Pada Tahun 1985, Hari pertama sekolah di SMP Negeri 1 terasa penuh antusiasme.
Suara sepatu yang berderap di lorong bercampur dengan obrolan siswa-siswi baru.
Di tengah hiruk-
---
Beberapa minggu setelah kegiatan belajar dimulai, guru sejarah mereka, Pak Aris, memberikan tugas kelompok pertama.
Setiap kelompok terdiri dari empat siswa, yang dipilih acak oleh guru.
Arya dan Nadira kebetulan masuk ke kelompok yang sama.
"Kelompok kalian akan membahas tentang Kerajaan Majapahit," kata Pak Aris sambil menyerahkan kertas tugas.
Saat kelompok mereka berkumpul untuk berdiskusi, Nadira, seperti biasa, mengambil inisiatif. "Oke, aku pikir kita bisa mulai dengan membagi tugas. Siapa yang mau bikin rangkuman?"
Salah satu teman mereka langsung menjawab, "Aku bisa bantu cari materi di perpustakaan."
"Bagus. Arya?" Nadira menoleh, senyumnya lembut. "Kamu bisa bikin apa?"
Arya mengangkat bahu, terlihat malas. "Terserah."
Jawaban singkat itu membuat suasana sedikit canggung, tapi Nadira tetap tenang. Ia mencoba mendekati Arya dengan cara yang lembut.
"Kamu suka gambar, kan?" tanyanya sambil menunjuk buku catatan Arya yang penuh dengan sketsa. "Kamu bisa bikin ilustrasi, mungkin tentang peta atau kehidupan di kerajaan?"
Arya menatap Nadira sebentar, lalu mengangguk tanpa berkata apa-apa, wajahnya terlihat seperti alucard legends di dalam game mobile legends yang berkata "dingin tetapi tidak kejam"
---
Seiring waktu, Nadira terus menunjukkan perhatian kecil kepada Arya, meski mereka tidak benar-benar dekat. Ketika Arya lupa membawa buku pelajaran, Nadira dengan santai meminjamkan miliknya.
"Ini, pakai aja dulu," katanya sambil menyerahkan buku sejarahnya.
Arya hanya mengangguk.
Di lain waktu, saat mereka sedang belajar kelompok di perpustakaan, Nadira memperhatikan bahwa Arya tidak begitu tertarik membaca buku teks yang mereka gunakan.
"Arya, kalau susah paham, coba deh pakai catatan aku," katanya sambil menyerahkan kertas-kertas catatannya yang penuh tulisan rapi. "Aku udah ringkas poin-poin pentingnya."
Meski awalnya menolak, Arya akhirnya menerima.
---
Suatu hari, ketika tugas kelompok mereka hampir selesai, Nadira dengan nada bercanda berkata, "Kamu itu sebenarnya bisa banget, Arya. Cuma kelihatan males aja."
Arya yang biasanya tidak terlalu peduli dengan komentar orang, merasa anehnya tidak terganggu. "Tugas kan selesai, itu yang penting," jawabnya singkat.
Nadira hanya tersenyum kecil. Ia mulai memahami bahwa di balik sikap cueknya, Arya sebenarnya punya sisi yang peduli, meski ia jarang menunjukkannya.
---
Setelah beberapa bulan, Nadira mulai dikenal sebagai murid terpintar di kelas. Nilainya selalu di atas rata-rata, dan ia sering mendapat pujian dari guru-guru. Tapi, kepintaran itu juga menarik kecemburuan dari beberapa teman sekelasnya.
"Dia sok banget, sih. Selalu cari perhatian," bisik salah satu anak di lorong sekolah.
Komentar-komentar seperti itu semakin menjadi ketika Nadira memenangkan lomba menulis di tingkat kota. Beberapa anak mulai mengganggu Nadira dengan cara kecil-kecilan—menyembunyikan sepatunya di sebuah tempat tersembunyi, menumpahkan air di mejanya, atau bahkan kekerasan fisik.
Awalnya, Nadira mencoba mengabaikan, tapi lama-kelamaan, ia mulai merasa sedih.
Suatu hari, Arya kebetulan melihat Nadira sedang membersihkan mejanya yang basah di kelas, arya hanya melihat sambil bergumam "kenapa anak pintar selalu ada saja yang benci ?, bukannya memiliki teman yang pintar bisa di manfaatkan untuk saling berbagi ilmu ?.
---
Di kantin, ketika beberapa anak mulai mengerubungi meja Nadira untuk mengejeknya, Arya yang sedang duduk di pojok, berdiri perlahan.
Ia mendekati mereka tanpa banyak bicara.
"Udah, jangan ganggu dia," katanya dengan nada datar
Anak-anak itu menoleh, terlihat terkejut. Salah satu dari mereka mencoba melawan. "Emang kamu siapa ngatur-ngatur ?"
Arya tidak menjawab. Ia hanya menatap mereka dengan dingin, beberapa saat kemudian mereka pun pergi meninggalkan Arya dan Nadira.
Nadira yang sejak tadi diam, menatap Arya dengan penuh rasa syukur. "Makasih, Arya," katanya pelan.
Arya hanya mengangguk dan berbalik pergi tanpa berkata apa-apa.
Keesokan harinya, suasana SMP Negeri 1 terlihat seperti biasa.
Lorong-lorong dipenuhi dengan suara langkah kaki dan obrolan para siswa.
Namun, di sudut kelas, Nadira duduk sendirian dengan kepala tertunduk.
Tatapannya kosong, dan senyum cerianya yang biasanya menghiasi wajahnya kini hilang.
Beberapa anak laki-laki yang dikenal sering mencari masalah sedang berdiskusi di bagian belakang kelas.
Mereka melihat Nadira sebagai target yang mudah karena sifatnya yang pendiam dan kepintarannya yang sering dipuji guru.
"Eh, si Nadira duduk sendirian lagi," ujar salah satu dari mereka sambil tersenyum sinis.
"Bikin dia nggak nyaman yuk. Biar tahu rasa," balas yang lain.
"Ngga usah, ngeliat dia lagi sedih aja sudah bahagia banget, coba perhatiin deh, Nadira lemah banget kayak masih Bayi"
Nadira menyadari bahwa mereka sedang membicarakan dirinya.
---
Saat jam istirahat tiba, Nadira memutuskan untuk pergi ke perpustakaan, tempat yang biasanya memberinya ketenangan.
Namun, di tengah perjalanan, beberapa anak laki-laki itu menghadangnya di lorong belakang, tempat yang sepi dari pengawasan.
"Eh, Nadira. Mau ke mana? Belajar lagi, ya ?" salah satu dari mereka bertanya dengan nada mengejek.
Nadira berhenti sejenak dan menjawab dengan pelan, "Aku cuma mau ke perpustakaan."
Namun, mereka menghadang.
Salah satu dari mereka menjulurkan kakinya, membuat Nadira hampir tersandung.
"Kamu tuh pinter banget ya. Sampai-sampai lupa cara jalan," ucap salah satu dari mereka sambil tertawa kecil.
Nadira mencoba mengabaikan, tapi dorongan dari mereka membuat bukunya terjatuh ke lantai.
Ketika ia jongkok untuk mengambil buku itu, salah satu dari mereka menendangnya hingga bergeser jauh.
"Salah ku apa ?" tanya Nadira dengan nada hampir berbisik, mencoba menahan air matanya.
Namun, bukannya berhenti, salah satu dari mereka malah menyenggol bahu Nadira, membuatnya hampir terjatuh.
---
Di lorong lain, seorang teman Arya yang bernama Rendi kebetulan melihat kejadian tersebut.
Ia merasa tidak nyaman melihat Nadira diperlakukan seperti itu, apalagi ia tahu bahwa Nadira tidak pernah melakukan hal buruk kepada siapa pun.
Tanpa pikir panjang, Rendi langsung berlari menuju kelas untuk mencari Arya.
"Arya!" teriak Rendi begitu sampai di meja Arya.
Arya, yang sedang membaca buku pelajaran, mendongak dengan tenang. "Apaan, Ren? Santai aja."
"Nadira! Dia lagi diganggu di lorong belakang sama anak-anak itu.
Mereka keterlaluan, Arya," kata Rendi dengan nada cemas.
Wajah Arya langsung berubah. Ia tidak mengatakan apa-apa, arya langsung berdiri dari kursinya dan berjalan cepat keluar kelas. Amarah di wajahnya terlihat jelas, dan Rendi pun segera mengikutinya dari belakang.
