Keesokan harinya, Nadira datang ke sekolah dengan antusias yang sulit ia sembunyikan. Pikirannya penuh dengan ide-ide baru untuk klub ITDIC. Ia memantapkan langkah menuju ruang klub, tempat mereka biasanya berkumpul. Namun, sebelum ia sampai, Rina menghampirinya dengan napas tersengal.
"Dir! Gawat!" seru Rina sambil menarik napas dalam-dalam.
Nadira langsung panik. "Apaan lagi nih? Jangan bilang ruang klub kita kebanjiran juga!"
"Bukan, tapi ini serius. Kepala sekolah minta kita presentasi ide klub ITDIC di depan guru-guru sama OSIS buat evaluasi awal," jelas Rina cepat.
Nadira menatap sahabatnya dengan alis terangkat. "Hah? Presentasi? Kapan?"
"Jam sepuluh nanti, di aula kecil," jawab Rina. "Lo kan yang paling ngerti, jadi otomatis lo yang presentasi."
Nadira langsung memegang kepalanya. "Ya Tuhan, gue nggak nyiapin apa-apa. Kenapa nggak bilang dari kemarin sih?!"
"Karena tadi pagi baru diumumin, Dir!" balas Rina tak kalah panik. "Gue bantu lo nyiapin, deh. Tapi lo harus tenang dulu."
Di ruang klub, Nadira langsung mengumpulkan semua anggota ITDIC. Mereka duduk melingkar, masing-masing dengan laptop atau buku catatan di tangan.
"Oke, dengar, guys. Gue baru dapat kabar kalau kita harus presentasi ide klub ini di depan guru dan OSIS. Ini evaluasi awal, dan kalau gagal, bisa aja izin percobaan kita dicabut," Nadira memulai dengan suara tegas.
Semua anggota terdiam, menatapnya dengan wajah cemas.
"Tapi tenang, kita pasti bisa. Gue butuh kalian semua buat bantu nyiapin materi. Kita bikin presentasi yang bikin mereka yakin kalau ITDIC ini worth it buat sekolah," lanjut Nadira.
Arga mengangkat tangan. "Gue bisa handle bagian desain slide-nya. Biar menarik dan visualnya nggak kaku."
"Bagus, Gar. Lo fokus ke itu. Rina, lo bantu gue bikin poin-poin utama yang mau disampaikan. Tania, lo cari data pendukung atau contoh klub teknologi dari sekolah lain yang sukses," Nadira membagi tugas dengan cepat.
Mereka semua langsung bergerak. Suasana ruang klub berubah jadi sibuk tapi penuh semangat. Nadira mengetik cepat di laptopnya, menyusun outline presentasi sambil sesekali berdiskusi dengan Rina.
Pukul 10.00, mereka sudah berdiri di aula kecil. Para guru dan perwakilan OSIS duduk di depan, memperhatikan mereka dengan serius. Nadira menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara.
"Selamat pagi, Bapak, Ibu Guru, dan teman-teman OSIS. Kami dari klub ITDIC ingin memperkenalkan visi dan misi kami," Nadira memulai dengan suara tenang.
Slide pertama muncul di layar, memperlihatkan nama klub dan logo sederhana yang Arga desain semalam.
"ITDIC adalah singkatan dari Innovative Technology Development and Interactive Coding. Klub ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan siswa di bidang teknologi modern, seperti coding, pengembangan aplikasi, dan bahkan eksplorasi hardware," jelas Nadira dengan percaya diri.
Slide demi slide berganti, menampilkan rencana kegiatan mereka, mulai dari belajar coding dasar, eksperimen dengan hardware, hingga proyek besar berupa pembuatan aplikasi sederhana untuk sekolah. Nadira menjelaskan semuanya dengan lancar, sementara Rina menambahkan detail-detail penting.
Di akhir presentasi, Nadira menutup dengan kalimat yang tegas. "Kami percaya bahwa teknologi adalah masa depan. Dengan adanya klub ini, kami berharap bisa memberikan peluang bagi siswa-siswa di sekolah ini untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan dunia modern."
Ruangan hening sejenak setelah Nadira selesai bicara. Lalu, tepuk tangan perlahan mulai terdengar, dan semakin lama semakin ramai.
Kepala sekolah tersenyum lebar. "Luar biasa, Nadira dan tim ITDIC. Presentasi kalian sangat meyakinkan. Saya bisa melihat potensi besar dari klub ini. Selama tiga bulan percobaan, saya harap kalian bisa membuktikan hasil nyata dari rencana kalian."
"Siap, Pak. Terima kasih atas kesempatannya," jawab Nadira dengan senyuman lega.
Sepulang sekolah, Nadira dan tim ITDIC memutuskan untuk merayakan keberhasilan mereka di kafe kecil dekat sekolah. Mereka memesan minuman favorit masing-masing dan mulai membahas langkah selanjutnya.
"Gue masih nggak nyangka kita bisa dapet respon sepositif itu," ujar Tania sambil menyeruput es cokelatnya.
"Tan. Kita harus kerja keras buat nunjukin kalau klub ini nggak cuma ide bagus doang," jawab Nadira.
Arga mengangguk. "Setuju. Gue udah kepikiran proyek pertama kita. Gimana kalau kita bikin aplikasi buat sistem presensi siswa di sekolah? Jadi nggak usah pake kertas absen lagi."
