Pagi itu, suasana sekolah mendadak tegang.
Aula besar dipenuhi para senior dan anggota klub teknologi, termasuk anggota Klub Innovative Technology Development and Interactive Coding (ITDC) serta Tech Club yang baru saja dibentuk Nadira.
"Jadi maksud lo, Nadira, bikin Tech Club tuh buat ngegantiin ITDC?" suara keras salah satu senior bernama Bima menggema di ruangan.
"Bukan gitu maksudnya," Nadira mencoba menjelaskan dengan tenang meski wajahnya sudah sedikit memerah.
Bima menyipitkan mata. "Kalau nggak gitu, kenapa mesti ada dua klub yang sama-sama fokus ke teknologi? Lo kayak lagi mecah belah, ngerti nggak? Semua orang jadi bingung mau ke mana."
Suara gumaman dari anggota klub lain mulai terdengar. Beberapa siswa yang tadinya diam mulai ikut memandang Nadira dengan tatapan kritis.
"Aku nggak ada niat mecah belah apa pun," kata Nadira, nadanya lebih tegas. "Tech Club itu buat ngasih ruang ke orang-orang yang tertarik nggak cuma sama coding, tapi juga hardware development dan inovasi teknologi praktis. ITDC kan lebih ke software development dan project besar."
"Tetep aja nggak masuk akal," sahut salah satu senior lain. "Lo cuma bikin semuanya ribet."
Sore harinya, saat Nadira hendak pulang, langkahnya terhenti di depan gerbang sekolah.
Pak kepala sekolah yang biasanya tenang, berdiri dengan ekspresi serius.
"Nadira, ikut saya ke ruang kerja," katanya singkat.
Nadira menelan ludah, merasa ada yang nggak beres. Tanpa banyak bicara, ia mengikuti langkah Pak kepala sekolah menuju ruangan kepala sekolah.
Setelah pintu tertutup, Pak Surya langsung bicara, "Kamu sadar nggak kalau ini udah jadi masalah besar? Membuat dua klub dengan fokus yang mirip jelas melanggar aturan sekolah. Kamu sebelumnya juga pernah mendirikan ITDC, kan?"
"Iya, Pak. Tapi maksud saya…" Nadira berusaha menjelaskan, namun Pak Surya memotong.
"Nadira, kamu tahu saya selalu dukung inovasi kamu. Tapi kali ini, kamu ceroboh. Harusnya kamu diskusi dulu sebelum bikin klub baru."
Nadira menarik napas dalam-dalam. "Saya cuma pengen semua siswa punya lebih banyak pilihan, Pak. Saya sadar mungkin ini kelihatan tumpang tindih, tapi kalau dikelola dengan baik, justru bisa saling melengkapi."
Pak Surya menghela napas panjang. "Baiklah, saya paham niat kamu. Tapi tetap ada aturan yang harus dipatuhi. Jadi, saya kasih kamu tugas: gabungkan kedua klub ini jadi satu klub besar dengan nama baru yang lebih global dan terstruktur. Saya nggak mau ada konflik lagi."
Nadira mengangguk mantap. "Saya ngerti, Pak. Terima kasih udah kasih kesempatan."
Malam itu, Nadira duduk di depan laptopnya, memikirkan nama yang pas untuk klub gabungan ini. Chat grup dengan anggota ITDC dan Tech Club ramai dengan diskusi tentang masa depan klub mereka.
"Aku rasa kita butuh nama yang nggak cuma keren, tapi juga punya makna," tulis Nadira di grup.
"Gimana kalau pakai nama yang nyambung sama teknologi dan inovasi?" saran Arya.
Setelah berjam-jam brainstorming, akhirnya mereka sepakat dengan nama Future Innovation and Creative Engineering Society (F.I.C.E.S). Nama ini mencerminkan visi mereka untuk menciptakan inovasi teknologi yang nggak cuma sekadar teori, tapi juga bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
Keesokan harinya, Nadira berdiri di depan seluruh anggota klub gabungan yang kini telah diberi nama F.I.C.E.S.
"Gue tahu beberapa dari kalian mungkin masih ragu soal penggabungan ini," kata Nadira dengan suara tegas.
"Tapi gue yakin, kalau kita bisa kerja bareng tanpa ada ego, klub ini bakal jadi salah satu yang paling keren di sekolah, bahkan mungkin di luar sana."
Bima yang sebelumnya keras menentang akhirnya mengangguk kecil. "Oke, gue setuju. Selama ini kita emang butuh pemimpin yang tegas kayak lo, Nadira."
Sorakan dan tepuk tangan memenuhi ruangan.
Nadira tersenyum lega. Semua konflik yang sempat memanas akhirnya berakhir dengan solusi yang menguntungkan semua pihak.
Pagi itu, Nadira masih setengah sadar ketika alarm ponselnya berbunyi keras. Dengan mata yang masih berat, ia mengusap kepalanya dan menghela napas panjang.
"Yah, hari baru lagi," gumamnya pelan sambil bangkit dari tempat tidur.
Setelah mandi cepat dan ganti baju seragam, Nadira turun ke ruang makan. Di sana, ibunya sudah menyiapkan sarapan sederhana — roti panggang dan segelas susu hangat.
"Jangan buru-buru, makan dulu yang tenang," kata ibunya sambil tersenyum.
"Iya, Bu." Nadira tersenyum kecil sebelum menyantap sarapannya dengan cepat.
Pagi itu ada misi besar yang harus ia tuntaskan di sekolah: peluncuran publik OS Cherry L serta pembuatan dokumentasi lengkap soal instruksi penggunaan, kebijakan privasi, dan struktur kernel yang ia bangun dari nol bersama timnya di F.I.C.E.S.
Di sekolah, ruangan klub teknologi sudah ramai dengan anggota yang sibuk mempersiapkan segala kebutuhan peluncuran OS. Di sudut ruangan, Arga, yang selalu terlihat kalem meski sibuk, sedang memeriksa integrasi sistem terakhir.
"Nad, dokumentasi virtual udah siap?" tanya Arga sambil melirik laptopnya.
"Masih dalam tahap penyempurnaan. Tapi tenang aja, kita bakal kelar sebelum deadline," jawab Nadira dengan yakin.
Tiba-tiba, Dika, salah satu anggota tim, berlari tergesa-gesa ke arah mereka.
"Guys, masalah! Ada user beta yang lapor kalau sistem Cherry L nge-crash pas akses protokol privasi!" serunya panik.
