Keluarga Rothtaylor, tempat aku dilahirkan, tampak bagaikan sekelompok penjahat yang muncul begitu saja dari sebuah film. Terbius oleh kebesaran nama kuno mereka, mereka menanamkan kesombongan dan keyakinan akan keistimewaan darah bangsawan kepada setiap generasi. Semangat leluhur yang dulu menjunjung tinggi kehormatan dan kebaikan telah lama pupus, berganti oleh warisan kesombongan bak hantu yang tetap hidup. Para anggota keluarga itu memegang posisi penting di kekaisaran dan berlagak arogan.
Sebenarnya, ada satu rahasia besar keluarga Rothtaylor.
Kepala keluarga, Crebin Rothtaylor, diam-diam membuat kontrak dengan dewa jahat bernama Mebuler—makhluk era mistis—dan meneliti sihir yang konon bisa menghadirkan keabadian. Penelitian itu mengorbankan banyak nyawa tanpa rasa kemanusiaan. Pada akhirnya, Taely—tokoh utama dalam kisah The Failed Swordsman of the Sylvania—membongkar semua rencana tersebut sekitar dua tahun dari sekarang. Meskipun sempat melakukan perlawanan sengit, Crebin berhasil ditundukkan.
Adapun keluarga Rothtaylor, nasib mereka tak perlu ditanyakan. Mereka digambarkan sebagai bangsawan yang sombong, gemar memamerkan kekayaan, dan akhirnya harus menanggung kejatuhan yang memalukan—sebuah akhir yang memuaskan bagi para penonton atau pembaca cerita. Mereka yang secara aktif ikut serta dalam rencana Crebin Rothtaylor dieksekusi tanpa kecuali, sedangkan yang terlibat sedikit pun dipenjara atau dihukum dengan cara lain.
Berkaca dari itu, ketika aku mempertimbangkan situasiku sekarang—kelaparan, kedinginan, dan tak punya kepastian masa depan—mungkin tidak terlalu buruk juga terputus dari keluarga Rothtaylor sejak awal. Singkatnya, dalam sudut pandang tertentu, itu justru hal yang positif.
"Apakah kau bilang kau berterima kasih padaku? Sulit dipercaya."
Putri Phoenia, yang tadinya kaget melihat penampilanku, hanya bisa menatap dengan alis berkerut. Rasanya wajar—tiga hari hidup di alam liar tampaknya telah benar-benar mengubah kesan yang selama ini aku tunjukkan.
Beberapa hari lalu, aku masih menjadi anak bangsawan sombong yang menipu orang demi kepentingan pribadi. Sekarang, kondisiku malah menyedihkan. Meski sekilas tampak seperti hukuman setimpal, di sisi lain itu menimbulkan rasa kasihan.
Namun, aku tahu, Putri Phoenia bukanlah orang yang gampang tersentuh iba saat mengambil keputusan resmi. Terlalu mengandalkan emosi bisa berbalik menghancurkanku.
Apa jalan terbaik yang bisa kuambil?
Mau terus di akademi atau tidak, lebih baik jika Putri Phoenia—bahkan semua siswa Akademi Sylvania—mengabaikanku saja. Kalau sampai menarik perhatian, risikonya adalah banyak pihak mengetahui bahwa Ed Rothtaylor ternyata masih berstatus siswa dan belum benar-benar dikeluarkan. Itu akan membuat posisiku makin sulit di mata dewan akademi, yang bisa mengambil keputusan pemecatan kapan saja.
Kesimpulannya, membuat keributan sama sekali tidak menguntungkanku. Dan aku tidak perlu menjadi musuh Putri Phoenia.
"Bagaimana pun Putri ingin menangani masalahku, aku pasrah," ujarku, sengaja terdengar dingin.
Menunjukkan keputusasaan dengan memohon-mohon tidak akan membantu. Semakin seseorang terlihat terpojok, semakin rendah dia dipandang. Selain itu, Putri Phoenia—yang dikenal sebagai "Putri Baik Hati" dalam The Failed Swordsman of the Sylvania—mempunyai kemampuan istimewa: "mata" yang bisa melihat kepura-puraan seseorang. Sejak kecil, dia selalu dihadapkan pada sanjungan palsu, tipu daya, dan berbagai intrik istana. Di balik sikapnya yang seolah murah hati, tersembunyi pandangan tajam seorang pemimpin, yang sanggup menelanjangi sifat asli seseorang dalam sekejap.
Sementara kupandangi api unggun, kugeser kayu-kayu yang hampir habis terbakar ke tengah. Aku sebenarnya bisa dengan mudah menyalakan kembali api itu dengan sihir, tapi rasanya sia-sia membuang tenaga.
