Chereads / Gadis Kelinci Ku / Chapter 11 - Kisah Masa Lalu Nadira & Arya (3)

Chapter 11 - Kisah Masa Lalu Nadira & Arya (3)

Pagi hari yang remang-remang, sinar matahari masuk perlahan melalui celah jendela.

Suara burung-burung kecil di luar menambah suasana pagi jadi lebih damai.

Arya yang masih setengah tidur, mengendus aroma yang menggoda.

Wangi bawang putih, telur, dan kecap bercampur jadi satu, bikin perutnya langsung keroncongan meski matanya belum sepenuhnya terbuka.

Ketika Arya akhirnya membuka mata, pemandangan pertama yang dia lihat adalah Nadira yang duduk di samping tempat tidurnya.

Nadira membawa sepiring nasi goreng lengkap dengan irisan tomat dan kerupuk di atasnya.

"Selamat pagi, Arya," sapa Nadira sambil tersenyum.

Arya, yang masih berusaha mengumpulkan nyawa, hanya bisa meringis kecil. "Pagi, Nadira... Itu wangi banget. Kamu masak sendiri?"

"Iya dong. Aku pengen kamu cobain ini, Tapi kamu nggak boleh nolak, ya. Nih, aku suapin," jawab Nadira dengan gaya sok serius berbalut senyuman yang manis.

Sebelum Arya sempat protes, sendok nasi goreng sudah ada di depan mulutnya.

Tanpa banyak pikir, dia langsung membuka mulut dan mengunyah.

Rasa gurih nasi goreng buatan Nadira langsung terasa.

"Enak ?" tanya Nadira sambil menatap Arya penuh harap.

Arya mengangguk pelan. "Iya, enak banget, Nadira. Kamu serius masak ini sendiri?"

"Tentu aja. Aku masak dengan cinta, tahu," jawab Nadira sambil ketawa kecil.

---

Setelah beberapa suapan, Nadira mendekatkan wajahnya ke Arya, matanya berbinar-binar.

"Tapi serius, Arya. Aku pengen tahu nilai jujur dari kamu. Dari skala 1 sampai 10, masakan aku ini dapet berapa?"

Arya pura-pura berpikir lama, memegang dagunya sambil tersenyum nakal. "Hmm... Kalau jujur, ya... mungkin 8,5."

Mata Nadira melebar. "Lho, kenapa nggak 10 ?" tanyanya dengan nada setengah bercanda.

Arya terkekeh. "Karena aku tahu kamu bisa memasak jauh lebih enak lagi, Nadira. Tapi serius, ini enak banget. Kamu berbakat jadi chef, kayak chef yang terkenal di TV itu Loh,, Siapa yah nama nya..., Chef Renaltha Mungkin.. ."

Mendengar itu, Nadira tersenyum lebar, meskipun dia tetap menatap Arya dengan gaya pura-pura ngambek. "HUMP, Oke deh, aku bakal bikin yang lebih enak lagi nanti. Tunggu aja !"

---

Setelah sarapan selesai, Arya langsung berdiri dari tempat tidur.

"Aku mau mandi dulu, habis itu kita siap-siap jalan-jalan, ya."

Nadira mengangguk sambil membereskan piring.

"Oke, tapi jangan lama-lama, Aku udah nggak sabar buat jalan-jalan bareng kamu."

Setelah Arya selesai mandi dan bersiap-siap, mereka keluar dari hotel Mahkota untuk menikmati suasana di sekitar.

Kampung halaman Nadira memang nggak terlalu ramai, tapi justru itu yang bikin tempat ini terasa spesial.

---

Mereka mulai dengan berjalan santai di sebuah jalan setapak kecil yang mengarah ke taman dekat hotel.

Udara pagi masih segar, dan langit biru tanpa awan bikin suasana makin sempurna.

"Tempat ini tenang banget, ya," kata Arya sambil memandangi pohon-pohon besar di sekitar.

"Iya, makanya aku suka banget tinggal di sini. Kayak semua masalah hilang kalau kamu di sini lama-lama," jawab Nadira sambil menggandeng lengan Arya.

Mereka berhenti di sebuah warung asrih yang menjual jajanan tradisional bernama Raja Rawit.

Nadira membeli beberapa klepon dan lumpia, lalu mereka duduk di bangku kayu di bawah pohon.

"Arya, kamu pernah makan klepon, kan ?" tanya Nadira sambil menyodorkan satu ke Arya.

"Pernah, tapi aku pengen nyobain klepon yang ada di sini, Siapa tahu rasanya beda," jawab Arya sambil menerima klepon itu.

Saat dia menggigit, gula merah cair langsung meledak di mulutnya.

Arya tersenyum lebar.

"Ini enak banget. Serius, Nadira, kamu selalu tahu tempat makanan enak."

Nadira hanya tertawa kecil. "Udah dong, jangan terlalu banyak puji, Nanti aku malah makin bangga sama diri sendiri."

---

Setelah seharian menghabiskan waktu berdua, malamnya mereka kembali ke hotel.

Nadira dan Arya duduk di balkon, memandangi langit malam yang penuh bintang.

"Dua tahun terakhir, banyak banget hal yang kita lewatin, ya," kata Nadira sambil menyandarkan kepalanya di bahu Arya.

Arya mengangguk pelan. "Iya, Nadira. Kadang aku nggak nyangka kita bisa sampai sejauh ini. Tapi aku bersyukur banget karena kamu selalu ada."

Nadira mengangkat kepalanya, menatap Arya. Matanya penuh rasa, dan sebelum Arya sempat berkata apa-apa, Nadira mendekatkan wajahnya dan mencium Arya.