Nadira langsung antusias. "Gue suka ide itu, Gar! Kita bisa mulai dari yang simpel dulu, kayak sistem scan barcode atau input manual. Kalau berhasil, nanti kita kembangin fitur tambahannya."
Sore harinya, Nadira membuka laptopnya di ruang kerja kecil di rumahnya, tempat ia sering menghabiskan waktu mengerjakan tugas sekolah dan proyek kreatif lainnya. Tim ITDIC yang terdiri dari Arga, Rina, Tania, dan Zaki sudah menunggu di grup video call, masing-masing dengan laptop mereka di depan.
"Guys, gue punya tugas buat kita semua," kata Nadira sambil mengetik cepat di keyboardnya. Suaranya terdengar serius, tapi penuh antusiasme. "Kita fokus ke upgrade OS di Raspberry Pi 3. Versi 3 Alpha ini bakal jadi percobaan kita buat bikin sistem operasi yang lebih fungsional, nggak cuma buat belajar coding, tapi juga buat pengguna umum."
Arga yang duduk di depan meja kayunya langsung angkat tangan virtual. "Dir, ini serius banget, ya? Maksud gue, kita nggak cuma belajar coding, tapi udah kayak mau jadi developer OS profesional."
"Exactly," jawab Nadira cepat. "Tapi inget, kita mulai dari kecil dulu. Gue udah bikin daftar kebutuhan yang harus kita pelajari dan siapin. Sekarang, kita pecah tugas."
Nadira membagikan file dokumen yang ia tulis semalam. Isinya adalah rencana terstruktur tentang apa yang harus mereka lakukan:
• Mencari sumber informasi tentang kebutuhan aplikasi untuk OS:
• Arga diminta untuk riset tentang aplikasi sistem dasar seperti pengelola file, browser, dan penginstal aplikasi.
• Nadira menambahkan, "Lo juga cek forum developer Raspberry Pi. Cari tahu aplikasi apa yang sering dipakai buat eksperimen OS."
• Update dan optimasi sistem:
• Zaki, yang paling jago coding Python, diminta untuk mengeksplorasi bagaimana cara menambahkan fitur baru ke sistem OS, seperti pengaturan tema atau widget interaktif.
• Desain UI yang intuitif dan responsif:
• Rina, yang memiliki jiwa seni tinggi, diberi tugas untuk membuat konsep desain visual OS. Nadira menekankan, "Lo gabungin seni sama teknologi. Gue pengen OS kita punya tampilan beda dari yang lain. Warna pastel, layout simpel, tapi tetap modern."
• Implementasi toko aplikasi internal:
• Tania, yang baru-baru ini belajar lebih banyak tentang pengembangan aplikasi berbasis web, diberi tugas untuk mencari tahu gimana cara bikin aplikasi penginstal game dan data sederhana.
"Pokoknya, kita bikin semuanya dari nol. Sesimpel apapun itu, yang penting jalan," kata Nadira dengan nada optimis.
Setelah pembagian tugas selesai, mereka mulai bekerja. Nadira membuka situs resmi Raspberry Pi dan beberapa forum online untuk memahami struktur OS-nya. Ia juga menonton video tutorial dari developer senior di YouTube.
"Eh, gue nemu ini!" seru Arga tiba-tiba di grup video call. "Di forum ada yang share tutorial bikin custom browser pake Chromium base. Katanya bisa diintegrasiin langsung ke OS kita."
"Wah, keren tuh, Gar. Lo pelajarin dulu, terus coba bikin prototype-nya. Kalau ada masalah, kabarin gue," kata Nadira sambil mencatat poin itu di dokumennya.
Zaki menimpali, "Gue baru aja bikin fitur dynamic themes buat desktop. Masih kasar sih, tapi lo bisa pilih tema gelap atau terang. Mau gue share?"
Nadira mengangguk. "Share aja, Ki. Nanti kita coba integrasiin ke OS-nya."
Sementara itu, Rina sedang sibuk menggambar konsep UI di aplikasi desain digitalnya. Ia berbagi layar, menunjukkan desain awal. "Gimana kalau tampilan home-nya kayak gini? Ada shortcut aplikasi di bagian bawah, terus notifikasi muncul di samping kanan."
"Bagus banget, Rin!" seru Tania. "Tapi tambahin sedikit efek bayangan buat bikin elemen-elemen itu kelihatan lebih hidup."
Malam itu, mereka bekerja tanpa henti. Zaki berhasil mengimplementasikan fitur dynamic themes, sementara Arga menyelesaikan prototype browser berbasis Chromium. Tania sedang sibuk mempelajari cara membuat toko aplikasi sederhana menggunakan framework web.
"Dir, gue nemu tutorial gimana cara bikin pengelola file sederhana buat Raspberry Pi. Ini penting banget buat OS kita," kata Arga sambil membagikan tautan.
"Oke, prioritasin itu, Gar. Gue pengen OS kita punya pengelola file yang nggak ribet, tapi fungsional," jawab Nadira.
