Penghujung Zaman
Maya berdiri di balik jendela rumah besar peninggalan leluhurnya, menatap lautan hijau yang terbentang luas di depan. Perkebunan teh milik keluarganya itu sudah mulai dipenuhi oleh kabut tipis yang turun perlahan dari pegunungan, memberi kesan seperti dunia yang sedang terbangun dari mimpi. Ia sering merenung di sana, menikmati ketenangan alam yang seakan berbicara padanya. Namun, dalam keheningan itu, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
"Pagi ini akan seperti pagi-pagi sebelumnya," pikir Maya, menatap cawan teh di tangannya. Teh yang baru saja diseduh dari daun yang dipetik pagi-pagi buta oleh para pekerja di kebun. Namun, pagi ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang tidak biasa, seperti sebuah kekosongan yang tiba-tiba muncul tanpa sebab yang jelas.
Sambil menundukkan kepala, Maya memperhatikan jemarinya yang gemetar memegang cawan. Bukan karena dingin atau ketegangan fisik, tetapi karena ia tahu sesuatu akan segera datang yang mengubah segalanya. Sesuatu yang berhubungan dengan kedatangan seorang pria asing ke rumah mereka.
Johannes.
Nama itu selalu membawa rasa campur aduk dalam dirinya. Beberapa bulan terakhir, sejak pertama kali bertemu di sebuah acara sosial di kota, wajah Johannes selalu hadir dalam pikirannya, seakan menjadi bayangan yang tak bisa ia lepaskan. Pria Belanda yang bekerja di perkebunan teh milik pemerintah kolonial. Berkulit terang, mata biru, dan berbicara dengan logat asing yang terdengar indah di telinga. Namun, di balik keindahannya, ada sesuatu yang tidak bisa dimiliki oleh seseorang seperti Maya.
Maya adalah wanita pribumi, keturunan bangsawan Jawa yang hidup dalam bayang-bayang penjajahan. Kedudukannya di masyarakat sangat terbatas, meskipun ia datang dari keluarga terpandang, status sosialnya tetap dibatasi oleh garis ras dan budaya. Sedangkan Johannes adalah seorang pria Belanda, yang datang dari kalangan aristokrat Eropa. Hubungan mereka, bahkan jika hanya dalam pertemuan singkat, adalah sesuatu yang sangat terlarang.
Namun, tak ada yang bisa menahan perasaan yang tumbuh antara mereka. Ketika pertama kali bertemu, Maya hanya merasa canggung dan bingung. Ia merasa tidak sepenuhnya bisa menerima kenyataan bahwa seorang pria asing dari bangsa yang menjajah tanahnya bisa begitu memperhatikannya. Namun, seiring waktu, tatapan Johannes yang penuh minat mulai mempengaruhi pikirannya. Canda tawa mereka, obrolan-obrolan yang tak berarti, mulai menciptakan ruang yang lebih dalam di dalam hati Maya.
Akan tetapi, meski perasaan itu tumbuh dengan begitu alami, Maya tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa hubungan semacam itu tidak bisa berlangsung lama. Itu adalah hubungan yang ditentang oleh banyak pihak. Keluarganya, meskipun terkesan modern dan terbuka, tetap hidup dalam konteks zaman kolonial yang sangat membatasi interaksi antar ras. Orang tuanya, terutama ibunya, sudah mengingatkan Maya berkali-kali bahwa perempuan pribumi tak boleh terjebak dalam perasaan yang hanya akan mengarah pada kehancuran.
Hari itu, perasaan Maya kembali tertarik pada bayang-bayang yang tak bisa dihindari. Sejak Johannes pertama kali menanyakan izin untuk datang mengunjungi keluarganya, Maya merasa ada sesuatu yang akan mengubah nasibnya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap tenang, menjaga jarak, dan menjaga perasaan. Tetapi, betapa pun ia berusaha keras, perasaan itu tak bisa dihentikan.