Kali ini, ciuman itu terasa lebih sangat dalam dan penuh makna.

Arya terkejut sejenak, tapi dia membalasnya.

Setelah mereka berhenti, Arya menatap Nadira dengan senyum kecil.

Nadira pun membalas dengan senyum yang sama, pipinya sedikit memerah.

"Kadang, aku cuma pengen nunjukin ke kamu kalau aku bener-bener sayang sama kamu."

Arya menggenggam tangan Nadira erat.

"Aku juga sayang banget sama kamu, Nadira. Dan aku nggak akan pernah biarin kita kehilangan momen indah ini."

Keesokan harinya, sinar matahari yang masuk ke kamar Arya nggak terasa menyenangkan seperti biasanya.

Ada kabar datang di waktu yang nggak diharapkan.

Ponsel Arya bergetar, menampilkan pesan dari kepala sekolah di Irlandia:

"Arya, this is a reminder that your holiday will end in three days. Please ensure all your travel arrangements and school documents are prepared before your return."

Arya membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk.

Liburan yang selama ini dia nikmati bersama Nadira ternyata tinggal hitungan hari.

Di sisi lain, dia tahu kewajibannya sebagai siswa di Irlandia nggak bisa diabaikan.

Sementara itu, Nadira yang sedang duduk di ruang makan menerima pesan dari sahabatnya, Aryani.

Pesan itu nggak jauh beda:

"Dir, jangan lupa ya, minggu depan kita udah mulai sekolah lagi. Aku yakin kamu kangen sekolah, kan ?"

Nadira menatap layar ponselnya dengan perasaan yang sama seperti Arya.

Waktu yang mereka habiskan bersama selama liburan terasa begitu singkat.

Tapi dia nggak mau terlalu larut, Nadira akhirnya memutuskan untuk memanfaatkan tiga hari terakhir mereka di Jawa Timur dengan penuh makna.

---

Di pagi yang sama, Nadira menghampiri Arya di kamarnya.

Arya duduk di tepi ranjang, masih melamun tentang kabar dari kepala sekolahnya.

Nadira langsung duduk di sampingnya.

"Arya, aku tahu kita tinggal punya tiga hari lagi. Jadi, gimana kalau kita manfaatin waktu ini buat ngelakuin hal-hal yang bikin kita happy ?" tanya Nadira sambil menatap Arya serius.

Arya menoleh, lalu mengangguk pelan. "Iya, Nadira. Aku juga nggak mau liburan ini berakhir tanpa kenangan yang lebih berkesan."

Mereka pun menyusun rencana sederhana= jalan-jalan ke tempat-tempat yang belum sempat mereka kunjungi, mencoba makanan khas yang belum dicicipi, dan menikmati momen kecil seperti ngobrol santai di halaman rumah Nadira.

---

Di siang harinya, Nadira tiba-tiba bilang kalau dia mau pergi sebentar.

Arya, yang lagi santai di ruang tamu, cuma menatapnya bingung.

"Eh, mau ke mana, Dir ? Kok nggak ngajak aku ?" tanya Arya sambil meneguk es teh.

"Rahasia. Kamu tunggu aja di sini," jawab Nadira sambil tertawa kecil.

Tanpa Arya sadari, Nadira pergi ke tempat pemilik kost Arya untuk membayar semua biaya selama Arya tinggal di kampung halamannya.

Nadira tahu Arya nggak pernah mau merepotkan orang lain, tapi dia pengen ngasih sesuatu yang berarti untuk Arya sebelum mereka berpisah.

"Ini buat Arya, ya, Bu. Saya mau semua biayanya beres, Nggak perlu bilang ke dia," ujar Nadira sambil menyodorkan amplop.

Pemilik kost cuma tersenyum. "Wah, Arya beruntung banget punya teman seperti kamu, Nadira."

Nadira hanya memberi senyuman tipis, Lalu Pemilik Kost menerima uang dari Nadira sebesar Enam Juta Rupiah.

---

Sore harinya, setelah kembali ke rumah, Nadira duduk di samping Arya yang lagi sibuk main ponselnya.

Tanpa basa-basi, dia mengambil ponsel itu dari tangan Arya.

"Eh, kamu ngapain, Dir ? Itu HP aku," Arya protes sambil mencoba merebutnya kembali.

"Sebentar, Arya. Aku cuma mau pinjam buat telepon ibu aku," jawab Nadira dengan nada santai.

Arya akhirnya menyerah.

Dia membiarkan Nadira menggunakan ponselnya, nggak tahu apa yang sebenarnya direncanakan.

Namun, bukannya menelepon ibunya sendiri, Nadira malah menelepon orang tua Arya.

Suaranya langsung berubah lebih serius.

"Halo, Tante ? Ini Nadira," sapa Nadira ketika telepon tersambung.

"Oh, Nadira ! Apa kabar, Nak?" suara hangat ibu Arya terdengar di seberang.

"Aku baik, Tante. Maaf tiba-tiba menelepon. Aku cuma mau ngobrol sedikit soal Arya," jawab Nadira.

Arya, yang nggak tahu apa-apa, cuma menatap Nadira dengan alis terangkat.

Nadira tetap tenang sambil berbicara.

"Tante, aku cuma mau bilang kalau Arya udah ngelakuin banyak hal hebat selama di sini, Dia selalu kerja keras dan nggak pernah berhenti berusaha, (suara Nadira makin perlahan seperti bisikan) Aku sangat sayang sama anak tante , Aku yakin Arya bakal terus sukses di mana pun dia berada," ujar Nadira dengan nada tulus.