Di sisi lain, Nadira sendiri sedang mencoba mengintegrasikan semua elemen yang timnya buat ke dalam OS Raspberry Pi 3 Alpha. Dengan bantuan emulator, ia bisa melihat bagaimana OS-nya bekerja tanpa harus terus-menerus menginstalnya ke perangkat fisik.
Beberapa hari kemudian, mereka mengadakan sesi pengujian OS di sekolah. Kepala sekolah memberi mereka izin menggunakan laboratorium komputer.
Nadira berdiri di depan, menjelaskan progres timnya kepada anggota klub lain yang ikut menyaksikan. "Kita udah bikin fitur-fitur dasar, seperti browser, pengelola file, dan pengaturan tema. OS ini juga punya toko aplikasi sederhana yang bisa dipakai buat download game atau aplikasi pendukung."
Ia memasang kartu SD ke Raspberry Pi yang terhubung ke monitor. Saat OS mereka booting, tampilan home yang dirancang Rina muncul dengan mulus.
"Wow, ini keren banget!" seru salah satu siswa yang hadir.
Mereka mulai menguji fitur satu per satu. Beberapa bug ditemukan, seperti browser yang kadang crash dan pengelola file yang belum bisa membaca semua jenis format. Tapi secara keseluruhan, sistemnya berjalan dengan baik.
"Kita masih punya banyak PR," kata Nadira sambil mencatat bug yang ditemukan. "Tapi ini awal yang bagus. Kita beneran bisa bikin sesuatu yang berguna dari nol."
Setelah pulang ke rumah, Nadira merebahkan diri di tempat tidur dengan laptop masih menyala di sampingnya. Ia membuka dokumen catatan tim dan menulis:
• Perbaiki bug di browser: Tambahkan log error untuk melacak penyebab crash.
• Optimasi pengelola file: Tambahkan dukungan untuk format file baru.
• Tingkatkan performa: Uji kecepatan booting dan efisiensi memori.
Nadira tersenyum kecil sambil memejamkan mata. Ia merasa lelah, tapi puas. "Tim gue keren banget," pikirnya.
Malam itu, ia tidur dengan perasaan lega. OS Raspberry Pi 3 Alpha mereka adalah langkah awal menuju sesuatu yang lebih besar.
Keesokan harinya, Nadira tiba di kelas lebih awal dari biasanya. Ia duduk di bangkunya dengan laptop terbuka di meja, matanya fokus menatap layar sambil mengetik sesuatu. Tidak lama kemudian, Rina, Arga, Zaki, dan Tania datang menghampiri. Mereka tahu Nadira punya sesuatu yang penting untuk dibahas.
"Guys, kita udah sampai di tahap serius sekarang," kata Nadira sambil menutup laptopnya. Ia menatap mereka satu per satu dengan sorot mata penuh tekad. "Gue udah kepikiran, OS ini harus kita resmikan ke pihak pengembang besar. Kita butuh dukungan dari OOGLE buat bikin ini jadi nyata."
"OGLE? Maksud lo perusahaan teknologi raksasa itu?" tanya Tania dengan nada terkejut. "Lo serius, Dir? Gimana caranya kita bikin mereka tertarik sama OS kita?"
"Gue udah riset," jawab Nadira sambil membuka catatannya di tablet. "OGLE punya program untuk kolaborasi dengan pengembang independen. Kalau kita bisa presentasiin OS kita dengan baik, mereka mungkin bakal bantu distribusi atau bahkan bikin versi resmi dari OS ini."
Zaki mengangguk pelan. "Tapi Dir, kita masih ada bug dari pengujian kemarin. Browser-nya masih sering crash, dan pengelola file belum bisa baca format tertentu. Kita harus bener-bener rapih sebelum nunjukin ini ke OOGLE."
"Gue tau, Ki," kata Nadira sambil tersenyum kecil. "Makanya gue minta kita fokus hari ini buat perbaikin semua bug. Nanti sore, setelah sekolah, kita kumpul di rumah gue buat ngeberesin ini bareng-bareng."
Di sela-sela pelajaran, pikiran Nadira terus melayang ke OS yang sedang mereka kembangkan. Ia sadar, memperbaiki bug saja tidak cukup. OS ini harus dikenal lebih luas. Ia mulai merancang strategi promosi sederhana.
Saat istirahat, Nadira menarik Rina ke samping. "Rin, gue butuh bantuan lo. Lo kan jago desain grafis. Bisa nggak lo bikin poster digital buat promosi OS kita di internet?"
"Bisa banget! Lo mau desainnya kayak gimana?" tanya Rina dengan antusias.
"Yang penting eye-catching. Kasih nama OS kita di tengah, terus tambahin poin-poin keunggulannya. Gue mau ini keliatan profesional tapi nggak terlalu kaku," jawab Nadira.
Rina mengangguk sambil mencatat ide-ide Nadira. "Oke, gue bakal mulai bikin pas pulang nanti."
Sore harinya, tim ITDIC berkumpul di rumah Nadira. Mereka duduk melingkar di ruang tamu dengan laptop masing-masing. Di tengah meja ada catatan tentang bug yang harus diperbaiki.
"Ki, lo fokus ke browser, ya," kata Nadira sambil menunjuk ke Zaki. "Gar, lo coba optimasi pengelola file. Tania, lo cek ulang toko aplikasi kita. Gue bakal mulai integrasi semua perubahan ini ke dalam OS-nya."
