleh letusan gunung berapi menghanguskan sebagian besar wilayah Ardentis, dan pertempuran untuk merebut tanah yang terbakar menjadi semakin sengit.

Pada akhirnya, gejolak peperangan ini menyatu dalam sebuah konflik besar yang dikenal sebagai Perang Besar Aetheris, sebuah perang yang melibatkan seluruh benua dan mengancam untuk menghancurkan apa yang tersisa dari dunia ini. Masing-masing benua memperebutkan apa yang mereka anggap sebagai sumber daya terakhir yang bisa menyelamatkan peradaban mereka: logam langka, sumber daya alam, kendali atas iklim dan cuaca, serta kekuatan api dan sihir kuno.

Di tengah kekacauan ini, Kaela dan Rael yang telah lama mencari cara untuk mengembalikan keseimbangan dunia Aetheris, kini menyadari bahwa keserakahan, baik dari kekuatan fisik, logam, maupun keinginan untuk menguasai sihir kuno, adalah musuh terbesar mereka. Untuk menyatukan dunia ini kembali, mereka harus menghadapi keserakahan yang telah meracuni setiap sudut Aetheris dan menemukan cara untuk mengembalikan keseimbangan yang telah lama hilang.

Apakah mereka akan berhasil, ataukah perang dan keserakahan akan merusak segalanya? Waktu yang akan menentukan.

Di tengah gejolak perang yang semakin membara di seluruh Aetheris, di sebuah tempat yang tersembunyi jauh di dalam Gunung Ralnaris, berdiri sebuah institusi yang telah lama dijaga dengan ketat, yaitu Akademi Waktu. Akademi ini, yang memiliki reputasi sebagai pusat pengetahuan tertinggi dan studi tentang dimensi, sejarah, dan kekuatan temporal, telah lama menjadi tempat yang disegani oleh para ilmuwan, penyihir, dan cendekiawan Aetheris. Namun, dengan keruntuhan zaman sihir, Akademi Waktu juga telah kehilangan banyak kekuatannya, meskipun mereka tetap menyimpan pengetahuan yang sangat berharga tentang sejarah dunia ini, termasuk ramalan tentang masa depan Aetheris yang kini terancam oleh peperangan tanpa akhir.

Dalam aula utama Akademi Waktu, Master Veldar, seorang penjaga pengetahuan yang telah berusia ratusan tahun, berdiri di depan sebuah spektroskop besar yang memancarkan cahaya biru redup. Spektroskop ini adalah alat kuno yang dapat melihat gelombang waktu, mencatat bukan hanya pergerakan planet, tetapi juga perubahan yang lebih halus dalam aliran takdir.

"Melihat aliran waktu kini terasa seperti membaca halaman-halaman yang terbakar," ujar Master Veldar, suaranya bergetar. "Aetheris menuju kehancuran, dan kita hampir tidak bisa mencegahnya."

Salah satu murid muda yang berbakat, Calia, mendekat dan bertanya dengan penuh kekhawatiran, "Apa yang terjadi, Master? Apa yang kita lihat dalam gelombang waktu ini?"

Veldar menghela napas panjang, matanya yang penuh kerutan berfokus pada layar spektroskop. "Perang yang tiada akhir ini telah menciptakan ritme kehancuran. Aetheris akan mengalami kehancuran lebih lanjut jika peperangan ini terus berlanjut. Waktu sendiri mulai retak di sekitar kita. Jika kita tidak menghentikan ini, seluruh dimensi akan terhimpit dalam keserakahan tanpa batas."

"Apakah ada cara untuk mengakhiri semua ini?" tanya Calia, cemas.

Veldar menjawab dengan suara berat, "Ada, tetapi sangat berbahaya. Kami telah melihat kemungkinan di masa depan yang tak dapat disangkal. Semua jalur ini berujung pada kehancuran Aetheris, kecuali jika kita dapat mengubah jalur waktu itu sendiri."

Akademi Waktu, yang telah lama menjadi pusat penelitian temporal dan pemahaman tentang dimensi, kini merasa sangat terdesak. Mereka mengetahui bahwa perubahan besar sedang berlangsung, tidak hanya di dunia fisik, tetapi juga di dunia waktu dan ruang itu sendiri. Kehilangan keseimbangan antara energi sihir, materi, dan waktu berakibat pada terbentuknya garis temporal yang terpecah-pecah. Semua tindakan yang diambil oleh para pemimpin benua-benua ini, yang semakin dipenuhi dengan ambisi dan keserakahan, semakin mendekatkan dunia kepada kemusnahan total.

