Kediaman kerajaan di Akademi Sylvania berdiri di atas tebing di bagian barat Pulau Arken, yang paling dekat dengan garis pantai. Tempat ini cukup jauh dari blok pemukiman di barat daya—daerah yang penuh dengan berbagai fasilitas dan kompleks komersial sederhana.
Meski setiap orang mendapat perlakuan setara di bidang akademik, mustahil memperlakukan bangsawan sama persis dengan siswa biasa dalam kehidupan sehari-hari, termasuk urusan tempat tinggal.
Karena itu, dibangunlah sebuah kediaman khusus bagi Putri Phoenia.
Rumah besar ini membentang luas. Para mahasiswa biasa bahkan tak diizinkan menginjakkan kaki di tamannya; sudah jelas perlakuan istimewa macam apa yang diberikan di sini.
"Hidup di sini benar-benar berbeda dibanding hidup di asrama profesor."
Saat senja tiba, pemandangan laut yang membentang tampak dari jendela.
Desau ombak lembut menyelinap lewat bingkai jendela, mengisi ruangan pribadi sang putri yang ukurannya relatif sederhana, lalu menghilang.
Di balik jeruji jendela, cakrawala sore merona merah tua. Di meja kerjanya—meja besar berornamen kayu halus dan pola mewah, bahkan lebih megah daripada meja Rektor Obel—Putri Phoenia tampak merenung.
Bagaimanapun keadaannya, kehidupan seorang bangsawan selalu sarat kemewahan.
Kehidupan di kediaman kerajaan ini jelas berbeda dari kehidupan siswa biasa.
Phoenia merapikan rambut pirang platinanya ke bahu kiri. Dia hendak membuka buku tentang sejarah sihir dan studi elemen, tapi pada akhirnya ia meletakkan pena, tenggelam dalam pikirannya.
"…"
Putri Phoenia teringat kejadian tertentu.
Bola sihir emas yang diperlihatkan Lucy Mayrill saat pengumuman penempatan kelas—persis sama dengan Bola sihir emas yang pernah ditemukan Phoenia di Pohon Pelindung Merilda.
Saat melihatnya, Phoenia menyadari suatu hal penting.
Meskipun terlihat aneh, bola sihir emas itu sebenarnya biasa saja—kandungan mana di dalamnya sangat sedikit, nyaris tak terdeteksi.
Akhirnya, Phoenia merasa penilaiannya terdahulu memang benar.
Bola sihir emas itu sendiri tampak aneh, namun daya magisnya amat sedikit.
Tetapi poin krusialnya adalah justru karena manik itu mengandung sangat sedikit mana.
"Bagus sekali, Nona Lucy."
Profesor Glast pernah menjelaskan bahwa ada tiga kunci utama bagi seorang perapal mantra dalam mengejar kebenaran:
Kepekaan Terhadap Mana, Kemampuan Membuat Penilaian Cepat dan Tepat, Hasrat Untuk Menjelajah
Para siswa yang berlomba-lomba mengira ini adu kecepatan, secara otomatis kehilangan poin pada aspek "penilaian cepat dan tepat." Lalu, mereka yang tidak berusaha memahami maksud ujian turut kehilangan poin di bagian "hasrat untuk menjelajah."
Faktor penentu yang paling penting—kepekaan mana—dinilai berdasarkan berapa besar atau kecil kandungan mana dalam setiap manik yang ditemukan.
Semakin sedikit mana yang terkandung, semakin sulit pula mendeteksinya.
Jika dipikir ulang, setiap manik mana yang tersebar di tanah memang memiliki level mana yang amat beragam—dan kebanyakan sangat rendah, sehingga mustahil terdeteksi tanpa konsentrasi penuh.
Menemukan manik yang punya kandungan mana paling minim otomatis memberi nilai plus untuk "kepekaan mana."
Manik emas itulah yang secara mudah ditemukan oleh Lucy Mayreel, yang sempat tertidur di sekitar sana.
"Pohon Pelindung Merilda adalah pohon tertua di Hutan Utara. Ia dikelilingi konsentrasi mana yang padat berkat karunia roh angin, Merilda."