Aku berpindah tempat, duduk di dekat api unggun, dan merapikan pecahan kayu sambil tetap berjaga-jaga terhadap Putri Phoenia.
"Apa kau sudah tinggal di sini selama tiga hari berturut-turut?"
"Kalau sudah terbiasa dengan kehidupan alam liar semacam ini, rasanya masih bisa ditanggung."
Strategiku sederhana. Makin besar aku bertingkah, makin besar pula perhatian orang. Jadi, kuhindari perhatian apa pun.
Memang tidak menyenangkan jika harus berhadapan dengan sang Putri Ketiga dari Kekaisaran Clorel, tapi cara teraman bagi seorang buangan sepertiku adalah bertindak seolah aku tidak peduli. Tindakan semacam meminta maaf berlutut, menangis, atau mengiba-iba hanya akan membuatku terlihat menyedihkan.
Tentu, besar kemungkinan Putri Phoenia akan melaporkanku ke dewan akademi agar aku resmi dikeluarkan. Aku tak boleh tinggal diam; tetap harus ada kompromi.
"Keluarga kerajaan biasanya hidup dalam kemegahan, bukan? Sekedar berjalan-jalan sebentar pun bisa ditemani puluhan pelayan, apalagi kalau sampai setengah hari, pasti dijaga pengawal bersenjata lengkap," ucapku, berusaha memancing pembicaraan.
Yang biasa dilakukan bangsawan adalah menyuap atau menyanjung. Masalahnya, aku tidak punya apa-apa untuk disuapkan, dan sanjungan terang-terangan hanya akan membuatku tampak menjijikkan. Jadi, aku bermain dengan kompromi.
"Namun, kalau seseorang semulia Putri Phoenia menyusuri Hutan Utara Pulau Arken seorang diri—apalagi hingga matahari terbenam—pasti ada alasan mendesak di baliknya."
Meski aku yakin Putri Phoenia tidak benar-benar sendirian (mungkin saja para pengawalnya bersembunyi di balik pepohonan), dia tetap melontarkan kalimat waspada:
"Lalu? Kalau kau berpikir aku sedang sendirian dan kau bisa balas dendam, kau salah besar."
Dia memang bisa berbicara sedemikian tegas karena tahu pengawalnya siap bertindak jika situasi memburuk.
Aku tersenyum tipis.
"Setiap tahun, tugas kelas Profesor Glast di jurusan sihir terkenal kejam. Ia selalu punya cara inovatif menyiksa siswa. Kurasa kau datang ke sini untuk tugas itu. Benar, kan?"
"Kenapa kau tahu?"
Tanpa menoleh ke arah sang putri, aku terus mengatur kayu di perapian.
"Ada sebuah danau di tenggara hutan. Di tengahnya ada pulau batu kecil dengan satu pohon pinus—kabarnya pohon itu disebut 'Pohon Pelindung Merilda'. Kalau kau kebetulan memeriksa bagian bawah pohonnya, mungkin kau akan menemukan sesuatu yang berharga di sana."
"Apa maksudmu?"
"Ya… toh kau memang harus menelusuri seluruh hutan. Mampir ke sana mungkin tidak ada ruginya."
Putri Phoenia hanya menatapku dengan pandangan tajam. Tatapannya tidak nyaman, tapi kubiarkan saja. Aku melemparkan pecahan kayu terakhir ke api unggun.
"Kau masih berniat membalaskan dendammu?"
"Seperti yang kukatakan, aku hanya ingin menyelesaikan pendidikanku di Sylvania."
Kayu yang terbakar menimbulkan suara berderak. Aku berhasil menguatkan nyala api lagi.
"Sebagai penjelasan ringkas, anggap saja ini 'suap yang bisa kutawarkan' padamu, Putri."
Aku menyingkirkan tongkat pengaduk ke samping.
"Kalau kau menolaknya… ya, tidak ada yang bisa kulakukan."
Putri Phoenia menatapku beberapa saat dengan raut wajah meremehkan sebelum akhirnya berbalik pergi, seolah tak mau repot-repot meladeniku lebih jauh.
Ingatan Putri Phoenia
– "Lepaskan aku! Kau tahu siapa aku? Aku Ed Rothtaylor, putra kedua keluarga Rothtaylor! Enyahkan tangan kotormu, dasar babi! Beraninya kau menyentuhku?!"
– "Taely? Hah… Kau cuma pecundang sialan, babi yang berisik!"
– "A-apa? Putri? Putri Phoenia yang baik hati? M-maaf, aku tidak mengenalimu!"
– "Putri! Kalau kau membela si pecundang Taely, nama agungmu akan ternodai! Hukum dia sekarang juga!"
– "Ini jebakan, jebakan! Taely cemburu padaku! Dia babi kotor! Tolong percaya aku!"
"Apakah ini orang yang sama…?" batinnya.