Nadira langsung merapat ke meja utama. "Coba share log error-nya ke gue," pintanya cepat.
Dalam beberapa menit, mereka menemukan sumber masalah: bug yang muncul saat OS berusaha mengenkripsi data user secara otomatis. Setelah berdiskusi singkat, Arga memberikan solusi untuk memperbaiki algoritma enkripsi agar lebih kompatibel dengan perangkat lama.
"Fix this, Dika. Kita gak boleh ngeluarin produk setengah jadi," tegas Nadira.
Selama beberapa jam berikutnya, ruangan klub berubah jadi medan tempur coding tanpa henti. Suara ketikan keyboard bersahut-sahutan, sesekali diiringi gumaman frustasi anggota tim.
Menjelang siang, masalah utama berhasil diselesaikan. Sistem Cherry L kini berjalan mulus tanpa crash.
"Nice! Kita berhasil!" teriak Dika dengan wajah lega.
Nadira mengangguk puas. "Tinggal dokumentasi virtualnya yang perlu dirapihin."
Arga menyeringai tipis. "Kayaknya lo emang ditakdirin buat jadi bos besar, Nad."
Nadira tertawa kecil. "Mungkin aja. Tapi sekarang, fokus dulu buat rilis publik."
Ketika waktu peluncuran tiba, aula sekolah dipenuhi siswa, guru, dan beberapa undangan khusus dari komunitas teknologi lokal. Nadira berdiri di atas panggung, memegang mikrofon dengan tangan yang sedikit berkeringat.
"Selamat datang di peluncuran resmi OS Cherry L," katanya membuka presentasi. "Kami percaya teknologi harus inklusif, aman, dan mudah digunakan. Cherry L adalah wujud dari impian itu."
Presentasi berjalan lancar. Dokumentasi virtual yang telah mereka susun dengan detail ditampilkan di layar besar, lengkap dengan instruksi penggunaan, kebijakan privasi, dan kebijakan keamanan yang solid.
Sorakan dan tepuk tangan mengisi ruangan saat acara berakhir.
"Nadira," panggil Pak Surya setelah acara selesai. "Saya bangga sama pencapaian kalian. Terus bawa nama sekolah ini ke level yang lebih tinggi."
Nadira tersenyum lebar. "Terima kasih, Pak. Ini semua berkat kerja keras tim juga."
Sore itu, Nadira duduk di bangku taman sekolah bersama Arga dan anggota tim lainnya. Mereka menikmati momen kemenangan sambil berbincang santai.
"Next project apa, Nad?" tanya Dika antusias.
Nadira menyeringai. "Ada banyak ide di kepala gue. Tapi yang pasti, kita nggak berhenti sampai sini."
Hari kelulusan tiba dengan cepat, seperti mimpi yang berlari tanpa henti. Aula sekolah yang biasanya penuh dengan suara tawa dan diskusi berubah menjadi lautan jas biru tua dan gaun hitam. Panggung besar dihias megah dengan tulisan Graduation Ceremony SMA Harapan Bangsa terpampang jelas di belakang podium.
Nadira duduk di barisan depan bersama teman-teman satu angkatannya. Arga, Dika, dan anggota klub F.I.C.E.S yang lain tampak rapi dalam seragam formal mereka. Senyum kecil terus terukir di wajah Nadira, meski ada rasa haru yang menggantung di dadanya.
"Deg-degan nggak?" bisik Arga sambil melirik Nadira.
"Enggak juga. Tapi gue kayak nggak percaya aja ini udah kelulusan," jawab Nadira sambil tersenyum tipis.
Acara dimulai dengan sambutan kepala sekolah, Pak Surya, yang seperti biasa berbicara dengan penuh wibawa namun tetap hangat.
"Kita semua tahu, setiap lulusan memiliki cerita masing-masing. Tapi hari ini saya ingin secara khusus mengucapkan selamat kepada siswa-siswa yang telah membawa nama besar sekolah ini ke level nasional, bahkan internasional," ucap Pak Surya.
Tepuk tangan riuh memenuhi aula. Nadira tahu itu sebagian besar ditujukan kepada timnya.
Setelah itu, satu per satu nama siswa yang menerima beasiswa disebutkan. Ketika nama Nadira dipanggil, ia melangkah mantap menuju panggung dengan senyum percaya diri. Beasiswa penuh ke universitas elite di Irlandia — sebuah pencapaian besar yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Selamat, Nadira," ucap Pak Surya sambil menyerahkan sertifikat beasiswa. "Saya bangga dengan kamu."
"Terima kasih, Pak," jawab Nadira tulus.
Tak hanya Nadira, beberapa anggota tim F.I.C.E.S seperti Arga dan Dika juga mendapatkan kesempatan yang sama. Mereka diizinkan untuk melanjutkan pendidikan bersama di universitas yang sama di Irlandia.
"Gila, kita beneran bakal ke Irlandia bareng?" bisik Dika dengan mata berbinar saat kembali duduk.
"Kayaknya sekolah udah bosen sama kita," canda Nadira sambil tertawa kecil.
Momen paling emosional datang saat prosesi pelepasan angkatan mereka selesai. Semua siswa saling berpelukan, tertawa, dan menangis bersama. Nadira memeluk sahabat-sahabatnya erat.
"Lo keren banget, Nad," kata Arga sambil menahan haru. "Gue yakin lo bakal jadi orang besar di sana."
"Lo juga, Ga. Kita semua bakal bikin sesuatu yang gila di masa depan," jawab Nadira dengan semangat.
Malam harinya, Nadira duduk di balkon rumahnya sambil menatap langit penuh bintang. Ponselnya berdering, panggilan video dari Arya yang sudah lebih dulu berada di Irlandia.
"Congrats, Nad !" seru Arya dari layar ponsel. "Akhirnya lo lulus juga."
"Thanks, Ra. Lo gimana di sana? Udah berapa medali lagi yang lo borong?" goda Nadira.
Arya tertawa. "Udah nggak kehitung. Tapi serius, gue nggak sabar nunggu lo di sini."
"Gue juga nggak sabar. Kita bakal bikin kenangan baru lagi di sana," kata Nadira dengan senyum penuh harapan.
Setelah panggilan berakhir, Nadira menarik napas panjang.
Hari keberangkatan akhirnya tiba.
Bandara Soekarno-Hatta dipenuhi suara keberangkatan para calon mahasiswa yang siap merantau.