Di podium, Profesor Glast—dengan wajah kerempeng bak tengkorak—menjelaskan,
"Dalam area yang sudah dipenuhi mana padat, kami tempatkan bola-bola sihir dengan kandungan mana sangat sedikit. Letaknya di pulau batu di tengah danau, membuatnya hampir mustahil terdeteksi kecuali seseorang benar-benar selaras dengan mana."
Kepekaan terhadap mana memang hal yang sangat luas dan rumit.
Ibarat mencium aroma unik di tengah keramaian, 'jejak mana' yang lemah kerap tersamarkan hingga tak mudah dikenali.
Lucy Mayreel rupanya terlahir dengan kepekaan luar biasa terhadap nuansa mana semacam itu.
Ditambah lagi, meski tampaknya teledor dan selalu mengantuk, Lucy ternyata memahami betul niat Profesor Glast.
Buktinya, ia kembali ke fakultas hanya dengan membawa bola sihir emas—tandanya dia sudah tahu apa yang dikejar dalam ujian ini.
Lucy Mayreel seolah "main-main" saja, tapi tetap menempati puncak hasil ujian.
"Memang logis…"
Phoenia tak pernah mendengar nama Lucy Mayreel sebelumnya, tapi di antara teman-temannya, Lucy cukup sering disebut.
"Lucy Si Pemalas."
Cobalah berjalan keliling kampus; kau akan menemukannya tidur siang di bangku taman, di atas tunggul pohon, atau rebahan di rumput.
Riwayatnya tak begitu jelas. Rumornya, dia adalah jenius di antara jenius—dikaruniai bakat mendeteksi mana yang mengagumkan.
Itu jelas kemampuan luar biasa. Tetapi, memang mustahil menyamakan bakat manusia; setiap orang berbeda.
Meski begitu, ada satu detail yang tidak bisa dikesampingkan Putri Phoenia.
Ternyata ada orang lain juga yang mengetahui keberadaan bola sihir emas itu.
"Pohon itu adalah Pohon Pelindung Merilda. Kau akan menemukan sesuatu yang menarik kalau memeriksa celah di sisinya."
Ed Rothtaylor.
Putri Phoenia kembali teringat percakapannya.
Pertama, fakta bahwa Ed Rothtaylor tahu lokasi bola sihir emas itu jelas bukan kebetulan.
Tingginya kadar mana di sekitar Pohon Pelindung Merilda mampu menyamarkan bola sihir yang hampir tak memiliki mana.
Terletak di pulau batu di tengah danau, tempat itu sudah pasti bukan lokasi yang kebetulan ditemukan orang lewat.
Hanya ada satu kesimpulan: dia mempunyai kepekaan mana setara Lucy Mayreel.
"Lepaskan aku! Kau tak tahu siapa aku?! Aku Ed Rothtaylor dari Keluarga Rothtaylor! Angkat tangan kotormu dariku, dasar babi! Berani-beraninya kau menyentuhku?!"
"Kenapa harus repot-repot menipu murid semacam Taely atau siapalah itu? Lepaskan! Kalian petani bodoh tak tahu apa-apa, berani-beraninya bicara omong kosong!"
"Hah? Yang Mulia Putri? Putri Phoenia yang baik hati? Astaga, maafkan aku karena tidak mengenalimu!"
"Ampuni hamba, Yang Mulia! Hamba akan bersujud di hadapanmu! Kumohon, berikan hamba belas kasihan sekali ini saja!"
"Yang Mulia! Orang hina seperti Taely itu tak pantas dibela. Hanya akan menodai nama baikmu. Aku mohon, hukumlah dia sesuai kesalahannya!"
"…Tidak mungkin."
Phoenia menggelengkan kepala.
Sejak kecil, ia sudah mahir menilai karakter seseorang.
Tingkah Ed Rothtaylor yang begitu keji saat ujian masuk hanyalah luapan keputusasaan orang yang terpojok—semua orang bisa melihatnya.
Kabar yang beredar menyebut Ed Rothtaylor lemah dalam sihir dan sering mendapat nilai buruk. Entah bagaimana dia bisa menjadi sosok arogan seperti itu, kemungkinan besar hasil didikan keluarga Rothtaylor yang aristokratik.
Yang lebih penting, Profesor Glast takkan membiarkan bakat sehebat itu terabaikan.
Bahkan bakat paling tersembunyi pun akan dia cari dan kembangkan. Ia terkenal terobsesi pada orang-orang berbakat.
