Mimpi itu hadir kembali. Semua upaya melupakan, rasanya percuma. Rasanya ingin amnesia saja, jika yang ku ingat semua hanya luka.
Seorang pemuda tampan, tampak berlari menyusuri jalan dengan kaki telanjangnya yang dipenuhi oleh luka lecet dimana-mana. Sesekali pemuda itu menoleh ke belakang, memastikan apa yang tadi ia lihat tidak mengejarnya. Matanya membulat sempurna, saat ia menangkap bayangan pria dengan balutan serba hitam dan tampak menggenggam benda mengkilat, yang ia yakini bahwa itu adalah senjata tajam.
Pria tadi tampak menunjuk kearahnya dan mengangkat pisau yang ia bawa. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, ia berlari kembali. Tapi nahas, kakinya yang tidak pandai mencari pijakan membuat dirinya harus tersungkur, sehingga membuat pria tadi berhasil mendekatinya. Pria tersebut mengangkat tinggi pisau miliknya dan bersiap menikamnya, hingga ...
"Dor!!!" Suara tembakan yang memekakkan telinga, berhasil menghentikan aksi pria tersebut. Tubuh pria tersebut pun seketika ambruk tepat dihadapannya, dengan darah cukup banyak mengalir keluar dari tubuhnya yang terkena tembakan.
"Berikutnya kamu, anak nakal.." Suaranya lirih, tapi ia mendengar dengan pasti dan jelas apa yang diucapkan pria itu. Bahkan, di sela ajalnya, pria itu masih tersenyum padanya.
"Engga.. Engga.."
"ENGGA!!!" Mimpi itu lagi. Pemuda tampan itu tampak mengusap dahinya yang di banjiri keringat. Setelah mencoba berdamai dengan masa lalunya yang kelam, dan setelah semua terapi yang ia jalankan. Kini, mimpi itu hadir kembali, membuat jadwal tidurnya menjadi berantakan.
"Fen.. Kenapa? Mimpi itu lagi, ya?" Tanya pemuda lain yang kini masuk ke kamar miliknya dan segera mendekat kearahnga, pemuda itu tampak mengusap rambut hitam miliknya.
"Iya, kak.. Padahal kejadiannya udah lama. Tapi, kenapa Fen mimpi itu lagi, ya? Fen takut, kak.." Ucap pemuda dengan nama Fenly itu, kemudian langsung bergerak masuk ke dalam pelukan sang kakak.
"Itu cuma mimpi. Lupain aja, ya.. Kejadiannya udah lama dan kasusnya juga udah diselesaikan sama papa. Nanti kita konsultasi lagi aja, biar Fenly tenang.. Kak Shandy temenin, ngga usah banyak alasan, kak Shandy juga ngga terima penolakan dari Fenly! Kakak ngga mau lihat Fenly konsumsi obat tidur lagi, paham?"
"Iya, kak.. Fen paham."
"Good job! Yaudah, sekarang cuci muka sana. Udah ditunggu buat sarapan, kasian papa mama kalau sampai telat kerja karena nunggu Fenly."
"Kak Shandy ngga ke sekolah?" Tanya Fenly sambil menatap penampilan kakaknya yang tidak memakai seragam sekolah.
"Sekolahnya lagi cuti bersama," jawab Shandy dengan asal-asalan. Nyatanya, ia memang tidak berniat pergi ke sekolah, karena ingin mengantarkan Fenly konsultasi dengan psikiater. Ia ingin menjadi orang pertama yang mengetahui tentang kondisi mental adiknya.
"Sekolah umum sering banget cuti, ya? Fen jadi pengen sekolah umum juga.." Ucap Fenly yang kini meraih handuk miliknya dan berjalan ke kamar mandi.
Shandy hanya bisa menghela napas berat, setelah mendengar keinginan Fenly yang sekolah di sekolah umum. Karena nyatanya, selama ini Fenly memang diminta untuk home schooling, hal ini karena masa lalu kelam yang Fenly alami.
Ia nyaris kehilangan nyawanya, setelah diculik oleh beberapa orang dan disiksa oleh penculiknya. Beruntung pada saat itu, Fenly berhasil melarikan diri hingga ditemukan oleh pihak kepolisian. Semenjak kejadian itu, Fenly mengalami trauma hebat yang mengharuskan dirinya untuk konsultasi dengan psikiater.
