Chereads / Gadis Kelinci Ku / Chapter 12 - Kisah Masa Lalu Nadira & Arya (4)

Chapter 12 - Kisah Masa Lalu Nadira & Arya (4)

Pagi ini, Nadira terbangun dengan bunyi alarm ponsel yang menggema di kamarnya.

Matanya masih berat, Agenda klub seni menunggu, tugas sekolah bertumpuk, dan jadwal rapat untuk persiapan pameran sudah penuh dari awal pagi sampai sore.

"Ya Allah, semangat, Nadira, Hari ini harus selesai semuanya," gumamnya sambil melompat dari tempat tidur.

Setelah mandi dan sarapan cepat dengan roti bakar seadanya, Nadira langsung duduk di meja belajarnya.

Dia membuka laptop untuk menyelesaikan presentasi konsep pameran yang akan dipresentasikan ke kepala sekolah minggu depan.

Di tengah-tengah mengetik, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Aryani.

"Dir, lo udah fix tema pamerannya? Jangan lupa kita harus siapkan konsep dekorasi juga."

Nadira membalas sambil mengetik cepat, "Udah kok, Yan. Nanti gue share detailnya di grup. Lo fokus ke timeline aja, ya."

Setelah itu, Nadira bergegas ke sekolah. Dalam perjalanan, dia memikirkan bagaimana caranya memastikan semua anggota klub tetap semangat meskipun jadwal mereka makin padat.

Sampai di ruang seni, Nadira langsung disambut Reza dengan wajah panik.

"Nadira, kita ada masalah. Beberapa karya yang disiapin buat pameran ternyata ukurannya nggak sesuai sama space yang dikasih pihak sekolah," ujar Reza sambil menunjukkan sketsa layout pameran.

Nadira menghela napas panjang, mencoba tetap tenang. "Oke, kita cari solusinya. Kita bisa adjust layout-nya atau minta beberapa karya dibuat ulang. Tapi gue perlu lo dan Karin buat ngecek semua ukuran karya hari ini, ya."

Karin, yang duduk di sudut ruangan, langsung berdiri sambil mengangguk. "Siap, Dir. Tapi kalau perlu revisi besar, kita bakal kejar lembur, ya?"

"Iya, nggak ada pilihan lain," jawab Nadira sambil tersenyum tipis.

Rapat itu berjalan dengan cukup lancar, meskipun beberapa anggota sempat mengeluh soal waktu yang makin sempit.

Nadira mencoba menyemangati mereka dengan berkata, "Gue tahu ini berat, tapi kita udah sejauh ini. Kalau kita kompak, hasilnya bakal lebih dari yang kita bayangin."

Setelah rapat selesai, Nadira berlari ke kelas karena bel sudah berbunyi.

Mata pelajaran matematika sedang berlangsung, dan meskipun dia suka seni, Nadira nggak mau ketinggalan pelajaran ini.

Di tengah-tengah penjelasan guru, Nadira mencatat rumus dengan cepat sambil sesekali melirik catatan teman sebelahnya, Dinda, yang jauh lebih rapi.

"Eh, Din, boleh fotokopi catatan lo nggak nanti ?" bisik Nadira sambil tersenyum kecil.

Dinda mengangguk sambil berbisik balik, "Boleh banget, Dir. Tapi lo harus janji ngajarin gue bikin sketsa, ya."

"Deal!" jawab Nadira sambil tertawa kecil.

Waktu istirahat tiba, Nadira memilih untuk makan siang di kantin bersama Aryani. Mereka duduk di sudut ruangan sambil membahas detail pameran.

"Dir, menurut lo, kita beneran bisa nyelesain semuanya tepat waktu?" tanya Aryani dengan nada ragu.

Nadira mengangguk yakin. "Bisa, Yan. Gue tahu kita capek, tapi ini kesempatan besar buat kita semua. Lagian, hasil kerja keras nggak pernah ngecewain, kan?"

Pembicaraan mereka terus berlanjut sambil menikmati sepiring nasi goreng.

Setelah pulang sekolah, Nadira nggak langsung istirahat. Dia duduk di meja belajarnya untuk merevisi layout pameran berdasarkan hasil diskusi pagi tadi.

Di tengah-tengah revisi, ponselnya berbunyi lagi. Pesan dari Arya masuk.

"Hey, Nadira. How's your day? Everything okay with the exhibition stuff?"

Nadira tersenyum kecil membaca pesan itu. "Capek, tapi seru. Tadi ada drama soal ukuran karya, tapi udah gue handle. Kamu gimana?"

Arya membalas cepat. "Pretty hectic too, but nothing I can't handle. Keep going, Nadira. I know you'll do great."

Keesokan harinya, Pagi itu, Nadira bangun lebih awal dari biasanya.

Cahaya matahari belum sepenuhnya masuk ke kamarnya, tapi pikirannya sudah penuh dengan rencana hari ini.

"Ayo, Dir. Jangan kasih kendor," gumam Nadira sambil merapikan selimut dan melangkah ke kamar mandi.

Setelah mandi, Nadira langsung duduk di meja belajarnya. Laptop yang sejak tadi malam masih menyala, kini menampilkan daftar tugas yang harus dia selesaikan.

Pertama, dia harus menyelesaikan konsep visual untuk tema pameran. Nadira membuka file yang sudah dia kerjakan selama beberapa hari terakhir. Tapi di tengah proses, dia menyadari ada beberapa bagian yang kurang pas.

"Ya ampun, kok rasanya ini nggak cocok sama space-nya," keluhnya sambil mengusap wajah.

Dengan cepat, Nadira membuka software desainnya dan mulai mengedit ulang konsep itu. Waktu terus berjalan, dan dia hampir lupa sarapan sampai ibunya mengetuk pintu kamar.

"Nadira, kamu udah makan belum? Jangan cuma kerja terus," tegur ibunya dari balik pintu.

