Berjalan menyusuri aliran sungai di hutan utara saat bulan bersinar di malam hari punya suasana khas yang membuat hati tenang.
Aku duduk di depan api unggun yang berderak-derak, sibuk menyiapkan ikan. Selama tiga hari terakhir, sudah banyak hal yang kulakukan demi bertahan hidup.
Tempat tinggalku yang dulu seadanya, sekarang malah jadi lumayan bagus.
Shelter kayu yang awalnya kubuat asal-asalan dari potongan kayu dan daun kain, akhirnya kelihatan lebih kokoh begitu kutambahkan lapisan tanah liat yang kuambil dari tepi sungai. Celah-celah penopang jadi lebih kencang, dan atapnya kutambal rapi, jadi kelihatannya tak akan bocor kalau hujan.
Tapi, kupikir penopangnya mungkin belum kuat menahan berat tanah liat itu, jadi aku mesti memperkuatnya lagi. Gara-gara itu, ukuran shelter-ku juga bertambah lumayan besar.
Bagaimana dengan urusan bahan makanan?
Aku menemukan garam batu di bagian hilir sungai menuju pantai. Kepingan garam yang berjatuhan bisa ditumbuk halus dan dipakai sebagai garam dapur.
Aku juga sempat coba masak di atas batu sungai yang lebar daripada pakai panggangan.
"Sekarang aku mulai terbiasa."
Menangkap ikan besar pakai joran seadanya itu susah. Biasanya sih paling cuma dapat ikan kecil, tapi kadang-kadang ada juga ikan yang bisa dimakan, contohnya bluegill.
Sekarang aku makin mahir menyiapkan ikan.
Dengan belati —yang udah jadi teman hidupku—kubuka bagian bawah perut ikan dan kukeluarkan isi dalamnya. Lalu, sisik yang besar kupisahkan dengan ujung pisau, kubuat sayatan supaya bumbunya meresap, kumarinasi pakai garam, dan kumasak di atas batu datar.
[ Sebuah hidangan baru telah diselesaikan ]
Bluegill Panggang Garam
Bluegill hasil tangkapan sungai yang dibersihkan lalu dipanggang dengan taburan garam. Sederhana, tapi bisa mempertahankan rasa asli ikan.
Level Memasak: ●◐○○○
[Skill Memasak meningkat.]
Ini jelas temuan baru.
Waktu aku asal tangkap ikan lalu panggang begitu saja, nggak ada pesan atau pemberitahuan apa-apa. Tapi begitu aku meracik bumbu dan memasak dengan benar, skill memasak langsung naik.
Begitulah cara semua skill kehidupan akan ter-refleksi dan meningkat levelnya. Jadi, aku keluarkan cermin, menatap wajahku, lalu mengecek jendela informasi sekali lagi.
[ Nama: Ed Rothtaylor ]
Jenis Kelamin: Pria
Usia: 17
Kelas: 2
Ras: Manusia
Prestasi: Tidak ada
Stamina 3, Kecerdasan 4, Ketangkasan 8, Kemauan 7, Keberuntungan 6
Kemampuan Bertarung >>
Kemampuan Sihir >>
Kemampuan Kehidupan >>
Kemampuan Alkimia >>
Tingkat bakat naik dari 7 menjadi 8.
Untuk seorang "The Failed Swordsman of Sylvania", punya skill kehidupan yang bagus itu penting banget.
Karena berbagai skill produksi seperti memasak, membangun, pertukangan, sampai meramu obat, bukan cuma berguna untuk bikin barang-barang bermanfaat sendiri, tapi kadang juga ada kaitannya sama kemampuan bertarung.
Terutama, atribut "bakat" itu erat sekali kaitannya dengan kepekaan. Ini mempengaruhi kejelian kita menangkap aliran kekuatan atau gerakan sekecil apa pun.
Meskipun nggak banyak berhubungan dengan sihir, efeknya bisa besar di bidang pedang, panah, atau alkimia.