Sebagai langkah pertama untuk menghentikan perang yang tiada akhir, Akademi Waktu mengirimkan sebuah pesan peringatan kepada seluruh pemimpin dunia Aetheris. Peringatan ini disebarkan melalui artifak waktu yang sangat langka, yang dapat melintasi batas waktu dan ruang untuk mencapai tujuan mereka.

Pesan itu berbunyi:

"Aetheris berada di ambang kehancuran. Keputusan-keputusan yang diambil sekarang akan mengubah takdir dunia ini selamanya. Perang yang tidak berhenti akan menciptakan aliran temporal yang tidak dapat dipulihkan. Jika kita tidak menghentikan kekerasan ini, seluruh dimensi ini akan terpecah, tidak hanya antara benua, tetapi juga di dalam ruang dan waktu itu sendiri. Tidak ada yang akan tersisa."

"Kami memohon kepada para pemimpin: hentikan perang ini. Temui para penjaga waktu. Temui mereka yang memiliki pengetahuan untuk mengubah jalur yang telah rusak. Jika tidak, tak ada yang bisa menghindarkan Aetheris dari kehancuran yang lebih besar."

Rael dan Kaela, yang kini terjebak dalam pertempuran untuk menjaga kedamaian di benua mereka, menerima peringatan ini dengan penuh rasa takut. Mereka tahu bahwa Akademi Waktu tidak pernah memberikan peringatan tanpa alasan yang kuat. Mereka memutuskan untuk mengambil langkah berani: menuju Gunung Ralnaris untuk mencari pengetahuan lebih lanjut, berharap menemukan cara untuk memulihkan aliran waktu dan menghentikan perang yang sedang merusak dunia mereka.

"Rael, ini adalah satu-satunya jalan," kata Kaela dengan serius, mata mereka bertemu dalam keheningan. "Jika kita tidak bertindak sekarang, kita akan kehilangan lebih dari sekadar sihir. Kita akan kehilangan semuanya."

Rael mengangguk. "Kita tidak bisa biarkan keserakahan ini menghancurkan dunia kita, Kaela. Akademi Waktu mungkin punya jawaban. Mari kita pergi."

Namun, perjalanan mereka ke Akademi Waktu bukanlah perjalanan yang mudah. Keeravon, Sylvessa, Thalasson, dan Ardentis, semua benua kini dalam keadaan perang terbuka dan penuh konflik, membuat perjalanan ke Gunung Ralnaris penuh dengan bahaya. Mereka harus melewati perbatasan yang dikuasai pasukan Keeravon yang agresif, hutan liar Sylvessa yang penuh dengan perang suku, lautan berbahaya Thalasson, dan gunung api Ardentis yang tak pernah berhenti meletus. Setiap langkah mereka bisa berakhir dengan kematian atau perang.

Namun, meskipun dunia Aetheris terpecah dan semakin hancur, harapan masih ada. Di dalam Akademi Waktu, ada kunci untuk mengubah nasib dunia ini, meskipun sangat sedikit yang tahu apakah harapan itu bisa terwujud.

"Rael," kata Kaela, sambil menatap matahari terbenam di kejauhan, "mungkin kita adalah satu-satunya yang bisa menghentikan perang ini. Tapi kita harus bergerak cepat, waktu semakin sempit."

Rael menatapnya dengan tekad. "Mari kita lakukan ini, Kaela. Untuk Aetheris."

Dengan langkah yang penuh tekad, mereka memulai perjalanan mereka menuju Akademi Waktu, tempat yang mungkin bisa mengubah takdir dunia, atau mungkin, tempat yang akan mengakhiri semuanya. Namun, satu hal yang pasti: jika mereka tidak berhasil, Aetheris akan tenggelam dalam perang dan kehancuran tanpa akhir.