Nadira berdiri di dekat gerbang keberangkatan, memeluk erat kedua orang tuanya. Ibunya berusaha menyembunyikan air mata, sementara ayahnya menepuk pundaknya dengan bangga.
"Jaga diri baik-baik di sana, Nak," pesan ayahnya.
"Jangan lupa kabar tiap minggu," sambung ibunya.
Nadira tersenyum hangat. "Pasti, Bu. Pak. Doain aku, ya."
Di seberang, Arga dan Dika sibuk mengurus paspor dan boarding pass mereka. Mereka sesekali bercanda, berusaha mengusir kegugupan yang tak bisa mereka sembunyikan. Reza, Zaki, dan Aryani ikut datang untuk melepas mereka, membawa semangat dan doa yang tulus.
"Kalian bertiga bakal bikin sejarah di sana," kata Zaki penuh percaya diri. "Tapi ingat, jangan lupa asal-usul kalian."
"Lo jangan lupa ngabarin gue tiap kali berhasil bikin sesuatu keren," Aryani menambahkan sambil memeluk Nadira. "Gue bakal jadi penggemar nomor satu lo."
Mereka tertawa bersama. Namun, mata Nadira menangkap Arga yang melirik Arya di ponselnya, terlihat masam.
Sesampainya di Irlandia, kehidupan baru langsung terasa. Kampus megah, udara sejuk, dan kota yang hidup membawa atmosfer yang berbeda. Nadira melangkah mantap ke asrama mahasiswa, bersama Arga dan Dika. Mereka sengaja memilih kamar yang berdekatan agar tetap saling mendukung di negeri asing.
Namun, ada kejutan yang menunggu. Di depan kamar Nadira, Arya sudah berdiri dengan senyum lebar. "Welcome to Irlandia, My Honey!" Arya membuka tangannya, siap memeluk Nadira.
"Aryaa!" Nadira memeluk Arya sangat lama.
Namun di sisi lain, Arga yang berdiri di belakang hanya bisa menyaksikan dengan wajah datar.
Dika menepuk bahunya, mencoba mencairkan suasana, tapi Arga tak merespons.
Beberapa hari berlalu, jadwal kuliah mulai padat. Arya sering menemani Nadira di sela-sela waktu luangnya.
Mereka terlihat akrab, bercanda, bahkan sesekali berbagi momen pribadi. Hal ini mulai memicu percikan ketidaknyamanan di hati Arga.
Suatu sore, di sebuah kafe kecil dekat kampus, ketegangan memuncak. Arya dan Nadira tengah asyik berdiskusi ketika Arga muncul dengan wajah serius.
"Gue nggak ngerti, Nad," ujar Arga dingin. "Kenapa lo nggak pernah cerita soal Arya sebelumnya ?"
Nadira mengerutkan kening. "Arga, ini bukan hal yang sengaja gue sembunyiin. Gue pikir ini nggak penting."
"Nggak penting ?" Arga tertawa sinis. "Lo nggak sadar gue udah suka sama lo dari dulu ?"
Arya langsung menengahi. "Arga, ini bukan tempat buat lo bikin drama."
"Lo nggak usah ikut campur !" bentak Arga, membuat beberapa orang di kafe menoleh.
Nadira menatap Arga dengan mata berkaca-kaca. "Ga, Arya itu pacar gue sejak SMP. Kita punya hubungan yang panjang, dan gue nggak pernah berniat menyakiti lo."
Namun, bukannya tenang, Arga malah meradang. "Kalau gitu, kenapa lo nggak pernah ngomong ? Lo bikin gue berharap!"
"Gue nggak pernah janji apa-apa sama lo, Arga," kata Nadira dengan suara gemetar. "Gue Juga ga pernah tau perasaan Elu"
Arga menggeleng, tatapannya penuh luka.
"Kata-Kata Lu Kayak ****" Tanpa menunggu balasan, Arga keluar dari kafe, meninggalkan Nadira yang menangis.
Beberapa minggu setelah insiden itu, Arga menjauh.
Dia berhenti aktif di kegiatan kelompok mereka, bahkan jarang berbicara dengan Nadira dan Dika. Namun, Arga tetap fokus pada kuliahnya, berusaha keras membuktikan bahwa dia bisa sukses tanpa harus bergantung pada orang lain.
Reza, Aryani, dan Zaki mencoba mendamaikan situasi. Mereka mengundang Nadira, Arya, dan Arga untuk duduk bersama. Namun, upaya itu tak berjalan mulus.
"Arga, lo harus dengerin mereka," kata Zaki dengan nada serius.
"Masalah kayak gini nggak bisa diselesaikan dengan ngediemin."
"Terserah lo," balas Arga dingin. "Tapi gue nggak mau jadi bagian dari cerita mereka."
Aryani mencoba membujuk. "Lo tahu, Ga, Nadira nggak pernah bermaksud nyakitin lo. Kalau lo bener-bener temen, lo bakal ngerti posisi dia."
Namun, Arga tetap keras kepala. "Gue butuh waktu," katanya singkat sebelum meninggalkan pertemuan itu.
Nadira merasa bersalah, tapi Arya selalu ada di sisinya, memberikan dukungan. "Lo nggak bisa maksa Arga buat terima kenyataan sekarang. Kasih dia ruang. Tapi lo juga harus fokus sama tujuan lo di sini."
Kata-kata Arya membangkitkan semangat Nadira. Dia memutuskan untuk tetap menjalani hari-harinya dengan penuh semangat, meski bayangan Arga yang terluka terus menghantui.
Sementara itu, Arga perlahan mulai menemukan jalannya sendiri.
Dia mengikuti berbagai kompetisi, membuat inovasi, dan membangun koneksi dengan mahasiswa lain. Meski masih ada luka, dia berusaha menunjukkan bahwa dia bisa sukses, bahkan ketika hatinya belum sepenuhnya pulih.
Waktu terus berlalu. Memasuki semester kedua di universitas, Nadira dan Arga semakin menonjol di bidang teknologi.
Persaingan sehat di antara mereka menjadi pembicaraan di kampus. Keduanya sering beradu ide dalam kompetisi dan proyek, memamerkan kecerdasan dan ambisi masing-masing. Meski hubungan mereka belum sepenuhnya pulih, ada penghormatan diam-diam yang mulai tumbuh kembali.