"Oh, Nadira, Tante jadi terharu dengarnya, Arya memang anak yang baik, dan Tante juga senang dia punya teman seperti kamu," balas ibunya Arya.

Setelah beberapa menit berbicara, Nadira menutup telepon dan mengembalikan ponsel ke Arya.

Arya menatapnya dengan bingung.

"Kamu ngomong apa ke ibu aku tadi ?" tanya Arya.

Nadira cuma tersenyum kecil.

"Nggak banyak, Aku cuma bilang kalau aku bangga sama kamu, Arya Dan aku tahu orang tua kamu pasti juga bangga."

Arya terdiam, lalu menggenggam tangan Nadira. "Kamu selalu bikin aku merasa bahagia, Terima kasih, Nadira."

Setelah menerima kenyataan bahwa liburan mereka tinggal dua hari lagi, Nadira dan Arya sepakat untuk memanfaatkan setiap detiknya dengan kegiatan yang penuh makna.

Bukan liburan mewah atau jauh-jauh, tapi perjalanan sederhana yang bisa mereka kenang selamanya.

---

Pagi-pagi sekali, Nadira membangunkan Arya dengan ketukan kecil di pintu kost-nya.

"Arya, ayo bangun! Kita berangkat pagi ini!" teriak Nadira dari luar.

Arya, yang masih setengah tidur, membuka pintu sambil menguap.

"Pagi-pagi kok udah ribut, Dir? Kita mau ke mana?"

"Surprise! Aku udah nyiapin itinerary. Hari ini kita ke Air Terjun Madakaripura. Tempatnya nggak jauh, dan aku yakin kamu bakal suka," jawab Nadira sambil tersenyum lebar.

Dengan motor sewaan, mereka berdua memulai perjalanan menuju air terjun.

Jalan yang berkelok-kelok melewati hamparan sawah dan perkebunan bikin suasana makin tenang.

Sepanjang perjalanan, Nadira nggak berhenti bercerita tentang kenangan masa kecilnya di daerah itu, sementara Arya sibuk menikmati pemandangan.

"Dir, kamu beneran beruntung tinggal di tempat secantik ini. Rasanya kayak nggak ada stres di sini," ujar Arya sambil melirik Nadira.

Setelah satu jam perjalanan, mereka sampai di lokasi, Untuk menuju air terjun, mereka harus berjalan kaki melewati jalan setapak yang dihiasi pepohonan rindang dan aliran sungai kecil.

"Ini udah kayak trekking, ya," kata Arya sambil tertawa kecil.

"Iya, tapi worth it. Lihat aja nanti," jawab Nadira sambil menarik tangan Arya untuk mempercepat langkahnya.

Begitu sampai, pemandangan air terjun yang megah menyambut mereka.

Air yang jatuh dari tebing tinggi menciptakan kabut tipis yang bikin suasana jadi magis.

Nadira dan Arya terdiam sejenak, kagum dengan keindahannya.

"Dir, ini tempat paling indah yang pernah aku lihat," kata Arya sambil menatap air terjun itu.

Mereka menghabiskan waktu dengan duduk di bebatuan besar, merendam kaki di air yang dingin, dan saling bercerita.

Nadira bahkan sempat memotret Arya yang berdiri di dekat air terjun dengan pose lucu.

"Kalau foto ini nggak bagus, aku salahin fotografernya, ya," Arya sedang bercanda.

---

Di hari terakhir, Nadira memutuskan untuk mengenalkan Arya pada makanan khas Jawa Timur.

Mereka memulai pagi dengan sarapan di warung kecil di dekat rumah Nadira.

"Ini namanya rawon. Kamu harus coba, Arya," ujar Nadira sambil menyodorkan mangkuk sup berwarna hitam pekat.

Arya ragu-ragu mencicipi, tapi begitu suapan pertama masuk, matanya langsung berbinar. "Ini enak banget, Dir! Kok aku nggak pernah coba sebelumnya?"

"Makanya, jangan terlalu sering makan fast food. Makanan tradisional juga nggak kalah enak," jawab Nadira sambil tertawa kecil.

Setelah makan, mereka melanjutkan perjalanan ke Bukit Teletubbies, sebuah bukit menjulang tinggi, hijau dan luas yang sering jadi tempat wisata di daerah Jawa Timur.

Perjalanan ke sana melewati jalan kecil yang dikelilingi ladang dan rumah-rumah sederhana.

"Dir, bukit ini beneran kayak di TV. Tapi kenapa namanya Bukit Teletubbies, ya ?" tanya Arya sambil memandangi hamparan hijau itu.

Nadira tertawa. "Karena bentuknya mirip bukit di serial Teletubbies, Arya. Tapi tenang, di sini nggak ada Tinky, Winky, Dipsy, lala ataupun PO."

Mereka duduk di atas bukit, menikmati angin sepoi-sepoi sambil memandangi pemandangan desa dari kejauhan.

Nadira sempat mengeluarkan buku sketsa dan mulai menggambar pemandangan di depannya.

Arya, yang penasaran, ikut melihat.

"Dir, kamu bener-bener berbakat. Gambarmu ini kayak foto, loh," puji Arya.

Nadira hanya tersenyum kecil.

"Aku cuma suka menggambar apa yang aku lihat dan rasakan. Dan hari ini, semuanya terasa spesial."

Sore harinya, mereka kembali ke rumah Nadira.

Sebelum berpisah, Arya menatap Nadira dengan ekspresi serius.