"Iya, Bu. Abis ini aku makan," jawab Nadira sambil buru-buru menyimpan pekerjaannya.

Sampai di sekolah, Nadira langsung menuju ruang seni. Begitu masuk, dia melihat beberapa anggota klub sudah sibuk dengan tugas masing-masing. Namun, wajah Karin terlihat kusut, sementara Reza duduk di pojok dengan ekspresi frustasi.

"Nadira, kita ada masalah lagi," ujar Karin sambil menunjukkan salah satu lukisan yang warnanya terlihat pudar.

Nadira mendekati lukisan itu dan mengamati detailnya. "Ini kenapa warnanya jadi begini? Padahal kemarin masih bagus."

"Kayaknya catnya nggak kering sempurna terus kena debu," jawab Karin dengan nada pasrah.

Nadira menarik napas panjang, mencoba tetap tenang. "Oke, nggak usah panik. Kita bisa touch up lagi. Reza, lo bisa bantu Karin? Gue mau cek karya yang lain dulu."

Reza mengangguk dan langsung bergabung dengan Karin. Nadira berjalan ke sudut ruangan, memeriksa karya lain yang sedang dalam proses.

Setelah menyelesaikan urusan klub seni sementara, Nadira langsung menuju kelas.

Hari itu ada pelajaran biologi, salah satu mata pelajaran yang membutuhkan konsentrasi tinggi.

Di tengah penjelasan guru tentang struktur sel, Nadira mencatat dengan teliti. Tapi pikirannya terus kembali ke pameran seni yang makin dekat.

"Nadira, bisa jelaskan fungsi mitokondria dalam sel?" tanya guru tiba-tiba.

Nadira terkejut sesaat, tapi langsung menjawab, "Mitokondria adalah pusat energi sel, Pak. Di situ terjadi proses respirasi seluler untuk menghasilkan ATP."

Guru mengangguk puas, sementara Nadira menarik napas lega. "Untung gue masih fokus," gumamnya pelan sambil melanjutkan mencatat.

Saat istirahat, Nadira bertemu Aryani di kantin.

Mereka duduk di meja biasa, menikmati nasi goreng dan teh manis.

"Dir, gimana progress pameran ? Semua aman ?" tanya Aryani sambil mengunyah.

Nadira menggeleng pelan. "Masih banyak yang harus dikejar. Tadi pagi ada drama lagi soal lukisan yang rusak. Tapi untungnya masih bisa di-handle."

Aryani tersenyum tipis. "Kamu tuh hebat banget, Dir. Kalau gue jadi lo, mungkin udah stress dan nyerah."

"Gue nggak punya pilihan lain, Yan. Ini bukan cuma soal pameran, tapi juga soal tanggung jawab. Gue nggak bisa ngecewain semua orang yang udah kerja keras," jawab Nadira sambil mengaduk teh manisnya.

Setelah istirahat, Nadira dan beberapa anggota klub seni menghadiri rapat dengan kepala sekolah untuk membahas detail pameran.

Di ruang rapat, Nadira mempresentasikan konsep yang sudah dia revisi tadi pagi.

"Kami ingin pameran ini nggak cuma menampilkan karya seni, tapi juga memberikan pengalaman interaktif untuk pengunjung," ujar Nadira dengan percaya diri.

Kepala sekolah mengangguk sambil mengamati file presentasi di layar.

"Konsepnya bagus, Nadira. Tapi saya harap semua ini bisa selesai sesuai jadwal. Kalau ada kendala, jangan ragu untuk diskusi dengan saya."

"Siap, Pak," jawab Nadira sambil mencatat masukan dari kepala sekolah.

Pulang sekolah, Nadira langsung duduk di meja belajarnya lagi.

Dia melanjutkan revisi dan menyusun laporan harian untuk klub seni. Ponselnya berbunyi beberapa kali, tapi dia memilih untuk fokus dulu sebelum membalas pesan-pesan itu.

Setelah semua tugas selesai, Nadira membuka ponselnya dan melihat pesan dari Arya.

"Hey, Nadira. How's your day? Capek nggak?"

Nadira tersenyum kecil sambil mengetik balasan. "Lumayan capek, tapi progress pameran berjalan lancar. Kamu gimana? Semua aman di kampus?"

Arya membalas cepat. "Aman, cuma tadi sempat kena diskorsi karena telat. Tapi gue belajar banyak dari itu."

Hari ini, Nadira bangun lebih awal dari biasanya.

Alarm di ponselnya bahkan belum berbunyi, tapi pikirannya sudah terbang ke berbagai tugas yang harus diselesaikan. Ia

"Semangat, Nadira. Lo udah sejauh ini, nggak boleh kendor sekarang," gumamnya sambil menatap pantulan dirinya di cermin.

Setelah mandi dan beres-beres, Nadira keluar kamar dengan rencana besar untuk hari itu.

Pagi itu, Nadira bangun dengan perasaan yang nggak biasa.

Alarm ponselnya berbunyi tepat pukul 5.30, tapi kali ini dia nggak merasa tergesa-gesa seperti biasanya.

Ada sesuatu di dalam dirinya yang berkata bahwa hari ini harus dimulai dengan lebih tenang dan penuh fokus.

Setelah berdoa dan menyelesaikan rutinitas pagi, Nadira duduk di depan meja belajarnya.

Ponselnya sudah penuh dengan notifikasi pesan dari grup klub seni dan teman-teman kelas.

Tapi sebelum membuka apa pun, dia memilih untuk meluangkan waktu membaca jurnal yang sudah lama dia unduh tentang seni instalasi interaktif—sesuatu yang ingin dia bawa ke pameran seni mendatang.

"Kalau gue nggak ngerti lebih dalam soal ini, mana mungkin gue bisa bawa klub seni ke level yang lebih tinggi," gumamnya sambil mencatat poin-poin penting di buku kecilnya.