☆☆☆
~ author
Fenly menatap ketiga orang yang tengah berbincang di meja makan. Beberapa tahun belakangan dan mungkin selama ia hidup, hanya mereka bertiga, manusia yang akan Fenly temukan secara langsung. Fenly memang memiliki trauma yang cukup berat karena kejadian di masa lalunya, tapi bukan berarti ia ingin terus terkurung di dalam rumah, tanpa melihat manusia lain. Ia sendiri sudah hafal dengan perbincangan yang tengah berlangsung di meja makan.
Papanya yang akan bertanya tentang sekolah Shandy, kemudian berlanjut dengan segudang prestasi yang diraihnya, dan berlanjut lagi ke perkembangan bela diri yang telah hampir dua tahun ini digeluti. Mamanya yang akan banyak bercerita tentang kasus dan sidang yang tengah dihadapinya, sesekali bertanya tentang kasus yang papanya tangani, kemudian sisanya ikut menanggapi perbincangan tentang Shandy. Sementara Shandy, ia akan banyak membicarakan kampus yang ingin dituju nya dan memamerkan semua prestasi yang ia miliki, atau sesekali tentang rencana liburan bersama teman-temannya.
Tidak, mereka bukannya pilih kasih, mereka juga sangat menyayangi Fenly. Buktinya, Fenly sangat dijaga, hingga tidak diizinkan kemanapun jika itu tanpa pengawasan. Fenly juga tidak diberikan izin untuk pergi ke sekolah umum, karena keluarganya begitu takut dengan kejadian di masa lalu akan terulang.
"Jadi, Fen mimpi itu lagi ya, Shan? Kamu bisa kan, antar dia konsultasi? Mama takut kalau ada hal buruk yang ganggu kesehatan mental Fenly karena mimpi itu." Tanya mama kepada Shandy.
"Iya, ma. Lihat Fenly yang bangun tidur kacau gitu, Shandy jadi yakin kalau kejadian itu beneran masih jadi hal yang Fenly takutin."
"Itu sebabnya kenapa papa minta kamu belajar bela diri. Selain bisa lindungi kamu sendiri, kamu juga bisa lindungi Fenly. Kamu tau kan, adik kamu seperti apa? Bukan cuma mental, tapi fisik dia juga jauh lebih lemah dari kamu."
"Iya, pa.. Shandy paham kok. Shandy pasti jagain Fenly.. Shandy juga paham sama keadaan Fenly, ngga akan ada yang bisa sakitin Fenly."
"Gitu dong jagoannya papa sama mama, harus bisa jaga adiknya." Ucap sang papa sambil mengusak rambut Shandy.
Percakapan itu contohnya, yang ratusan kali didengar oleh Fenly. Percakapan yang sebenanya, sedikit menyinggung perasaannya, ia tidak ingin dianggap sebagai orang yang lemah, tapi apa yang mereka katakan juga bukan hal yang salah. Fenly melirik kakaknya yang asik mengoles roti dengan selai coklat kesukaannya. Kakaknya itu tampak keren dengan celana bahan pendek dan hoodie hitam polos. Fenly bahkan terlihat seperti anak kecil, dengan celana pendek berwarna coklat susu yang ia padukan dengan kaos putih oversize polos. Bukannya keren, ia justru terlihat seperti anak TK.
"Fen.. Diem aja disitu? Ayo sarapan," ujar Shandy sambil menepuk kursi yang berada disisinya. Dengan langkah pelan, Fenly mendekat dan duduk.
"Fen lucu banget pake baju ini, gemesin.." Celetuk Shandy sambil mengacak-acak rambut Fenly, tapi Fenly segera menghindar, mencoba menjauhkan kepalanya dari tangan Shandy.
"Adek habis ini konsultasi lagi, ya. Biar ditemenin sama kakak." Ujar sang mama sambil tersenyum kearah Fenly. Tak ada jawaban dari Fenly, selain anggukan kepala pelan. Setelahnya, ia meraih selembar roti tawar dan selai yang ada di meja secara acak. Entah selai apa yang ia dapat, tapi baru saja dirinya mengoleskan selai pada roti miliknya, Shandy lebih dulu menahannya, hingga membuat dirinya menoleh kearah Shandy dengan tatapan bingung.
"Mikirin apa sih, Fen? Fenly lupa kalau Fenly alergi kacang?" Tanya Shandy yang kini meraih piringnya dan mengoleskan roti dengan selai coklat.
"Makasih, kak.." Lirih Fenly.
"Papa sama mama berangkat kerja, ya. Shan, karena hari ini kamu ngga sekolah, kamu jagain Fenly. Dan Fenly.. Nurut sama kakak, ya." Ujar sang papa sambil mengelus rambut kedua anaknya.