---
Saat Arya sampai di lorong belakang, ia melihat Nadira sedang dikerubungi oleh anak-anak namal.
Salah satu dari mereka baru saja menendang buku Nadira lagi, sementara yang lain tertawa puas.
Arya berhenti sejenak, menatap mereka dengan sorot mata tajam. "Berhenti sekarang juga," katanya dengan nada rendah tapi penuh wibawa.
Anak-anak itu menoleh, terkejut melihat Arya. Salah satu dari mereka mencoba bersikap santai. "Santai aja, Arya. Kita cuma bercanda" katanya sambil tersenyum tipis.
"Bercanda ?" Arya melangkah maju, berdiri di depan mereka. "Kalian pikir dorong-dorong orang itu bercanda ?, Kalian pikir ngerusak barang orang itu lucu ?"
Salah satu dari mereka mencoba melawan. "Emang lu siapa, Sok Asik Banget Lu ! "
Namun, sebelum ia selesai berbicara, Arya menarik kerah bajunya dengan satu tangan dan mendorongnya mundur.
Anak itu terkejut dan terdiam, sementara teman-temannya mulai mundur perlahan.
"Kalian semua, dengerin baik-baik," ujar Arya, suaranya tegas seperti minotaur. "Kalau gue lihat kalian ganggu Nadira lagi, kalian bakal nyesel seumur hidup."
Anak-anak itu saling menatap, tak tahu harus berkata apa. Mereka akhirnya memutuskan untuk pergi meninggalkan lorong tanpa perlawanan.
---
Arya berbalik dan melihat Nadira yang masih duduk di lantai sambil memeluk tasnya.
Ia berjalan mendekat, mengambil buku Nadira yang berserakan di lantai, dan menyerahkannya tanpa banyak bicara.
"Kamu nggak apa-apa ?" tanya Arya dengan nada lebih lembut dari sebelumnya.
Nadira mengangguk pelan, meski matanya masih berkaca-kaca. "Makasih, Arya," katanya pelan.
Arya hanya mengangguk. "Udah, ayo kita balik ke kelas," ujarnya singkat, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya.
Di sepanjang perjalanan kembali ke kelas, Nadira mencuri pandang ke arah Arya. Meski ia tidak banyak bicara.
Hari itu, matahari bersinar terik ketika lonceng sekolah berbunyi, menandakan jam pelajaran telah usai.
Siswa-siswi berhamburan keluar dari kelas, mengisi lorong-lorong yang ramai menuju gerbang. Arya, seperti biasanya, berjalan sendiri dengan langkah santai namun terlihat tegas, tas sekolahnya di sampirkan di satu bahu.
Di belakangnya, Nadira mengintip dari balik pintu kelas.
Sejak kejadian pagi tadi, di mana Arya melindunginya dari anak-anak nakal, ada sesuatu dalam dirinya yang berubah.
"Nggak ada salahnya, kan, cuma mantau dia secara diam diam," gumam Nadira pelan sambil tersenyum kecil.
Tanpa pikir panjang, Nadira memutuskan untuk mengikuti Arya.
---
Arya berjalan menyusuri jalan kecil di samping sekolah, menuju gedung gym yang terletak tidak terlalu jauh dari sana. Nadira, yang mengikuti dari kejauhan, berusaha sebaik mungkin untuk tidak menarik perhatian.
"Aku harus seperti ninja," pikirnya sambil merunduk di balik pagar rumah penduduk.
Namun, karena terlalu fokus mengawasi Arya, Nadira hampir tersandung batu kecil di jalan. Ia menahan napas ketika Arya berhenti sejenak, seolah menyadari sesuatu.
Arya menoleh ke belakang dengan alis sedikit berkerut. "Siapa itu?" gumamnya pelan.
Nadira segera merunduk di balik semak-semak, berharap Arya tidak melihatnya. Ia bahkan menahan napas, takut gerakan kecil akan mengkhianati keberadaannya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Arya melanjutkan langkahnya.
"Fiuuh... hampir ketahuan," bisik Nadira sambil memegangi dadanya yang berdebar.
---
Setelah perjuangan panjang dan banyak "misi" sembunyi-sembunyi di balik tiang listrik dan pohon besar, akhirnya Nadira melihat Arya memasuki sebuah gedung dengan tulisan besar di atasnya - OTOT KAWAT ANTI KENDOR -
Nadira berhenti di belakang pagar tanaman dekat gedung gym, memandang Arya yang berjalan ke meja resepsionis untuk memesan waktu olahraga.
"Mas Arya, seperti biasa ya ?" kata resepsionis dengan nada ramah.
Arya mengangguk kecil. "Iya, dua jam," jawabnya singkat.
Nadira memperhatikan dari jauh, takjub mendengar nama Arya disebut dengan akrab. "Dia sering ke sini ya ? Hebat banget," pikir Nadira sambil menatap Arya yang berjalan ke ruang ganti untuk bersiap-siap.
---
Setelah beberapa menit, Arya keluar dari ruang ganti dengan kaos olahraga sederhana dan celana training. Ia berjalan ke area gym yang dipenuhi alat-alat seperti treadmill, dumbbell, dan mesin angkat beban. Nadira, yang bersembunyi di balik pepohonan di sisi gedung, memutuskan untuk mengintip lebih dekat.
Ia menemukan tempat yang cukup tersembunyi, di mana ia bisa melihat Arya tanpa takut ketahuan. Dari balik daun-daun lebat, ia melihat Arya mulai dengan treadmill. Langkah-langkahnya mantap, menunjukkan dedikasi pada setiap gerakan.
"Dia rajin banget," gumam Nadira pelan, kagum.
Setelah treadmill, Arya pindah ke area angkat beban. Nadira memperhatikan bagaimana Arya mengangkat dumbbell dengan konsentrasi penuh. Tetesan keringat mulai terlihat di dahinya, tapi wajahnya tetap tenang. Setiap gerakan tampak terukur, seolah-olah Arya tahu persis apa yang ia lakukan.
"Pantesan dia kelihatan kuat," pikir Nadira sambil tersenyum kecil.
---
Namun, karena terlalu fokus memperhatikan, Nadira tanpa sadar menyenggol ranting pohon dengan siku. Suara kecil itu membuat Arya berhenti sejenak dan menoleh ke arah luar gedung gym, ke arah tempat Nadira bersembunyi.
"Siapa di sana ?" Arya bertanya dengan nada sedikit curiga.
Nadira segera merunduk, memeluk lututnya, berharap Arya tidak benar-benar mendekat. Ia merasa jantungnya berdebar keras, seolah-olah bisa terdengar oleh siapa pun di sekitarnya.
Arya memperhatikan sejenak, lalu menggeleng pelan. "Mungkin cuma suara angin," katanya pada dirinya sendiri sebelum kembali ke alat olahraga.
Nadira menarik napas lega. "Dia nggak sadar aku di sini. Tapi aku harus lebih hati-hati."
---
Selama hampir satu jam, Nadira terus mengamati Arya dari kejauhan. Ia melihat bagaimana Arya dengan serius menyelesaikan rutinitas olahraganya, dari angkat beban hingga push-up. Di sela-sela itu, Arya sesekali mengusap keringat di dahinya, terlihat begitu fokus dan disiplin.
"Dia nggak cuma melindungi aku di sekolah, tapi juga punya sisi keren yang lain," pikir Nadira sambil tersenyum.
---
Setelah Arya selesai dengan rutinitasnya, ia kembali ke ruang ganti untuk berganti pakaian.
Nadira, yang merasa puas dengan "pengamatannya," memutuskan untuk segera pergi sebelum Arya keluar.
Sambil berjalan pulang, Nadira tidak bisa berhenti tersenyum, Di dalam hatinya, ia merasa telah melihat sisi baru dari Arya yang membuatnya semakin kagum.
"Kalau aku bisa lebih dekat dengannya... mungkin aku bisa mengenalnya lebih baik, dan... Mungkin aku bisa dapat cokelat batang secara gratis, yey~," gumam Nadira pelan.
Di sisi lain, Arya yang tidak menyadari apa pun hanya berjalan pulang seperti biasa.
Dua Tahun Berlalu, kehidupan Nadira di SMP Negeri 1 terasa seperti ujian yang tak kunjung selesai. Kepintarannya, yang membuatnya sering menjadi murid kebanggaan guru, justru membuat sebagian teman-temannya merasa iri.
