Bayangan Masa Lalu
Maya terjaga di tengah malam, tubuhnya terbaring di ranjang dengan mata terbuka lebar. Hatinya berdebar-debar, tak bisa tidur, tak bisa tenang. Di luar jendela, angin malam berhembus pelan, tetapi suara itu tak cukup untuk menenangkan pikirannya yang kalut. Sejak pertemuan terakhirnya dengan Johannes, ia merasa terperangkap dalam labirin perasaan yang semakin membingungkan. Semakin berusaha menjauhinya, semakin kuat ia merasa ditarik menuju pria itu.
Namun, meskipun perasaan itu kuat, Maya tahu betul bahwa konsekuensinya tak bisa diabaikan begitu saja. Cinta mereka adalah sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan pribadi. Ini adalah pertempuran antara dua dunia, dua kasta yang tidak akan pernah bisa disatukan. Maya menggigit bibirnya, mengingat setiap kata yang diucapkan ibunya beberapa hari yang lalu, yang mengingatkan pada batasan-batasan yang tak bisa mereka langgar.
Pagi hari datang tanpa ampun, membawa Maya ke dalam rutinitas yang tidak pernah bisa ia hindari. Ia berjalan dengan langkah cepat ke ruang makan, berusaha menutupi perasaan yang sedang menguasainya. Ibunya sudah duduk di meja, tampak sibuk mempersiapkan hari, namun matanya langsung tertuju pada Maya. Ada tatapan tajam yang sulit untuk diabaikan.
"Maya, kita perlu bicara," kata ibunya tanpa basa-basi, suaranya tegas seperti biasa.
Maya berhenti sejenak di pintu, merasakan ada sesuatu yang berat di udara. Ia tahu, percakapan ini tidak akan menyenangkan.
"Ada apa, Ibu?" tanya Maya, mencoba terlihat tenang meskipun hatinya sedang kacau.
Ibunya menyentuh cangkir teh di depannya, seakan menimbang-nimbang kata-kata yang tepat. "Aku mendengar dari beberapa orang tentang Johannes. Kau tahu, ada rumor yang beredar tentang hubungan kalian."
Maya merasa darahnya berdesir. Ia berusaha menutupi kecemasannya, tetapi ia tahu ibunya tidak akan mudah dibohongi. "Rumor itu tidak benar, Ibu. Kami hanya berbicara. Itu saja."
Ibunya menatapnya tajam, seolah mencari sesuatu di balik kata-kata Maya. "Aku ingin kau berhenti bertemu dengannya. Ini sudah lebih dari sekadar percakapan, Maya. Aku bisa melihat bagaimana matamu berbicara tentangnya, bagaimana kau selalu memikirkan dia. Ini bukan jalan yang baik untukmu."
Maya merasakan rasa panas di wajahnya, menyadari betapa dalam perasaan itu merasukinya. Namun, ia berusaha keras untuk tetap tenang, menyembunyikan perasaan yang terus berkecamuk di dalam hati. "Aku tahu, Ibu. Aku hanya... aku tidak bisa begitu saja melupakan semuanya. Rasanya sangat sulit."
Ibunya menatapnya dengan penuh perhatian, meskipun ada raut kecemasan yang jelas tergambar di wajahnya. "Aku mengerti perasaanmu, Maya. Tapi kau harus sadar, kita hidup di dunia yang berbeda. Tidak ada tempat untuk cinta seperti itu. Kita harus menjaga kehormatan keluarga ini."
Maya merasakan hatinya berat, seolah ada beban yang tak bisa ia lepaskan. Ia tahu ibunya berbicara dengan hati yang penuh kekhawatiran. Tapi ia juga tahu, jika ia terus mengikuti jalan yang telah digariskan oleh keluarga, ia akan kehilangan kebahagiaan yang mungkin tak akan datang lagi.
Hari-hari setelah pertemuan itu berjalan semakin sulit bagi Maya. Ia mencoba menghindari Johannes, berusaha menjaga jarak, tetapi semakin keras usaha itu, semakin dalam perasaannya. Setiap kali ia berada di dekat Johannes, seolah dunia mereka menghilang. Mereka berbicara tentang banyak hal, berbagi tawa, dan saling memahami tanpa kata-kata. Tetapi Maya tahu, ada sebuah dunia yang menonton mereka, siap untuk menghukum jika mereka melangkah terlalu jauh.