Aetheris sekarang tidak hanya terperangkap dalam konflik fisik, tetapi juga dalam pertempuran waktu. Apakah perjalanan Kaela dan Rael ke Akademi Waktu akan berhasil? Ataukah mereka akan gagal dan menyerah pada gelombang kehancuran yang semakin mendekat? Jawabannya mungkin hanya ada dalam sebuah garis waktu yang rapuh, yang jika tidak dijaga dengan hati-hati, bisa menghancurkan semua harapan.

Ketika peringatan dari Akademi Waktu tersebar, dampaknya tak hanya terasa di kalangan para pemimpin perang, namun juga di kalangan para bangsawan dan pelayan lama yang memiliki hubungan erat dengan Akademi tersebut. Salah satu bangsawan yang sangat dihormati di wilayah Keeravon, meskipun statusnya jauh dari deretan bangsawan besar, adalah Lord Aric Delmara, seorang pemimpin kecil yang tidak dikenal luas, namun memiliki hubungan kuat dengan sejarah Akademi Waktu. Leluhur Aric pernah menjadi pelayan Akademi yang setia, bertugas menjaga keamanan dan membantu para penjaga waktu dalam berbagai misi penting di masa lalu.

Meskipun zaman telah berubah dan Akademi Waktu semakin terasing setelah hilangnya sihir, keluarga Delmara tetap menjaga hubungan mereka dengan Akademi, bahkan hingga kini. Aric, meskipun hanya seorang bangsawan kecil, tahu bahwa suatu saat Akademi Waktu akan membutuhkan bantuan mereka lagi dan saat itu akhirnya tiba.

Pada suatu malam yang penuh angin dingin, di ruang kerja Lord Aric, sebuah surat tertutup tiba. Surat tersebut datang dalam pecahan kristal ungu yang sangat langka, sebuah simbol pengirimannya yang hanya digunakan oleh mereka yang memiliki otoritas besar di dalam Akademi Waktu. Lord Aric menatap surat tersebut dengan penuh rasa hormat, mengetahui bahwa apa yang tertulis di dalamnya adalah sesuatu yang sangat penting, lebih dari sekadar undangan biasa.

Tanpa ragu, ia membuka surat tersebut dengan cermat, dan membaca isi pesan yang tertulis dengan tangan yang sangat rapi:

"Dengan penuh hormat, kami mengundang Lord Aric Delmara, sebagai penerus layanan leluhur keluarga Anda yang telah lama melayani Akademi Waktu, untuk bertindak sebagai perantara antara Akademi dan mereka yang mencari penyelamatan dunia ini. Akademi Waktu membutuhkan bantuan Anda untuk menyatukan kekuatan dari mereka yang berkuasa di Aetheris dan untuk mengarahkan mereka pada solusi yang telah lama kami simpan dalam catatan waktu. Tugas ini adalah hal yang sangat penting dan sangat berbahaya, dan kami percaya hanya orang-orang seperti Anda yang bisa menjembatani masa lalu dan masa depan."

"Waktu semakin sempit, dan kami memerlukan bantuan Anda segera. Jangan buang waktu."

Dengan rasa terkejut dan penuh kekhawatiran, Lord Aric menatap surat itu. Ia tahu betul bahwa undangan ini bukanlah permintaan biasa. Akademi Waktu mengandalkan keterhubungan sejarah keluarga Delmara dengan mereka, dan keberadaan mereka yang telah lama setia, sebagai kunci untuk mengubah takdir yang semakin rapuh. Namun, apa yang diminta darinya lebih dari sekadar bantuan biasa, Akademi Waktu meminta agar ia menjadi jembatan yang menghubungkan semua benua yang kini terpecah karena peperangan dan keserakahan.

"Ini adalah ujian bagi seluruh keluargaku," gumam Aric, menatap jendela besar yang menghadap ke luar. "Aku tidak bisa mundur, meskipun bahaya menunggu."

Keputusan Aric untuk menerima undangan itu bukanlah hal yang mudah. Sebagai bangsawan tingkat rendah yang lebih sering dipandang sebelah mata oleh banyak kalangan, ia harus menghadapi keraguan dan ancaman dari dalam negeri. Banyak yang menganggap Aric sebagai orang biasa yang hanya bergantung pada warisan leluhur, namun tidak memiliki kekuatan atau pengaruh yang besar. Tetapi ia tahu bahwa waktu yang semakin habis, dan Akademi Waktu tak akan meminta bantuannya jika itu tidak benar-benar krusial.