Mulai dari ejekan kecil hingga tindakan yang lebih kasar, bullying terhadap Nadira terus berlangsung, bahkan semakin parah seiring waktu.
Arya, meski terkenal pendiam dan terlihat tak peduli, selalu memperhatikan dari jauh. Awalnya, ia memilih diam karena merasa itu bukan urusannya. Namun, semakin sering ia melihat Nadira disakiti, semakin sulit baginya untuk menahan diri.
---
Di tahun pertama, bullying terhadap Nadira masih terbatas pada ejekan verbal.
"Eh, Nadira, tahu nggak ? Pintar itu nggak bikin kamu jadi sukses, lho," ucap salah satu anak perempuan di depan kelas.
"Bener !, Sok akrab banget sama guru, Pasti mau cari muka, dasar bodoh, gatau malu lu," timpal yang lain sambil tertawa.
Nadira mencoba tersenyum untuk menyembunyikan rasa sakitnya, lalu kembali menunduk menatap buku catatannya.
Arya, yang duduk di pojok kelas, sering mendengar ejekan itu. Meski terlihat tidak peduli, ia sebenarnya merasa terganggu. Tapi saat itu, ia memilih untuk diam.
---
Ketika memasuki tahun kedua, bullying terhadap Nadira semakin menjadi-jadi. Ejekan verbal berubah menjadi tindakan fisik yang jauh lebih menyakitkan.
Suatu hari, saat jam istirahat, Nadira berjalan menuju kantin dengan membawa buku catatannya.
Ia mencoba fokus pada pikirannya sendiri, berharap bisa menghindari perhatian.
Tapi harapan itu pupus ketika sekelompok anak laki-laki menghadangnya di tengah jalan.
"Eh, Nadira. Mau ke mana ? Sok banget bawa buku terus," ujar salah satu dari mereka sambil melipat tangan di dada.
"Aku cuma mau ke kantin," jawab Nadira pelan, mencoba untuk tetap tenang.
Tapi bukannya membiarkannya lewat, salah satu dari mereka malah menjulurkan kaki, membuat Nadira tersandung dan hampir terjatuh. Buku catatannya terlepas dari tangan dan jatuh ke lantai.
"Ups, punya mata tuh di pake dong ! ," ujar salah satu anak dengan nada mengejek.
Saat Nadira jongkok untuk mengambil bukunya, salah satu dari mereka sengaja menendang buku itu hingga terjauh dari gapaian tangannya.
"Santai dikit dong, Lu tuh terlalu serius," kata mereka sambil tertawa puas.
---
Dari kejauhan, Arya melihat semuanya.
Ia tahu bahwa Nadira sering menjadi target ejekan, tapi kali ini perlakuan mereka sudah melampaui batas.
Tanpa berpikir panjang, Arya berjalan cepat ke arah kerumunan itu.
"Hei !" serunya dengan nada tegas seperti hildea.
Suara arya membuat semua orang menoleh.
Nadira yang masih jongkok langsung mendongak, terkejut melihat Arya ada di belakang.
"kalian lagi ngapain gangguin cewe kayak gitu ?" tanya Arya, tatapannya tajam ke arah anak-anak itu.
"Eh, Arya. Kita cuma bercanda, kok," jawab salah satu anak dengan nada santai, meski terlihat sedikit gugup.
"Bercanda?" Arya melangkah mendekat. "Lu Fikir bikin orang jatuh itu bercanda ?"
Anak itu mencoba terlihat berani. "Lu mau apa ? Ngurusin kita ?"
Arya tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia memungut buku Nadira yang jatuh, lalu mendekatkan wajahnya ke anak yang tadi berbicara.
"Lu denger, ya. Kalau gue lihat lu ganggu dia lagi, lu bakal tahu rasanya diganggu balik."
"SEPERTI INI CONTOH NYA !"
Arya mencengkeram kepala si pembully lalu membenturkan nya ke tembok sebanyak lima kali dengan sangat keras.
Anak-anak yang ikut campur langsung lari ketakutan, beberapa yang lain terlihat ragu harus bagaimana dan Salah satu dari mereka mencoba untuk kabur namun arya tidak membiarkan mereka pergi, ia menepuk bahu sambil mencengkeram hingga bajunya sedikit robek akibat kuku arya yang tajam lalu berkata.
"sekarang pergilah seperti anak kecil yang baru terlahir," ucap Arya dengan sangat menekan.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka akhirnya pergi meninggalkan Arya dan Nadira di lorong.
---
Setelah mereka pergi, Arya berbalik ke arah Nadira. Ia menyerahkan buku catatan yang tadi jatuh, lalu berkata dengan nada pelan, "Lain kali kalau mereka ganggu kamu lagi, langsung bilang ke gue."
Nadira menatap Arya dengan mata berkaca-kaca, ia tidak percaya bahwa ada seseorang yang mau membelanya. "Makasih, Arya," katanya pelan.
Arya mengangguk singkat. "Udah, ayo balik ke kelas."
---
Setelah kejadian itu, Arya semakin sering muncul setiap kali Nadira membutuhkan bantuan.
Ia tidak selalu berbicara banyak, tapi tindakannya cukup untuk membuat anak-anak lain berpikir dua kali sebelum mengganggu Nadira lagi.
Memasuki tahun ketiga, suasana di SMP Negeri 1 terasa lebih damai bagi Nadira. Anak-anak yang dulu sering mengganggunya kini memilih untuk menjauh, terutama setelah insiden besar di lorong yang melibatkan Arya. Nama Arya kini menjadi semacam "tameng" bagi Nadira. Siapa pun yang berani mengusiknya pasti akan mengingat tatapan dingin Arya yang seram itu.
Namun, bagi Nadira, perubahan ini lebih dari sekadar akhir dari bullying. Ini adalah awal dari sesuatu yang baru—hubungan yang lebih dekat dengan Arya.
---
Setiap pagi sebelum bel berbunyi, Nadira selalu pergi ke perpustakaan. Tempat itu menjadi zona nyamannya, tempat di mana ia bisa membaca dengan tenang tanpa merasa diawasi. Tapi sejak insiden di lorong itu, ada sesuatu yang berubah.
Kini, Arya sering muncul di sana juga. Awalnya, Nadira mengira itu hanya kebetulan, tapi lama-lama kehadiran Arya terasa seperti rutinitas baru.
"Tumben pagi-pagi udah di sini," tanya Nadira sambil tersenyum, mencoba memecah keheningan.
Arya yang duduk di meja sebelah, terlihat sibuk dengan sebuah buku pelajaran, hanya mengangkat bahu. "Cuma lagi pengen baca aja," jawabnya singkat.
Nadira menatap buku yang dipegang Arya dan menyadari sesuatu. "Itu... buku matematika kelas sebelah, kan? Kamu serius baca itu?"
Arya mengangguk. "Iya. Biasa aja kali, nggak sehebat yang kamu pikir."
Nadira tertawa kecil. "Eh, Arya yang biasanya cuma baca komik tiba-tiba rajin baca pelajaran? Jangan-jangan gara-gara aku sering di sini, ya?"
Arya melirik sekilas, lalu kembali ke bukunya. "Mungkin aja," katanya, senyumnya tipis tapi cukup membuat Nadira terkejut.
---
Selain di perpustakaan, makan siang juga menjadi waktu favorit Nadira. Bukan hanya karena ia bisa menikmati makanan favoritnya, tetapi juga karena Arya selalu menemani.
"Lo tiap hari makan nasi goreng terus nggak bosen?" tanya Arya suatu siang sambil mengaduk-aduk sup di depannya.
"Kenapa emangnya? Nasi goreng itu makanan penyelamat jiwa. Kamu nggak ngerti," jawab Nadira sambil mengambil sendok penuh.
Arya tertawa kecil, sebuah suara yang jarang Nadira dengar tapi selalu ia sukai. "Yakin nggak bosen? Jangan-jangan nanti lo berubah jadi butiran nasi goreng."
Nadira memutar bola matanya sambil tersenyum. "Kalau aku jadi nasi goreng, kamu bakal makan aku, nggak?"
Arya terdiam, lalu menatapnya dengan ekspresi serius. "Tergantung. Kalau rasanya enak, mungkin aja."
Jawaban itu membuat Nadira terbahak. "Dasar nggak peka!" katanya sambil melemparkan serbet kecil ke arah Arya.
