Chereads / Bintang Jatuh di Senja / Chapter 3 - Bab 3: Dunia Baru yang Menantang

Chapter 3 - Bab 3: Dunia Baru yang Menantang

Arjuna duduk di ruang tunggu studio rekaman dengan perasaan campur aduk. Mas Bram baru saja memberinya pujian atas tes rekamannya, tetapi Arjuna tahu ini baru permulaan dari perjalanan panjang yang penuh tantangan. Semua yang ia lihat di Jakarta terasa begitu baru dan asing. Dunia yang dulu hanya ia saksikan dari layar televisi kini ada di hadapannya. Namun, dia juga tahu bahwa di balik kilauan gemerlap kota ini, ada banyak hal yang harus ia pelajari dan hadapi.

Pada hari-hari berikutnya, Mas Bram memperkenalkan Arjuna kepada berbagai orang di industri musik, mulai dari produser, musisi, hingga manajer artis. Setiap pertemuan terasa seperti langkah besar menuju dunia yang ia impikan, tetapi juga penuh tekanan. Jakarta bukan tempat yang mudah untuk bersaing, dan Arjuna harus membuktikan bahwa ia bukan hanya sekadar pemuda desa dengan suara yang bagus, tetapi juga seseorang yang bisa bertahan di tengah kerasnya dunia hiburan.

"Arjuna," kata Mas Bram suatu hari saat mereka sedang berbicara di ruang rekaman, "kamu memiliki suara yang luar biasa. Tapi di sini, bakat saja tidak cukup. Kamu harus tahu bagaimana memanfaatkan media sosial, bagaimana bekerja dengan tim, dan bagaimana menjaga citra dirimu di mata publik. Semua ini bukan hal yang mudah."

Arjuna mengangguk serius, meski hatinya sedikit khawatir. Ia selalu menganggap dirinya lebih suka bernyanyi tanpa terlalu memikirkan hal-hal lain. Tapi kini, dia tahu, dunia hiburan tidak hanya soal suara yang bagus. Ada banyak hal yang harus ia pelajari.

Suatu malam, Mas Bram mengundang Arjuna untuk datang ke sebuah acara musik yang diadakan oleh salah satu stasiun televisi swasta. Di sana, Arjuna bisa melihat para artis dan penyanyi yang sudah terkenal, tampil di atas panggung dengan aura yang luar biasa. Mereka mengenakan pakaian mewah, dan sorotan lampu kamera tak henti-hentinya mengikuti mereka. Arjuna merasa terpesona, namun juga terintimidasi. Ia merasa seolah-olah hanya seorang anak desa yang tak tahu banyak tentang dunia ini.

Mas Bram melihat raut wajah Arjuna yang tampak cemas. "Jangan khawatir, Arjuna. Kamu juga bisa berada di posisi mereka jika kamu terus bekerja keras. Ini hanya langkah pertama, dan perjalananmu masih panjang."

Arjuna mengangguk, mencoba menenangkan dirinya. Di malam itu, ia menyaksikan penyanyi-penyanyi yang sudah lebih berpengalaman dengan penuh kekaguman. Meskipun ia merasa jauh tertinggal, ia juga merasa termotivasi. Ia ingin menjadi seperti mereka, bisa tampil percaya diri di atas panggung, bisa menyanyikan lagu-lagu yang tidak hanya membuat orang terkesan, tetapi juga membuat mereka merasakan emosi yang sama.

Namun, kenyataan di balik layar sangat berbeda. Arjuna mulai terjun ke jadwal yang sangat padat. Setiap hari, ia harus mengikuti latihan vokal, wawancara dengan media, dan pemotretan untuk berbagai acara promosi. Semua itu dilakukan dalam tempo yang sangat cepat. Hari-hari terasa semakin panjang dan melelahkan, dan Arjuna mulai merasa kelelahan fisik dan mental.