Aric segera menyusun rencana dan mempersiapkan segala sesuatunya. Ia menghubungi Garrick, salah seorang pengawalnya yang setia, untuk mengumpulkan informasi lebih lanjut tentang pergerakan pasukan dan gerakan musuh yang mungkin menggagalkan misi penting ini. "Kita harus bergerak dengan sangat hati-hati," kata Aric, menatap peta dunia yang terhampar di meja kerja. "Keeravon adalah titik sentral, tapi perjalanan ini tidak akan mudah."

Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, Aric menyuruh Garrick dan beberapa pengawal lainnya untuk mengantarnya menuju Akademi Waktu, yang terletak jauh di dalam Gunung Ralnaris, tempat yang bahkan jarang diketahui oleh orang luar. Perjalanan ini berbahaya, karena selain medan yang sulit, Akademi Waktu juga telah lama menjauhkan diri dari dunia luar. Namun, dengan keputusan bulat, Aric tahu bahwa ia harus bertindak.

"Kita harus berada di sana sebelum terlambat, Garrick. Akademi menunggu, dan dunia tidak bisa menunggu lebih lama lagi."

Saat Aric tiba di Akademi Waktu, ia merasakan kembali jejak-jejak masa lalu yang melingkupi tempat itu. Bangunan besar dan megah, yang dahulu dipenuhi dengan aktivitas ilmiah dan magis, kini tampak sepi dan sunyi. Dinding batu yang telah lama berdiri itu menyimpan kenangan tentang leluhur Aric yang pernah bekerja di sini sebagai pengawal dan pelayan Akademi. Leluhurnya, yang pada zaman dahulu memiliki kedudukan yang lebih tinggi, selalu berpesan kepada keluarga Delmara bahwa keberadaan Akademi Waktu adalah penentu nasib dunia.

Dengan hati penuh penghormatan, Aric menapaki setiap langkah di Akademi yang penuh misteri ini. Begitu sampai di ruang utama, tempat di mana Master Veldar menunggu, ia merasa seperti kembali ke rumah yang lama terlupakan.

"Lord Aric," sambut Veldar dengan nada serius, "kami sangat menghargai bahwa Anda datang. Tidak banyak yang bisa diandalkan dalam dunia yang kacau ini, namun Anda, seperti leluhur Anda, adalah orang yang telah lama mengerti pentingnya menjaga jalan waktu."

Aric membungkuk hormat. "Saya di sini untuk memenuhi tugas yang dipercayakan kepada keluarga Delmara. Leluhur saya selalu mengingatkan saya bahwa waktu tidak pernah bisa diperlambat, dan mungkin ini adalah kesempatan terakhir kita untuk menyelamatkan Aetheris."

Veldar memandang Aric dengan tajam. "Kami tahu bahwa Anda membawa warisan yang sangat penting, Lord Aric. Aetheris terpecah, namun Anda, seperti leluhur Anda, dapat menjadi penjaga keseimbangan. Saat ini, banyak yang tidak menyadari bahwa tugas Anda bukan hanya untuk membawa pesan, tetapi juga untuk menghubungkan kekuatan yang tersebar di seluruh benua ini. Jika tidak ada yang mampu menghentikan perang ini, kita akan kehilangan lebih dari sekadar sihir. Kita akan kehilangan segala-galanya."

Di sinilah Aric berada, terjebak antara masa lalu yang dipenuhi dengan pelayanan dan kehormatan leluhur, dan masa depan yang penuh dengan konflik yang bisa menghancurkan segalanya. Dengan semua yang dipertaruhkan, Aric tahu bahwa tugas ini lebih dari sekadar kehormatan keluarga, ini adalah tentang masa depan Aetheris itu sendiri.

"Saya siap, Master Veldar," ujar Aric dengan keyakinan yang teguh. "Mari kita selamatkan dunia ini, sebelum waktu benar-benar habis."

Dengan itu, Aric Delmara menerima takdir yang sudah lama ditunggu oleh leluhurnya. Sebagai perantara terakhir antara Akademi Waktu dan dunia yang semakin kacau, ia siap untuk menghadapi gejolak perang dan keserakahan yang mengancam untuk menghancurkan Aetheris, membawa harapan bagi dunia yang terpecah.