---
Jam istirahat kini selalu diisi dengan kegiatan yang berbeda bagi mereka berdua. Kadang, Arya dan Nadira berjalan-jalan di taman sekolah, kadang mereka hanya duduk di bangku sambil berbicara tentang hal-hal kecil.
Suatu hari, Nadira membawa sebuah buku gambar yang penuh dengan sketsa. Ia membuka buku itu di depan Arya.
"Kamu tau nggak, aku suka banget gambar," katanya sambil menunjuk salah satu halaman. "Tapi kayaknya nggak pernah bagus."
Arya mengambil buku itu dan memperhatikannya dengan seksama. "Ini bagus kok," katanya sambil menunjukkan salah satu sketsa bunga.
Nadira mendekat, melihat gambar yang ditunjuk Arya. "Kamu serius? Itu malah yang aku anggap paling gagal."
Arya menggeleng. "Nggak, ini kelihatan alami. Kalau kamu terusin, mungkin bisa jadi lebih keren."
Komentar itu membuat Nadira tersenyum lebar. "Wah, Arya sekarang bisa jadi kritikus seni, nih. Siap-siap dipanggil galeri terkenal."
Arya hanya mengangkat bahu sambil tersenyum tipis.
---
Setelah hari yang panjang di sekolah, Nadira sering duduk di depan jendela kamarnya, merenungkan semua yang telah terjadi selama dua tahun terakhir.
Awal Dari gadis yang selalu jadi target bullying, hingga seseorang yang kini merasa aman karena kehadiran Arya.
Waktu terasa berjalan begitu cepat. Rasanya, baru kemarin Nadira duduk di depan jendela kamarnya, memikirkan Arya dan semua perubahan yang terjadi dalam hidupnya.
Namun, hari ini, ia berdiri di depan gerbang SMP Negeri 1, mengenakan seragam terakhir kalinya. Acara perpisahan telah tiba—
Di lapangan sekolah, panggung besar berdiri megah.
Suasana ramai oleh siswa-siswi kelas akhir, para guru, dan orang tua yang turut hadir.
Semuanya tampak bahagia, meski di balik itu terselip rasa haru karena harus berpisah.
---
Acara dimulai dengan pemberian penghargaan untuk para siswa yang berprestasi.
Seperti yang sudah diduga banyak orang, Nadira dipanggil berkali-kali ke atas panggung.
Satu per satu penghargaan ia terima, penghargaan tersebut berupa medali emas untuk nilai tertinggi, piala juara lomba menulis tingkat nasional, hingga amplop berisi hadiah uang dan lain sebagainya.
Senyum Nadira mengembang, tapi matanya berkaca-kaca karena bahagia.
Semua kerja kerasnya selama ini akhirnya terbayar, dan lebih dari itu, ia merasa bersyukur karena perjuangannya tidak sia-sia.
Dari sudut lapangan, Arya berdiri sambil menyaksikan Nadira yang berkilau di atas panggung. Ia tidak bertepuk tangan seperti yang lain, tapi sorot matanya penuh kebanggaan.
---
Setelah acara pemberian penghargaan selesai, Nadira berjalan turun dari panggung, masih memegang semua hadiah yang ia terima.
Saat itu, Arya menghampirinya dengan langkah tenang.
"Wah, juara banget nih si paling paling pintar~," kata Arya sambil melirik piala di tangan Nadira.
Nadira tertawa kecil. "Biasa aja, kok, emm Kamu nggak mau kasih selamat, ya ?"
Arya menggeleng pelan "enggak ah, kamu bucuq, belum mandi"
"Kamu mah, gitu" jawab Nadira dengan perasaan tersinggung
Tidak lama kemudian, arya mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
Sebuah kotak persegi panjang dengan pita putih di atasnya.
"Ini buat kamu," ujarnya sambil menyerahkan kotak itu.
Nadira memandang kotak itu dengan penasaran.
"Hadiah ? Dari kamu ? Jangan bilang ini buku pelajaran," candanya sambil membuka kotak itu perlahan.
Ketika kotaknya terbuka, Nadira langsung terdiam.
Di dalamnya, ada sebuah sweter berwarna putih dengan gradasi abu-abu, yang terlihat begitu mahal dan elegan.
Nadira tahu persis bahwa sweter ini adalah salah satu barang paling populer dan mahal pada zaman nya.
"Ini... beneran buat aku?" tanya Nadira, matanya berbinar.
Arya mengangguk. "Iya, Kamu pantas dapet yang terbaik."
Nadira tidak bisa menahan rasa harunya.
Ia langsung memeluk Arya dengan erat, mengabaikan tatapan beberapa teman mereka yang memperhatikan dari jauh.
"Makasih banget, Arya," katanya dengan suara bergetar. "Aku nggak tahu harus bilang apa."
Arya hanya menepuk pelan punggung Nadira. "Udah, nggak usah bilang apa-apa. Nikmatin aja."
---
Tak lama setelah momen itu, Pak Aris, kepala sekolah mereka, memanggil semua siswa kelas akhir untuk sesi video perpisahan. Nadira dan Arya ikut bergabung di tengah kerumunan, bersama seluruh angkatan mereka.
"Baik, anak-anak. Kita akan buat kenangan yang indah hari ini. Siap semuanya?" seru Pak Aris dengan suara lantang.
Semua siswa bersorak riuh, beberapa dari mereka membawa hand smoke obor berwarna-warni yang mengeluarkan asap berkilauan di bawah sinar matahari. Ketika kamera mulai merekam, mereka melambaikan tangan, melompat-lompat, dan berteriak penuh semangat. Asap warna-warni itu menciptakan latar belakang yang begitu indah, seperti lukisan hidup yang penuh dengan kenangan.
Arya dan Nadira berdiri berdampingan di tengah keramaian itu.
Meski dikelilingi banyak orang, momen itu terasa seperti milik mereka berdua.
---
Setelah sesi video selesai, Pak Aris kembali ke atas panggung.
Ia memanggil beberapa nama siswa untuk menerima hadiah spesial, salah satunya adalah Arya.
"Arya, kami dari pihak sekolah memberikan beasiswa ini kepada kamu karena bakat dan potensi besar yang kami lihat dalam dirimu. Dengan ini, kamu akan berkesempatan melanjutkan pendidikan di Irlandia untuk belajar lebih jauh," kata Pak Aris sambil menyerahkan amplop berisi surat beasiswa.
Seluruh lapangan dipenuhi tepuk tangan, tapi Nadira hanya bisa terdiam. Meski ia merasa bangga, hatinya terasa berat membayangkan Arya harus pergi jauh.
Setelah turun dari panggung, Arya berjalan mendekati Nadira. Ia tahu apa yang sedang dirasakan Nadira, meski gadis itu tidak mengatakan apa-apa.
"Aku tahu kamu sedih," kata Arya pelan.
Nadira menunduk, menggenggam erat sweter yang baru saja ia terima. "Aku cuma nggak siap kamu pergi," jawabnya jujur.
Arya tersenyum kecil. "Dengar, aku janji, suatu saat nanti, ketika aku selesai SMA, aku pastikan kita bisa satu sekolah Lagi di universitas favorit."
Nadira menatap Arya, matanya berkaca-kaca. Janji itu terdengar seperti harapan kecil di tengah kesedihannya. "Oke, tapi.... tetap di ingat ya.... janji nya~, arya..
."
Arya mengangguk tegas.
"iya..., Aku nggak akan lupa."
---
Acara perpisahan diakhiri dengan sambutan hangat dari Pak Aris, diikuti dengan pelukan dan ucapan selamat dari para siswa dan guru. Nadira dan Arya berdiri di tepi lapangan, mengamati asap warna-warni yang perlahan memudar.
---
Setelah perpisahan yang penuh haru di SMP Negeri 1, kehidupan Nadira dan Arya berlanjut ke arah yang berbeda. Nadira tetap tinggal di Indonesia, melanjutkan pendidikannya di SMA Q1, salah satu sekolah favorit di kotanya. Sementara itu, Arya memulai babak baru di negeri jauh, belajar di SMA Ginearálta Saor in Aisce 1 di Irlandia dengan beasiswa penuh.
Meski terpisah ribuan kilometer, keduanya tetap terhubung oleh janji yang Arya buat: suatu hari, mereka akan satu sekolah lagi.