Aku kurang tahu kapan tepatnya stat bakatku meningkat, tapi punya bakat dasar 1 itu jelas menguntungkan.
Sejak zaman dulu, makin tinggi angka suatu kemampuan, makin sulit di-upgrade.
Meningkatkan kemampuan dari level 3–4 sampai 7–8 itu nggak terlalu makan waktu. Tapi kalau sudah di atas 20, kadang butuh quest legendaris hanya demi nambah 1 poin saja. Itu pun belum tentu berhasil.
"Sebagian besar skill kehidupan erat kaitannya dengan stat bakat…"
Skill bertarung butuh Stamina, Bakat, dan Kemauan.Skill sihir butuh Kecerdasan, Kemauan, dan Keberuntungan. Skill kehidupan butuh Ketangkasan dan Kemauan. Skill alkimia bertumpu pada Kecerdasan dan Keberuntungan.
Ribet sih kedengarannya, tapi intinya setiap kemampuan butuh stat yang berbeda-beda.
Aku mengambil secuil daging ikan dan kumakan. Gurihnya pas banget.
Air sungai yang kuambil untuk diminum, kutenggak begitu saja sebelum akhirnya duduk di atas batu besar yang kubawa khusus jadi kursi.
"Masih banyak hal yang harus kulakukan…"
Shelter kayu yang awalnya nggak nyaman, lama-lama malah jadi enak ditempati.
Aku juga punya cukup banyak pakaian ganti.
Untuk makanan, setidaknya aku bisa bertahan dengan ikan hasil pancingan dan kacang-kacangan dari hutan.
Standar hidupku masih jauh dari mewah, tapi seenggaknya semua bisa kuperbaiki dikit demi dikit.
"Aku butuh rak jemuran buat cuci baju, tapi sepertinya bisa kubuat sendiri… Terus kalau mau variasi bahan makanan, aku harus cari-cari tanaman liar yang aman dimakan… Kalau ke perpustakaan di gedung profesor, mungkin ada buku referensi? Daripada cuma andalkan mancing sama nyari kacang, mungkin harus coba berburu juga."
Kemarin, waktu aku keliling hutan, sempat ketemu babi hutan yang lagi nyasar. Malah kulihat kelinci dan tupai liar juga lumayan banyak.
Soalnya Pulau Arken—tempat berdirinya Akademi Sylvania—udah dibersihkan dari monster-monster buas. Jarang ada monster yang berbahaya bagi manusia, tapi hewan liar yang alami masih banyak.
Berburu sebenarnya bukan sekadar pilihan, tapi kebutuhan. Aku memang perlu persediaan daging, tapi kalau bisa memanfaatkan lemak hewan hasil buruan, rasa masakanku juga bisa lebih mantap.
"Kalau dipikir-pikir, aku butuh peralatan masak juga, ya…"
Barang-barang yang kupunya sekarang hanyalah peralatan upacara untuk acara akademi: belati upacara, mangkuk besi upacara, dan cermin upacara. Mestinya benda-benda itu dirawat bagus, tapi di kondisi sekarang, mana sempat.
Belati upacara saja sudah menempuh berbagai "petualangan". Mangkok dan cermin juga tidak sempat selalu kubersihkan. Ya, mau gimana lagi.
"Seandainya aku punya panci, pisau dapur yang layak, sendok sayur, atau setidaknya mangkuk biasa buat wadah makanan… wah, pasti lebih mudah."
Aku mencoret-coret di tanah pakai ranting, bikin daftar barang yang dibutuhkan. Aku nggak punya uang saat ini karena belum bisa meninggalkan Pulau Aken. Tapi kalau suatu hari punya duit, pasti aku mau beli semua itu.
"Kerjaan masih banyak… Tinggal tiga hari sebelum sekolah mulai… Huh…"
Aku menghela napas sambil meregangkan badan.
Walau begitu, seenggaknya aku mulai nyaman.