Kini, di meja makan hanya tersisa Fenly dan Shandy yang menikmati sarapan mereka. Sekali lagi, Fenly sedikit melirik Shandy yang asik dengan ponsel sambil mengunyah roti miliknya. Melihat betapa bebasnya Shandy mengoperasikan ponsel, membuat Fenly bertanya-tanya, kapan ia juga bisa seperti Shandy. Karena selama ini, aktivitas penggunaan ponsel milik Fenly, dibatasi oleh kedua orang tuanya. Di ponsel miliknya, hanya ada tiga nomor yang bisa ia hubungi, seperti Shandy dan kedua orang tuanya.
"Nih.. Fenly bisa pakai handphone kakak selama kakak nyetir." Ucap Shandy tiba-tiba, sambil memberikan ponsel miliknya.
"Kak Shandy tau, handphone Fenly tuh isinya ngebosenin. Jadi, pakai handphone kakak aja. Papa sama mama banyak larang Fenly juga karena mereka sayang, jangan merasa di kekang, ya.. Kalau Fen ngerasa bosen, bilanh ke kak Shandy, kita bisa jalan-jalan atau main game bareng."
"Makasih, kak."
"Nanti mau mampir jalan-jalan dulu, ngga? Mumpung perginya sama kakak, jadi ngga banyak aturan." Tanya Shandy memberikan penawaran.
"Fen penasaran sama makanan yang dijual didepan sekolah-sekolah. Boleh ngga, nanti kita beli? Satu aja, kak.."
"Aduhhh.. Jangan yang itu deh. Kalau Fenly sakit, kakak yang kena omel. Fenly ngga pernah makan kayak gitu, nanti kalau batuk atau sakit perut, gimana? Kita ke mall aja, ya.."
"Fenly cuma mau itu, kak.. Kalau ngga boleh, ya udah gapapa. Habis konsul, kita pulang aja. Fen mau belajar. Kalian selalu panik kalau Fenly mimpi buruk, selalu takut kalau Fenly makan makanan yang belum pernah Fen makan, kalian juga larang Fen punya temen.. Kalian tau ngga, sih? Kayak gini juga mimpi buruk buat Fen." Lirih Fenly sambil menunduk. Shandy hanya bisa menatapnya sambil mengacak rambut kasar.
"Habis konsul, ikut kakak ketemu sama temen kakak, mau?" Tanya shandy akhirnya.
"Dia baik kok, dia juga seru anaknya. Kak Shandy jamin, Fen ngga akan bosen.. Fen juga boleh temenan sama dia, dengan syarat, kalau mau hubungi dia harus lewat kak Shandy. Fen ngga mau kan, kak Shandy kena marah sama papa mama karena Fen simpen nomor orang lain selain kita?" Lanjutnya.
"Beneran boleh?"
"Boleh.. Sekarang senyum dong! Jelek kalau cemberut gitu. Yuk berangkat." Ujar Shandy yang bangkit dan berjalan lebih dulu. Fenly tersenyum sambil menggenggam ponsel milik Shandy. Ia ikut bangkit dan berlari kecil menyusul Shandy. Ia meraih lengan Shandy dan berjalan di sebelah kakaknya. Shandy hanya terkekeh kecil, sambil mengacak rambut Fenly gemas.
☆☆☆
~ author
Fenly duduk di depan ruang konsultasi, menunggu Shandy yang masih berbincang dengan psikiater, membahas hasil dari konsultasi hari ini. Cukup lama ia menunggu sambil memainkan ponsel milik Shandy. Sebuah usapan pelan pada belakang kepalanya, membuat Fenly menoleh dan menemukan Shandy yang berdiri di dekatnya.
"Kalau kayak gini, kak Shandy lebih mirip papanya Fenly, daripada kakak.. Fen kayak anak SD atau TK, ya.." Ledek Shandy.
"Apaan sih, kak.. Udah selesai? Tadi psikiater nya bilang apa? Kalau sama Fen, kan cuma tanya-tanya aja. Kalau ngga, paling sering bilang 'iya'. Kayak jawaban singkat-singkat gitu." Ucap Fenly sambil menepuk dagunya beberapa kali dengan jari telunjuknya, menunjukkan ia sedang mencoba mengingat apa yang psikiater tadi katakan.