Namun, ada sesuatu yang Nadira tak sadari. Di luar persaingan profesional dan hubungan pribadi yang kompleks, Arya memiliki sisi gelap yang perlahan mulai menyeruak.
Arya membangun perusahaan kecil bernama Fopuveria, sebuah startup teknologi yang fokus pada inovasi perangkat lunak untuk manajemen data. Ia memimpin proyek tersebut dengan bantuan keuangan dari seorang wanita bernama Clara, yang ternyata adalah selingkuhannya. Arya merahasiakan semuanya dari Nadira, bahkan keberadaan perusahaan itu.
Clara adalah seorang pengusaha muda yang ambisius, dengan pandangan hidup yang pragmatis dan penuh perhitungan.
Meski Arya tahu hubungannya dengan Clara adalah sesuatu yang salah, dia tetap terjebak dalam janji-janji Clara yang menawarkan dukungan finansial besar untuk Fopuveria.
"Aku cuma mau kamu fokus ke proyek ini. Dan kalau kita berhasil, masa depan kamu bakal cerah," kata Clara suatu hari saat mereka bertemu di kafe kecil dekat kampus. Arya hanya mengangguk, membiarkan dirinya terseret lebih jauh.
Di sebuah sore cerah, Nadira memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kampus setelah selesai mengerjakan tugas.
Langkahnya berhenti di sebuah sudut taman ketika ia melihat Arya duduk di bangku bersama seorang wanita. Dari kejauhan, Nadira mengenali Arya dan wanita itu sedang tertawa bersama.
Tapi ada yang berbeda. Cara Arya menyentuh tangan wanita itu, cara mereka berbicara dengan mesra, semua terasa seperti tusukan di hati Nadira.
Perlahan, ia mendekat, berusaha memastikan apa yang dilihatnya.
"Arya ?" panggil Nadira dengan suara bergetar.
Arya dan Clara terkejut. Wajah Arya memucat. "Nad... ini nggak seperti yang kamu pikirin."
Nadira menatapnya dengan mata penuh luka. "Nggak seperti yang aku pikirin ? Jadi lo ngelakuin ini di belakang gue?"
Clara memilih bangkit dan pergi, meninggalkan mereka berdua.
Arya mencoba mendekati Nadira, tapi dia mundur. "Lo tahu apa yang paling nyakitin, Rya ? Bukan karena lo selingkuh, tapi karena lo nggak percaya sama gue. Lo bahkan nggak jujur sama gue !"
"Aku bisa jelasin semuanya !" Arya memohon.
"Jelasin apa ? Bahwa lo pacaran sama gue sambil main hati sama orang lain ? Atau tentang hal yang lo sembunyiin dari gue ?" Nadira mengusap air mata yang mulai mengalir.
Arya terdiam, tak bisa menjawab. "Gue nggak mau denger penjelasan lo sekarang," kata Nadira sebelum berjalan pergi, meninggalkan Arya yang terpaku di tempat.
Hari-hari berikutnya penuh kekosongan bagi Nadira. Dia kehilangan fokus di kelas, bahkan mulai menghindari Arya.
Arya, di sisi lain, berusaha mencari cara untuk memperbaiki kesalahan, tapi setiap pesan dan panggilannya tak mendapat jawaban.
Sementara itu, sahabat-sahabat Nadira — Aryani, Reza, dan Zaki — selalu ada untuk mendukungnya.
"Dira, lo nggak boleh tenggelam kayak gini," kata Aryani suatu malam. "Gue tahu lo sakit hati, tapi lo harus ingat siapa lo. Lo bukan orang yang gampang kalah sama masalah kayak gini."
Reza menambahkan, "Gue ngerti, ini berat banget buat lo. Tapi kalau lo masih peduli sama Arya, lo harus kasih dia kesempatan buat bicara. Kalau nggak, lo bakal terus-terusan nyimpen luka ini sendirian."
Nadira merenungkan kata-kata sahabatnya.
Malam itu, dia memutuskan untuk menemui Arya, bukan karena ingin menyerah, tapi karena ingin mencari kejelasan.
Di sebuah ruang kecil di perpustakaan kampus, Nadira akhirnya mengajak Arya bertemu.
Wajah Arya tampak lelah, seperti seseorang yang telah menanggung beban berat selama berminggu-minggu.
"Gue mau ngomong, tapi kali ini gue yang bakal banyak ngomong. Lo cuma dengerin," ujar Nadira tegas.
Arya mengangguk pelan.
"Gue nggak bisa ngerti kenapa lo nyakitin gue kayak gini. Gue udah percaya sama lo, Ra. Gue udah ngasih waktu dan ruang buat kita berdua berkembang. Tapi lo malah milih buat ngancurin semuanya."
Arya menunduk. "Gue tahu gue salah, Nad. Gue nggak akan nyari alasan buat ngebela diri gue. Gue cuma mau minta maaf."
"Apa itu cukup ?" Nadira menatapnya tajam. "Maaf aja nggak akan ngerubah apa-apa, Arya. Tapi kalau lo bener-bener mau berubah, lo harus buktiin itu, bukan cuma lewat kata-kata."
Arya mengangguk lagi, kali ini dengan lebih serius. "Gue bakal buktiin, Nad. Gue bakal putusin hubungan sama Clara Dan gue bakal ngelakuin apapun buat ngembaliin kepercayaan lo."
"Gue nggak butuh lo ngomong sekarang," kata Nadira. "Bukti itu yang bakal gue lihat."
Nadira bangkit, bersiap pergi.
Tapi sebelum dia melangkah, dia berkata, "Gue tahu gue nggak sempurna, Rya. Tapi kalau kita mau jalan bareng lagi, gue cuma mau kita nggak bawa ego di antara kita. Kalau lo setuju, kita coba lagi. Kalau nggak, lebih baik kita selesai sampai di sini."
Arya menatap Nadira dengan mata yang penuh penyesalan. "Okay, Gue setuju."
Nadira baru saja selesai berbicara dengan Arya
Meski masih tersisa keraguan, ada secercah harapan yang membuatnya percaya bahwa Arya benar-benar ingin memperbaiki semuanya.
Namun, langkahnya terhenti ketika suara langkah sepatu hak tinggi terdengar mendekat.
Clara dengan gaun anggun berwarna merah.
Wajahnya penuh percaya diri. Nadira hanya bisa berdiri mematung, sementara Arya tampak terkejut melihat kedatangan wanita itu.
"Arya," suara Clara terdengar lembut namun menusuk. "Aku cuma mau ingetin satu hal."