"Terima kasih, Nadira, Dua hari ini bener-bener bikin aku sadar kalau hal kecil pun bisa jadi kenangan besar, Aku nggak akan pernah lupa ini," kata Arya dengan tulus.

"Aku juga, Arya. Ini mungkin cuma dua hari, tapi aku harap kamu tahu betapa berharganya momen ini buat aku," balas Nadira.

Hari itu akhirnya tiba.

Liburan yang penuh kenangan harus berakhir, dan Arya serta Nadira kembali ke dunia mereka masing-masing.

Pagi-pagi, Arya sudah menyepakkan barang-barangnya di kost, sementara Nadira datang menjemput untuk mengantar Arya ke stasiun.

"Udah siap ?" tanya Nadira sambil berdiri di pintu kost Arya.

Arya menoleh dan tersenyum. "Siap nggak siap, aku harus pergi, Tapi aku bakal kangen sama semuanya, Dir, Terutama kamu."

Nadira mengangguk pelan, mencoba menahan rasa sedih yang tiba-tiba menghantam.

"Aku juga, Arya. Tapi aku yakin kita bakal ketemu lagi. Lagian, kamu punya ponsel kan ?, Jadi jangan lupa sering-sering ngabarin ."

---

Ketika mereka sampai di stasiun, waktu keberangkatan Arya semakin dekat.

Suasana hati mereka jadi semakin berat.

Arya berdiri di depan kereta, menatap Nadira yang kelihatan berusaha keras menyembunyikan emosinya.

"Aku nggak tahu harus bilang apa, Dir. Tapi aku cuma mau kamu tahu kalau aku bener-bener berterima kasih. Untuk semuanya," ujar Arya dengan nada serius.

Nadira menatap Arya sangat lama.

Tanpa banyak bicara, Nadira melangkah maju dan memeluk Arya dengan sangat erat.

"Arya, aku cuma mau kamu inget satu hal. Nggak peduli sejauh apa kita, aku bakal selalu dukung kamu. Kamu itu bagian penting di hidup aku," bisik Nadira pelan di telinga Arya.

Pelukan itu bikin Arya terdiam, tapi matanya mulai berkaca-kaca.

Dia membalas pelukan Nadira dengan lembut.

"Aku janji, Nadira. Aku bakal terus ngejar mimpi aku, dan aku mau kamu juga lakuin hal yang sama. Kita bakal saling dukung, walaupun dari jauh."

Ketika pelukan itu akhirnya terlepas, Nadira mencoba tersenyum, meski air mata sudah mulai membasahi pipinya.

"Semangat, Arya. Jangan lupa ngabarin aku, ya," kata Nadira sambil mengusap pipinya.

Arya mengangguk, lalu naik ke kereta.

Dari jendela kereta, Arya masih melihat Nadira melambaikan tangan sampai kereta perlahan menjauh.

---

Setelah duduk di kursinya, Arya menyalakan ponselnya dan membuka pesan dari kepala sekolah.

Dengan semangat baru yang dipenuhi motivasi, Arya langsung mengetik balasan:

"Dear Principal,

Thank you for the reminder. I am excited to return and continue my journey at school. The holiday has been a refreshing experience, and I feel more determined than ever to contribute to both my academics and the basketball team."

Dia mengirim pesan itu dengan senyum kecil di wajahnya.

---

Setelah membalas pesan dari kepala sekolah, Arya membuka grup chat tim basketnya di Irlandia.

Pesan-pesan mereka sudah menumpuk, penuh dengan obrolan tentang latihan dan persiapan turnamen yang akan datang.

"Guys, I'm officially coming back ! Get ready because we're going to win that championship this year," tulis Arya di grup.

Nggak butuh waktu lama, pesan Arya langsung dibanjiri balasan antusias dari rekan-rekannya.

"Finally, Captain's back! We missed you, Arya!" tulis Ethan, sahabatnya di tim.

"With you back, I know we're going to crush the other teams this season!" tambah Liam.

Arya tersenyum puas.

---

Ketika kereta mendekati bandara, Arya merenung tentang apa yang menantinya di Irlandia.

Sementara itu, di tempat lain, Nadira juga mulai mempersiapkan diri untuk kembali ke SMA Q1.

Dia kembali dihubungi oleh anggota klub seni yang sudah menunggu arahannya untuk proyek baru.

-----

Setelah perpisahan yang mengharukan di stasiun.

Arya kembali ke Irlandia dengan semangat baru.

Di sisi lain, Nadira juga kembali ke SMA Q1, siap menghadapi tahun terakhirnya.

---

Hari pertama Arya tiba di asramanya, suasana ramai langsung menyambut.

Beberapa temannya yang sudah lebih dulu tiba langsung memanggilnya ketika dia baru menurunkan koper.

"Arya! You're finally back!" Ethan berlari menghampiri Arya sambil memberikan tepukan keras di punggungnya.

Arya tertawa kecil. "Yeah, I missed this place. And you guys, of course."

Liam, yang berdiri tidak jauh, ikut bergabung sambil tersenyum lebar.

"We've been waiting for you, Captain. The team isn't the same without you."

Kehangatan dari teman-temannya bikin Arya langsung merasa nyaman lagi.

---

Hari berikutnya, Arya langsung kembali ke lapangan basket.

Pelatih sudah menunggunya dengan ekspresi tegas.

"So, Arya, are you ready to lead the team again ? The tournament is only three weeks away," ujar pelatih dengan nada serius.

Arya mengangguk yakin. "I'm ready, Coach. Let's do this."

