Ketegangan yang Semakin Meninggi
Hari-hari berlalu dengan cepat, membawa Maya pada kenyataan yang semakin sulit dihindari. Ia tidak bisa menahan perasaan yang semakin mendalam untuk Johannes, meskipun ia tahu hubungan mereka adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Setiap kali mereka bertemu, seolah dunia sekeliling mereka menghilang, meninggalkan hanya mereka berdua. Namun, kenyataan selalu kembali mengingatkan Maya pada apa yang seharusnya dilakukan.
Maya melangkah perlahan menuju ruang kerja ibunya, tempat yang biasanya menjadi saksi dari diskusi-diskusi panjang dan penuh tekanan. Pikirannya kembali berkelana kepada pertemuan terakhir dengan Johannes, saat ia menyadari bahwa meskipun dunia mereka berbeda, perasaan yang tumbuh di antara mereka tak bisa diabaikan. Tetapi, ia juga tahu, hubungan mereka tak mungkin diterima oleh keluarga atau masyarakat.
Ketika Maya memasuki ruang kerja ibunya, ibunya tengah duduk di meja besar, membaca surat-surat dari kerabat. Wajahnya terlihat serius, seperti biasanya. Seiring langkah Maya mendekat, ibunya mengangkat pandangannya dan menatap anaknya dengan tatapan yang penuh makna.
"Maya, apa yang sedang kau pikirkan?" suara ibunya terdengar lebih tajam dari biasanya.
Maya berhenti sejenak di depan meja, menatap ibunya dengan ragu. Ia tahu bahwa ibunya sudah mulai menduga apa yang terjadi, meskipun Maya berusaha menyembunyikan segalanya. Namun, ia tak bisa lagi menyembunyikan perasaan itu. Ketegangan yang dirasakannya setiap kali ibunya menanyakan tentang Johannes semakin menumpuk, membuat Maya merasa terjepit antara cinta dan kewajiban.
"Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan, Ibu," jawab Maya dengan nada yang agak rendah. "Tapi aku merasa... aku merasa ada sesuatu yang besar di antara aku dan Johannes. Sesuatu yang tak bisa aku jelaskan."
Ibunya menghela napas panjang, meletakkan surat yang sedang dibacanya. Wajahnya yang tegas terlihat semakin keras. "Aku tahu betul apa yang kau rasakan, Maya. Ini adalah perasaan yang berbahaya. Perasaan yang akan membawa kita pada kehancuran. Kita tidak bisa seperti mereka, Maya. Kita harus menjaga kehormatan keluarga ini."
Maya menatap ibunya, merasa ada kerisauan yang semakin menyelubungi hatinya. Ia tidak bisa memahami kenapa cinta yang ia rasakan harus disalahkan. Kenapa ia harus mengorbankan kebahagiaannya hanya untuk mengikuti aturan yang tidak pernah ia pilih. Namun, ia juga tahu bahwa ibunya, seperti kebanyakan orang lainnya, tidak bisa menerima hubungan antara seorang pribumi dan penjajah.
"Kenapa kita harus terjebak dalam masa lalu, Ibu?" tanya Maya, suara hampir tak terdengar. "Kenapa kita tidak bisa mengubahnya? Mengapa kita tidak bisa memilih siapa yang kita cintai?"
Ibunya tersenyum tipis, tetapi senyumnya itu terasa seperti sebuah peringatan. "Maya, kau harus belajar untuk memahami tempatmu di dunia ini. Kamu adalah seorang putri dari keluarga bangsawan pribumi. Itu adalah posisi yang harus kau jaga. Dunia kita dan dunia mereka tak akan pernah bersatu. Dan itu bukan hanya tentang cinta, ini tentang siapa kita dan siapa mereka."
Kata-kata ibunya itu mengingatkan Maya pada kenyataan pahit yang selama ini ia coba hindari. Meskipun ia lahir dari keluarga yang cukup terhormat, tetap saja ia hanya bagian dari bangsa yang dijajah. Johannes, dengan segala kedudukannya sebagai orang Belanda, berada di sisi lain dari jurang pemisah yang tak akan bisa ia lewati. Namun, semakin ia berusaha menjauhkan perasaannya, semakin kuat ikatan itu tumbuh.
