Sudah saatnya aku menerimanya. Aku benar-benar hancur.
"Aku tidak lagi mengakui kamu sebagai pewaris keluarga Rothtaylor. Atas kejahatan melontarkan kutukan tak senonoh di hadapan Putri Phoenia yang mulia, mencemarkan nama keluarga karena kecemburuanmu yang picik, serta terlibat dalam kecurangan ujian masuk Akademi Sylvania. Semua ini tidak bisa dianggap enteng."
Tidak ada gunanya membaca lebih lanjut.
Itu adalah surat pribadi dari Crebin Rothtaylor, kepala keluarga Rothtaylor. Meskipun dipenuhi kata-kata sopan dan seremonial, intinya hanya satu:
Kami tidak lagi mengakui kamu.
Hidupku—yang sebelumnya bak raja berkat pengaruh keluarga—berakhir begitu saja.
Rasanya seolah takdir sedang menertawakanku.
"Puas dengan kesenanganmu? Kini neraka menantimu."
Begitulah kata mereka, seakan-akan mereka mengejekku tanpa henti.
Padahal aku ingin sekali membalas kata-kata mereka, karena aku bukan Ed Rothtaylor yang dikenal angkuh, yang bersembunyi di balik pengaruh keluarga demi menjalani hidup sombongnya.
"Barang-barangmu sudah terkumpul di sini. Terima kasih atas waktumu di Sylvania Academy."
Dengan nada hormat, pelayan yang mengurus Ophelius Hall—asrama termewah di Akademi Sylvania—menyerahkan dua koper kayu besar kepadaku.
Aku menerimanya dengan wajah tercengang. Kamar supermewah yang kupakai selama ini ternyata hanya meninggalkan dua koper kecil ketika semua barang pribadiku dikemas.
Artinya, kamar megah itu tidak pernah benar-benar menjadi milikku sedari awal.
Sekarang, ketika dukungan keluarga terputus, inilah yang kudapat.
"Semoga sisa hidupmu berjalan baik."
Meski aku sebenarnya sudah terlempar ke jurang kehancuran, mereka masih menjaga sopan santun kepada mantan bangsawan. Tentu saja, rasanya seperti menaburkan garam pada luka.
Brak!
Pintu besar Ophelius Hall tertutup. Aku dibiarkan sendirian di taman indah itu.
Benar, aku harus mengakuinya sekarang.
"Apa aku… benar-benar terseret ke dalam game ini?"
Game favoritku, The Failed Swordsman of the Sylvania.
Sialnya, aku malah memasuki tubuh karakter paling malang pada waktu terburuk.
Aku meletakkan kedua koper di sisi kaki, lalu menutup wajah dengan kedua telapak tanganku.
Habis sudah.
Tak ada jalan keluar.
Nama "Ed Rothtaylor" terngiang di kepalaku, disertai nostalgia samar.
Bahkan aku, yang sudah menamatkan The Failed Swordsman of the Sylvania lebih dari lima kali, nyaris tidak mengingat nama ini. Alasannya jelas.
Ia hanyalah penjahat kelas tiga yang tersingkir di awal permainan.
"Hei, lihat, bukankah itu Ed Rothtaylor?"
"Sst… jangan menatap! Dia bisa sadar!"
"Apa yang perlu disembunyikan sekarang? Dia sudah dikeluarkan, kan?"
"Temanku dari Ophelius bilang, kamarnya sudah dikosongkan. Kita nggak akan melihat dia lagi semester depan."
"Tertawa lebar seakan dunia miliknya sendiri, eh? Rupanya nggak tahu kalau roda nasib bisa berputar."
"Siapa suruh curang waktu ujian masuk mahasiswa baru?"
"Dari dulu aku sudah menduga dia bakal berakhir begini! Nggak punya kemampuan apa-apa, gayanya saja besar!"
Suara-suara itu bergaung dari para siswa yang lalu lalang di area kantin saat jam makan siang. Aku yang berdiri dengan dua koper di kedua sisi hanya bisa mendengarnya dengan perasaan masam.
Maklum, naik-turun seseorang memang kerap jadi bahan gosip yang "lezat." Aku paham, tapi tetap saja aku merasa diperlakukan tidak adil.