---
SMA Q1 adalah sekolah yang penuh dengan siswa-siswi ambisius. Dari hari pertama, Nadira merasa tantangan di depan matanya sangat berbeda dari SMP. Pelajaran lebih berat, persaingan lebih ketat, dan ekspektasi dari para guru begitu tinggi. Tapi, seperti biasanya, Nadira menerima semua itu dengan senyuman dan semangatnya yang khas.
Di minggu pertama, Nadira mulai bergabung dengan berbagai aktivitas sekolah. Ia memilih menjadi bagian dari klub seni karena kecintaannya pada menggambar.
Suatu hari, di tengah rapat klub, ketua klub memperhatikan sketsa yang Nadira buat. "Nadira, kamu serius ini gambar kamu?" tanyanya dengan mata berbinar.
Nadira mengangguk malu-malu. "Iya, cuma coba-coba aja."
"Ini bukan coba-coba. Ini luar biasa!" kata ketua klub sambil menunjukkan gambar itu ke anggota lain. "Kita harus pajang ini di pameran sekolah nanti."
Kata-kata itu membuat Nadira merasa dihargai.
---
Di sela-sela kesibukannya, Nadira menemukan teman-teman baru yang mendukungnya. Salah satu dari mereka, Annisa, menjadi teman dekatnya.
"Kamu tuh beda, Nadira," kata Annisa suatu hari saat mereka makan siang di kantin.
"Beda gimana?" Nadira tersenyum, bingung.
"Ya, kamu nggak cuma pintar, tapi juga rendah hati. Kebanyakan orang di sini tuh sombong kalau punya prestasi."
Komentar itu membuat Nadira tertawa kecil. "Mungkin karena aku nggak terlalu mikirin apa kata orang. Aku cuma fokus ke apa yang aku suka."
Di balik semua kesibukannya, Nadira tetap menyempatkan diri untuk menghubungi Arya dengan cara mengirimkan email.
---
Sementara itu, di sisi lain dunia, Arya menghadapi tantangan yang sangat berbeda. SMA Ginearálta Saor in Aisce 1 adalah sekolah bergengsi di Irlandia yang penuh dengan siswa dari berbagai negara.
Hari-hari pertama Arya penuh dengan adaptasi—bahasa, budaya, hingga metode pengajaran yang sangat berbeda dari apa yang ia alami di Indonesia.
"Arya, can you solve this problem?" tanya guru matematika suatu hari, menunjuk soal rumit di papan tulis.
Arya berdiri dari kursinya, berjalan ke depan kelas dengan percaya diri. Meski ia tidak fasih berbahasa Inggris, matematika adalah keahlian baginya.
Dengan cepat, ia menyelesaikan soal itu di depan kelas, membuat guru dan teman-temannya terkesan.
"Excellent work, Arya !" ujar gurunya dengan senyum lebar.
Namun, tidak semua momen berjalan mulus. Ada hari-hari di mana Arya merasa kesepian. Ia rindu mendengar bahasa Indonesia, mencicipi makanan rumah, dan tentu saja, berbicara langsung dengan Nadira.
---
Untuk mengatasi rasa rindunya, Arya mulai bergabung dengan tim basket sekolah. Di sini, ia bertemu dengan teman-teman baru yang perlahan membantunya beradaptasi.
"Arya, you're fast! We need you on the team," kata kapten tim saat mereka berlatih.
Arya tersenyum kecil. "Thanks. I'll do my best."
Basket menjadi pelarian bagi Arya, tempat di mana ia bisa melupakan kesulitan adaptasi dan menikmati momen-momen sederhana.
Selain itu, Arya juga sering menghabiskan waktu di perpustakaan, membaca buku-buku yang memperluas wawasannya. Salah satu buku favoritnya adalah tentang sejarah Irlandia, yang membuatnya semakin memahami budaya di negara itu.
---
Meski sibuk dengan kehidupan masing-masing, Arya dan Nadira selalu meluangkan waktu untuk saling bertukar kabar melalui surat elektronik.
"Aku ikut pameran seni minggu depan. Kalau kamu di sini, pasti aku ajak kamu datang," tulis Nadira dalam salah satu emailnya.
Arya membalas, "Kalau aku di sana, aku pasti duduk di barisan depan, teriak lebih keras dari siapa pun."
Email-email itu menjadi pengingat bagi mereka bahwa meski terpisah jauh, mereka tetap saling mendukung.
---
Di SMA Q1, Nadira terus mengukir prestasi.
Ia menjadi ketua klub seni dan mulai mempersiapkan karya-karya yang lebih besar untuk lomba nasional.
Di sisi lain, Arya tidak hanya menjadi salah satu pemain terbaik di tim basket sekolahnya, tetapi juga berhasil mendapatkan nilai tinggi dalam mata pelajaran matematika dan fisika.
---
Hari-hari Nadira di SMA Q1 dan Arya di SMA Ginearálta Saor in Aisce 1 penuh dengan tantangan yang terus mengasah mereka.
Masing-masing harus menghadapi lingkungan baru, persaingan yang ketat, dan tekanan untuk terus berprestasi. Meski terpisah ribuan kilometer, mereka berbagi satu tujuan: menjadi lebih baik dari kemarin.
---
Di SMA Q1, Nadira mulai terkenal bukan hanya karena prestasinya, tapi juga karena kepribadiannya yang rendah hati. Tapi, di balik senyumnya, ada banyak hal yang harus ia perjuangkan.
Adaptasi dengan Persaingan Ketat
Sejak awal, Nadira sadar kalau SMA Q1 bukan tempat yang mudah. Anak-anak di sini pintar-pintar, bahkan beberapa berasal dari keluarga yang sudah punya reputasi akademik.
"Aku denger kamu juara di SMP, ya?" tanya salah satu teman kelasnya, Bella, suatu hari.
"Iya, tapi itu kan udah lama," jawab Nadira sambil tersenyum.
Bella menyeringai. "Kita lihat aja. Di sini, semua orang harus kerja keras buat jadi yang terbaik."
Komentar itu membuat Nadira merasa tertantang. Ia tahu, kalau ia mau terus maju, ia harus beradaptasi dengan ritme sekolah ini.
Sahabat Belajar yang Tak Terduga
Di tengah tekanan itu, Nadira bertemu dengan Aryani, seorang gadis pendiam yang sering duduk di barisan belakang kelas. Mereka mulai dekat saat Nadira melihat Aryani kesulitan di pelajaran fisika.
"Kamu mau aku bantu?" tanya Nadira saat mereka sedang belajar di perpustakaan.
Aryani mengangguk pelan. "Iya, aku nggak paham rumus ini sama sekali."
Sejak itu, mereka sering belajar bareng. Nadira membantu Aryani memahami fisika, sementara Aryani, yang jago menggambar teknik, membantu Nadira memperbaiki detail sketsa untuk tugas seni.
"Kalau kita bareng-bareng, pasti bisa," kata Aryani sambil tersenyum.
Kebersamaan mereka memberi Nadira kekuatan baru. Ia merasa punya teman yang benar-benar mendukungnya, bukan hanya sebagai saingan.
Perjuangan di Klub Seni
Selain belajar, Nadira juga menghadapi tantangan di klub seni. Pameran seni sekolah semakin dekat, dan Nadira ditunjuk sebagai penanggung jawab.
"Kalau pameran ini gagal, nama klub kita juga yang kena," ujar ketua klub dengan nada serius.
Nadira bekerja siang malam, menyusun konsep, mengatur karya, hingga memastikan semuanya sesuai rencana. Bahkan, ia rela begadang untuk menyelesaikan lukisannya yang menjadi karya utama pameran.
"Aku nggak bakal nyerah," gumamnya sambil menatap sketsanya yang belum selesai.
Ketika hari pameran tiba, hasil kerja keras Nadira dan timnya membuahkan hasil. Semua orang memuji pameran itu, bahkan kepala sekolah datang khusus untuk memberikan apresiasi.
"Kamu hebat, Nadira," kata Aryani sambil memeluknya.
---
Sementara itu, di Irlandia, Arya menghadapi tantangan yang berbeda. Meski ia berbakat, adaptasi dengan lingkungan baru tidak semudah yang ia bayangkan.
Belajar Bahasa dan Budaya
Di minggu-minggu pertama, Arya sering kesulitan memahami pelajaran karena bahasa Inggris yang belum sepenuhnya ia kuasai.
"Don't worry, Arya. You'll get better," kata gurunya, mencoba menyemangatinya.
Tapi, bagi Arya, ini bukan soal mengerti pelajaran saja. Ia juga harus memahami cara berpikir dan budaya teman-temannya yang berbeda.