Sore itu, setelah makan malam, Maya merasa sangat lelah, baik fisik maupun emosional. Ia berjalan ke taman belakang untuk menenangkan pikirannya. Udara malam yang segar membawa sedikit kedamaian, meskipun hatinya masih bergelora. Ketika ia tiba di jalan setapak tempat terakhir kali ia bertemu dengan Johannes, hatinya berdebar-debar.
Tiba-tiba, suara langkah kaki menghentikan pikirannya. Ia menoleh dan melihat Johannes berdiri di ujung jalan, seperti yang sering ia lakukan. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan pria itu malam ini—lebih serius, lebih penuh dengan tekad.
"Maya," kata Johannes, mendekat dengan langkah yang mantap, "aku ingin kita bicara. Tentang apa yang terjadi antara kita."
Maya menelan ludah, berusaha mengatur napasnya. "Johannes, ini bukan waktunya. Kita tidak bisa seperti ini. Kita tidak bisa bertemu terus-menerus. Aku tahu ini sangat sulit, tetapi aku... aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan."
Johannes menghela napas, langkahnya semakin dekat, namun Maya tetap mencoba menjaga jarak. "Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu, Maya. Setiap kali aku melihatmu, aku merasa ada sesuatu yang mengikat kita. Cinta ini, meskipun kita tahu betul ada banyak hal yang melarangnya, aku merasa kita tidak bisa mengabaikannya begitu saja."
Maya menundukkan kepalanya, tidak bisa menahan perasaan itu. Ia merasa seolah-olah ia sedang terjebak di antara dua dunia yang sangat berbeda. Ia ingin sekali mengikuti kata hatinya, tapi takut akan konsekuensinya. "Aku tahu, Johannes. Aku merasakannya juga. Tapi kita tak bisa terus seperti ini. Kita akan dihancurkan oleh dunia di sekitar kita. Orang-orang akan menilai kita, dan itu akan sangat merusak."
Johannes terdiam sejenak, seolah-olah berusaha mencerna kata-kata Maya. Lalu ia berkata dengan suara yang lebih lembut, tetapi penuh keyakinan. "Aku tidak peduli apa yang akan orang lain katakan, Maya. Yang aku tahu, aku ingin bersamamu. Aku tidak bisa membiarkan kita berpisah hanya karena ketakutan yang tidak ada ujungnya."
Maya menatapnya, merasakan perasaan yang begitu dalam, namun juga begitu rumit. "Tapi kita tahu betul apa yang akan terjadi, Johannes. Kita tidak akan diterima. Tidak ada masa depan untuk kita, hanya kehancuran."
Johannes menggenggam tangannya, dan Maya merasa ada kekuatan dalam sentuhan itu. "Jika kita harus berjuang, aku akan berjuang untuk kita. Aku tidak akan membiarkan dunia ini memisahkan kita."
Maya terdiam, hatinya terasa berat. Ada kebenaran dalam kata-kata Johannes, tetapi di saat yang sama, ada rasa takut yang begitu besar. Cinta mereka bukanlah cinta yang bisa dipamerkan di depan umum, bukan cinta yang bisa diterima oleh orang-orang di sekitar mereka. Mereka berada di tengah-tengah ketegangan yang semakin meningkat, dan hanya waktu yang akan menunjukkan apakah mereka bisa bertahan atau tidak.
"Kita harus berhati-hati," akhirnya Maya berkata, suaranya hampir tidak terdengar. "Jika kita sampai ketahuan, kita akan menghancurkan segalanya. Keluarga kita, hidup kita. Jadi, kita harus sangat berhati-hati."
Johannes mengangguk, meskipun ekspresinya penuh dengan keteguhan. "Aku mengerti, Maya. Kita harus menyembunyikan ini untuk sementara, tapi aku ingin kau tahu, aku tak akan pernah melepaskanmu."
Maya menatapnya lama, merasa perasaan itu semakin kuat. Meskipun ia tahu bahwa hubungan mereka adalah sesuatu yang terlarang dan penuh dengan risiko, di dalam hatinya, ia tidak bisa menolaknya. Cinta itu, yang datang dengan begitu tiba-tiba dan tak terduga, kini mengikat mereka dalam sebuah ikatan yang tak bisa dilepaskan.