Setelah sampai di sekolah, Nadira langsung menuju ruang seni. Tapi langkahnya terhenti ketika dia melihat beberapa anggota klub berkumpul di depan ruang seni dengan wajah cemas.

"Dir, ada masalah lagi," ujar Reza yang terlihat kesal.

"Apa lagi sekarang, Za ?" Nadira bertanya sambil menahan napas, mencoba tetap tenang.

Reza menunjuk sebuah kotak besar yang diletakkan di pojok ruang seni. "Beberapa properti yang baru datang ternyata salah kirim. Ini nggak sesuai dengan tema yang kita pesan."

Nadira memandangi kotak itu dengan ekspresi campur aduk. Di satu sisi, dia merasa ingin marah, tapi di sisi lain, dia tahu nggak ada gunanya menyalahkan siapa pun.

"Yaudah, kita coba lihat apa yang bisa kita manfaatin dari ini. Kalau beneran nggak ada yang cocok, gue bakal hubungin supplier sekarang juga," jawab Nadira dengan nada tegas.

Aryani, yang ikut berdiri di sana, menepuk bahu Nadira. "Dir, lo selalu punya cara buat bikin semuanya terlihat gampang, ya."

Nadira tertawa kecil. "Bukan gampang, Yan. Tapi kalau kita panik, nggak bakal ada yang kelar."

Setelah urusan klub seni selesai sementara, Nadira masuk kelas untuk mengikuti pelajaran matematika. Guru menjelaskan soal fungsi trigonometri, tapi pikiran Nadira sedikit melayang ke masalah yang belum selesai di ruang seni.

"Nadira, bisa selesaikan soal di papan tulis?" panggil guru tiba-tiba.

Nadira tersentak, tapi dengan cepat berdiri dan maju ke depan. Dengan teliti, dia mencoba menyelesaikan soal itu.

Setelah selesai menulis, guru mengangguk puas. "Jawabanmu benar, Nadira. Tapi lain kali lebih percaya diri saat menjelaskan, ya."

"Terima kasih, Bu," jawab Nadira sambil tersenyum kecil, lalu kembali ke tempat duduknya.

Saat istirahat, Nadira duduk bersama Aryani di kantin. Mereka membawa buku catatan masing-masing, membahas progres pameran sambil makan siomay.

"Dir, menurut lo kita butuh tambahan waktu buat persiapan pameran nggak?" tanya Aryani sambil mengunyah.

"Kalau gue lihat, kita udah lumayan on track. Tapi kalau ada masalah besar lagi, kita mungkin harus minta perpanjangan waktu ke kepala sekolah," jawab Nadira.

Aryani mengangguk pelan. "Gue salut sama lo, Dir. Lo selalu punya solusi buat setiap masalah."

"Ah, nggak juga. Gue cuma nggak mau ngasih alasan buat gagal," jawab Nadira sambil tersenyum kecil.

Setelah sekolah selesai, Nadira kembali ke ruang seni untuk mengecek progress anggota klub. Karin dan Reza terlihat sibuk mengatur properti yang sudah diperbaiki, sementara beberapa anggota lain mencoba membuat dekorasi tambahan dari bahan-bahan yang ada.

Nadira mendekati Karin. "Gimana, semua udah sesuai?"

Karin mengangguk. "Hampir, Dir. Tapi gue masih ragu soal warna di bagian tengah. Kayaknya terlalu mencolok."

Nadira melihat desain itu dan berpikir sejenak. "Gue setuju. Kita bisa ganti dengan warna yang lebih soft. Gue bantu lo revisi ini sekarang."

Bersama Karin, Nadira menghabiskan waktu hampir satu jam untuk menyelesaikan revisi tersebut. Saat selesai, mereka berdua merasa lega.

"Thanks, Dir. Lo emang selalu punya mata yang bagus buat detail," kata Karin sambil tersenyum.

Nadira tertawa kecil. "Sama-sama. Kalau lu nggak mulai duluan, gue juga nggak bakal ngerti apa yang salah."

Setelah pulang, Nadira langsung merebahkan diri di tempat tidur.

Tubuhnya lelah, tapi pikirannya masih terus memutar semua hal yang terjadi hari ini.

Nadira membuka ponselnya dan melihat pesan dari Arya.

"Hey, Nadira. Hari ini lancar? Gimana klub seni ?"

Nadira membalas, "Lumayan lancar. Ada masalah lagi tadi pagi, tapi akhirnya bisa diberesin. Kamu gimana ?"

Pesan Arya masuk lagi. "Capek banget, tapi gue masih belajar buat tetap tenang di tengah semua tekanan. Lo bikin gue salut banget, Dir."

Nadira tersenyum membaca pesan itu.

Setelah sarapan bersama keluarganya, Nadira langsung menuju meja belajarnya.

Agenda pertama hari ini adalah menyusun laporan perkembangan pameran seni yang akan dipresentasikan ke kepala sekolah.

Dia membuka laptop dan mulai mengetik poin-poin penting. Tapi di tengah-tengah pekerjaannya, ponselnya berbunyi. Pesan dari Aryani masuk.

"Dir, lo udah siap buat rapat sama kepala sekolah? Gue udah siapin data soal logistik, tapi kayaknya kita butuh sedikit revisi di bagian tema."

Nadira membaca pesan itu dengan cepat lalu membalas, "Iya, Yan. Gue lagi revisi laporan ini. Jangan lupa kita kumpul di ruang seni jam 9, ya."

Setelah selesai mengetik, Nadira mencetak dokumen tersebut dan memeriksa ulang setiap detailnya.

Sampai di sekolah, Nadira langsung menuju ruang seni.

Di sana, Aryani dan beberapa anggota klub seni sudah berkumpul. Mereka sibuk mempersiapkan materi untuk rapat.

"Nadira, ini aku udah cek data soal anggaran. Semua masih sesuai, tapi kita harus pastikan nggak ada pengeluaran tambahan lagi," kata Aryani sambil menyerahkan file ke Nadira.