"Di sini semua orang terbuka banget, ya," pikir Arya saat mendengar teman-temannya dengan santai bertanya atau mengkritik guru.
Arya mulai belajar untuk lebih percaya diri. Ia mencoba berbicara lebih sering di kelas, bahkan meski kadang-kadang bahasa Inggrisnya terdengar kaku.
Sahabat Belajar yang Menginspirasi
Arya akhirnya berteman dengan Liam, seorang siswa lokal yang sama-sama suka matematika. Liam sering mengajak Arya belajar bareng di perpustakaan.
"Arya, you're good at math, but you need to explain your solutions better," kata Liam saat mereka belajar.
"Yeah, I'll try," jawab Arya, sambil mencoba mengingat kosakata baru.
Kerja sama mereka membuahkan hasil. Di ujian matematika pertama, mereka mendapat nilai tertinggi di kelas.
"You're a genius, man!" seru Liam sambil tertawa.
Arya tersenyum kecil. "Thanks. You helped me a lot."
Mencari Peluang di Tim Basket
Selain belajar, Arya menemukan pelarian di tim basket sekolah. Di sini, ia merasa bebas untuk mengekspresikan dirinya tanpa tekanan akademik.
"Arya, you're fast, but your shooting needs work," kata pelatihnya saat latihan.
Arya terus berlatih, bahkan sampai larut malam. Ia tahu, untuk menjadi bagian dari tim utama, ia harus menunjukkan usaha yang lebih dari yang lain.
Kerja kerasnya akhirnya membuahkan hasil. Di pertandingan antar sekolah, Arya berhasil mencetak poin penentu yang membuat timnya menang.
"You're the MVP, Arya!" seru teman-temannya sambil mengangkatnya ke udara.
Momen itu membuat Arya semakin percaya diri.
---
Di sela-sela kesibukannya, Arya dan Nadira tetap berkomunikasi lewat email.
"Pameran seni aku sukses banget! Kalau kamu di sini, pasti kamu bakal lihat karya aku," tulis Nadira.
"Hebat banget! Kalau aku di sana, aku pasti bantu pasang semua lukisannya," balas Arya.
Percakapan sederhana itu selalu membuat mereka merasa lebih dekat, meski jarak memisahkan.
Waktu terus berjalan, dan perjuangan Nadira di SMA Q1 serta Arya di Irlandia semakin penuh warna.
Di setiap langkah mereka, tantangan baru selalu muncul, memaksa mereka untuk tumbuh lebih kuat. Meski terpisah oleh jarak, mereka sama-sama berusaha menjadi versi terbaik dari diri mereka, sembari menjaga janji untuk kembali bersama suatu hari nanti.
---
Nadira semakin sibuk dengan jadwal sekolah yang padat. Di SMA Q1, tugas-tugas terus menumpuk, sementara ekspektasi dari guru dan teman-temannya semakin tinggi. Meski sudah terbiasa dengan tekanan, ada kalanya Nadira merasa lelah.
Tantangan di Klub Seni
Setelah sukses besar di pameran seni sebelumnya, Nadira ditunjuk menjadi ketua klub seni untuk tahun berikutnya. Awalnya, ia merasa bangga, tapi tanggung jawab itu juga membawa beban baru.
"Kita harus bikin sesuatu yang lebih besar dari tahun lalu," kata salah satu anggota klub saat rapat pertama.
"Iya, kalau tahun ini nggak lebih bagus, kita bakal kalah pamor sama klub musik," tambah yang lain.
Nadira menghela napas panjang. Ia tahu ekspektasi ini tidak main-main. Bersama timnya, ia mulai merancang konsep pameran baru yang melibatkan instalasi seni interaktif.
Tapi, tantangan muncul ketika beberapa anggota klub tidak sepenuhnya setuju dengan idenya.
"Nadira, ini terlalu rumit. Kita nggak punya cukup waktu," protes salah satu anggota.
"Kalau nggak coba, kita nggak bakal tahu bisa atau nggak," jawab Nadira dengan tegas.
Hari-hari berikutnya, Nadira harus bekerja lebih keras untuk membuktikan bahwa idenya bisa berhasil. Ia begadang hampir setiap malam, mempersiapkan desain dan presentasi untuk meyakinkan anggota klubnya.
Sahabat Belajar yang Selalu Mendukung
Di tengah kesibukan itu, Aryani selalu ada untuk mendukung Nadira. Meski mereka sibuk dengan pelajaran masing-masing, Aryani sering membantu Nadira di klub seni.
"Gambar kamu bagus banget, Nadira," kata Aryani suatu malam saat mereka bekerja di ruang klub.
"Serius, ya? Aku takut ini nggak sesuai ekspektasi," jawab Nadira, mencoba menyembunyikan rasa cemasnya.
"Kamu itu selalu terlalu keras sama diri sendiri. Santai aja, pasti hasilnya keren," Aryani tersenyum.
Kata-kata Aryani selalu membuat Nadira merasa lebih tenang.
---
Di sisi lain dunia, Arya juga menghadapi tantangan baru di SMA Ginearálta Saor in Aisce 1. Meski ia mulai merasa nyaman dengan lingkungannya, ada kalanya ia rindu rumah, terutama obrolan santai dengan Nadira.
Tekanan Akademik yang Semakin Berat
Di Irlandia, sistem pendidikan jauh berbeda dari yang Arya kenal. Pelajaran tidak hanya mengandalkan hafalan, tapi juga kemampuan analisis dan diskusi.
"Arya, coba jelaskan kenapa solusi kamu lebih efisien," tanya guru matematikanya saat ia mempresentasikan jawaban.
Arya terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat dalam bahasa Inggris. "It's because... it saves time and reduces errors," jawabnya dengan aksen yang masih kaku.
Guru itu mengangguk. "Good, but next time, try to elaborate more."
Komentar itu membuat Arya sadar bahwa ia harus berlatih lebih keras, bukan hanya dalam memahami materi, tapi juga cara menyampaikan pikirannya dengan lebih jelas.
Sahabat Baru di Tim Basket
Di tengah perjuangan akademiknya, Arya menemukan pelipur lara di tim basket sekolah. Bersama Liam dan teman-temannya, Arya mulai merasa memiliki keluarga kecil di sana.
"Arya, you're improving so fast!" puji Liam setelah mereka selesai latihan.
"Thanks, but I still need to work on my shooting," jawab Arya sambil tersenyum.
Basket menjadi tempat Arya melepaskan stres. Setiap kali ia berada di lapangan, ia merasa bebas dari tekanan akademik.
Masalah yang Menguji Kesabaran
Namun, tidak semua berjalan mulus. Suatu hari, Arya menghadapi komentar rasis dari salah satu temannya di kelas.
"Hey, Arya. Can you even understand this? Or should we translate it to your language?" ucap temannya dengan nada mengejek.
Arya hanya menatapnya tajam tanpa menjawab. Tapi, dalam hati, ia merasa marah dan sedih.
Setelah kelas selesai, Liam mendekatinya. "Don't let them get to you, Arya. You're better than them," kata Liam dengan nada serius.
Kata-kata itu memberi Arya semangat. Ia tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan hal-hal seperti itu mengganggu fokusnya.
---
Meski mereka sibuk dengan dunia masing-masing, Nadira dan Arya tetap saling mendukung melalui email dan panggilan video.
"Arya, kamu nggak tahu gimana aku panik waktu nyiapin pameran ini," kata Nadira dalam salah satu video call mereka.
"Kamu pasti bisa, Nadira. Kamu selalu tahu cara bikin hal besar jadi nyata," jawab Arya sambil tersenyum kecil.
"Aku kangen banget, Arya," ucap Nadira tiba-tiba.
Arya terdiam sejenak, lalu berkata, "Aku juga. Tapi ingat, kita punya janji, kan? Aku pasti balik, dan kita bakal satu sekolah lagi di universitas favorit kita."
---
Di bulan terakhir semester, Nadira berhasil menyelesaikan pameran seni yang luar biasa, sementara Arya mencetak nilai tertinggi di ujian matematika sekaligus menjadi pemain terbaik di turnamen basket antar sekolah.
----
Hari-hari berlalu dengan cepat bagi Nadira di SMA Q1 dan Arya di SMA Ginearálta Saor in Aisce 1.