Sebelum Arya sempat bereaksi, Clara mendekatinya. Dengan satu gerakan cepat, Clara menarik kerah Arya dan mencium bibirnya. Ciuman itu dalam, seperti ingin menegaskan sesuatu yang Nadira tak pernah tahu.
Nadira terpaku. Dadanya terasa sesak, seakan dunia seketika berhenti berputar.
Air mata mulai mengalir tanpa ia sadari. Saat Clara melepaskan ciuman itu, ia tersenyum manis pada Arya.
"Ingat janjimu, Arya," katanya dengan nada lembut tapi penuh ancaman. "Kamu bilang kamu akan menikahiku."
Mata Arya membelalak, bingung dan tak percaya. Namun, sebelum ia sempat berbicara, suara langkah Nadira yang berlari pergi memecah keheningan.
"Nad! Tunggu!" Arya langsung mengejarnya, meninggalkan Clara yang tersenyum puas di tempat.
Arya berlari menyusul Nadira yang sudah jauh lebih dulu. Taman kampus berubah menjadi labirin yang membuatnya semakin sulit mengejar. Ketika akhirnya ia melihat Nadira di trotoar dekat jalan utama, ia mendekat dan menarik pergelangan tangannya.
"Nad, dengerin gue dulu!" Arya setengah terengah.
Nadira menoleh dengan wajah penuh air mata. "Dengerin lo? Buat apa? Gue udah liat semuanya, Arya! Gue udah cukup bodoh buat percaya lo bakal berubah!"
"Itu nggak kayak yang lo pikirin!" Arya mencoba menjelaskan. "Clara cuma—"
"Cuma apa? Cuma ngingetin lo soal janji nikah ?!" Nadira memotong dengan suara tinggi. "Lo pikir gue bego? Lo pikir gue nggak ngerti apa yang selama ini lo sembunyiin?!"
Arya mencoba mendekat, tapi Nadira mundur. "Lo nggak ngerti, Nad. Gue emang salah karena pernah masuk ke hidup Clara. Tapi gue nggak pernah janji buat nikahin dia. Dia cuma..." Arya berhenti, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Dia cuma ancaman masa lalu gue."
"Gue nggak peduli masa lalu lo, Arya. Yang gue peduliin adalah lo terus-terusan bikin gue ngerasa nggak cukup buat lo. Apa yang salah sama gue? Kenapa lo nggak pernah berhenti ngecewain gue?"
Arya menatap Nadira dengan ekspresi penuh rasa bersalah. "Lo nggak pernah salah, Nad. Gue yang salah. Gue terlalu takut kehilangan semuanya. Tapi yang paling gue takutin sekarang adalah kehilangan lo."
Nadira hanya menggeleng, tidak percaya lagi dengan kata-kata Arya. Sebuah taksi online berhenti tepat di depan mereka.
"Aku udah selesai, Ra," Nadira berkata pelan sambil masuk ke dalam mobil. Arya mencoba menahan pintu, tapi Nadira menghindar. "Jangan bikin ini lebih sulit."
Taksi itu melaju pergi, meninggalkan Arya berdiri sendiri di pinggir jalan dengan perasaan hancur.
Nadira sampai di apartemennya dengan mata lembam. Ia membuka pintu dengan tangan gemetar, lalu melemparkan tasnya ke sofa sebelum langsung menuju kamar mandi. Ia menatap wajahnya di cermin, mencoba menemukan dirinya sendiri di balik air mata yang terus mengalir.
"Lo kenapa, Nad?" ia bertanya pada pantulan dirinya sendiri. "Kenapa lo selalu kasih kesempatan buat orang yang nggak layak ?"
Bayangan ciuman Clara dan Arya terus terulang di kepalanya. Nadira merasa marah, tapi juga putus asa. Ia mencintai Arya, tapi cinta itu terasa seperti pedang bermata dua yang terus melukai dirinya sendiri.
Nadira berjalan keluar kamar mandi dan duduk di lantai ruang tamu. Pikirannya penuh dengan pertanyaan. Apakah semua ini salahnya karena terlalu percaya ? Apakah Arya benar-benar mencintainya ? Dan jika iya, kenapa Arya terus membuatnya merasa kecil dan tidak berharga ?
Ia membuka ponselnya, melihat nama Arya yang terus mencoba menelepon. Nadira hanya menatap layar itu tanpa niat untuk menjawab. Ia menutup matanya, berharap semua ini hanya mimpi buruk.
Malam itu, apartemen Arya terasa sunyi. Ethan dan Liam, dua teman satu apartemennya, sudah tertidur di kamar masing-masing.
Arya sedang duduk di sofa ruang tamu, menggulir ponselnya tanpa tujuan. Pikirannya masih kacau, terjebak antara kesalahan masa lalu dan usaha memperbaiki masa depan.
Namun, ketenangan itu pecah ketika terdengar bunyi ketukan lembut di pintu.
Arya mengerutkan dahi. Siapa yang datang malam-malam begini? Dengan langkah ragu, ia membuka pintu.
Clara berdiri di depan. Sebelum Arya sempat berkata apa-apa, Clara langsung memeluknya erat.
"Clara, lo ngapain?" Arya langsung mencengkal bahunya, menolak pelukan itu.
Clara mendesah pelan, menatap Arya dengan mata memohon. "Arya, aku nggak peduli kalau aku harus jadi yang kedua. Aku cuma mau ada di hidup kamu."
Sebelum Arya sempat menjawab, suara pintu kamar Ethan terbuka.
Ethan muncul dengan rambut acak-acakan, diikuti Liam yang masih setengah sadar.
"Dude, what the hell is going on?" Liam bertanya sambil menggaruk kepalanya.
Arya menghela napas panjang. "Nggak ada apa-apa. Clara cuma... dia salah tempat."
Ethan mengangkat alis, menyadari ketegangan di ruangan itu. Dengan nada menggoda, ia berkata, "Well, kalau dia salah tempat, aku bisa aja jadi tuan rumah yang baik."
Clara menatap Ethan tajam, matanya menyipit penuh amarah. "Shut up, Ethan," katanya dingin. Ethan tertawa kecil,
"Clara," Arya berkata dengan tegas, "gue nggak bisa terus-terusan kayak gini. Gue udah punya Nadira. Lo tahu itu."
Clara menyilangkan tangan di depan dada. "Aku tahu. Tapi aku juga tahu kamu nggak bisa ngelupain aku begitu aja. Semua kenangan kita..."