"Bagus, Yan. Kita harus yakin semuanya rapi biar nggak ada yang miss nanti," jawab Nadira sambil membaca file itu.

Di ruang rapat, kepala sekolah menyimak presentasi Nadira dengan seksama. Nadira menjelaskan konsep pameran, jadwal pelaksanaan, hingga detail logistik.

"Kami ingin pameran ini menjadi sesuatu yang bisa menginspirasi seluruh siswa. Bukan cuma menampilkan karya seni, tapi juga membangun pengalaman yang nggak terlupakan," ujar Nadira dengan nada yakin.

Kepala sekolah mengangguk. "Saya suka ide kalian. Tapi pastikan semuanya selesai tepat waktu. Kalau ada kendala, jangan ragu untuk diskusi dengan saya."

Nadira tersenyum lega. "Siap, Pak. Kami akan berusaha semaksimal mungkin."

Setelah rapat selesai, Nadira kembali ke ruang seni.

Dia berniat mengecek progress anggota klubnya. Namun, begitu sampai di sana, dia melihat Karin dan Reza sedang berdebat.

"Karin, warna ini nggak cocok sama tema pameran!" ujar Reza sambil menunjuk sketsa di atas meja.

"Tapi ini sesuai sama arahan Nadira tadi!" balas Karin dengan nada kesal.

Nadira mendekati mereka dan mencoba menenangkan. "Oke, oke, tenang dulu. Ada apa ini?"

Karin langsung menjelaskan. "Reza bilang warna yang aku pilih terlalu gelap, tapi ini kan sesuai tema 'Perjalanan' yang lo kasih tahu."

Nadira melihat sketsa itu sejenak, lalu berkata, "Reza ada benernya soal warna, tapi Karin juga nggak salah. Gimana kalau kita cari kompromi? Lo bisa pakai warna lebih terang di beberapa bagian biar kesannya tetap harmonis."

Keduanya akhirnya setuju, dan suasana kembali tenang.

Selesai dari ruang seni, Nadira menuju kelas untuk mengikuti pelajaran. Hari itu, ada tugas kelompok yang harus diselesaikan.

Di kelas, Nadira duduk bersama Dinda, sahabat barunya yang juga anggota klub seni. Mereka mengerjakan tugas biologi bersama.

"Dir, lo nggak capek banget, ya? Gue aja udah pusing ngurus tugas ini," kata Dinda sambil tertawa kecil.

Nadira ikut tertawa. "Capek sih, Din. Tapi ya gimana, kan udah tanggung jawab. Lagian gue nggak bisa ninggalin klub seni."

Dinda tersenyum. "Lo emang inspirasi banget, Dir. Gue jadi belajar banyak dari lo."

Setelah pulang sekolah, Nadira nggak langsung istirahat. Dia memilih duduk di halaman rumah sambil membawa laptopnya. Di situ, dia menyusun laporan harian untuk klub seni dan membuat catatan tentang apa saja yang perlu diperbaiki.

Angin sore yang sejuk membantu menenangkan pikirannya. Sambil bekerja, Nadira merenung tentang perjalanan yang telah dia lalui.

"Kadang gue capek banget, tapi kalau ngeliat hasil kerja keras ini, rasanya semua terbayar," gumamnya sambil tersenyum kecil.

Pagi itu, Nadira bangun lebih awal dari biasanya.

Meski tubuhnya terasa berat karena begadang semalam menyelesaikan revisi laporan pameran seni, Nadira tahu nggak ada waktu untuk bermalas-malasan.

Agenda hari ini penuh, dari mengurus kebutuhan pameran sampai mempersiapkan materi ujian biologi.

"Dir, ini hari Jumat. Lo cuma tinggal bertahan sampai sore. Yuk, semangat," gumamnya pada diri sendiri sambil mencuci muka.

Setelah mandi, Nadira langsung membuka laptopnya. Dia mengecek ulang file yang akan dibawa ke rapat pagi ini bersama Aryani dan Reza. Tapi baru lima menit mengetik, ibunya memanggil dari dapur.

"Nadira, sarapan dulu, jangan kelamaan kerja !"

Nadira mendesah kecil sambil mematikan laptopnya. "Iya, Bu. Sebentar," sahutnya.

Di meja makan, ibunya sudah menyiapkan nasi goreng dan teh hangat.

Meski perutnya lapar, Nadira masih memikirkan bagaimana caranya menghadapi kepala sekolah nanti.

"Nadira, jangan terlalu dipikirin. Makan dulu, biar kamu kuat," ujar ibunya sambil tersenyum.

"Iya, Bu. Tapi ini banyak banget kerjaannya, he-he," jawab Nadira sambil memaksakan tawa kecil.

Setelah sarapan, Nadira langsung berangkat ke sekolah. Dia menuju ruang seni, di mana Aryani dan Reza sudah menunggunya. Begitu masuk, Reza terlihat panik sambil memegang daftar inventaris.

"Dir, kita ada masalah lagi," ujar Reza cepat.

Nadira mengangkat alis. "Apa lagi sekarang, Za ?"

"Beberapa properti yang kita pesan buat pameran belum dikirim, dan supplier bilang mereka telat karena ada masalah di gudang," jelas Reza dengan nada gelisah.

Nadira terdiam sejenak, mencoba mencari solusi. "Oke, kalau gitu, gue bakal hubungin supplier lain buat cadangan. Lo cek lagi barang apa aja yang udah ada di sini. Kita harus siapkan alternatif kalau ada yang nggak keburu nyampe."

Aryani menimpali, "Tapi Dir, kalau gitu kita butuh tambahan dana buat nyewa properti baru."

Nadira menatap Aryani dengan serius. "Gue bakal bahas ini sama kepala sekolah nanti. Kalau nggak disetujui, kita cari cara lain. Yang penting pameran ini jalan."

