Jaringan Rahasia
Maya berjalan pelan melewati lorong-lorong sempit yang mengarah ke ruang belakang rumah. Di luar, langit sudah mulai gelap, dan rumah besar peninggalan leluhurnya itu terlihat sunyi. Hanya suara langkah kakinya yang terdengar, bergema di sepanjang ruangan. Ia mencoba menenangkan pikirannya, namun perasaan gelisah itu terus mengikutinya, seperti bayangan yang tak bisa dilepaskan.
Hari itu, setelah pertemuannya dengan Johannes di taman belakang, Maya merasa seperti telah memasuki dunia yang tak bisa ia mengerti. Setiap detik yang berlalu terasa begitu berat, seakan-akan ia sedang menanggung beban yang tak terucapkan. Cinta yang terlarang ini, yang tumbuh di tengah-tengah aturan yang begitu ketat, semakin menekan dada Maya.
"Maya," suara ibunya tiba-tiba memecah kesunyian. Maya menoleh dan melihat ibunya berdiri di ambang pintu ruang makan, memandangnya dengan tatapan penuh perhatian. "Ada apa denganmu? Kamu tampak begitu gelisah belakangan ini."
Maya terdiam sejenak, berusaha menyembunyikan perasaannya yang sedang kacau. Ia tahu, ibunya sudah cukup cerdas untuk membaca perasaan anaknya. Namun, ia tak bisa membiarkan dirinya jatuh ke dalam jurang kebingungannya yang semakin dalam.
"Aku baik-baik saja, Ibu," jawab Maya, mencoba tersenyum meski hatinya merasa kosong.
Ibunya menatapnya dengan ragu, lalu melangkah mendekat. "Maya, aku tahu kamu sedang berusaha keras untuk menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi kamu harus tahu bahwa tidak ada yang bisa menyembunyikan perasaan kita selamanya. Aku ingin kamu jujur padaku."
Maya merasakan dadanya berdegup lebih cepat. Tidak ada yang bisa ia sembunyikan dari ibu, terutama ketika menyangkut soal perasaan. Maya sudah tahu, ibunya sudah melihat lebih dari yang ia inginkan. Tapi perasaan itu—perasaan yang tumbuh begitu mendalam pada Johannes—adalah sesuatu yang tak bisa ia kontrol. Ia tahu betul apa yang akan terjadi jika ibunya mengetahui tentang hubungan itu.
"Johannes..." Maya menghela napas, akhirnya mengungkapkan nama itu dengan pelan. "Johannes datang lagi tadi pagi. Kami berbicara."
Ibunya hanya mengangguk, matanya yang tajam menatap Maya. "Aku tahu. Itu adalah masalah besar, Maya. Kamu tahu betul bagaimana orang-orang di luar sana akan memandang kita. Apa yang kamu lakukan itu bisa menghancurkan segalanya—nama baik keluargamu, bahkan hidupmu."
Maya menggigit bibirnya, merasa sakit mendengar kata-kata ibunya. Ia tahu betul bahwa hubungan mereka adalah sebuah pelanggaran besar. Meskipun keluarga Maya cukup berpengaruh, tetap saja mereka adalah pribumi yang dijajah, dan Johannes adalah bagian dari pihak yang menjajah. Mereka berasal dari dua dunia yang tak pernah bisa disatukan.
"Aku tidak tahu harus berbuat apa, Ibu," kata Maya, suaranya hampir berbisik. "Aku merasa dia... berbeda. Ada sesuatu yang tak bisa aku jelaskan. Dia memperhatikanku dengan cara yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya."
Ibunya menghela napas berat. "Itulah masalahnya, Maya. Kamu harus ingat bahwa perasaan itu tidak akan membawa apa-apa selain penderitaan. Cinta semacam itu bukanlah cinta yang bisa kau pertahankan. Itu adalah cinta yang terlarang, dan kamu harus menjauhinya."
Maya mengangguk, meskipun hatinya menentang kata-kata ibunya. Sebagai seorang anak yang sudah terbiasa mendengarkan nasihat orang tuanya, ia tahu ini adalah pilihan yang paling aman. Tetapi, dalam dirinya ada suara yang terus membisikkan bahwa ia tidak bisa begitu saja menutup hati dan perasaannya. Tidak setelah semuanya terjadi begitu cepat.
Malam itu, Maya tidak bisa tidur. Pikirannya terus kembali pada Johannes. Setiap pertemuan mereka, meskipun singkat, selalu meninggalkan jejak yang dalam. Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang kehidupan, tentang masa depan, tentang apa yang ada di balik segala aturan yang mengikat mereka. Ada sesuatu yang membuat Maya merasa bahwa hubungan ini lebih dari sekadar hubungan biasa. Ada ikatan yang lebih kuat, meskipun terlarang.