Satu minggu setelah percakapan dengan ibunya, Johannes mengirimkan sebuah surat untuk Maya. Surat itu tiba di meja kerjanya, tersembunyi di antara surat-surat lainnya, namun Maya bisa merasakannya bahkan sebelum membuka amplopnya. Ada sesuatu yang sangat pribadi dalam tulisan tangan Johannes yang selalu ia kenali, meskipun surat itu sangat singkat.
Maya membaca dengan seksama:
*"Maya, aku tahu kita tidak bisa bertemu dengan bebas. Dunia ini menghalangi kita. Tapi aku ingin kau tahu, perasaan ini bukanlah sesuatu yang bisa aku paksakan untuk pergi. Aku tidak bisa hanya mengabaikanmu begitu saja. Aku akan menunggumu, di tempat yang sama, ketika kau siap."*
Surat itu terasa seperti sebuah janji dan sekaligus sebuah beban. Maya menutup surat itu perlahan, menyimpan perasaan yang semakin kuat namun tak bisa ia tunjukkan. Ia tahu, ia harus memilih—tetap mengikuti aturan yang ada atau melawan segalanya untuk mengikuti suara hatinya.
Pagi itu, Maya memutuskan untuk berjalan-jalan di taman belakang rumah. Suasana yang tenang dan sejuk cukup untuk menenangkan pikirannya yang bergejolak. Langkahnya terasa berat, namun ia merasa harus berada di luar untuk merasakan kebebasan sesaat. Ketika ia memasuki taman, ia melihat sesosok bayangan berdiri di bawah pohon besar yang biasa mereka lewati. Itu adalah Johannes.
Melihatnya di sana, Maya merasa seluruh tubuhnya kaku. Ia tahu ini bukan waktu yang tepat, tetapi perasaan yang muncul begitu mendalam sehingga ia tidak bisa berpaling begitu saja.
"Johannes..." kata Maya dengan suara lirih, hati berdebar. "Kau di sini?"
Johannes menoleh dan tersenyum, meskipun senyumnya itu sedikit dipenuhi keraguan. "Aku tahu kau pasti akan datang. Aku hanya ingin berbicara denganmu, Maya. Aku ingin kita tidak saling menghindar seperti ini."
Maya menggelengkan kepala, mencoba menghindari tatapan matanya. "Kita tidak bisa, Johannes. Ini tidak bisa terus berlanjut seperti ini. Aku harus menjaga jarak."
Johannes mendekat sedikit, dan Maya bisa merasakan kekuatan di balik setiap kata yang ia ucapkan. "Aku tidak peduli dengan jarak itu, Maya. Aku ingin tahu apakah kita bisa bersama. Aku ingin tahu apakah perasaan ini cukup kuat untuk mengatasi segala rintangan."
Maya terdiam, perasaan itu kembali datang dengan begitu kuat, seperti gelombang yang tak bisa ia hentikan. "Aku tidak tahu, Johannes. Aku tidak tahu apakah kita bisa bertahan di tengah dunia yang menentang kita."
Johannes mengangkat tangan, perlahan menyentuh pipinya, dan tatapannya penuh dengan kelembutan. "Jika cinta ini cukup kuat, Maya, kita akan menemukan jalan. Aku akan terus berjuang untuk kita, meskipun dunia mencoba memisahkan kita."
Maya menunduk, menghindari tatapannya. Ada kebenaran dalam kata-kata Johannes, tetapi juga rasa takut yang begitu dalam. Ia tahu, setiap langkah yang ia ambil akan mengubah hidupnya selamanya. Cinta mereka adalah sebuah risiko, sebuah pilihan yang sangat besar. Namun, seiring dengan kata-kata Johannes yang penuh keyakinan, Maya merasa ada sebuah harapan yang tak bisa ia jelaskan.
"Aku akan berusaha, Johannes. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi aku akan berusaha."
Johannes tersenyum, kali ini senyumnya penuh dengan kelegaan. "Itu yang aku harapkan."
Maya menatapnya, dan dalam dirinya, ada keteguhan yang baru lahir. Mereka akan menghadapi dunia ini bersama, meskipun itu berarti harus bersembunyi dalam bayangan masa lalu, menghadapi semua konsekuensi yang akan datang. Tetapi satu hal yang pasti—perasaan ini tak akan pernah padam.