Ruang tamu itu penuh dengan suara ketikan keyboard dan diskusi serius. Zaki berhasil menemukan penyebab crash di browser—ternyata ada masalah dengan manajemen memori. Arga memperbaiki bug di pengelola file dengan menambahkan pustaka tambahan untuk membaca lebih banyak format file. Tania memastikan toko aplikasi berjalan lancar tanpa error.
Setelah beberapa jam kerja keras, mereka berhasil menyelesaikan semua perbaikan. Nadira menguji OS itu di emulator, dan semuanya berjalan mulus. Ia tersenyum lebar. "Good job, guys! OS kita udah jauh lebih stabil sekarang."
Nadira tidak berhenti sampai di situ. Ia punya rencana lain—menginstal OS mereka di ponselnya sendiri menggunakan Custom ROM Syouimi. Dengan cara ini, ia bisa menguji apakah OS itu kompatibel dengan perangkat selain Raspberry Pi.
Setelah mentransfer file OS ke ponselnya, Nadira memulai proses flashing menggunakan aplikasi khusus. Teman-temannya memperhatikan dengan cemas.
"Dir, lo yakin ini bakal berhasil?" tanya Arga.
"Kita nggak akan tau kalau nggak dicoba," jawab Nadira dengan tenang.
Proses instalasi memakan waktu beberapa menit. Semua orang menahan napas saat ponsel Nadira reboot. Saat layar menyala, logo OS mereka muncul dengan elegan. Nadira langsung mencoba semua fitur—browser, pengelola file, toko aplikasi, dan pengaturan tema. Semuanya berjalan lancar.
"Ini berhasil!" seru Nadira dengan penuh semangat. "Kita nggak cuma bikin OS buat Raspberry Pi, tapi juga buat ponsel. Ini bakal jadi nilai tambah waktu kita presentasi ke OOGLE."
Setelah semua selesai, Nadira mengumpulkan timnya. Ia memegang ponselnya yang sekarang menggunakan OS mereka sebagai bukti nyata kerja keras mereka.
"Ini baru awal, guys," kata Nadira. "Kita masih harus bikin proposal untuk OOGLE, terus kita harus bikin demo yang lebih lengkap. Tapi gue yakin, kita bisa bikin ini jadi sesuatu yang besar."
Timnya mengangguk setuju. Meski lelah, mereka merasa bangga dengan apa yang telah mereka capai.
Malam itu, Nadira membuka laptopnya dan mulai menulis proposal untuk OOGLE. Ia menjelaskan visi mereka: menciptakan OS yang sederhana, fungsional, dan bisa diakses oleh siapa saja. Ia percaya, ini adalah langkah kecil yang bisa membuka peluang besar untuk mereka semua.
Hari libur akhirnya tiba. Nadira sudah bersiap di ruang tamunya sejak pagi, ditemani segelas kopi susu dingin yang hampir habis. Di hadapannya, laptop terbuka dengan beberapa tab yang menampilkan catatan pengembangan OS mereka. Rina, Zaki, Arga, dan Tania menyusul datang satu per satu. Mereka membawa laptop dan semangat tinggi, siap melanjutkan proyek besar ini.
"Guys, gue ada ide. Gimana kalau kita kasih nama baru buat OS ini? Rasanya terlalu generik kalau kita tetap pakai 'OS Raspberry Pi'," ujar Nadira sambil meletakkan cangkir kopinya.
Rina mengangguk cepat. "Setuju! Nama itu terlalu kaku. Kita butuh sesuatu yang catchy tapi tetep nyambung sama konsepnya."
Setelah berdiskusi hampir setengah jam, mereka sepakat menamainya Cherry L versi Beta. Nama ini terinspirasi dari sesuatu yang sederhana tapi berkesan manis, sekaligus terasa modern. L sendiri melambangkan "limitless," mencerminkan visi mereka untuk menciptakan OS yang fleksibel dan tanpa batas.
Saat mereka sibuk mengintegrasi perubahan nama dalam sistem, sebuah notifikasi masuk ke email Nadira. Ia langsung membuka pesan itu dan mendapati sesuatu yang tak terduga. Email itu berasal dari pihak Syouimi, pengembang Custom ROM yang sebelumnya Nadira gunakan.
"Gue nggak salah baca, kan?" bisik Nadira, matanya membelalak.
"Ada apa, Dir?" tanya Zaki sambil menghentikan pekerjaannya.
Nadira membaca pesan itu keras-keras:
"Kami tertarik dengan pengembangan Cherry L OS yang Anda lakukan. Berdasarkan uji coba internal, kami melihat potensi besar pada proyek ini. Sebagai dukungan, kami ingin memberikan akses ke SDK terbaru kami untuk membantu optimasi kernel, serta beberapa library tambahan yang kompatibel untuk gaming dan produktivitas."
Rina menutup mulutnya, terkejut. "Mereka ngasih kita bantuan? Itu gila sih! Tapi... apa nggak terlalu berat tanggung jawabnya?"
"Gue sih optimis," ujar Nadira dengan senyum lebar. "Ini kesempatan langka! Mereka juga ngasih informasi teknis yang super detail. Gue bakal baca dulu semua dokumen ini."