Tapi yang lebih berat lagi adalah tekanan untuk selalu tampil sempurna. Dunia hiburan menuntut Arjuna untuk selalu menjaga penampilannya, menguasai setiap gerakan di panggung, dan memiliki citra yang tak pernah ternoda. Semua orang di sekelilingnya menginginkan hasil yang cepat, sementara Arjuna merasa terkadang ia tidak siap untuk semua itu. Ia merasa dirinya bukan orang yang terbiasa dengan sorotan kamera, dengan tatapan yang selalu menilai dari setiap gerak-geriknya.

Pada suatu sore, setelah sesi latihan vokal yang sangat melelahkan, Arjuna merasa tertekan. Ia duduk di sebuah bangku kosong di sudut studio, memandang ke luar jendela. Jakarta yang terlihat indah dengan gemerlap lampunya justru terasa sangat jauh dan asing. Di dalam hatinya, ia mulai merasa ragu. Apakah ia bisa bertahan dalam dunia yang sekeras ini?

"Arjuna," suara Mas Bram terdengar dari pintu studio. "Kamu baik-baik saja?"

Arjuna menoleh, berusaha tersenyum meski ada kegelisahan yang menyelimuti hatinya. "Saya hanya merasa... capek, Pak. Terkadang, semuanya terasa begitu berat."

Mas Bram mendekat dan duduk di sebelah Arjuna. "Saya mengerti, Arjuna. Dunia hiburan memang tidak mudah. Tapi percayalah, semua ini akan ada manfaatnya jika kamu tetap fokus pada tujuanmu. Kamu tidak sendiri. Saya di sini untuk membimbingmu. Jangan ragu untuk meminta bantuan jika kamu merasa tertekan. Ini adalah bagian dari proses, dan kamu harus melewatinya."

Mas Bram memberi Arjuna semangat, dan meskipun rasa lelah itu masih terasa, Arjuna mulai merasa sedikit lebih tenang. Ia tahu bahwa setiap proses pasti ada jatuh bangunnya. Dunia ini memang penuh tekanan, tetapi jika ia bisa melewati rintangan-rintangan ini, ia yakin impian yang selama ini ia kejar akan terwujud.

Seiring berjalannya waktu, Arjuna mulai belajar untuk menyesuaikan diri dengan dunia baru ini. Ia mulai lebih nyaman dengan sesi-sesi foto dan wawancara, meskipun tetap merasa gugup setiap kali berhadapan dengan kamera. Di sisi lain, ia juga semakin terasah dalam hal teknis bernyanyi. Ia belajar tentang pengendalian suara, penguasaan panggung, dan cara berinteraksi dengan penonton.

Namun, meskipun ia mulai merasa lebih percaya diri, masih ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Persaingan. Dunia musik tidak hanya penuh dengan hal-hal yang glamour, tetapi juga penuh dengan orang-orang yang berusaha merebut tempat. Arjuna merasa khawatir, apakah ia cukup baik untuk bertahan di dunia ini? Ada begitu banyak artis baru yang muncul setiap saat, dan kadang ia merasa seperti seorang pemuda dari desa yang terlalu terlambat masuk ke dalam permainan ini.

Namun, Mas Bram selalu ada untuk memberinya nasihat. "Arjuna, ingatlah bahwa setiap orang punya jalannya sendiri. Jangan membandingkan dirimu dengan orang lain. Kamu punya kelebihan yang unik. Fokuslah pada dirimu sendiri dan terus tingkatkan kemampuanmu. Orang-orang akan melihat keunikanmu."

Dengan kata-kata tersebut, Arjuna mulai mengerti bahwa dunia hiburan bukan hanya soal persaingan semata, tetapi juga tentang keunikan dan dedikasi. Ia belajar untuk fokus pada apa yang ia bisa berikan, bukan pada apa yang orang lain lakukan. Ia juga mulai menyadari bahwa kesuksesan bukan hanya tentang ketenaran, tetapi tentang kesetiaan terhadap dirinya sendiri dan musik yang ia cintai.