Lalu, siapa aku sebelum menjadi "Ed Rothtaylor" ini? Aku hanyalah orang biasa, tanpa ambisi, sederhana, dan bekerja keras dalam menjalani kehidupan.
Membuatku—orang yang tadinya baik—membayar dosa-dosa karakter ini rasanya begitu menyakitkan.
"Haaaaahhhh…"
Aku ingin merokok.
Begitu mengangkat wajah, aku menyadari bahwa kerumunan yang tadi bergosip sudah bubar.
Sudah dua jam berlalu sejak aku didepak dari asrama.
Awalnya, otakku terasa kosong karena perubahan mendadak ini, dan kenyataan yang menamparku membuat pusing. Akan tetapi, pada akhirnya, aku berhasil menenangkan diri.
Mungkin, kemampuan untuk cepat "move on" ini adalah pengaruh tubuh baruku, Ed Rothtaylor.
Bagaimanapun juga, sekarang aku harus merancang langkah selanjutnya.
Aku membuka salah satu koper kayu dan mengeluarkan cermin mewah berukir. Pantulan di dalam cermin bukanlah diriku yang dulu, melainkan seorang pemuda berambut pirang dengan fitur wajah tegas yang bisa dibilang tampan.
Itulah diriku saat ini—sebuah fakta yang tidak dapat disangkal.
(Nama: Ed Rothtaylor)
Jenis Kelamin: Pria
Usia: 17
Kelas: 2
Ras: Manusia
Prestasi: Tidak Ada
Kekuatan: 3
Kecerdasan: 4
Ketangkasan: 7
Kekuatan Tekad: 7
Keberuntungan: 6
Rincian Keterampilan Tempur >>
Rincian Keterampilan Sihir >>
Rincian Keterampilan Hidup >>
Rincian Keterampilan Alkimia >>
Siapa pun yang pernah memainkan The Failed Swordsman of the Sylvania pasti familiar dengan tampilan statistik ini.
Dalam game, menu pop-up status karakter akan muncul ketika pemain melihat pantulan diri di cermin, air sungai, kolam, atau kaca jendela, lalu menggunakan sihir untuk mengakses data tersebut.
Kenyataan bahwa detail seperti itu benar-benar "hidup" di hadapanku sekarang membuat segalanya terasa bagai mimpi.
Dan sungguh, aku berharap ini semua hanyalah mimpi—terutama ketika melihat statistik yang menyedihkan itu.
Terdaftar sebagai murid jurusan sihir di Akademi Sylvania, tetapi nilai kecerdasan justru mengenaskan. Terlahir sebagai bangsawan manja, fisikku juga nyaris nol.
Petani rata-rata punya nilai kekuatan sekitar 5–6. Sedangkan di akhir cerita, karakter utama yang berfokus pada pertempuran biasanya punya kekuatan lebih dari 20. Artinya, statistikku sangat buruk.
Ketangkasan dan tekadku memang tidak seburuk itu, tapi juga tidak cukup luar biasa. Jadi, wajar saja jika aku tak lebih dari penjahat kecil yang sesekali mengusik protagonis.
Sebagai karakter kelas tiga yang diciptakan semata-mata untuk menambah drama di awal cerita, masa depan Ed Rothtaylor setelah itu memang nyaris tak diketahui.
Sayangnya, aku malah teringat.
Di akhir skenario, saat bagian tulisan staf credit, Ed terlihat memakai pakaian compang-camping dan mengemis di pinggir jalan. Sebuah penampakan yang menyedihkan.
"Kenapa juga aku harus mengingat bagian itu…"
Aku kembali mengembuskan napas berat lalu bersandar.
Sebuah akhir yang tak terelakkan—seorang bangsawan yang tidak tahu apa-apa selain hidup mewah, tiba-tiba dihempaskan ke jalanan tanpa sepeser uang pun.
Yang jelas, aku tak mau berakhir kelaparan di pinggir jalan seperti gelandangan.
Lalu bagaimana caranya?
Aku tak punya jawaban yang pasti.
Setelah merenung lama, satu-satunya kesimpulan yang kutemukan adalah:
Bagaimanapun juga, aku harus bertahan.