Arya menatapnya dengan frustrasi. "Gue punya kenangan yang lebih berarti sama Nadira. Lo tau nggak, dia pertama kali bilang suka sama gue di pantai? Itu momen yang nggak bakal pernah gue lupain."
Ethan dan Liam terdiam, memperhatikan dari sudut ruangan. Arya melanjutkan, suaranya melembut. "Dia yang selalu percaya sama gue, bahkan di saat gue sendiri nggak yakin sama diri gue. Dari SMA sampai sekarang, dia ada buat gue. Gue nggak bakal ngorbanin dia lagi."
Clara masih berdiri di tempatnya, rahangnya mengeras. Tapi sebelum dia sempat membalas, suara notifikasi dari ponsel Arya memecah suasana. Nama Nadira muncul di layar.
Arya menatap layar itu sejenak, lalu tanpa berkata apa-apa, ia berjalan keluar dari apartemen, meninggalkan Clara, Ethan, dan Liam.
Arya menemukan sudut sepi di taman dekat apartemennya. Ia menarik napas dalam sebelum menjawab panggilan video itu. Wajah Nadira muncul di layar, terlihat lelah tapi tetap cantik dengan rambut yang berantakan.
"Hai," suara Nadira terdengar pelan.
"Hai," Arya menjawab sambil tersenyum kecil. "Lo nggak tidur?"
"Gue nggak bisa tidur. Pikiran gue masih... campur aduk."
Arya mengangguk, memahami apa yang dirasakan Nadira. "Gue ngerti. Gue bener-bener minta maaf, Nad. Gue tau gue udah nyakitin lo berkali-kali."
Nadira terdiam sejenak, seperti sedang mencari kata-kata yang tepat. "Gue nggak bilang gue udah sepenuhnya lupa sama apa yang lo lakuin, Ra. Tapi gue nggak mau hubungan kita selesai gitu aja. Gue mau kita coba lagi, tapi kali ini lo harus bener-bener nunjukin kalau lo pantas."
Arya menundukkan kepala, merasakan kelegaan sekaligus tekanan yang besar. "Gue janji, Nad. Gue bakal lakuin apa aja buat buktiin itu."
Nadira menghela napas, matanya terlihat sedikit lebih tenang. "Tapi jangan bikin gue nyesel kasih lo kesempatan, Arya."
"Gue nggak akan," jawab Arya tegas.
Ada jeda dalam percakapan mereka, tapi tidak terasa canggung. Nadira mengusap wajahnya, lalu tersenyum kecil. "By the way, rambut gue parah banget ya sekarang?"
Arya tertawa pelan. "Lumayan parah. Kayak kelinci abis kebangun tidur."
"Kurang ajar lo!" Nadira tertawa kecil, tapi tawa itu membuat Arya merasa sedikit lebih dekat dengannya.
Beberapa menit berlalu dengan obrolan ringan. Hingga akhirnya, suara Nadira mulai melemah. "Kayaknya gue ngantuk," katanya sambil menguap kecil.
"Tidur aja," Arya berkata lembut. "Gue di sini kok."
Layar ponsel menunjukkan Nadira yang perlahan tertidur dengan posisi kepala bersandar di bantal. Wajahnya terlihat damai, meski ada bekas air mata di pipinya. Arya menatapnya lama, mencoba mengingat kembali semua hal yang hampir ia hancurkan.
"Gue nggak akan ngecewain lo lagi, Nad," bisiknya pelan.
Setelah beberapa detik, Arya mengakhiri panggilan itu.
Waktu seolah berlalu sangat cepat.
Hubungan Nadira dan Arya perlahan membaik dan tumbuh kembali, kali ini lebih kuat dan penuh dengan usaha untuk saling memahami. Mereka belajar untuk menyembuhkan luka masing-masing, mengganti ego dengan pengertian, dan menggantikan rasa cemas dengan keyakinan.
Di setiap momen kecil, Nadira selalu menunjukkan caranya mencintai Arya. Mulai dari membawakan kopi saat Arya sibuk mengerjakan proyeknya hingga mengingatkan Arya untuk istirahat di tengah malam. Arya pun tak kalah perhatian, ia sering memberikan kejutan kecil seperti bunga di pagi hari atau memasak untuk Nadira, meski rasa masakannya sering kali membuat Nadira tertawa.
Namun, di balik kebahagiaan itu, kabar tentang Arga yang pindah universitas sejak S2 masih menyisakan tanda tanya bagi Nadira. Tidak ada kabar lebih lanjut, hanya desas-desus bahwa Arga memilih menjauh sepenuhnya untuk fokus pada dirinya sendiri.
Di bawah langit sore yang mulai berubah warna, Nadira dan Arya duduk di bangku taman yang sudah menjadi tempat favorit mereka sejak dulu. Taman ini sederhana, tidak terlalu ramai, tapi selalu memberi kesan hangat dan nyaman. Angin sore berhembus pelan, membuat dedaunan bergoyang lembut.
"Ra," panggil Nadira tiba-tiba. Suaranya serius, tapi tidak tegang.
"Hm?" Arya menoleh sambil tersenyum kecil, tangannya masih memegang gelas kopi dingin.
"Gue udah mikir lama," katanya, menatap lurus ke depan. "Setelah gue selesai ujian nanti, gue mau langsung menikah."
Arya terdiam. Ia tidak mengira Nadira akan mengatakannya secepat ini. Bukan karena ia tidak pernah memikirkan masa depan mereka, tapi mendengar Nadira mengungkapkannya dengan begitu yakin membuatnya tertegun.
"Menikah ?" Arya mengulang kata itu pelan, mencoba mencerna sepenuhnya.
"Iya, Arya." Nadira menoleh padanya, kali ini menatap matanya langsung. "Gue nggak mau nunda lagi. Gue mau kita nikah, dan gue juga mau punya anak setelah itu."
Ada keheningan sesaat di antara mereka. Nadira tetap menatap Arya, menunggu jawaban, sementara Arya terlihat sedikit bingung.
"Nad..." Arya memulai, tapi ia tidak tahu harus berkata apa.
"Gue nggak minta jawaban sekarang," kata Nadira sambil menghela napas, "tapi gue harap lo mikirinnya dengan serius. Gue nggak main-main soal ini."