Meski kepalanya penuh, Nadira tetap berusaha tenang.

Di tengah-tengah masalah klub seni, Nadira tetap harus mengikuti pelajaran di kelas. Hari itu, pelajaran biologi membahas tentang genetika.

"Perhatikan baik-baik diagram ini," ujar guru sambil menunjuk papan tulis. "Ini adalah cara kerja kromosom dalam menentukan sifat genetik."

Nadira mencatat dengan cepat, meskipun pikirannya masih terpecah antara pelajaran dan masalah pameran. Saat guru memberikan pertanyaan, Nadira mencoba menjawab meski sedikit ragu.

"Genotipe itu kombinasi gen yang menentukan sifat suatu individu, kan, Bu?" tanyanya pelan.

Guru mengangguk. "Tepat, Nadira. Tapi jangan lupa, genotipe juga bisa dipengaruhi oleh faktor lingkungan."

Jawaban guru itu membuat Nadira tersenyum kecil.

Saat istirahat siang, Nadira kembali ke ruang seni untuk diskusi dengan Aryani dan Reza. Mereka mencoba menyusun rencana darurat jika properti pameran nggak datang tepat waktu.

"Kita bisa bikin dekorasi tambahan pakai bahan yang ada di sekolah," usul Aryani sambil menunjukkan sketsa desain sederhana.

Reza mengangguk setuju. "Ide bagus. Gue juga bisa bantu cari bahan-bahan murah di toko sekitar sini."

Nadira tersenyum. "Makasih banget, kalian. Kalau kita kerja sama, pasti bisa beresin ini semua."

Sore harinya, Nadira menghadiri rapat dengan kepala sekolah. Dia menjelaskan kendala yang mereka hadapi dan meminta persetujuan untuk anggaran tambahan.

"Kami butuh dana ekstra untuk menyewa properti cadangan, Pak. Kalau tidak, beberapa bagian pameran tidak bisa berjalan sesuai rencana," jelas Nadira dengan nada tegas.

Kepala sekolah mengangguk pelan. "Saya setuju untuk memberikan tambahan dana, tapi pastikan semua laporan pengeluaran tercatat dengan rapi."

Nadira merasa lega. "Terima kasih, Pak. Kami akan pastikan semuanya sesuai prosedur."

Setelah pulang, Nadira merebahkan diri di tempat tidur. Tubuhnya lelah, tapi hatinya merasa puas karena berhasil melewati hari yang penuh tantangan.

Dia membuka ponselnya untuk mengecek pesan. Ada pesan dari Arya:

"Hey, Nadira. Gimana hari ini? Semuanya lancar ?"

Nadira membalas, "Capek banget, tapi akhirnya beres. Gimana kamu ?"

Arya membalas cepat. "Sama, capek juga. Tapi kita nggak boleh nyerah, kan ?"

Hari Minggu pagi itu, Nadira bangun dengan perasaan aneh. Biasanya, hari libur adalah waktu untuk santai sejenak dari rutinitas sekolah dan tanggung jawab sebagai ketua klub seni.

Tapi pagi itu, ada sesuatu yang menarik perhatiannya—rasa penasaran akan akar keluarganya sendiri.

"Kenapa gue tiba-tiba kepikiran soal silsilah keluarga, ya?" gumam Nadira sambil duduk di depan laptopnya.

Dia membuka sebuah website resmi pemerintah Negeri Nulnuala yang memungkinkan warga menelusuri silsilah keluarga mereka secara online. Website itu terkenal karena mampu menampilkan data lengkap, dari leluhur hingga anggota keluarga terkini.

Dengan rasa penasaran yang terus tumbuh, Nadira mulai mengetik nama lengkap ayah dan ibunya di kolom pencarian. Beberapa detik kemudian, sebuah diagram pohon keluarga muncul di layar.

"Mbak, kakek buyut gue dari mana aja sih?" tanya Nadira, meski tidak ada orang lain di ruangan itu.

Dia memperhatikan satu per satu cabang di pohon keluarga itu, dari leluhurnya yang berasal dari desa kecil hingga anggota keluarga yang tersebar di berbagai kota besar.

"Astaga, ternyata gue punya nenek moyang dari luar negeri juga," ujarnya dengan mata berbinar.

Nadira terus menggali lebih dalam, menemukan fakta-fakta kecil yang sebelumnya yang nggak pernah dia ketahui.

Ternyata, salah satu pamannya dulu adalah seorang seniman terkenal di kota kecil nadira.

Fakta ini bikin Nadira makin semangat untuk mengeksplorasi sisi artistiknya sendiri.

"Kayaknya ini beneran ada di darah gue, ya," pikir Nadira sambil tersenyum kecil.

Waktu berjalan tanpa disadari, dan Nadira makin tenggelam dalam penelusurannya. Namun, di tengah malam, rasa bosan mulai muncul. Laptopnya ditutup, dan Nadira membuka aplikasi Toktoktok di ponselnya.

"Aduh, gue butuh hiburan. Kayaknya seru kalau gue coba live," gumam Nadira sambil memasang tripod kecil di meja.

Dengan pakaian yang rapi dan wajah penuh semangat, Nadira memulai sesi live. Dalam waktu singkat, penontonnya bertambah banyak. Komentarnya penuh dengan pujian dan pertanyaan dari penonton yang ingin tahu lebih banyak tentang dirinya.

"Nadira, lo cantik banget malam ini!" tulis salah satu penonton.

"Wah, Kak Nadira, ceritain dong soal klub seni di sekolah," tulis yang lain.

Nadira menjawab dengan penuh semangat, membagikan pengalamannya sebagai ketua klub seni. Tapi dia lupa waktu, dan live itu berlangsung sampai hampir tiga jam.

Keesokan paginya, alarm ponselnya berbunyi keras. Nadira terbangun dengan mata yang terasa berat, kantuk tak terkira menyerang tubuhnya. Dia melirik jam dinding dan langsung terkejut.