Pagi berikutnya, Maya kembali duduk di balkon rumahnya, menatap kebun teh yang terbentang di hadapannya. Ia mencoba untuk menenangkan pikirannya, namun bayangan Johannes kembali muncul di benaknya. Entah mengapa, ia merasa seperti ada sesuatu yang mendalam dan tak bisa ia hindari.
Tiba-tiba, sebuah suara memecah keheningan. "Maya?"
Maya menoleh dan melihat seorang pria berdiri di ujung jalan setapak menuju rumah. Itu adalah Johannes. Dengan langkah-langkah pelan, pria itu berjalan mendekat, matanya mencari Maya di antara pepohonan yang rimbun. Maya merasakan perasaan aneh menggelora dalam dirinya. Ia tahu, pertemuan ini bukan kebetulan. Ia tahu bahwa sesuatu akan terjadi.
"Johannes," Maya berkata, suara lemah karena terkejut melihatnya muncul begitu tiba-tiba. "Apa yang kau lakukan di sini?"
Johannes tersenyum, sedikit canggung, namun matanya penuh dengan ketulusan. "Aku ingin berbicara denganmu, Maya. Ada hal yang ingin aku sampaikan."
Maya merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ada sesuatu dalam diri Johannes yang membuatnya merasa terikat, meskipun ia tahu perasaan itu tak boleh ada. Tidak di dunia mereka yang penuh dengan batasan-batasan ini.
"Bukan saat yang tepat, Johannes," kata Maya, mencoba menjaga jarak, meskipun hatinya menolak perintah itu.
"Tidak ada waktu yang tepat untuk cinta, Maya," jawab Johannes, suaranya penuh keyakinan. "Aku tahu kita tidak bisa terus bersembunyi. Ada banyak hal yang tidak bisa kita ubah, tetapi aku merasa aku harus memberitahumu sesuatu."
Maya menatapnya dengan cemas. "Apa yang kau maksud?"
Johannes menghela napas panjang. "Aku sudah lama mencari cara untuk bisa terus bertemu denganmu. Aku tahu ini adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh banyak orang, tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini. Maya, aku mencintaimu."
Kata-kata itu mengguncang hati Maya. Ia merasa ada beban besar yang seolah-olah menghambat pernafasannya. Cinta. Kata yang begitu sederhana, namun begitu berat jika diucapkan dalam keadaan seperti ini. Cinta yang tak bisa diwujudkan dalam kenyataan.
"Aku tahu, Johannes," Maya berbisik, matanya berair. "Aku tahu apa yang kau rasakan. Tapi kita tidak bisa seperti ini. Kita datang dari dua dunia yang berbeda. Dunia kita tak akan pernah menyatukan kita."
Johannes mendekat, menyentuh tangan Maya dengan lembut. "Aku tidak peduli dunia apa yang membatasi kita. Yang aku tahu, perasaan ini nyata. Dan aku tidak bisa membiarkan kita berpisah begitu saja."
Maya merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Kata-kata Johannes terasa seperti janji yang penuh harapan, tetapi juga penuh dengan rasa takut. Mereka tidak bisa seperti ini. Tidak di dunia yang memisahkan mereka. Namun, entah mengapa, Maya merasa ada sesuatu yang kuat menariknya untuk tidak melepaskan Johannes begitu saja.
"Tapi bagaimana, Johannes?" tanya Maya, suaranya hampir tidak terdengar. "Apa yang bisa kita lakukan? Kita tidak bisa berjuang melawan segala hal yang ada di sekitar kita."
Johannes memandangnya dalam-dalam, dan di matanya, Maya melihat sesuatu yang lebih dari sekadar perasaan biasa. Ada tekad. Ada keyakinan. Ada sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Ketika cinta datang, Maya, kita tidak bisa menghindarinya. Kita hanya bisa memilih apakah kita akan memperjuangkannya atau membiarkannya hilang begitu saja."
Maya terdiam, terjebak dalam dilema yang tak bisa ia pecahkan. Cinta yang terlarang ini, apakah itu sebuah berkat atau sebuah kutukan? Apakah mereka bisa berjuang untuknya, atau apakah akhirnya, mereka akan hancur dalam perpisahan yang tak terhindarkan?
Waktu akan menjawabnya. Tapi untuk sekarang, Maya hanya bisa merasakan perasaan yang tumbuh begitu kuat di dalam hatinya, meski ia tahu, cinta ini adalah sebuah jaringan rahasia yang tak bisa diketahui orang lain. Sebuah cinta yang harus disembunyikan, atau mungkin, dibuang untuk selamanya.