Nadira dan timnya segera memulai optimasi berdasarkan panduan dari Syouimi. Pekerjaan ini tidak mudah, tapi mereka melakukannya dengan hati-hati dan penuh konsentrasi.
• Kernel Tuning: Arga memimpin bagian ini. Dengan SDK terbaru dari Syouimi, ia berhasil meningkatkan efisiensi penggunaan RAM hingga 30%. "Kernel-nya sekarang bisa lebih responsif, terutama buat multitasking," jelasnya.
• Performa Gaming: Zaki fokus mengoptimasi GPU driver. Ia memastikan bahwa Cherry L bisa menjalankan game berat dengan frame rate stabil. "Gue juga tambahin dukungan OpenGL ES terbaru. Harusnya sekarang bisa jalan lebih smooth," katanya sambil mengetik cepat di terminal.
• UI dan UX: Rina sibuk merancang ulang tampilan antarmuka OS agar lebih menarik dan intuitif. "Gue tambahin animasi transisi yang lebih lembut. Oh, sama tema dark mode-nya udah gue poles biar makin elegan," ujarnya bangga.
• Toko Aplikasi: Tania memastikan toko aplikasi mereka lebih aman dengan menambahkan enkripsi untuk setiap unduhan. "Kita nggak mau ada malware masuk. Gue udah cek semuanya, dan ini aman banget," katanya dengan percaya diri.
Di tengah proses ini, Nadira terus memonitor semua kemajuan. Ia juga memastikan semua fitur berjalan mulus di emulator sebelum diinstal ulang ke ponselnya. Setelah beberapa jam, Cherry L versi Beta akhirnya siap diuji coba.
Untuk menguji performa gaming, Nadira mengusulkan agar mereka mencoba bermain game bersama. "Kita cobain buat main bareng (mabar) aja. Kalau OS ini bisa jalan mulus waktu main game online, artinya kita berhasil," katanya penuh semangat.
Mereka memutuskan bermain game battle royale yang cukup berat. Setelah memasang game tersebut di ponsel mereka, semuanya terhubung ke satu jaringan.
Lima menit pertama mereka tegang, takut tiba-tiba terjadi crash atau lag. Tapi seiring waktu, kekhawatiran itu hilang. Permainan berjalan lancar dengan frame rate stabil. Bahkan saat intensitas permainan meningkat, tidak ada tanda-tanda penurunan performa.
"Ini keren banget, Dir!" seru Rina sambil tertawa puas setelah berhasil memenangkan satu ronde.
"Ini OS lo udah di level next-gen," tambah Zaki, yang tampaknya benar-benar terkesan.
Setelah bermain selama tiga puluh menit, mereka akhirnya memutuskan untuk beristirahat. Nadira merebahkan tubuhnya di sofa, matanya terpejam sambil tersenyum puas. "Kayaknya kita udah masuk jalur yang bener, deh," gumamnya.
Ketika waktu menunjukkan sore menjelang malam, mereka mulai bersiap untuk pulang. Tapi sebelum itu, Tania punya ide lain. "Eh, sebelum pulang, kita makan dulu yuk. Gue pesen makanan online aja, gampang kan?"
Nadira setuju, begitu pula yang lain. Tania membuka aplikasi pemesanan makanan di ponselnya dan memesan berbagai menu, mulai dari ayam goreng, nasi goreng spesial, hingga beberapa porsi minuman dingin.
Saat makanan tiba, mereka duduk bersama di meja makan dan mulai menikmati hidangan. Suasana menjadi lebih santai, penuh dengan obrolan ringan dan tawa.
"Kayaknya momen kayak gini yang bikin gue makin semangat ngembangin Cherry L," kata Nadira sambil menyuap nasi goreng ke mulutnya. "Kita nggak cuma kerja, tapi juga nikmatin prosesnya bareng-bareng."
Arga tersenyum. "Gue setuju. Gue nggak nyangka, proyek iseng-iseng ini bisa sejauh ini. Gue bangga sih jadi bagian dari tim ini."
Malam itu, mereka pulang dengan perasaan puas.
Keesokan harinya, Nadira duduk di depan laptopnya dengan mata yang sedikit sayu karena kurang tidur.
Semalam, ia masih sibuk membaca dokumentasi tambahan dari Syouimi dan memperbaiki beberapa minor bug di Cherry L versi Beta.
Semua tampaknya berjalan lancar—setidaknya sampai pagi ini.
Saat membuka dashboard sistem, Nadira terkejut. "What the…?" gumamnya.
Pesan error memenuhi layar, menampilkan log yang penuh dengan notifikasi aneh: "Unauthorized access detected." CPU usage tiba-tiba melonjak drastis, membuat laptopnya hang hampir tidak responsif.
"Zaki! Rina! Gue butuh bantuan sekarang!" panggil Nadira dengan nada panik melalui grup chat mereka.
Beberapa menit kemudian, Zaki langsung menelepon. "Gue udah baca chat lo. Itu kayaknya bukan cuma bug biasa, Dir. Lo kena virus!"
Nadira menarik napas panjang. Virus? Dari mana? Cherry L belum dirilis secara publik, jadi kemungkinan pihak luar menyerang harusnya nol. Tapi kenyataan berkata lain.
"Ada file yang lo download belakangan ini?" tanya Zaki cepat.