"Ya ampun, gue udah telat banget!" serunya sambil buru-buru bangkit dari tempat tidur.

Tanpa sarapan, Nadira berlari ke sekolah. Begitu sampai di ruang seni, dia disambut dengan wajah cemas dari Aryani dan Reza.

"Dir, lo kenapa telat banget? Kita kan ada rapat pagi ini buat bahas dekorasi utama," ujar Aryani.

Nadira hanya bisa tersenyum lemah. "Maaf banget, gue tadi kesiangan."

Saat rapat dimulai, Nadira mencoba fokus, tapi pikirannya terasa lambat karena kurang tidur. Beberapa kali dia salah menjawab pertanyaan anggota klub, bahkan lupa beberapa detail penting yang seharusnya dia catat sebelumnya.

"Dir, tadi lo bilang dekorasi utama pakai warna biru, kan?" tanya Karin.

Nadira mengangguk pelan, tapi Aryani langsung mengoreksi. "Bukan, Dir. Kita udah setuju pakai warna hijau."

"Oh, iya, maaf. Gue lupa," jawab Nadira sambil menunduk malu.

Kesalahan itu bikin Nadira merasa semakin berat, tapi dia mencoba tetap tenang.

Setelah selesai dengan urusan klub seni, Nadira masuk kelas untuk mengikuti pelajaran kimia. Tapi, kurang tidur membuatnya sulit berkonsentrasi.

"Nadira, tolong jelaskan proses ionisasi di tabel periodik," tanya guru tiba-tiba.

Nadira terdiam, mencoba mengingat materi itu. Tapi otaknya terasa kosong. "Maaf, Bu. Saya belum bisa menjawab," ujarnya pelan.

Guru hanya mengangguk dan melanjutkan pelajaran, tapi Nadira merasa kecewa pada dirinya sendiri.

Setelah pulang sekolah, Nadira merebahkan diri di tempat tidur.

Dia menatap langit-langit kamar, merenungkan semua kesalahan yang dia buat hari itu.

"Ini gara-gara gue nggak bisa atur waktu dengan baik. Kalau terus begini, gue bakal ngecewain semua orang," gumamnya.

Dia membuka ponselnya dan melihat pesan dari Arya.

"Hey, Nadira. Gimana harimu? Semuanya baik-baik aja?"

Pesan itu bikin Nadira merasa sedikit tenang. Dia membalas, "Nggak lancar banget, Arya. Gue banyak bikin kesalahan hari ini."

Arya membalas cepat. "It's okay. Everyone has bad days. Lo cuma perlu istirahat dan coba lagi besok."

Malam itu, Nadira terbangun dengan keringat membasahi wajah dan lehernya.

Matanya melirik jam dinding di kamar yang menunjukkan pukul 2.45 pagi.

Dia baru saja terbangun dari mimpi buruk yang nggak jelas, tapi cukup membuat dadanya terasa sesak.

"Apa ini? Kok gue nggak enak banget, ya," gumamnya pelan.

Merasa tubuhnya terlalu tegang, Nadira memutuskan untuk memakai baju olahraga dan keluar rumah.

Nadira mulai berlari kecil di sekitar kompleks perumahan. Udara pagi yang dingin menyapa kulitnya, tapi dia terus berlari, berharap rasa gelisahnya perlahan hilang.

Setelah sekitar 20 menit, tubuhnya mulai terasa lelah. Namun, Nadira memaksakan diri untuk melanjutkan.

"Huh.., Mungkin Sedikit lagi," gumamnya sambil terus melangkah.

Tapi tiba-tiba, rasa pusing di kepalanya mulai muncul.

Dunia di sekitarnya terasa berputar, otot kakinya mulai kram, dan sebelum nadira bisa menyadari apa yang terjadi, tubuhnya terjatuh di atas aspal kompleks

Di rumah, ibu Nadira terbangun ketika jam menunjukkan pukul 4.15 pagi.

Perasaan nggak tenang langsung menyelimuti dirinya.

Dia melangkah menuju kamar Nadira, tapi terkejut saat menemukan kamar itu kosong.

"Nadira ? Kamu di mana ?" panggil ibunya dengan nada cemas.

Tanpa membuang waktu, ibu Nadira langsung mencari ke seluruh sudut rumah, bahkan keluar menuju halaman. Hingga akhirnya, di dekat jalanan kompleks, dia melihat tubuh Nadira tergeletak.

"Nadira! Ya Allah, kenapa kamu?" teriak ibunya sambil berlari mendekat.

Dengan tangan gemetar, ibu Nadira mencoba membangunkan putrinya, tapi Nadira tidak merespon.

Sesampainya di rumah sakit, Nadira segera dibawa ke ruang pemeriksaan. Ibunya menunggu dengan perasaan gelisah di lorong rumah sakit, sambil terus memanjatkan doa agar Nadira baik-baik saja.

Setelah sekitar satu jam, seorang dokter keluar dari ruang pemeriksaan.

"Ibu Nadira?" tanya dokter dengan nada serius.

"Iya, Dok. Anak saya gimana?" tanya ibunya penuh harap.

Dokter menghela napas pelan sebelum menjawab. "Kondisi Nadira cukup serius. Dia mengalami kelelahan ekstrem, ditambah stres yang sudah berlangsung lama. Ini berdampak buruk pada tubuhnya, terutama otot dan sistem sarafnya."

Mata ibu Nadira membesar. "Apa artinya ini, Dok?"

"Artinya, Nadira harus beristirahat total untuk sementara waktu. Kalau dia terus memaksakan diri, kondisinya bisa semakin parah," jawab dokter dengan tegas.

Ketika Nadira siuman, dia melihat ibunya duduk di samping tempat tidur rumah sakit dengan mata yang sembab.

"Ibu? Kok aku di sini?" tanya Nadira dengan suara lemah.