Keduanya semakin sibuk mengejar mimpi masing-masing, menghadapi tantangan yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
---
Setelah pameran seni yang sukses, nama Nadira semakin dikenal di SMA Q1. Namun, popularitas ini membawa tantangan baru—ekspektasi tinggi dari semua orang.
Kehidupan Akademik yang Menantang
Guru-guru di SMA Q1 mulai memberikan perhatian ekstra pada Nadira. Setiap kali ada proyek atau tugas besar, Nadira sering dipilih sebagai pemimpin.
"Nadira, kamu pasti bisa handle ini," ujar Bu Rina, guru bahasa Inggris, saat memberi tugas presentasi kelompok.
Nadira mengangguk pelan. "Iya, Bu. Saya coba."
Namun, di balik itu semua, ia merasa tertekan. "Kenapa semua harus aku?" pikirnya sambil memandangi tumpukan tugas di mejanya.
Di sisi lain, ia tahu bahwa inilah konsekuensi dari keberhasilannya. Maka, ia terus bekerja keras, bahkan di saat teman-temannya sudah santai.
Sahabat yang Membantu Meringankan Beban
Aryani, yang selalu setia mendampingi, menjadi tempat Nadira berbagi keluh kesah.
"Kadang aku ngerasa capek banget, Ary," kata Nadira suatu sore di perpustakaan.
Aryani menatapnya dengan serius. "Kalau capek, bilang dong. Jangan dipendam sendiri."
"Tapi aku nggak mau ngecewain orang," balas Nadira, matanya mulai berkaca-kaca.
Aryani tersenyum tipis. "Denger ya, Nadira. Kamu itu juga manusia. Kalau terlalu keras sama diri sendiri, malah nanti jatuh. Coba deh, istirahat dulu."
Kata-kata Aryani membuat Nadira merasa lebih tenang. Ia mulai belajar untuk membagi waktu, termasuk memberi ruang untuk dirinya sendiri.
Masalah di Klub Seni
Selain tekanan akademik, Nadira juga menghadapi konflik di klub seni. Beberapa anggota merasa Nadira terlalu dominan dalam mengambil keputusan.
"Gimana kita bisa berkembang kalau semua harus sesuai maunya Nadira?" tanya salah satu anggota di rapat.
Nadira terdiam sejenak, merasa sakit hati. Namun, ia berusaha untuk tetap tenang.
"Kalau kalian punya ide lain, ayo kita diskusikan," ujarnya dengan nada lembut.
Keputusan itu membuat suasana lebih cair. Perlahan, Nadira belajar untuk menjadi pemimpin yang mendengarkan, bukan hanya mengarahkan.
---
Di Irlandia, Arya terus berjuang menyeimbangkan akademik dan olahraga. Meski ia sudah cukup beradaptasi, tantangan baru selalu datang menghampiri.
Tekanan Akademik yang Semakin Berat
Di semester ini, Arya harus menghadapi ujian akhir yang menentukan beasiswa tahun berikutnya.
"Kalau nilaimu turun, beasiswa bisa dipotong," ujar salah satu pembimbingnya.
Kalimat itu terus terngiang di kepala Arya. Ia menghabiskan malam-malamnya di perpustakaan, mengerjakan soal latihan hingga larut. Namun, tekanan itu membuatnya merasa semakin terisolasi.
Suatu malam, Liam menemukannya di perpustakaan. "Arya, you've been here every night. Are you okay?"
Arya mengangguk, tapi ekspresi wajahnya menunjukkan kebalikannya.
"You're not alone, man. If you need help, just ask," kata Liam dengan nada serius.
Dukungan Liam membuat Arya merasa lebih ringan. Ia mulai belajar untuk meminta bantuan, sesuatu yang jarang ia lakukan sebelumnya.
Kompetisi Basket yang Menentukan
Selain akademik, Arya juga harus mempersiapkan diri untuk pertandingan basket antar sekolah. Pelatih memberikan tekanan besar pada tim untuk menang, dan Arya sebagai salah satu pemain inti merasa harus memberikan yang terbaik.
Di salah satu sesi latihan, pelatih memarahi Arya karena gagal mencetak poin di akhir latihan simulasi.
"Arya, you're better than this! Focus!" teriak pelatih.
Arya hanya bisa mengangguk, tapi di dalam hatinya ia merasa frustrasi.
Namun, di pertandingan sesungguhnya, Arya menunjukkan kemampuan terbaiknya. Ia mencetak poin penting di detik-detik terakhir, membawa timnya menuju kemenangan.
"You're amazing, Arya!" seru Liam sambil memeluknya.
Momen itu memberi Arya dorongan semangat baru.
---
Meski sibuk dengan dunia masing-masing, Arya dan Nadira selalu meluangkan waktu untuk saling mengirim pesan atau email.
"Pameran seni aku berhasil lagi. Tapi, kadang aku ngerasa terlalu banyak yang harus aku urus," tulis Nadira di salah satu emailnya.
Arya membalas, "Kamu selalu terlalu keras sama diri sendiri. Ingat, nggak semua beban harus kamu pikul sendiri."
---
Di akhir semester, Nadira berhasil menyelesaikan tugas besar bahasa Inggris dengan nilai tertinggi, sementara Arya mempertahankan beasiswanya dengan nilai ujian yang mengesankan.
Malam itu, Nadira menatap layar laptopnya, membaca pesan terbaru dari Arya.
"Aku percaya, kita bisa melewati semua ini. Sampai saat itu tiba, kita terus berjuang, ya," tulis Arya.
Nadira tersenyum, matanya berbinar. "Iya, Arya. Kita pasti bisa."
Waktu terus berjalan, membawa Nadira dan Arya semakin dekat ke puncak perjalanan mereka masing-masing.
Di SMA Q1, Nadira terus mengukir prestasi di tengah tekanan yang makin besar.
Sementara itu, Arya di Irlandia semakin membuktikan dirinya, baik di bidang akademik maupun olahraga.
---
Setelah pameran seni kedua yang sukses, Nadira menjadi semacam ikon di SMA Q1. Semua orang memandangnya sebagai panutan, tapi di balik itu, ia menyimpan rasa lelah yang tak pernah ia tunjukkan.
Kehidupan Akademik yang Menumpuk
Semester ini, Nadira menghadapi jadwal pelajaran yang semakin padat. Setiap guru tampaknya ingin ia terus menjadi yang terbaik.
"Nadira, minggu depan ada lomba debat. Saya sudah mendaftarkan kamu," kata Bu Rina di tengah kelas.
Nadira hanya mengangguk, meski dalam hati ia merasa terbebani. "Lomba lagi? Kayaknya aku nggak punya waktu buat istirahat," pikirnya.
Setiap malam, ia belajar hingga larut. Namun, semakin keras ia bekerja, semakin besar pula rasa kesepiannya.
Persahabatan yang Menguatkan
Untungnya, Aryani selalu ada untuk mendampinginya. Suatu hari, mereka sedang duduk di bawah pohon besar di halaman sekolah, menikmati udara sore setelah selesai kelas.
"Nadira, kamu nggak capek?" tanya Aryani sambil menyeruput es teh.
Nadira tersenyum kecil. "Capek banget, tapi aku harus jalan terus, kan?"
Aryani menggeleng. "Kamu tuh kadang terlalu keras sama diri sendiri. Kalau terus begini, kamu malah bakal sakit."
"Kalau aku nggak begini, aku takut ngecewain orang," jawab Nadira pelan.
Aryani menepuk bahu Nadira. "Ingat, hidup kamu tuh lebih dari sekadar ekspektasi orang lain. Jangan lupa, kamu juga perlu bahagia."
Kata-kata Aryani seperti alarm yang membangunkan Nadira. Ia mulai mencoba mengatur waktunya lebih baik, belajar untuk berkata tidak pada beberapa hal, dan memberi ruang untuk dirinya sendiri.
Masalah di Klub Seni
Di tengah semua itu, masalah baru muncul di klub seni. Salah satu anggota, Reza, mulai menunjukkan sikap tidak kooperatif.
"Nadira, kenapa sih semua harus sesuai ide kamu?" katanya dengan nada tajam saat rapat.
Nadira terkejut. "Aku nggak maksud begitu. Kita kan sudah diskusi bareng-bareng."
"Tapi akhirnya kamu yang selalu memutuskan, kan?" balas Reza.
Suasana rapat jadi tegang. Nadira mencoba menenangkan diri, lalu berkata, "Oke, kalau kamu punya ide lain, aku dengar. Tapi, tolong jangan salah paham. Aku cuma pengen yang terbaik buat klub kita."