Latihan pertama itu terasa berat.

Setelah lama nggak main secara intens, tubuh Arya masih beradaptasi.

Tapi dia terus mendorong dirinya.

Rekan-rekannya juga nggak kalah semangat.

"You've improved a lot, Liam," kata Arya saat istirahat.

Liam tersenyum bangga.

"Thanks, Captain. But honestly, it's easier when you're around. You make us push harder."

Latihan itu berakhir dengan pelatih memberikan apresiasi pada seluruh tim. Arya merasa bangga, tapi dia tahu perjalanan mereka masih panjang.

---

Sementara itu, Nadira kembali ke SMA Q1 dan langsung disambut dengan agenda rapat klub seni.

Di ruang seni yang penuh dengan lukisan dan sketsa, anggota klub sudah menunggu.

"Nadira, kita udah nunggu ide baru kamu buat pameran semester ini," ujar Reza sambil tersenyum kecil.

Nadira, yang sudah mempersiapkan konsep baru sejak liburan, langsung berdiri di depan dan menjelaskan.

"Kali ini, aku mau kita bikin pameran yang temanya 'Perjalanan'. Kita bisa gabungin seni visual dengan cerita-cerita yang bikin pengunjung merasa terinspirasi."

Semua anggota terlihat antusias, kecuali satu orang, Karin.

Dia mengangkat tangan.

"Tapi, Nadira, tema ini kan cukup kompleks. Kamu yakin kita bisa nyelesaikan semuanya tepat waktu ?"

Nadira menatap Karin dengan tenang.

"Aku tahu ini nggak mudah, Karin. Tapi aku percaya sama tim ini. Kita bisa bagi tugas dan saling bantu. Yang penting, kita semua kompak."

Jawaban Nadira berhasil menenangkan anggota klub.

Rapat itu pun berakhir.

---

Meski sibuk dengan klub seni, Nadira sadar bahwa dia butuh seseorang untuk berbagi cerita di sekolah.

Aryani, sahabat dekatnya, sekarang lebih sibuk dengan ekskul jurnalistik.

Di kantin suatu siang, Nadira tanpa sengaja duduk bareng seorang siswi baru.

Gadis itu tampak sibuk menggambar di sebuah buku sketsa kecil.

"Eh, gambarmu bagus banget," ujar Nadira, mencoba memulai percakapan.

Siswi itu tersenyum malu-malu. "Makasih. Aku cuma suka menggambar buat iseng aja."

Dari situ, Nadira tahu bahwa gadis itu bernama Dinda, seorang siswa pindahan yang punya bakat seni luar biasa. Mereka langsung nyambung, dan dalam waktu singkat, Dinda jadi salah satu anggota baru di klub seni.

---

Meskipun sibuk dengan kehidupan masing-masing, Arya dan Nadira tetap menjaga komunikasi.

Hampir setiap malam, mereka saling berkirim pesan dan melakukan video call.

"Hey, Nadira. How's everything at school?" tulis Arya suatu malam.

"Capek, tapi seru. Aku lagi sibuk ngurus pameran seni. Kalau kamu gimana ? Tim basketnya siap buat turnamen?" balas Nadira.

Arya mengetik cepat.

"We're getting there. It's tough, but I know we'll make it. And Nadira, I'm so proud of you. You're doing amazing things."

Pesan-pesan seperti itu selalu bikin mereka saling termotivasi.

Keesokan harinya, Latihan tim basket di Irlandia makin intens.

Pelatih nggak kasih ampun, setiap hari mereka digempur latihan fisik dan strategi.

"Liam, focus on defense! Ethan, don't just stand like a statue, move !" teriak pelatih sambil tepuk tangan keras-keras.

Arya, sebagai kapten, harus jadi contoh buat timnya.

Tapi hari itu, dia juga lagi capek banget. Saat mencoba nge-dribble, bola malah lepas dari tangannya dan memantul jauh.

"Nice move, Captain. Are you trying to invent a new sport ?" kata Ethan sambil tertawa.

Arya mengangkat tangan sambil tertawa kecil. "Sorry, my brain's on a coffee break."

Di sela-sela latihan, Liam menghampiri Arya. "Hey, Captain, how do you stay so calm under pressure ?"

Arya mengambil botol air dan menjawab santai, "I fake it. You should try it too."

Mereka semua tertawa, dan suasana latihan yang tegang berubah jadi lebih santai.

---

Di SMA Q1, Nadira juga nggak kalah sibuk. Persiapan pameran seni lagi dikebut, tapi masalah kayaknya datang terus.

"Karin, kenapa lukisan ini belum selesai ? Kita kan udah deket deadline," tanya Nadira sambil menatap canvas kosong di sudut ruangan.

Karin menggaruk kepala sambil nyengir. "Aku tuh lagi stuck, Dir. Nggak tahu mau gambar apa. Inspirasi aku kayak ilang gitu aja."

Nadira menarik napas panjang, mencoba sabar.

"Kalau inspirasi ilang, kenapa nggak coba nyari ? Keluar sebentar, lihat langit, atau minimal scroll TikTok buat nyari ide."

Reza, yang lagi duduk nggak jauh dari mereka, tiba-tiba nyeletuk.

"Nadira, jangan kasih dia ide scroll TikTok, nanti malah nggak balik-balik ke canvas."

Semua langsung ketawa, termasuk Karin.

---

Malam itu, Nadira lagi duduk di kamar sambil memandangi sketsa pameran yang masih berantakan.

Ponselnya berbunyi, tanda pesan dari Arya masuk.