Maka tak masuk akal jika dia mengabaikan potensi Ed yang sebesar itu.
Meski begitu, rasa tak nyaman terus mengusik pikiran Phoenia.
"Benarkah dia orang yang sama…?"
Pikiran ini tak memberinya kelegaan. Yang membuatnya bingung adalah perbedaan antara Ed Rothtaylor yang dijumpainya di hutan dan kesan sebelumnya.
Ketika orang biasanya tunduk pada kekuasaan dan otoritas, Ed justru tak menunjukkan rasa takut, tak peduli kehormatan, bahkan tak tampak putus asa. Dahulu dia terkesan congkak, tapi di hutan, semua ciri itu sirna.
Ed Rothtaylor malah lebih khawatir menjaga api unggun kecilnya tetap menyala ketimbang takut akan murka Putri Phoenia.
Dia sama sekali tidak menoleh ke Putri, hanya sibuk mengatur kayu dengan ranting sambil sesekali menanggapi pembicaraan.
Disonansi.
Kesannya seperti mereka bukan orang yang sama.
Tapi penampilan dan perilakunya menegaskan bahwa dia tetap Ed Rothtaylor yang arogan dari ujian masuk.
"Barangkali ada insiden besar yang mengubah dirinya…?"
Mungkin pengusiran dari keluarga itulah insiden besarnya.
Tetap saja, secara logika umum, itu terasa janggal.
Putri Phoenia sendiri turut andil dalam pengusiran Ed.
Harusnya Ed menyimpan dendam, atau setidaknya merajuk meminta pengampunan. Kalau memang begitu, dia takkan tampak bertentangan.
Namun, saat menghadapi kenyataan itu, mata Ed seolah tak memancarkan emosi terluka sama sekali.
Ketika menatap Putri Phoenia, yang tampak hanya:
Ketidakpedulian. Ketidakpedulian. Ketidakpedulian.
Bahkan ada sedikit kesan tenang.
Bagi seorang bangsawan yang diusir, ketenangan macam itu… jujur saja, aneh.
"Mungkinkah pengusiran itu tidak sedahsyat yang kita bayangkan…?"
Sembari melontarkan pemikiran itu, Phoenia menggeleng lagi. Bagaimanapun, Ed dibesarkan di Keluarga Rothtaylor sejak lahir.
Bahkan orang paling tabah sekalipun pasti syok saat diusir dari rumah tempat ia tumbuh.
"Hmm…"
Membalik halaman buku yang membahas teori elemen, Phoenia mulai berpikir lebih dalam.
Seperti apa sebenarnya Keluarga Rothtaylor?
Dia ingat pertemuannya dengan Crebin Rothtaylor, kepala keluarga tersebut, di sebuah jamuan kerajaan.
Pria itu tampak anggun, kalem, selalu tersenyum simpatik.
Tetapi di mata Phoenia kecil, ada hal lain yang dia lihat.
Kemampuan "mata" Phoenia—nyaris seperti bakat ilahi dalam memahami tabiat orang—mengirim sinyal peringatan.
Di balik citra bangsawan paling terhormat di benua ini, dalam sosok Crebin Rothtaylor yang ramah, bersembunyi seekor ular jahat.
Dia berpura-pura menjadi penguasa bijak, tapi kegelapan yang tak kasatmata melekat padanya. Phoenia masih ingat sekilas raut muram Crebin saat ia meninggalkan balairung kerajaan.
Seorang pria yang berpura-pura baik namun berhati busuk. Phoenia sudah yakin sejak dulu.
Beberapa pengamat yang diam-diam ditugaskan mengintai kediaman Rothtaylor melaporkan adanya "kegelapan tak dikenal" di sana.
Laporan tahunan untuk kerajaan pun selalu telat atau setengah-setengah.
Gosip beredar bahwa para pelayan yang masuk ke dalam perkebunan itu menghilang secara misterius.
Juga beredar kabar Crebin Rothtaylor sering tekun membaca naskah-naskah kuno bertema iblis.
Seolah-olah ada sosok asing yang senantiasa menghantui tempat itu.
Sayangnya, semuanya hanya desas-desus, tanpa bukti yang dapat memastikan.
"…"
Jari Phoenia berhenti menyusuri punggung buku.
Di sepanjang hidupnya, dia tak pernah keliru menilai watak manusia.