Tempat tinggalku—yang kubangun dengan keringat selama seminggu terakhir—sudah mulai bisa disebut "camp" sekarang.
Ada shelter kayu yang paling menyita waktuku. Api unggun dikelilingi kerikil supaya bisa lebih mudah diatur. Batu datar besar di atasnya kupakai sebagai pengganti panggangan.Barang-barang pribadiku dari Pavilion Ofilis kutata rapi di satu sisi. Beberapa peralatan bikinan tanganku sendiri juga kukumpulkan dan kususun di tempat terpisah.
"Kalau begitu, hari ini… aku mau bikin busur dari benang sutra."
Syukurlah di antara barang bawaanku, ternyata ada kain sutra. Meski terkesan barang mewah, terpaksa kuurai sampai rasanya "menangis darah". Tapi, dari situlah aku dapat benang buat tali pancing, juga untuk mengikat kain yang kupakai sebagai atap shelter.
Benang sutra ini cukup bagus dan kuat, jadi kalau dipilin rapat pasti bisa kupakai jadi tali busur. Tinggal cari batang pohon yang ukurannya pas di hutan buat kerangka busurnya.
Kalau bisa bikin busur dan belajar menggunakannya, itu bakal sangat membantu.
Terlebih lagi, kemampuan memanah cocok banget jika digabung sama skill sihir dan kemampuan crafting.
Soalnya, kalau kita bisa memodifikasi atau menambahkan sihir pada anak panah, efek serangannya jadi meningkat drastis.
Kalau aku persiapkan kemampuan senjata sekunder ini lebih dini, itu akan berpengaruh besar sama peningkatan levelku ke depan.
Dari pengalamanku, kalau belajar mendadak nanti, skill memanah bakal ketinggalan jauh dibanding skill-skill lain, dan akhirnya malah bikin kemampuanku timpang.
"Yubi Muhwan." (Pepatah: Walau sibuk, tetap harus mengurus segalanya.)
"Kelihatannya malam ini bakal panjang."
Aku menggulung lengan baju dan siap terjun lagi ke production cycle. Sepertinya malam ini aku tidur agak telat lagi.
Bagian Selanjutnya
Dean McDowell mengelus kumisnya sambil tersenyum puas. Sudah lama ia tidak tertawa seperti ini.
Walaupun karakternya ramah, jadi Dekan Sekolah Sihir Sylvania itu bukan pekerjaan ringan—benar-benar banyak tantangan.
Bukan cuma murid-murid di Departemen Sihir yang kelakuannya kadang ajaib, para profesor di sana juga rata-rata punya ego kelewat besar. Saat ia menyesuaikan diri dan berurusan dengan segala tuntutan, rambut hitamnya yang dulu berkilau perlahan memutih.
Kalau kuingat dekan di Departemen Tempur atau bahkan di Departemen Pensiun, mereka tidak setertekan ini. Makanya kadang kurasa, jabatan Dekan Sihir ini memang paling berat.
Tapi kadang-kadang, ada juga momen di mana dia merasa semua kerja kerasnya terbayar. Seperti sekarang, saat ia membaca laporan hasil penempatan kelas murid baru Departemen Sihir Sylvania, sudut mulutnya terangkat.
Barisan murid tahun pertama Departemen Sihir Sylvania kali ini benar-benar kayak tambang emas. Banyak sekali "permata bakat" yang berkilauan, sampai Dean McDowell yang sudah menua pun ikut berdebar kagum.
Hal yang mencolok pertama: Profesor Glast menempatkan tiga murid di Kelas A.
Profesor Glast, yang biasanya bahkan bikin sesama profesor geleng-geleng, kali ini langsung mengakui tiga murid sekaligus.
Pertama, Lortel, satu-satunya anak perempuan dari Elte Keheln—konglomerat terbesar benua, si "Raja Emas" yang memimpin Perusahaan Elte "Zix, Tombak Kehidupan". Meski hidup di padang utara yang keras, bakatnya terus bersinar.