"Hey, Nadira. How's everything with the exhibition? Still surviving ?"

Nadira tersenyum kecil dan membalas, "Masih, tapi ya gitu deh, berasa kayak dikejar waktu terus. Kalau kamu gimana? Tim basketnya udah siap menang belum?"

"Not yet, but we're getting there. I might need your 'Captain Nadira' pep talk soon."

"Eh, santai aja. Kapten Nadira siap siaga buat nyemangatin kamu kapan aja," balas Nadira sambil ketawa kecil.

---

Latihan intens Arya mulai membawa hasil.

Tapi satu hari sebelum pertandingan uji coba melawan tim lain, masalah muncul.

Salah satu pemain inti, Liam, tiba-tiba cedera saat latihan.

Pelatih langsung menghampiri.

"Arya, we need to rearrange the strategy. Can you step up and help with the adjustments ?"

Arya mengangguk. "Yes, Coach. We'll figure it out."

Malam itu, Arya memimpin timnya untuk mendiskusikan perubahan strategi. Meski capek, dia mencoba ngeyakinin mereka.

"Guys, I know this isn't ideal. But we've been through worse, and I believe we can handle this. Let's do our best," ujar Arya dengan penuh semangat.

Ethan menambahkan dengan gaya bercandanya, "If we lose, let's just blame Liam."

Semua tertawa, termasuk Liam yang lagi duduk sambil mengompres kakinya.

---

Masalah Baru di Klub Seni

Di SMA Q1, Nadira juga menghadapi masalah besar yaitu Beberapa karya untuk pameran tiba-tiba rusak karena hujan deras yang membasahi ruang penyimpanan.

"Gimana bisa hujan masuk ke ruang seni ?!" Nadira hampir nggak percaya.

Karin mencoba menjelaskan sambil panik. "Kayaknya jendela lupa ditutup, Dir. Aku beneran nggak nyangka bakal separah ini."

Nadira menenangkan semua anggota.

"Oke, kita nggak usah panik. Fokus aja sama solusi. Kalau ada karya yang masih bisa diperbaiki, kita perbaiki. Kalau nggak, kita bikin ulang."

Reza mengangkat tangan.

"Dir, gimana kalau kita kerja lembur? Aku tahu itu berat, tapi cuma itu cara biar kita nggak ketinggalan."

Semua setuju, dan mereka mulai bekerja keras malam itu.

Di sela-sela kerja keras, Suatu malam, di grup chat mereka, Arya mengirim foto dirinya dengan rambut acak-acakan setelah latihan.

"This is what happens when you let Ethan style your hair."

Nadira, yang baru selesai rapat, langsung tertawa.

"Arya, itu rambut atau sapu ijuk ? Kasih tahu Ethan, aku bakal ngirimin tutorial YouTube buat dia."

"Noted. But only if you promise to send me a photo of your art. I want to see how amazing it is."

Malam itu, setelah video call panjang dengan Nadira, Arya merasa susah tidur.

Kepalanya penuh dengan pikiran tentang latihan, tanggung jawab sebagai kapten, dan sedikit rindu yang terus menghantui.

Arya membuka aplikasi Tube di ponselnya, berharap menemukan sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya.

Saat sedang scroll, sebuah video dengan thumbnail menarik tiba-tiba muncul di layar.

Judulnya: "Marily vos Avant: The Mind That Redefines Science."

Judulnya aja udah bikin Arya penasaran, Dengan jumlah penayangan lebih dari 8 miliar hanya dalam dua hari.

Arya menekan video itu, dan sosok Marily vos Avant muncul di layar.

Wanita ini kelihatan elegan, berbicara dengan cara yang begitu tenang tapi penuh energi.

Video tersebut menyoroti berbagai penemuan dan teorinya yang revolusioner.

"Ini orang genius banget," gumam Arya sambil terus nonton.

Marily dikenal karena teorinya yang disebut "Quantum Duality Interaction," yang katanya bisa menjelaskan hubungan antara pikiran manusia dan partikel kuantum.

Penemuan ini bikin dia jadi salah satu ilmuwan paling dihormati di dunia.

Dia juga memadukan sains dengan cara bercerita yang bikin Arya yang biasanya lebih suka olahraga daripada pelajaran fisika, jadi lebih terpaku.

Di salah satu bagian video, Marily bilang, "The possibilities of human potential are limitless. All we need is curiosity and perseverance."

Arya langsung merasa terinspirasi.

Arya terus nonton video-video lainnya sampai tanpa sadar langit mulai terang.

"Wah, udah pagi aja, Gila, aku nggak bisa berhenti nonton dia," ujar Arya sambil mengusap matanya yang mulai lelah.

Pagi harinya, Arya datang ke lapangan basket dengan kantung mata yang jelas banget.

Saat istirahat latihan, Arya duduk di pinggir lapangan bersama Liam dan Ethan.

"Arya, you look like you haven't sleep. What happened?" tanya Ethan sambil menyeka keringatnya.

Arya ketawa kecil. "Guys, last night I found this incredible scientist on Tube. Her name is Marily vos Avant. Have you heard of her?"

Liam mengernyitkan dahi. "Wait, isn't she the one with that quantum stuff? My physics teacher mentioned her once."

Arya mengangguk cepat. "Yes, exactly! I watched her videos, and I couldn't stop. She's not just a scientist, she's like a storyteller. It's insane how she explains complicated things in such a simple way."

Ethan mengangkat alis. "You? Watching science videos? Are you feeling okay?"