Arya mengangguk pelan, menatap wajah Nadira yang serius namun penuh harapan. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-katanya tertahan. Dalam diamnya, ia hanya bisa berpikir tentang semua yang telah mereka lalui—kesalahan, perbaikan, dan janji-janji yang telah ia buat.
Tiba-tiba, Nadira mendekatkan wajahnya. Arya tidak sempat bereaksi ketika bibir Nadira menyentuh bibirnya. Ciuman itu tidak hanya sekadar sentuhan, tapi dalam, penuh rasa, seperti Nadira sedang menuangkan seluruh perasaannya ke dalamnya.
Arya membalas ciuman itu perlahan, tangannya secara refleks menyentuh pipi Nadira. Mereka berdua terhanyut dalam momen itu, seperti waktu berhenti di sekitar mereka. Nadira memperdalam ciumannya, bibir mereka bergerak seirama, lidah mereka saling bertemu, menciptakan keintiman yang mendalam.
Mereka tidak peduli dengan dunia di sekitar mereka. Hanya ada mereka berdua, di bawah langit senja yang perlahan berubah menjadi gelap.
Sebuah notifikasi muncul di ponsel Nadira. "GOLEBA akan menjemput dalam 5 menit," tulis pesan itu. Nadira menarik diri perlahan dari ciuman mereka, napasnya masih sedikit tersengal. Ia menatap Arya dengan senyum kecil.
"Gue harus pergi," katanya sambil merapikan rambutnya.
Arya hanya mengangguk, masih dalam diam. Nadira berdiri, mengambil tasnya, lalu menatap Arya sekali lagi. "Gue tunggu jawaban lo, Arya."
Arya tersenyum tipis. "Hati-hati di jalan, Nad."
Nadira mengangguk, lalu berjalan menjauh. Arya hanya bisa melihat punggungnya yang semakin kecil di kejauhan. Hatinya dipenuhi dengan berbagai perasaan—senang, takut, dan bingung sekaligus.
Ketika Nadira akhirnya masuk ke mobil GOLEBA yang menjemputnya, Arya tetap duduk di bangku taman itu, memandangi langit yang sekarang sudah gelap.
Saat Semester Akhir Dan Ujian Skripsi Universitas Yang Panjang Telah Berakhir, Ruang aula universitas di Irlandia malam itu dipenuhi sorak-sorai dan tepuk tangan.
Ratusan mahasiswa, keluarga, dan dosen memenuhi kursi-kursi yang berjajar rapi. Sorotan lampu panggung berwarna keemasan menyinari podium tempat rektor berdiri, tersenyum penuh kebanggaan kepada para lulusan terbaik tahun itu.
"Nadira ****," suara rektor menggema, diiringi tepuk tangan riuh.
Nadira melangkah dengan anggun ke atas panggung, mengenakan toga biru tua dengan selempang penghargaan yang melingkar di dadanya. Di layar besar, terpampang angka yang hampir mustahil: IPK 5.00—sebuah pencapaian yang membuat seluruh aula berdecak kagum.
"Nadira adalah mahasiswa pertama dalam sejarah universitas ini yang meraih nilai sempurna sepanjang masa studi," rektor berkata sambil menyerahkan plakat emas. "Dedikasi, kerja keras, dan kecerdasannya adalah inspirasi bagi kita semua."
Tepuk tangan semakin menggema. Nadira tersenyum lebar, matanya sedikit berkaca-kaca. Ia membungkuk hormat sebelum mengambil mikrofon.
"Terima kasih atas semua dukungan dari dosen, teman-teman, dan terutama keluarga saya. Pencapaian ini bukan hanya milik saya, tapi juga milik orang-orang yang selalu percaya pada saya," katanya, suaranya sedikit gemetar.
Di deretan kursi mahasiswa, Arya menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan senyum bangga. Dengan IPK 4.5, ia tahu dirinya juga termasuk yang terbaik, meski jauh dibandingkan Nadira.
"Damn, Nadira's unstoppable," gumam Ethan sambil bersiul pelan.
"Ya think? She's practically superhuman," tambah Liam dengan nada kagum.
Saat acara selesai, Ethan dan Liam segera menghampiri Nadira, masing-masing membawa bunga. "Congrats, Queen Nadira!" seru Ethan sambil menyerahkan buket bunga mawar putih.
"Lo bikin gue malu, Nad. Lo kayak dewi pengetahuan," Liam menambahkan sambil mengangguk hormat.
Nadira tertawa kecil, menerima bunga-bunga itu dengan senyum lebar. "Thanks, guys. Gue cuma manusia biasa kok, serius."
"Yeah, right. Kalau lo manusia biasa, kita apa? Alien?" Ethan menggeleng sambil tertawa.
Arya mendekat, menepuk pundak Nadira. "Gue bangga sama lo, Nad. Lo emang luar biasa."
Nadira menatapnya, mata mereka bertemu sejenak. "Gue juga bangga sama lo, Ra. Kita berhasil."
Beberapa minggu setelah perayaan itu, Nadira dan Arya akhirnya kembali ke Jakarta. Mereka membawa koper penuh dengan kenangan dan harapan baru. Meski bahagia bisa pulang, Nadira tahu tantangan berikutnya jauh lebih berat: meminta restu kepada orang tua Arya untuk menikah.
Di suatu siang yang panas, Nadira berdiri di depan rumah keluarga Arya dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia mengenakan kebaya sederhana berwarna pastel, rambutnya disanggul rapi. Arya di sampingnya, mencoba menenangkan.
"Lo yakin bisa?" Arya bertanya pelan.
Nadira mengangguk, meski hatinya berdebar kencang. "Gue nggak bakal mundur, Ra."
Ketika pintu rumah dibuka, Nadira disambut oleh ibu Arya yang menatapnya dengan tatapan lembut tapi penuh wibawa. Nadira membungkuk sopan, memperkenalkan diri.
Di dalam ruang tamu yang hangat, Nadira mengutarakan maksudnya dengan nada serius namun penuh hormat. Ia menjelaskan niatnya untuk menikahi Arya, memastikan bahwa ia akan mendukung Arya dalam setiap langkah hidup mereka. Namun, ibu Arya terlihat diam, hanya mendengarkan tanpa banyak komentar.
Setelah berbicara cukup lama, Nadira akhirnya berpamitan. Ia merasa lega, meski tidak sepenuhnya yakin dengan hasilnya.
Setibanya di rumah, Nadira langsung membuka pintu dan berjalan ke kamarnya tanpa sepatah kata.