Ibu Nadira langsung menggenggam tangan putrinya. "Kamu pingsan, Nak. Ibu nemuin kamu tergeletak di jalan. Kenapa kamu maksa diri sampai kayak gini?"

Air mata mulai mengalir di pipi Nadira. "Aku cuma... aku cuma ngerasa nggak cukup baik, Bu. Aku pengen buktiin kalau aku bisa ngelakuin semuanya."

Ibu Nadira menggeleng pelan. "Nadira, nggak ada yang minta kamu jadi sempurna. Kamu nggak perlu memaksakan diri sampai tubuh kamu nggak kuat lagi. Yang penting itu kamu sehat dan bahagia."

Kata-kata itu membuat Nadira terdiam.

Saat Nadira sedang merenung, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Arya masuk.

"Nadira, kamu di mana? Aku dengar dari Aryani kamu sekarang lagi sakit. Kamu baik-baik aja, kan?"

Nadira mengetik balasan dengan tangan gemetar. "Aku di rumah sakit, Arya. Tapi aku baik-baik aja. Cuma capek karena terlalu banyak mikir."

Balasan Arya datang dengan cepat. "Lo nggak boleh maksa diri kayak gini. Gue tahu lo hebat, tapi kalau lo terus begini, lo bakal kehilangan kesehatan lo. Gue cuma mau lo inget, lo nggak sendiri. Ada banyak orang yang peduli sama lo."

Pesan itu membuat hati Nadira terasa hangat. Dia tersenyum kecil meski air matanya masih mengalir.

Malam itu, Nadira merenung di tempat tidurnya. Dia mulai menyadari bahwa dia nggak bisa terus-terusan memaksakan diri.

"Gue harus belajar buat lebih sayang sama diri gue sendiri. Kalau gue rusak, apa gunanya semua pencapaian gue?" pikirnya.

Lalu nadira memejamkan mata.

Pagi itu, Nadira memutuskan untu berangkat lebih awal ke sekolah.

Udara pagi masih sejuk, dan langit mulai berubah warna dari gelap menjadi keemasan. Dia menarik napas panjang, mencoba menikmati suasana.

"Semoga hari ini lebih baik," gumamnya sambil melangkah masuk ke gerbang sekolah yang masih sepi.

Hanya ada petugas satpam yang sedang berjaga di posnya. Ketika melihat Nadira, satpam itu tersenyum dan menyapanya.

"Pagi-pagi udah datang, Nadira. Kemarin kamu ke mana? Kok nggak masuk?" tanyanya dengan nada ramah.

Nadira berhenti sejenak, tersenyum kecil, lalu menjawab jujur. "Kemarin saya sakit, Pak. Sampai harus dibawa ke rumah sakit."

Satpam itu terkejut. "Aduh, semoga kamu cepet sembuh ya. Jangan dipaksain kerja terus. Anak muda kadang suka lupa jaga kesehatan."

Nadira mengangguk pelan. "Iya, Pak. Sekarang saya belajar buat lebih jaga diri."

Sambil melangkah menuju ruang seni, Nadira merasa sedikit lebih tenang setelah berbicara dengan satpam tadi. Tapi ketenangannya nggak berlangsung lama ketika tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dari belakang.

"NADIRA!" suara Aryani memecah keheningan.

Nadira tersentak kaget, lalu menoleh. "Astaga, Yan! Ngagetin banget sih!"

Aryani tertawa kecil. "Maaf, Dir. Gue nggak tahan liat lo serius banget jalan sendirian. Eh, kemarin lo ke mana? Gue cari-cari nggak ada."

Nadira menarik napas panjang sebelum menjawab. "Gue masuk rumah sakit kemarin, Yan. Gara-gara kecapekan."

Ekspresi Aryani berubah khawatir. "Ya ampun, kenapa nggak ngabarin? Gue jadi nggak enak."

Nadira tersenyum kecil. "Santai aja, Yan. Gue sekarang udah mendingan. Malah gue jadi belajar buat nggak terlalu maksa diri."

Sambil ngobrol, mereka berdua berjalan ke ruang klub seni.

Begitu sampai di ruang klub seni, Nadira langsung menyalakan laptopnya. Ada beberapa tugas yang harus dia revisi, termasuk laporan progress pameran yang akan diserahkan ke kepala sekolah.

Aryani duduk di dekatnya sambil memperhatikan. "Dir, lo yakin nggak terlalu berat hari ini? Kalau lo masih capek, mending gue yang handle dulu."

Nadira menggeleng pelan. "Gue harus nyelesain ini sendiri, Yan. Tapi gue janji nggak bakal maksa diri lagi."

Setelah hampir satu jam bekerja, Nadira selesai merevisi semua tugasnya. Tapi kali ini, dia memutuskan untuk mengambil langkah yang berbeda. Dia membuka grup chat klub seni dan mengetik pengumuman penting:

"Halo semua. Setelah gue pikir-pikir, kita semua butuh waktu istirahat. Gue tahu kalian udah kerja keras buat pameran ini, tapi gue nggak mau ada yang sakit atau stres karena terlalu capek. Jadi, gue mutusin buat nunda acara ini seminggu. Gue harap kalian ngerti, ya."

Aryani menatapnya dengan alis terangkat. "Lo serius, Dir? Kepala sekolah bakal setuju nggak?"

Nadira mengangguk. "Gue yakin ini keputusan yang tepat. Gue bakal ngasih tahu kepala sekolah langsung."

Setelah pengumuman itu dikirim, anggota klub seni langsung merespon dengan positif.

"Thanks, Dir. Kita emang butuh waktu buat napas sebentar," tulis Karin.

"Iya, gue setuju. Makasih udah ngertiin kita semua, Dir," tambah Reza.

Nadira merasa lega melihat dukungan dari timnya. Dia langsung menyiapkan laporan singkat untuk disampaikan ke kepala sekolah.

Ketika dia dan Aryani menemui kepala sekolah di ruangannya, Nadira menjelaskan alasannya dengan tenang.