"Gue download beberapa library dari pihak ketiga, tapi itu dari sumber resmi."
"Ya, resmi bukan berarti aman seratus persen." Zaki terdengar serius. "Kita harus scan semua sistem dulu. Lo buka terminal dan jalanin perintah deep scan yang gue kirim tadi."
Nadira langsung mengetik perintah yang diberikan Zaki.
Proses scanning memakan waktu beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam. Hasilnya membuat Nadira terpaku: beberapa file inti Cherry L telah terinfeksi malware bernama RedPhantom, sebuah virus yang dirancang untuk mencuri data pengguna dan merusak kernel sistem.
"Ini nggak bisa dibiarkan," ujar Nadira dengan nada tegas. "Gue bakal cari tahu siapa yang ngirim virus ini."
Sambil terus memperbaiki sistem, Nadira mendapat notifikasi dari grup diskusi komunitas teknologi yang ia ikuti.
Ada seseorang yang memposting kabar miring tentang Cherry L.
"OS Cherry L ternyata hasil plagiarisme dari proyek OS lain. Hati-hati, bisa mencuri data pengguna. Jangan pernah coba install OS ini kalau nggak mau ponsel kalian jadi bata!"
Komentar itu datang dari akun anonim bernama TechWatcher01.
Postingan tersebut langsung memicu perdebatan sengit di kolom komentar. Beberapa orang percaya dengan kabar itu, sementara yang lain membela Nadira dan timnya.
Rina yang ikut membaca postingan itu langsung geram. "Gila, Dir ! Siapa nih orang nggak jelas yang fitnah lo ?"
"Gue nggak tahu," jawab Nadira dengan tenang meski hatinya bergejolak.
"Tapi yang pasti, ini bukan kebetulan. Virus tadi sama hoax ini pasti ada hubungannya."
"Jadi lo mikir ini kerjaan orang yang benci lo ?" tanya Zaki penasaran.
"Mungkin. Tapi gue nggak akan buang waktu buat marah. Gue bakal fokus benerin OS kita dulu."
Nadira dan tim langsung bergerak cepat. Mereka membuat tiga langkah besar untuk menangani krisis ini:
• Pembersihan Virus: Dengan bantuan Zaki, mereka berhasil mengisolasi dan menghapus semua file yang terinfeksi. Kernel Cherry L diperbaiki agar lebih tahan terhadap serangan malware serupa.
• Penambahan Keamanan: Arga mengembangkan fitur Real-Time Threat Detection yang langsung memblokir file mencurigakan sebelum bisa merusak sistem.
• Strategi Komunikasi: Rina dan Tania merancang kampanye online untuk meluruskan kabar hoax yang beredar. Mereka membuat video penjelasan yang menunjukkan transparansi pengembangan Cherry L, termasuk bukti bahwa OS ini aman dan bukan hasil plagiarisme.
Setelah berjam-jam bekerja keras, sistem akhirnya kembali stabil. Nadira merasa lega tapi tahu ini belum selesai sepenuhnya.
Beberapa hari kemudian, Zaki datang membawa kabar mengejutkan. "Gue tracking IP dari si TechWatcher01, Dir. Lo nggak bakal percaya."
"Siapa ?" tanya Nadira penasaran.
"Orang itu ternyata salah satu peserta kompetisi pengembangan OS nasional yang pernah lo kalahin tahun lalu, Nama aslinya Fikri."
Nadira terdiam sejenak, mengingat wajah Fikri yang sempat terlihat kesal ketika Cherry L memenangkan penghargaan sebagai Best Innovation Project.
< Ingatan Nadira Kompeti Masa Lalu>
Satu tahun sebelumnya, ruangan aula besar sebuah kampus teknologi ternama di Lamongan - Jawa Timur dipenuhi peserta berbakat dari berbagai daerah.
Di panggung utama terpampang spanduk besar bertuliskan: Kompetisi Nasional Pengembangan OS: Inovasi untuk Masa Depan Digital.
Di tengah kerumunan peserta yang sibuk menyiapkan perangkat masing-masing, Nadira duduk bersama timnya — Zaki, Arga, dan Rina.
Mereka membawa prototipe awal Cherry L yang saat itu masih dalam versi pre-alpha.
Tampilan antarmukanya sederhana, tapi optimasi kernel yang mereka lakukan membuat OS ini jauh lebih ringan dan stabil dibanding OS mainstream lainnya.
"Gue denger kabar, Fikri ikut kompetisi ini," bisik Zaki sambil menatap ke arah seorang cowok berkacamata yang duduk beberapa meja dari mereka.
Nadira menoleh dengan alis terangkat. "Fikri ? Itu yang dari tim TechNova kan?"
"Iya. Tahun lalu dia juara satu di kompetisi regional. OS bikinannya namanya NovaCore, katanya super cepat dan aman buat IoT," jawab Arga sambil mengetik kode di laptopnya.
"Berarti lawan berat, nih," gumam Rina sambil memainkan pena di tangannya.
Nadira hanya tersenyum tipis. "Yaudah, fokus aja ke kerjaan kita. Kalau mereka bagus, kita harus lebih bagus."
Hari pertama kompetisi dimulai dengan babak penyisihan yang menguji kemampuan peserta dalam merancang solusi berbasis OS untuk skenario dunia nyata.