Arya tertawa kecil. "I'm serious, Ethan. You should check her out. She talks about how the human mind can influence reality. It's mind-blowing."

Tiba-tiba, di tengah obrolan mereka, terdengar suara tawa kecil dari belakang.

Ketika Arya menoleh, dia melihat Emilenia, salah satu teman sekelasnya yang ceria, berjalan mendekat sambil membawa balon-balon warna-warni.

"Surprise!" seru Emilenia sambil melemparkan balon ke arah mereka.

Liam menangkap salah satu balon itu sambil tertawa. "What's the occasion, Emi?"

Emilenia duduk di samping mereka, senyum lebarnya nggak pernah hilang. "No occasion. I just thought you guys needed a little fun after all the hard work."

Arya mengangguk sambil tersenyum. "Thanks, Emi. You definitely made this practice less boring."

Sambil berbicara, Emilenia tiba-tiba mengubah topik. "By the way, have you guys heard about Marily vos Avant? She's absolutely brilliant. I've been binge-watching her videos all week."

Arya langsung terkejut. "You too? I just discovered her last night!"

Emilenia mengangguk antusias. "Her theories are so revolutionary. I mean, the way she explains how our thoughts can affect quantum particles? It's like she's saying science and our dreams are connected. I feel like she's opening a whole new world of possibilities."

Liam dan Ethan menatap Arya dengan ekspresi bercanda. "Captain, looks like you found your science soulmate," ujar Ethan sambil tertawa.

Arya balas menatap mereka sambil tertawa kecil. "Hey, don't make fun of me. Science is cool, okay?"

Mereka terus membahas Marily sambil bercanda dan melempar balon satu sama lain, sampai akhirnya mereka sadar bahwa matahari mulai tenggelam.

Latihan selesai, dan mereka semua kembali ke asrama dengan rasa puas dan sedikit lebih tahu tentang dunia sains.

Malamnya, Arya kembali ke kamarnya dengan badan yang capek banget.

Setelah makan malam singkat, dia langsung jatuh di tempat tidur. Niatnya cuma rebahan sebentar, tapi tanpa sadar dia ketiduran.

Di ponsel yang tergeletak di meja, pesan dari Nadira masuk:

"Arya, gimana latihan hari ini? Semuanya lancar?"

Pesan itu nggak terbalas, karena Arya sudah tenggelam dalam tidur lelapnya.

Ponselnya terus bergetar pelan, tanda Nadira mencoba menghubunginya, tapi Arya nggak terbangun.

Pagi itu, sinar matahari masuk ke jendela kamar Arya, tapi dia nggak menyadarinya.

Alarm di ponselnya berbunyi keras, tapi Arya hanya menggeliat dan membalikkan badan.

Hingga akhirnya, matanya terbuka lebar saat melihat jam dinding.

"Gila! Udah jam 10! Gue telat banget!" seru Arya panik sambil lompat dari tempat tidur.

Tanpa sempat mengecek ponselnya, Arya langsung lari ke kamar mandi. Dalam waktu singkat, dia mandi secepat kilat, mengenakan seragam universitas, dan keluar dari kamarnya dengan napas tersengal-sengal.

Arya berlari menuju halte bus, tapi sayangnya, bus yang biasa dia naiki sudah pergi.

Dengan kesal, dia memutuskan untuk memanggil taksi online.

"Cepat, Pak. Tolong antar saya ke universitas," pinta Arya sambil berkali-kali melirik jam tangan.

Namun, jalanan pagi itu penuh dengan kendaraan, dan macet memperlambat perjalanan. Arya hanya bisa menghela napas panjang, sambil mengingat semua pesan pelatih dan dosen tentang pentingnya disiplin waktu.

"Kenapa gue harus bangun telat hari ini sih?" gumamnya sambil menyandarkan kepala ke kursi taksi.

Ketika sampai di universitas, Arya langsung lari ke gedung utama.

Tapi sayang, semua itu sia-sia. Dosen pengawas sudah berdiri di depan kelas dengan ekspresi serius, sementara teman-teman sekelasnya menatap Arya penuh simpati dari dalam ruangan.

"You're late, Arya," ujar dosen itu dengan nada tegas.

Arya mengangguk pelan, tahu bahwa dia nggak bisa mencari alasan apa pun. "I'm sorry, Professor. It won't happen again."

"Sorry doesn't fix it. You'll spend the rest of the day in the disciplinary room. Let this be a lesson for you," balas dosen tersebut sambil menunjuk ke arah ruangan kecil di ujung lorong.

Arya menundukkan kepala dan berjalan pelan ke ruangan itu. Beberapa mahasiswa lain yang juga terlambat sudah duduk di sana. Arya hanya bisa menghela napas panjang.

Di ruangan diskorsi, Arya diminta menulis esai tentang pentingnya kedisiplinan.

Setiap kali mencoba menulis, kata-kata Marily vos Avant tentang curiosity and perseverance terngiang di kepalanya.

"Gue nggak bisa ngebiarin ini terus-terusan terjadi," pikir Arya sambil mengetik di laptop.

Dia menulis dengan jujur, tentang bagaimana kurangnya manajemen waktu bisa menghancurkan potensi besar.

Arya merasa bahwa ini bukan cuma hukuman, tapi juga wake-up call untuk jadi pribadi yang lebih bertanggung jawab.

Setelah menulis esai itu, Arya mendapat tugas membersihkan ruangan bersama beberapa mahasiswa lain.

"Jadi kapten tim basket aja susah, apalagi nge-manage semua ini." gumam Arya sambil mengepel lantai.