Sepanjang menyusuri hutan, Putri Phoenia teringat adegan yang dilihatnya saat ujian masuk—Ed Rothtaylor, seorang bangsawan sombong, tega memfitnah dan mencurangi Taely, murid yang dianggap gagal.
Tanpa 'mata' khusus pun, orang bisa melihat betapa menjijikkan dan kasarnya dia, mudah menginjak yang lemah dan menjilat yang kuat. Bahkan ketika Putri Phoenia menyembunyikan identitasnya, Ed tetap memandang rendah dirinya.
Tak terbayangkan Ed Rothtaylor bisa dibiarkan berkeliaran di Sylvania, sehingga Putri Phoenia turun tangan. Sebagai anggota keluarga kerajaan, pendapatnya tentu diperhitungkan. Ia pun yakin, dengan reputasi buruk Ed, pihak akademi takkan ragu mengeluarkannya.
Namun tiga hari telah berlalu sejak Ed dipermalukan dan dibuang keluarganya.
"Ia tampak jauh lebih tenang sekarang."
Bisa jadi, tiga hari penuh penderitaan di alam bebas telah membuatnya merenung dan berubah. Meski demikian, Putri Phoenia tidak mau terseret lebih jauh dalam pikiran tersebut.
Sekarang, ujian Profesor Glast di jurusan sihir jauh lebih mendesak. Tugasnya sederhana: menemukan bola sihir yang tersebar di seluruh Hutan Utara, lalu kembali ke gedung fakultas. Ujian itu dimulai setelah makan siang, dan saat hari mulai gelap, kebanyakan mahasiswa sudah kembali dengan bola masing-masing. Konon, profesor menyediakan bola sihir berlimpah, bahkan jauh lebih banyak daripada jumlah peserta. Karena itu, kebanyakan mahasiswa berhasil menemukan bola masing-masing dalam waktu satu jam.
Namun, Putri Phoenia merasakan kejanggalan. Profesor Glast terkenal kejam, tapi ujian kali ini terasa terlalu mudah. Seolah ada motif tersembunyi. Karena penasaran, ia tetap berada di hutan meski malam telah tiba, sementara teman-temannya bergegas pulang.
Ia sempat bertemu siswa-siswa yang kembali sambil membawa beberapa bola sihir, berpikir 'mungkin semakin banyak semakin baik'. Tapi sang putri punya kecurigaan lain. Rembulan kini tinggi di langit, namun ia masih bertahan di hutan.
Tanpa sadar, langkahnya membawanya ke tepi danau—dan di sanalah pulau batu yang disebutkan Ed Rothtaylor.
Di tengah pulau itu berdiri Pohon Pelindung Merilda yang disinari cahaya bulan, menciptakan pemandangan mistis. Putri Phoenia memandangi pemandangan itu sejenak, dagu di tangannya, lalu menyatukan sihir di kakinya untuk melakukan "Jalan di Atas Air." Ini adalah mantra yang memungkinkan berjalan di permukaan air dengan mengeluarkan banyak energi sihir. Meski tidak praktis untuk pertempuran, itu cukup berguna untuk menyeberang tanpa basah.
Hati-hati, ia mendekati pohon pinus tua itu—bertanya-tanya apakah ini jebakan Ed. Kalau Ed Rothtaylor sampai berani melukai Putri Phoenia, dia jelas tak akan lolos begitu saja. Namun, sejauh ini tidak ada tanda bahaya. Ia akhirnya melihat sesuatu di bawah akar pohon.
"Bola ajaib…? Tapi warnanya berbeda…"
Bola itu berkilau keemasan, memancarkan cahaya lembut. Saat dicoba dideteksi, energi sihir di dalamnya begitu samar sehingga hampir luput dari perhatian.
"Hmm… desainnya unik, cahaya emasnya lembut, tapi… tidak ada yang lain… Apakah benda ini berharga?"
Putri Phoenia merenung, tapi kesimpulannya: nilai materi bukan sesuatu yang penting bagi seorang putri kerajaan. Sambil mengangkat sedikit ujung gaunnya agar tidak terkena tanah, ia berjongkok dan mengamati bola itu lebih cermat.
"Kalau kupikir-pikir… menemukan bola ini semata-mata karena saran Ed Rothtaylor."
Ini bukanlah hasil usahanya sendiri. Menyimpan bola itu akan melukai harga dirinya yang berusaha menuntaskan ujian dengan kemampuannya sendiri. Dengan mantap, Putri Phoenia pun memutuskan untuk tidak mengambilnya dan melangkah pergi, meninggalkan danau.
Baginya, lulus ujian dengan memanfaatkan kecurangan—atau 'bantuan' seseorang seperti Ed—adalah hal yang memalukan. Dan ia enggan menodai kehormatannya.