"Hahaha.. Lucu banget sih, Fen. Psikiater nya bilang kalau ngga ada masalah serius, selama Fen cari kesibukan yang bikin Fen seneng. Mimpi itu ngga akan datang lagi. Jadi, ngga usah mikir yang aneh-aneh, ya. Intinya, tugas Fen itu hanya sekolah, makan, tidur, istirahat dan bahagia. Ngga ada yang lain." Jawab Shandy, dan Fenly hanya mengangguk paham. Shandy merangkul Fenly dan mengajaknya untuk pulang, tapi tak sengaja saat berjalan di lorong bahu, Fenly menabrak seseorang yang langsung membuat dirinya menunduk untuk minta maaf.
"Maaf, mas. Fen ngga sengaja." Ujar Fenly sopan. Sementara, pria dengan topi yang ia kenakan hanya ikut menunduk sambil melirik Fenly sekilas. Setelahnya, ia pergi dan menghilang di sebuah ruangan yang Fenly tahu betul itu sebagai ruang rehabilitasi narkoba.
"Kenapa, Fen? Ada yang sakit karena habis nabrak orang tadi? Mau ke rumah sakit dulu?" Tanya Shandy.
"Ah, engga. Kak Shandy lebay deh. Fenly gapapa. Ayo kak, katanya mau kenalin Fen sama temen kak Shandy." Shandy mengangguk dan kembali merangkul Fenly.
Mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah milik teman Shandy. Cukup lama mereka berada di jalan karena letak rumahnya yang berada di pinggir kota dan berada di kawasan sepi penduduk. Bahkan, Fenly berpikir, ini adalah rumah orang yang sedang menjalani karantina.
"Sering banget ngelamun adek gue ini. Humm.. Ayo masuk." Ajak Shandy yang kini langsung masuk rumah tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Woy, Shan.. Kok lo kesini ngga bilang-bilang dulu? Eh.. Ini Fenly, adek lo?" Tanya pemuda dengan kulit sawo matang yang saat ini mendekati mereka.
"Iya, ini adek gue. Ya tadinya mau bilang, tapi lupa. Ya, ngga jadi deh.. Oh ya, Fen. Kenalin, ini temen kakak satu-satunya. Namanya, Gilang." Fenly menjabat tangan Gilang dan sedikit menunduk sopan.
"Gila, adek lo sopan banget, mana lucu. Beda sama lo ya, Shan."
"Beda cara bikinnya kali, atau beda gaya." Celetuk shandy asal.
"Anj*ng juga omongan lo, Shan."
"Jangan ngomong kasar di depan adek gue! Dia ngga bisa denger kata-kata kasar. Awas aja lo!"
"Dih, gak sadar diri.. Eh iya, duduk aja Fen. Kalau lo mau minum, lo ambil aja di dapur. Kalau laper, nanti gue pesenin deh. Anggap aja rumah sendiri, senyaman lo aja. Sebenarnya, gue tinggal bareng sepupu, tapi jam segini dia masih main basket, paling balik nanti malem." Ujar Gilang, dan Fenly hanya mengangguk canggung. Ia belum pernah bertemu orang asing, selain guru home schooling atau psikiater yang menanganinya. Jadi, ia sedikit terkejut dengan cara bicara dan gaya bahasa yang digunakan oleh Shandy dan Gilang.
"Hey.. Diem-diem aja, Fen? Nih, kemarin temen sepupu gue kesini bawa kue, lo makan aja sambil liatin kita main game? Atau lo mau ikut main?" Tanya Gilang.
"Engga, bang.. Makasih." Jawab Fenly sambil meraih kue yang tadi diberikan Gilang.
Gilang mengangguk, kemudian bergabung dengan Shandy untuk bermain game. Sementara Fenly, memakan kue yang diberikan Gilang. Baru beberapa gigitan, Fenly merasakan tenggorokan nya panas. Ia juga kesulitan bernapas, hingga memukul dadanya berkali-kali. Piring yang berada di tangannya, terjatuh karena Fenly langsung memegang lehernya yang terasa semakin panas.
"FENLY.." Teriak Shandy yang segera mendekat dan memeriksa apa yang terjadi pada Fenly. Ia juga meraih satu potong kue yang tadi di makan Fenly.
"LANG! ADEK GUE ALERGI KACANG.." Ucapnya sambil teriak, dan langsung mengangkat tubuh Fenly.
"M-maaf, Shan.. Gue ngga tau.." Ucap Gilang yang langsung mengikuti Shandy menuju mobil dan ikut ke rumah sakit. Bagaimanapun, ia merasa bersalah dengan kejadian ini. Ia juga mengkhawatirkan persahabatan nya dengan Shandy jika keadaan Fenly semakin parah.
Happy Reading..