Setelah itu, Nadira dan Reza berbicara empat mata. Meski awalnya sulit, akhirnya mereka saling memahami.
---
Di Irlandia, Arya terus menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Tapi, seperti Nadira, ia juga menghadapi tantangan yang tidak mudah.
Tekanan di Tim Basket
Pelatih basket Arya mulai menaruh ekspektasi besar padanya, terutama setelah Arya menjadi pemain terbaik di turnamen sebelumnya.
"Arya, I need you to step up as a leader for this team," kata pelatih di sela latihan.
Arya merasa gugup. "I'll try my best, Coach."
Namun, menjadi pemimpin tidak semudah yang ia kira. Beberapa rekan timnya, terutama yang lebih senior, merasa tidak nyaman dengan posisi Arya.
"Why should we listen to him? He's new," kata salah satu senior di ruang ganti.
Arya mendengar komentar itu, tapi ia memilih diam. Ia tahu bahwa tindakan lebih penting daripada kata-kata.
Di pertandingan berikutnya, Arya menunjukkan performa luar biasa, membantu timnya menang dengan skor tipis. Setelah pertandingan, senior yang tadi mengkritiknya mendekati Arya.
"Good game, Arya. Maybe you're not so bad after all," katanya sambil tersenyum kecil.
Arya membalas senyuman itu. "Thanks. Let's keep working together."
Sahabat Belajar yang Tak Terduga
Di kelas, Arya menemukan teman belajar baru, Sofia, seorang siswi asal Spanyol yang juga sedang beradaptasi dengan lingkungan baru.
"Arya, can you help me with this equation?" tanya Sofia suatu hari di perpustakaan.
"Sure, let's work on it together," jawab Arya.
Dari sana, mereka mulai sering belajar bersama. Sofia membantu Arya memperbaiki bahasa Inggrisnya, sementara Arya membantu Sofia dengan pelajaran matematika.
"You're good at this, Arya. Maybe one day, you'll be a teacher," kata Sofia dengan nada bercanda.
Arya tertawa. "I don't think so. I'm better at solving problems than explaining them."
Persahabatan mereka memberi Arya semangat baru
---
Di tengah semua kesibukan, Arya dan Nadira tetap saling mengirim pesan.
"Arya, minggu depan aku ikut lomba debat. Doain ya," tulis Nadira dalam salah satu pesannya.
"Semangat, Nadira. Aku yakin kamu bakal menang," balas Arya.
Obrolan sederhana itu selalu menjadi sumber kekuatan bagi mereka.
---
Di akhir semester, Nadira berhasil memenangkan lomba debat tingkat nasional, sementara Arya terpilih sebagai kapten tim basket sekolahnya. Namun, di balik semua keberhasilan itu, mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang.
Saat malam tiba, Nadira membuka laptopnya dan membaca pesan dari Arya.
"Kita lagi sibuk banget ya. Tapi aku yakin, suatu saat kita bakal ketemu lagi dan cerita tentang semua ini," tulis Arya.
Nadira tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Iya, Arya. Aku tunggu hari itu," balasnya pelan.
----
Tahun terakhir di SMA menjadi puncak perjuangan bagi Nadira di SMA Q1 dan Arya di SMA Ginearálta Saor in Aisce 1.
---
Di SMA Q1, Nadira merasa beban di pundaknya semakin berat.
Tidak hanya karena akademik, tetapi juga karena ekspektasi besar dari teman-teman, guru, bahkan keluarganya.
Tekanan Menjelang Ujian Akhir
"Ujian nasional udah dekat, Nadira. Kamu pasti bisa dapet nilai tertinggi lagi, kan?" kata Bu Rina suatu hari setelah kelas selesai.
Nadira tersenyum tipis. "Iya, Bu. Saya coba."
Namun, di balik senyumnya, ia merasa ketakutan. Semakin tinggi prestasi yang ia raih, semakin besar ketakutannya untuk gagal. Setiap malam, ia begadang, mencoba menyerap semua pelajaran.
"Aku nggak boleh gagal. Aku harus terus maju," gumamnya sambil menatap buku catatan yang penuh coretan.
Tapi tubuhnya mulai merasakan efeknya. Suatu pagi, saat sedang belajar di perpustakaan, Nadira tiba-tiba pusing dan hampir terjatuh. Untungnya, Aryani cepat menangkapnya.
"Nadira! Kamu nggak apa-apa?" tanya Aryani panik.
Nadira mengangguk lemah. "Aku cuma kecapekan, Ary..."
Aryani menatap Nadira dengan serius. "Kamu nggak bisa terus begini. Kalau kamu terus paksa diri, nanti malah sakit. Kamu perlu istirahat."
Kata-kata Aryani membuat Nadira tersadar. Ia mulai belajar untuk memberi jeda pada dirinya sendiri, meski tetap merasa cemas kalau ia tidak bekerja cukup keras.
Sahabat Baru yang Menginspirasi
Di tengah semua itu, Nadira bertemu dengan Zaki, seorang siswa pindahan yang baru bergabung di SMA Q1. Zaki dikenal sebagai siswa yang santai, tapi diam-diam sangat cerdas.
"Kenapa kamu kelihatan capek banget?" tanya Zaki suatu hari saat mereka berada di ruang belajar.
Nadira tersenyum tipis. "Aku lagi banyak tugas."
Zaki menatapnya dengan penasaran. "Kamu tahu nggak, belajar itu bukan soal siapa yang kerja paling keras, tapi siapa yang kerja paling cerdas."
Kalimat itu melekat di pikiran Nadira. Dengan bantuan Zaki, ia mulai belajar strategi baru untuk mengatur waktu dan fokus pada hal yang benar-benar penting.
---
Sementara itu, di Irlandia, Arya juga menghadapi tantangan yang semakin besar. Sebagai kapten tim basket, ia harus memimpin rekan-rekannya menuju turnamen besar, sambil tetap menjaga nilai akademiknya agar beasiswanya tidak dicabut.
Turnamen Basket yang Menentukan
Pelatih Arya menaruh harapan besar pada tim mereka untuk memenangkan turnamen antar sekolah se-Irlandia.
"Arya, you're the leader. Everyone is counting on you," kata pelatihnya saat sesi latihan.
Namun, tekanan itu membuat Arya merasa ragu pada dirinya sendiri. Di salah satu pertandingan awal, ia gagal mencetak poin penting, yang membuat tim mereka hampir kalah.
"Sorry, guys. It's my fault," kata Arya di ruang ganti, suaranya penuh penyesalan.
Liam, sahabatnya, menepuk bahunya. "No, Arya. It's not just your responsibility. We win together, we lose together."
Kata-kata itu memberi Arya semangat baru. Di pertandingan berikutnya, ia bermain dengan lebih percaya diri, membawa timnya menuju kemenangan besar.
Sahabat Belajar yang Membantu Bertahan
Di kelas, Arya juga menghadapi tantangan akademik yang tidak kalah berat. Ujian akhir semakin dekat, dan ia harus memastikan nilainya tetap tinggi.
Sofia, sahabat belajarnya, selalu ada untuk membantunya.
"Arya, let's take a break. You've been studying too much," kata Sofia suatu malam di perpustakaan.
Arya menghela napas. "I just can't afford to fail."
Sofia menatapnya dengan serius. "You won't fail. But overworking yourself is not the solution."
Mereka akhirnya memutuskan untuk belajar sambil bermain game matematika sederhana. Meski terlihat sepele, cara itu membantu Arya lebih rileks dan memahami materi dengan lebih baik.
---
Di tengah kesibukan mereka, Arya dan Nadira tetap saling mendukung melalui email dan panggilan video.
"Arya, aku lagi panik banget soal ujian nasional. Rasanya aku nggak siap," tulis Nadira di salah satu emailnya.
Arya membalas, "Kamu pasti bisa, Nadira. Kamu selalu bisa. Jangan terlalu keras sama diri sendiri, ya."
Obrolan itu selalu menjadi pengingat bagi mereka bahwa meski jauh, mereka tidak pernah sendirian.
---
Di bulan terakhir tahun ajaran, Nadira berhasil menyelesaikan ujian nasional dengan nilai sempurna, sementara Arya membawa tim basketnya meraih juara di turnamen besar.
Malam itu, Nadira menerima email dari Arya.
"Nadira, aku udah diterima di SMA Irlandia."