Tantangannya: membuat sistem yang bisa berjalan stabil di perangkat dengan spesifikasi rendah tanpa mengorbankan fitur keamanan.
Tim Nadira bergerak cepat.
Mereka memanfaatkan arsitektur modular yang sudah dirancang sejak awal.
Cherry L mampu mendeteksi perangkat keras yang terbatas dan secara otomatis menonaktifkan fitur non-esensial untuk menjaga performa tetap optimal.
Sementara itu, di meja sebelah, Fikri dan timnya tampak percaya diri dengan NovaCore mereka. Nadira sempat melirik layar mereka yang dipenuhi kode-kode kompleks.
"Dia nulis kernel sendiri?" tanya Zaki kagum.
"Kelihatan gitu," jawab Nadira sambil tetap fokus pada laptopnya. "Tapi kita punya keunggulan sendiri. Ingat, OS kita udah punya sistem keamanan berbasis AI."
Ketika waktu habis, panitia mengumumkan hasilnya. Tim Nadira berhasil lolos ke babak berikutnya bersama beberapa tim unggulan lainnya, termasuk TechNova milik Fikri.
Di babak semi-final, tantangan semakin berat. Setiap tim harus menghadapi simulasi serangan cyber yang dirancang untuk menguji ketahanan sistem mereka terhadap malware, DDoS, dan upaya pencurian data.
"Serangan pertama masuk," lapor Arga dengan nada serius. "Mereka nyoba brute force buat nembus login."
"Gue udah aktifin proteksi rate-limiting," kata Zaki sambil mengetik cepat.
Nadira mengamati log sistem. "Ada malware yang nyoba inject ke memori. Kita harus block sekarang."
Dengan kerja sama yang solid, mereka berhasil mempertahankan Cherry L dari semua serangan simulasi. Di meja sebelah, Fikri terlihat tenang meski timnya menghadapi tekanan yang sama.
Ketika hasil semi-final diumumkan, tim Nadira dan TechNova kembali lolos ke babak final bersama satu tim lainnya dari Surabaya.
Babak final bukan hanya soal teknis.
Setiap tim harus mempresentasikan inovasi mereka di depan juri yang terdiri dari para pakar teknologi dan investor besar.
Nadira melangkah ke podium dengan percaya diri. "Cherry L bukan sekadar OS ringan dan aman. Ini adalah platform yang dirancang untuk tumbuh bersama kebutuhan penggunanya. Dengan sistem keamanan berbasis AI dan kemampuan adaptasi perangkat keras otomatis, Cherry L siap menjadi solusi masa depan digital."
Presentasi mereka mendapat tepuk tangan meriah. Namun, Fikri tidak kalah memukau. Ia mempresentasikan NovaCore dengan gaya yang penuh percaya diri, menyoroti kecepatan dan efisiensi energinya yang luar biasa.
Setelah presentasi, tim juri melakukan uji implementasi langsung. Mereka menguji bagaimana OS masing-masing tim bekerja dalam berbagai skenario dunia nyata, termasuk instalasi aplikasi besar dan simulasi perangkat IoT.
Ketegangan terasa saat juri mendiskusikan hasil akhir. Nadira menggenggam tangan Rina dengan gugup.
"Tenang aja, Dir. Kita udah ngasih yang terbaik," bisik Rina menenangkan.
Akhirnya, salah satu juri berdiri dan mengumumkan pemenangnya.
"Juara pertama Kompetisi Nasional Pengembangan OS adalah… Cherry L oleh Tim Nadira!"
Sorak-sorai memenuhi ruangan. Nadira dan timnya saling berpelukan dengan penuh kegembiraan. Sementara itu, Fikri yang duduk di meja TechNova tampak memasang ekspresi datar, meski jelas terlihat kekecewaan di matanya.
Setelah acara selesai, Nadira tidak menyangka akan dihampiri langsung oleh Fikri.
"Selamat," katanya singkat dengan nada dingin.
"Thanks," jawab Nadira ramah.
"Tapi jangan seneng dulu. Dunia teknologi itu nggak cuma soal menang satu kompetisi dan kamu akan tahu nanti di masa depan, aku yang akan memimpin dunia OS," lanjut Fikri dengan nada tajam sebelum berbalik pergi.
"Jadi dia dendam ?" gumam Nadira sambil menghela napas panjang. "Kalau dia mau kompetisi sehat, gue oke aja. Tapi cara licik kayak gini... nggak bisa gue biarin."
Dengan semangat yang lebih besar, Nadira dan timnya kembali bekerja.
Mereka memastikan Cherry L tidak hanya menjadi OS yang aman dan andal, tetapi juga memiliki fitur unggulan yang membuatnya layak bersaing di pasar teknologi.
Di akhir hari itu, Nadira menatap layar laptopnya dengan senyum puas. Cherry L tidak hanya bertahan dari serangan, tapi kini lebih kuat dari sebelumnya.
"Lo tahu nggak, Dir ?" kata Rina sambil tertawa kecil. "Gue rasa Cherry L udah kayak hidup. Kuat meski dihajar masalah."
Nadira mengangguk sambil tersenyum. "Bener. Dan kita nggak bakal berhenti sampai dunia tahu siapa kita."