Tiba-tiba, pintu ruang tamu terbuka, dan suara langkah kaki yang mantap memecah lamunan Maya. Ibunya, dengan gaun batik yang terbuat dari kain sutra halus, masuk ke ruangan. Wajah ibunya yang anggun itu menunjukkan ekspresi yang tak biasa. Ada kekhawatiran yang terpendam di balik mata tajamnya. Maya tahu, ibunya tidak sepenuhnya menyetujui hubungan mereka, tetapi juga tidak bisa menolak kenyataan bahwa Johannes adalah tamu terhormat yang membawa nama besar.
"Maya, sudah saatnya kamu bersiap. Johannes akan datang sebentar lagi," kata ibu Maya, suaranya tegas namun penuh perhatian.
Maya mengangguk, meletakkan cawan teh yang masih hangat di atas meja dan berdiri. Perasaannya campur aduk. Ada ketegangan di dadanya, perasaan seperti sedang berdiri di tepi jurang. Cinta dan kewajiban saling tarik menarik, dan ia tak tahu harus memilih yang mana. Apakah ia akan mengikuti perasaan yang telah tumbuh selama ini, ataukah ia akan memilih jalan yang lebih aman, mematuhi batas-batas yang ditetapkan oleh keluarga dan masyarakatnya?
Maya melangkah keluar dari ruang makan menuju kamar tidurnya. Dengan cepat, ia memilih gaun hijau yang terbuat dari kain halus, warna yang sesuai dengan kulitnya yang sawo matang. Ia merapikan rambutnya yang panjang dan hitam, kemudian menatap pantulan dirinya di kaca. Ia tak bisa menghindari perasaan yang datang begitu kuat, meski ia tahu itu adalah perasaan yang harus dikubur dalam-dalam.
Di luar, angin berhembus sepoi-sepoi, dan bau tanah yang basah setelah hujan menggantung di udara. Maya menatap ke arah taman, di mana seorang pelayan sedang mempersiapkan segala sesuatu untuk kedatangan Johannes. Tak lama, suara kendaraan yang bergerak pelan terdengar di jalan setapak menuju rumah mereka. Maya tahu, itu adalah kendaraan Johannes.
Sungguh aneh, pikirnya, bagaimana cinta bisa tumbuh begitu mudahnya dalam hati yang seharusnya tahu betul tempatnya. Dalam dunia yang penuh dengan aturan yang tak bisa dilanggar, bagaimana ia bisa menginginkan sesuatu yang begitu tidak mungkin?
Ketika akhirnya Maya turun ke ruang tamu, matanya langsung bertemu dengan mata Johannes yang sudah berdiri di ambang pintu. Ada senyum hangat di wajah Johannes, yang seolah-olah ingin menghapus semua kecemasan yang ada di hati Maya. Namun, Maya tahu bahwa senyum itu, meskipun indah, juga menyimpan ribuan kesulitan yang tak dapat mereka hindari.
"Selamat pagi, Maya," sapanya dengan suara lembut, mata birunya menatap dalam-dalam ke arah Maya.
Maya tersenyum tipis, berusaha untuk menjaga sikap. "Selamat pagi, Johannes. Terima kasih sudah datang."
Ketegangan di antara mereka terasa sangat nyata, namun keduanya berusaha menunjukkan sikap yang sopan dan formal, meskipun di dalam hati, perasaan yang lebih dalam mulai menyusup di antara mereka. Maya tahu, mungkin inilah yang akan menjadi titik awal dari sebuah kisah yang tak pernah mereka harapkan—sebuah kisah yang penuh dengan risiko, rasa takut, dan juga cinta yang tak bisa dilihat oleh banyak orang.
Dan saat itulah, di penghujung zaman yang penuh dengan ketidakpastian ini, Maya menyadari satu hal: Cinta memang bisa datang dalam bentuk yang tak terduga. Namun, apakah cinta ini akan bertahan? Itu adalah pertanyaan yang hanya waktu yang bisa menjawab.