Lalu, Lucy Mayril, gadis yang asal-usulnya misterius, dan entah bagaimana dia membuat Profesor Glast bertepuk tangan karena bakatnya yang luar biasa. Sampai-sampai Dean McDowell sendiri kaget waktu dengar pujian setinggi langit dari Profesor Glast untuknya—yang disebut sebagai "Lucy si Pemalas"
"Dia terlahir dengan potensi jadi penyihir agung yang bakal menulis babak baru di sejarah sihir. Aku terhormat bisa jadi gurunya."
Mengingat Profesor Glast yang biasanya kaku dan skeptis, bahkan talenta-talenta lain yang pernah disebut "jenius" pun kerap dipandang dingin olehnya. Maka, jelas Lucy ini benar-benar di luar dugaan.
Dibanding angkatan sebelumnya, angkatan baru ini memang luar biasa.
Tahun lalu, nyaris tidak ada murid yang begitu menonjol. Mungkin cuma Yenika—yang sukses menandatangani kontrak dengan roh tingkat tinggi—yang sempat mencuri perhatian Dean.
Bahkan nilai rata-rata angkatan tahun lalu juga menurun, plus ada pula seorang murid yang sampai dikeluarkan dari keluarganya sendiri gara-gara ketahuan mencontek di ujian masuk. Pokoknya benar-benar disebut "angkatan terburuk."
"Sepertinya tahun kemarin terlalu kelam, jadi tahun ini justru cerah sekali."
Sambil berharap nama besar Sylvania makin berjaya, Dean McDowell bersiap menandatangani laporan tersebut.
"Dekan, maaf, ada tamu yang datang."
Sekretarisnya mengetuk pintu kantor. Padahal Dean sudah bilang, jangan masukkan siapa pun kalau tidak ada janji terlebih dulu. Mungkin sekretarisnya lupa atau "lupa."
McDowell menghela napas, berniat menegur sekretarisnya. Tapi tiba-tiba pintu keburu dibuka—padahal belum diizinkan.
Yang membuka pintu ternyata Claire, kesatria kekaisaran yang memimpin pengawal pribadi Putri Phoenia. Ia masuk lebih dulu, diikuti Putri Phoenia yang memakai gaun biru kerajaan.
Dean McDowell langsung tercengang. Ia refleks menunduk, hendak memberi hormat kerajaan, tapi buru-buru berhenti.
Ini Gedung Pengajaran Sylvania.
Di tempat ini, kedudukan "belajar" lebih tinggi daripada "status sosial."
Begitu kita melangkah keluar dari gedung ini, tentu kita wajib tunduk di bawah otoritas kerajaan. Tapi di sini, Dean McDowell adalah pengajar Putri Phoenia.
Walau ia tetap harus hormat dan santun pada sang putri, secara prinsip ia juga punya posisi sebagai guru. Ini pun sejalan dengan kebijakan kaisar yang mendirikan Sylvania dulu.
Karena itu, McDowell menutup salamnya hanya dengan membungkukkan kepala secukupnya.
"Putri Phoenia datang ke Gedung Pengajaran di jam segini… Ada urusan apa?"
"Maaf mengganggu tanpa pemberitahuan, Tuan McDowell."
Tubuh Putri Fenia memang mungil, tapi dia duduk dengan sikap sangat anggun di sofa tamu ruang dekan. Di belakangnya, Claire dan dua ksatria pengawal berdiri tegap.
"Ada hal yang ingin aku bicarakan. Boleh?"
Putri Phoenia dikenal sebagai "Putri Kebaikan," bukan tipe yang menindas orang dengan wewenang kerajaannya. Dean McDowell paham betul hal itu.
Tapi kenapa putri sampai datang terburu-buru, bahkan masuk kantor dekan tanpa menunggu izin?
Bagaimanapun juga, Dean McDowell tak punya pilihan selain mendengarkannya. Dan di sinilah percakapan mereka dimulai.