Sekalipun keadaannya di luar dugaan, ketika dia menuruti nalurinya, biasanya itu benar.
Lantas, coba bayangkan…
Jika benar ada kegelapan di dalam Keluarga Rothtaylor—seperti yang ditangkap instingnya, tapi belum terbongkar sepenuhnya…
Dan jika Ed Rothtaylor ingin sekali kabur dari kegelapan itu…
Itu mungkin menjelaskan mengapa dia tak terpengaruh meski diusir—barangkali, baginya ini justru anugerah.
Bisa jadi dia memang ingin menyingkirkan bayang-bayang gelap Keluarga Rothtaylor, tetapi secara alami.
Tentu saja, seseorang tak bisa begitu saja melepaskan ikatan darah dan nama keluarga. Agar tampak "natural," mungkin dibutuhkan sebuah "noda."
"…"
Wajah Phoenia terlihat makin serius.
Andai hal itu benar…
"Lepaskan aku! Kau tahu siapa aku?! Aku Ed Rothtaylor dari Keluarga Rothtaylor! Singkirkan tangan kotormu dariku!"
"Kenapa aku harus merendahkan diri menipu murid sepele seperti Taely hanya untuk unjuk kuasa?! Lepaskan! Dasar rakyat jelata bodoh, tahu apa kalian?!"
Seluruh aksi kasar Ed—yang menonjolkan sisi terburuknya—bisa saja hanya sandiwara demi memopulerkan aibnya sendiri.
Itu berarti ada maksud tersembunyi yang sangat cerdik sampai-sampai "mata ilahi" Phoenia tak menangkapnya.
Dengan kata lain, Ed adalah dalang piawai yang menggunakan bahkan Putri Kerajaan sebagai bidak dalam rencananya.
"Dia… bersandiwara…?"
Putri Phoenia menggelengkan kepala sekali lagi. Rasanya tidak masuk akal.
Namun disonansi antara Ed Rothtaylor di hutan dan di ujian masuk tetap mengusik.
Jika semua itu sekadar rekayasa…
Jika dia memang tahu seluk-beluk kegelapan Keluarga Rothtaylor…
Jika dia memanfaatkan kehadirannya sebagai jalan memisahkan diri dari kegelapan itu…
Jika segala sesuatu berjalan sesuai rencananya…
Maka…
Tok, tok.
"Mungkin aku memang terlalu lelah. Aku juga manusia."
Bersamaan dengan gumaman itu, sang putri beranjak dari kursinya.
Dia melangkah ke dekat jendela, membiarkan angin laut yang segar membelai. Rambut pirangnya menari di tiup angin.
Rasanya begitu melegakan.
"Dengan semua urusan penerimaan siswa baru dan kegiatan akademis, aku nyaris tak punya waktu untuk urusan kerajaan."
"Nikmati kegembiraan belajar sepuasnya."
Begitu pesan yang disampaikan Raja kepada Putri Phoenia ketika dirinya memulai perjalanan ke Sylvania.
Setelah jauh dari protokol istana dan tata krama kerajaan, mungkin inilah saatnya untuk meletakkan beban berat itu sejenak.
Sebab, dia telah menghabiskan hidupnya untuk rapat politik, perebutan kekuasaan di kalangan bangsawan, memikirkan kesejahteraan rakyat, hingga urusan internasional. Barangkali dia memang sudah lelah.
Mungkin dia terlalu membesar-besarkan peran Ed Rothtaylor.
Tidak semua orang hidup di balik puluhan topeng, merancang tipu muslihat.
Kehidupan di antara para bangsawan dan menteri mungkin telah membuatnya terbiasa mengukur isi hati manusia.
Padahal secara fisik, dia masih gadis remaja yang jauh dari dewasa, tetapi seakan batinnya telah menua sebelum waktunya.
Dia terlalu muda untuk memikul beban seberat itu. Kini, mungkin sudah waktunya memasuki lembaran baru yang lebih ringan, di mana dia menekankan pengembangan diri, bukan terus menilai orang lain.
Sang putri menarik napas dalam-dalam, membiarkan angin menyelubungi dirinya.
"Apa aku memang menua sebelum waktunya?"
Lalu ia memandang cermin di dekat jendela. Di sana terpantul Putri Phoenia, dengan rambut pirang terawat bak bangsawan…