Ia melepas kebayanya dengan asal, lalu menjatuhkan diri ke atas kasur dengan napas panjang.
Ibunya, yang sedang merapikan ruang tengah, melihat putrinya masuk tanpa salam.
Ia hanya tersenyum kecil, lalu mengintip dari balik pintu kamar Nadira.
Nadira menatap langit-langit kamarnya, matanya berat tapi pikirannya penuh. Ia tahu perjuangannya belum selesai. Tapi di sisi lain, ada rasa lega karena ia sudah melewati langkah pertama.
"Gimana tadi?" tanya ibunya dari balik pintu.
Nadira berguling, menatap pintu dengan mata setengah tertutup. "Capek, Bu."
Ibunya hanya berdehem kecil sambil tersenyum. "Istirahat dulu. Biar besok lo punya tenaga buat mikir langkah selanjutnya."
Nadira mengangguk lemah, lalu memejamkan matanya dan tidur.
Hari itu akhirnya tiba.
Persetujuan atas lamaran Nadira menjadi kabar bahagia yang menggema di kedua keluarga. Meski prosesnya panjang dan penuh perjuangan, terutama dengan restu dari orang tua Arya, semuanya terbayar ketika ibu Arya akhirnya berkata, "Kami setuju. Kami percaya kamu adalah pasangan yang tepat untuk Arya."
Nadira hampir menangis mendengar itu. Ia menggenggam tangan Arya erat di ruang tamu keluarga, senyumnya tak henti-henti merekah. Arya, yang biasanya pandai berkata-kata, hanya bisa mengangguk dengan mata berkaca-kaca.
Rumah keluarga Nadira penuh dengan keramaian dan tawa di hari pernikahan mereka. Semua orang, dari kerabat dekat hingga teman-teman kuliah, hadir untuk menyaksikan momen istimewa itu. Nadira mengenakan kebaya putih klasik dengan detail bordir emas yang membuatnya terlihat anggun dan memukau. Arya, dengan jas hitam rapi dan senyum yang tak pernah luntur, terlihat lebih dewasa dari biasanya.
Suasana semakin hangat ketika mobil Porsche berwarna hitam legam meluncur masuk ke halaman rumah. Orang tua Arya turun dari mobil dengan pakaian formal yang elegan. Kehadiran mereka langsung menarik perhatian para tamu.
"Mantap, Rya. Orang tua lo stylish banget," bisik Dika yang duduk di barisan tamu undangan, membuat Arya tersenyum kecil.
Sesi akad nikah berlangsung khidmat. Arya mengucapkan ijab kabul dengan suara lantang, diiringi tepuk tangan dan tawa bahagia dari semua yang hadir. Nadira menunduk malu-malu, tapi hatinya terasa penuh—ini adalah mimpi yang akhirnya menjadi nyata.
Saat resepsi, Ethan dan Liam membuat suasana lebih meriah dengan pidato mereka yang penuh canda. "Gue nggak nyangka Arya akhirnya bisa dapetin cewek secantik Nadira," kata Ethan, membuat semua tamu tertawa. Liam menambahkan, "Nadira, lo hebat banget. Ngurus Arya kayak ngurus anak kecil, pasti susah banget."
Beberapa minggu setelah pernikahan, Arya dan Nadira pindah ke rumah baru yang Nadira beli dengan tabungannya sendiri. Rumah itu sederhana tapi nyaman, dengan taman kecil di depan yang dipenuhi bunga favorit Nadira—mawar putih.
"Gue nggak percaya lo beli rumah ini sendirian," kata Arya sambil melirik interior rumah yang modern dan minimalis.
Nadira hanya tersenyum sambil memeluk Arya dari belakang. "Ini buat kita, Ra. Gue pengen kita punya tempat yang bisa kita bangun bareng-bareng, dari awal."
Mereka menghabiskan hari-hari pertama di rumah baru dengan penuh semangat. Arya memasang rak buku di ruang tamu, sementara Nadira sibuk menata dapur. Mereka tertawa bersama setiap kali ada kesalahan kecil, seperti ketika Arya salah pasang tirai atau Nadira menjatuhkan piring.
Dua bulan setelah mereka pindah, Nadira mulai merasa ada yang berbeda dengan tubuhnya. Ia sering merasa lelah, mual di pagi hari, dan nafsu makannya tiba-tiba berubah. Suatu pagi, ia memutuskan untuk membeli test pack.
Ketika garis kedua muncul di alat uji kehamilan itu, Nadira tertegun. "Ya ampun..." ia bergumam, lalu tersenyum lebar sambil memegang perutnya.
Arya, yang sedang memasak di dapur, mendengar langkah cepat Nadira menuju ke arahnya. "Ra!" Nadira memanggil dengan antusias.
"Ada apa?" Arya menoleh, spatula masih di tangannya.
Nadira menunjukkan test pack itu dengan mata berbinar. "Kita bakal jadi orang tua!"
Arya terdiam sejenak, seolah mencoba memastikan bahwa ini bukan mimpi. Lalu, ia tertawa kecil, meletakkan spatula, dan memeluk Nadira erat. "Serius? Nad, ini... ini luar biasa."
Mereka duduk di lantai dapur, tertawa dan menangis bahagia bersama. Arya mencium kening Nadira sambil berkata, "Gue janji bakal jadi ayah yang baik. Gue nggak sabar buat lihat anak kita."
Kehamilan Nadira membawa banyak perubahan di rumah mereka. Arya menjadi lebih protektif, memastikan Nadira tidak terlalu lelah atau stres. Ia bahkan belajar memasak makanan sehat dari video tutorial, meskipun hasilnya sering kali membuat Nadira tertawa.
"Ra, ini sup atau jus?" goda Nadira sambil memandangi panci di depan Arya.
"Lo hargain usaha gue, dong," balas Arya sambil mengerutkan dahi.
Meski begitu, Arya selalu ada di setiap pemeriksaan kehamilan.
Ia menggenggam tangan Nadira erat saat mereka mendengar detak jantung bayi mereka untuk pertama kalinya di layar USG. Momen itu membuat mereka tersadar bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai.
Di malam-malam tertentu, Arya sering berbicara dengan perut Nadira, mengobrol seolah bayi mereka bisa mendengarnya.
"Hei, ci kecil. Ini ayah, nanti Jangan bikin ibu merasa repot ya ?"
Nadira hanya bisa tersenyum sambil mengusap kepala Arya dengan lembut.