"Pak, saya tahu keputusan ini nggak biasa, tapi saya rasa penting buat tim kami punya waktu istirahat. Kami semua udah kerja keras, dan saya nggak mau ada yang sakit atau burn out sebelum acara ini terlaksana," ujar Nadira.

Kepala sekolah mendengarkan dengan seksama, lalu tersenyum. "Saya menghargai keberanian kamu buat ambil keputusan ini, Nadira, Oke Kamu mendapat libur selama satu minggu, manfaatkan dengan baik ya."

Nadira merasa beban berat di pundaknya sedikit berkurang. "Terima kasih, Pak. Kami janji akan memberikan yang terbaik setelah ini."

Setelah semua selesai, Nadira pulang dengan perasaan lebih ringan.

Dia merasa bahwa keputusan menunda pameran adalah langkah yang tepat, bukan hanya untuk timnya, tapi juga untuk dirinya sendiri.

Di rumah, dia duduk di balkon sambil menikmati secangkir teh hangat.

Ponselnya berbunyi, pesan dari Arya masuk.

"Nadira, gue dengar lo nunda pameran. Itu keputusan yang keren. Lo nggak cuma mikirin diri sendiri, tapi juga tim lo. Gue salut."

Nadira tersenyum membaca pesan itu. Dia membalas, "Makasih, Arya. Kadang keputusan besar itu justru yang bikin kita lebih lega, ya."

Arya membalas cepat. "Betul banget. Gue yakin pameran lo nanti bakal jadi luar biasa."

Pagi pertama liburan, Nadira bangun dengan perasaan segar.

Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar membangkitkan semangatnya.

Setelah berminggu-minggu dikejar tenggat waktu dan tanggung jawab sebagai ketua klub seni, akhirnya dia bisa menikmati waktu untuk dirinya sendiri.

Dia meraih ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur.

Sebuah notifikasi dari grup kelas dan grup seni muncul.

Kepala sekolah mengumumkan libur khusus selama seminggu untuk semua anggota klub seni sebagai bentuk apresiasi atas kerja keras mereka.

"YES! Libur seminggu!" seru Nadira sambil tersenyum lebar.

Dia langsung mengetik pesan di grup seni. "Makasih, Pak. Libur ini bakal jadi recharge buat kita semua!"

Setelah berterima kasih di grup, Nadira memutuskan untuk memulai hari dengan olahraga ringan sesuai arahan dokter. Dia memakai sepatu olahraga dan keluar untuk jogging di taman dekat rumah.

Udara pagi terasa sejuk, dengan embun masih menempel di dedaunan. Nadira berlari kecil sambil menikmati pemandangan sekitar. Anak-anak kecil bermain, burung-burung berkicau, dan beberapa orang tua berjalan santai.

Setelah 20 menit jogging, dia berhenti di bangku taman untuk istirahat. Dia mengambil botol air minumnya dan mulai meregangkan otot-ototnya.

"Olahraga pagi emang bikin pikiran lebih tenang," gumamnya sambil tersenyum kecil.

Setelah kembali ke rumah dan mandi, Nadira duduk di ruang tamu sambil membawa novel favoritnya. Dia membiarkan dirinya tenggelam dalam cerita, sesuatu yang jarang dia lakukan belakangan ini karena sibuk.

Sambil membaca, ibunya datang membawa sepiring camilan. "Libur seminggu, ya? Ibu denger dari teman-teman kamu. Akhirnya kamu bisa istirahat juga."

"Iya, Bu. Rasanya kayak dikasih hadiah," jawab Nadira sambil tertawa kecil.

Siangnya, Nadira membantu ibunya memasak di dapur. Mereka membuat nasi goreng spesial dengan tambahan seafood.

"Ini enak banget, Bu," puji Nadira sambil mencicipi hasil masakan mereka.

Setelah makan siang, Nadira memutuskan untuk berjalan-jalan ke toko buku favoritnya.

Nadira membeli beberapa buku tentang seni modern dan motivasi yang sudah lama ingin dia baca.

Di perjalanan pulang, dia mampir ke sebuah kafe kecil untuk menikmati secangkir teh hijau dan sepotong cheesecake. Dia duduk di dekat jendela, mengamati jalanan yang ramai sambil menuliskan beberapa ide baru untuk proyek seni berikutnya di buku catatannya.

Malamnya, setelah makan malam bersama keluarganya, Nadira kembali ke kamarnya.

Dia mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan ke Arya.

Tapi kali ini, dia menambahkan foto selfie dengan pose lucu. Pesannya: "Gimana hari lo, Kapten ?, Udah ngaso (Istirahat) ?, Nih, buat lo semangat, gue kasih pap manis. Tapi hati-hati lho, jangan kebawa mimpi."

Arya, yang baru selesai latihan, langsung membaca pesan itu.

Dadanya berdebar-debar melihat foto Nadira.

Dia tersenyum kecil sambil mencoba mengetik balasan, tapi tanpa sengaja dia malah mengirimkan video pribadinya.

Di video itu, Arya terlihat sedang latihan basket, tapi ada momen dia terpeleset dan jatuh dengan gaya yang sangat konyol.

Nadira melihat video itu dan langsung tertawa terbahak-bahak. "Astaga, Arya! Ini video lo jatuh? Kenapa kocak banget sih ?, hahahaha"

Arya balas cepat. "Astaga! Gue nggak sengaja kirim itu! Aduh malu banget!"

Nadira mengetik balasan sambil menahan tawa. "Tenang aja, Kapten. Jatuh lo tetep keren kok. Asal abis itu bangkit lagi, ya !"

Setelah obrolan singkat, Nadira mematikan ponselnya.

Dia merebahkan diri di tempat tidur dengan senyum lebar di wajahnya.

"Hari ini bener-bener menyenangkan," gumamnya pelan sebelum memejamkan mata.