Setelah satu tahun penuh perjuangan mengembangkan Cherry L versi Beta, hidup Nadira berubah drastis.
Semua kerja kerasnya akhirnya mulai membuahkan hasil.
Kepala sekolah yang tadinya hanya memandang teknologi sebagai aktivitas sampingan, kini melihat potensi besar dari inovasi Nadira.
Suatu pagi, sebelum bel masuk berbunyi, Nadira dipanggil ke ruang kepala sekolah.
Langkahnya terasa berat, meski dia sudah terbiasa menghadapi tantangan.
"Nadira, masuk." Suara berat kepala sekolah.
Nadira duduk di kursi berhadapan langsung dengan pria berusia paruh baya itu. "Ada apa, Pak?" tanyanya penasaran.
Pak kepala sekolah tersenyum tipis sambil menyodorkan sebuah surat resmi berkop sekolah.
"Setelah mempertimbangkan perjuangan dan dedikasi kamu, sekolah memutuskan untuk meresmikan Tech Club. Kamu yang akan jadi ketuanya."
Mata Nadira langsung berbinar. "Beneran, Pak ? Ini serius?"
"Serius. Selain itu…" Pak Surya menambahkan dengan nada penuh kebanggaan, "kamu juga dapat beasiswa dari universitas elite di Irlandia. Mereka tertarik dengan projek OS kamu."
Nadira terdiam sejenak, merasa tidak percaya dengan kabar besar ini.
"Tapi…" lanjut Pak kepala sekolah, "kamu masih harus menyelesaikan SMA di sini dulu. Jadi, tawaran itu bisa kamu ambil setelah lulus."
Nadira mengangguk gembira. "Terima kasih banyak, Pak. Saya nggak nyangka bakal sejauh ini."
Sore harinya, Nadira duduk di kamar dengan jendela terbuka.
Angin sore yang sejuk masuk menyapu wajahnya.
Dia membuka ponselnya dan langsung menekan ikon video call untuk menghubungi Arya, sahabat dekat yang selalu mendukungnya.
Layar ponsel menampilkan wajah Arya yang sedang duduk di depan komputernya.
"Nadira! Ada apa? Kok tumben nelpon?"
"Ada kabar penting," kata Nadira dengan senyum lebar.
Arya menaikkan alis. "Kabar apa? Jangan bilang kamu jadi selebriti teknologi sekarang."
Nadira tertawa kecil. "Nggak gitu juga. Tapi sekolah ngasih izin buat bikin Tech Club, dan aku yang jadi ketuanya."
"Wah, keren! Terus?"
"Terus…" Nadira menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "aku juga dapet beasiswa ke universitas elite di Irlandia. Tapi baru bisa pergi setelah lulus SMA."
Arya terdiam sesaat, lalu tersenyum bangga. "Gila sih lo, Dir. Gue bangga banget sama lo. Dari yang cuma ngoprek Raspberry Pi, sekarang udah dilirik universitas luar negeri."
"Thanks, Rya." Nadira tersenyum hangat.
Obrolan mereka terus berlanjut hingga malam tiba.
Tanpa sadar, Nadira tertidur dengan ponselnya masih menyala.
Layar ponsel menampilkan wajah Arya yang juga sudah terlelap di sisi lain.
Hari-hari berikutnya menjadi lebih sibuk untuk Nadira. Selain mengurus Tech Club, ia juga ditunjuk kembali sebagai Ketua Club Seni, posisi yang pernah ia pegang dengan penuh tanggung jawab.
"Dir, serius nih lo mau handle dua club sekaligus?" tanya Rina saat mereka berjalan di koridor sekolah.
"Serius, Rin. Gue nggak bisa ninggalin Club Seni, tapi Tech Club juga penting buat perkembangan teknologi di sekolah," jawab Nadira mantap.
Rina menggeleng takjub. "Lo bener-bener superwoman sih."
Di Tech Club, Nadira mulai mengajak siswa lain untuk belajar coding, hardware development, dan bahkan pengembangan OS. Sementara di Club Seni, ia tetap memimpin proyek mural sekolah dan pertunjukan teater tahunan.
Namun, tidak semua berjalan mulus. Ada beberapa siswa yang meremehkan Tech Club, menganggap kegiatan tersebut "cuma buat anak-anak kutu buku."
"Ngapain sih bikin OS segala ? Mending main basket atau ikut band," komentar salah satu siswa yang berjalan melewati ruang club.
Nadira hanya tersenyum tipis. "Ya udah, lo main basket aja. Gue bikin teknologi yang mungkin nanti bakal lo pake di ponsel lo."
Komentar itu membuat siswa tersebut terdiam, sementara anggota Tech Club tertawa kecil.
Di sisi lain, sebagai Ketua Club Seni, Nadira juga menghadapi tantangan dalam mengelola waktu. Ada kalanya ia harus bolak-balik antara ruang teknologi dan studio seni, menghadiri rapat penting di kedua club tersebut.
Berkat kerja keras dan dedikasinya, Tech Club berhasil menciptakan inovasi baru, termasuk perangkat lunak edukasi berbasis Cherry L yang digunakan dalam pembelajaran di sekolah.
Sementara itu, Club Seni meraih penghargaan dalam kompetisi mural tingkat nasional.