Setelah hukuman selesai, Arya akhirnya punya waktu untuk duduk di taman kampus.

Arya membuka ponselnya untuk pertama kali hari itu, dan betapa terkejutnya dia melihat belasan pesan dari Nadira.

"Arya ! Kenapa nggak balas chat aku ?"

"Kamu sibuk banget, ya?"

"Aku cuma mau tahu kabar kamu, jangan lupa makan."

Arya tersenyum kecil, tapi rasa bersalah langsung menyusup ke dadanya.

Arya tahu, Nadira pasti khawatir karena dia nggak ngabarin.

"Aduh, Nadira pasti kesel banget," pikir Arya sambil mengetik balasan.

"Maaf, Nadira. Hari ini kacau banget. Aku telat ke kampus dan kena hukuman. Baru sempat buka HP sekarang. Kamu gimana?"

Tak lama setelah pesan itu terkirim, ponsel Arya bergetar. Nadira membalas:

"Kamu nggak apa-apa? Ya ampun, Arya, aku kira kamu kenapa-kenapa. Jangan terlalu capek, ya. Dan please, kalau lagi sibuk banget, kasih tahu aku."

Malam itu, Arya duduk di meja belajarnya sambil membuat jadwal baru.

Dia menyusun rencana untuk memastikan hal seperti ini nggak akan terulang lagi.

"Kalau gue bisa nge-manage waktu di basket, gue juga harus bisa nge-manage ini," gumamnya sambil mencatat.

Hari ini, Arya bangun dengan perasaan sedikit berat.

Setelah diskorsi kemarin karena telat ke kampus.

Di lapangan basket, pelatih langsung memanggil Arya ke pinggir lapangan.

Wajah pelatih terlihat serius.

"Arya, as a captain, you have responsibilities. Skipping training without informing your team or me is unacceptable. If you can't lead, how can the team follow you?" kata pelatih dengan nada tegas.

Arya hanya bisa mengangguk pasrah. Dia tahu pelatih benar. "I understand, Coach. It won't happen again."

Pelatih hanya mengangguk dan menyuruh Arya duduk di bangku pinggir lapangan sambil mengamati timnya latihan tanpa dia.

Setelah latihan selesai, Arya memutuskan untuk duduk di taman kampus.

Arya merenung Di bawah pohon besar, Arya memandangi mahasiswa lain yang sibuk dengan kegiatan mereka.

Saat itulah Emilenia datang, membawa sebuah kotak kecil yang dihiasi pita merah muda.

Wajahnya terlihat ragu, tapi dia tetap melangkah mendekati Arya.

"Arya," panggilnya pelan.

Arya menoleh dan tersenyum kecil. "Eh, Emilenia. Ada apa?"

Tanpa banyak bicara, Emilenia menyerahkan kotak itu ke Arya. "Ini... aku mau kasih kamu sesuatu."

Arya membuka kotak itu dan menemukan sebuah surat di dalamnya. Surat itu penuh tulisan tangan Emilenia, tapi isinya membuat Arya terdiam. Kata-kata di surat itu menunjukkan bahwa Emilenia punya perasaan lebih dari sekadar teman untuk Arya.

Arya menarik napas panjang sebelum menatap Emilenia. "Emi, aku... aku nggak bisa menerima ini. Kamu orang yang baik, dan aku sangat menghargai kamu, tapi aku nggak bisa memberikan lebih dari itu."

Wajah Emilenia sedikit berubah, tapi dia cepat menguasai dirinya. "Aku ngerti, Arya. Mungkin aku terlalu tiba-tiba, ya? Maaf kalau ini bikin kamu nggak nyaman."

Arya tersenyum kecil. "Nggak, Emi. Kamu nggak salah. Aku cuma nggak mau kasih harapan yang nggak bisa aku tepati."

Emilenia mengangguk pelan, lalu duduk di samping Arya. "Kalau gitu, kamu mau cerita? Aku lihat kamu kayak lagi banyak pikiran."

Arya tertawa kecil. "Emang kelihatan banget ya?"

"Iya, jelas banget," jawab Emilenia sambil tersenyum.

Arya akhirnya cerita soal semua tekanan yang hatinya rasakan: dari tanggung jawab sebagai kapten basket, Tugas Dari Dosen, sampai rasa bersalahnya karena kurang komunikasi dengan semua hal, Emilenia mendengarkan dengan serius, sesekali memberikan komentar yang menenangkan.

"Kadang, Arya, kamu terlalu keras sama diri sendiri, Kamu juga manusia, nggak harus sempurna setiap saat," kata Emilenia sambil menatap Arya.

Percakapan mereka tiba-tiba terganggu oleh suara tawa dari belakang. Ethan dan Liam datang sambil membawa botol air, wajah mereka penuh dengan senyum usil.

"Hey, Arya! Are we interrupting something? Looks like you're on a date," ujar Ethan sambil melirik Emilenia.

Arya langsung menoleh dengan kaget. "What? No, it's not like that!"

Liam tertawa kecil. "Relax, Captain. We're just kidding. But seriously, you two look cute together."

Emilenia hanya menggeleng sambil tersenyum kecil. "Guys, it's not what you think. Arya is just a friend."

Arya menimpali sambil bercanda. "Yeah, and you two should stop assuming things. Or maybe I'll start rumors about you guys too."

Mereka semua tertawa.

Setelah Ethan dan Liam pergi, Emilenia kembali menatap Arya. "By the way, Arya, boleh aku minta nomor Whits kamu ? Supaya kalau ada apa-apa, aku bisa langsung kontak."

Arya mengangguk tanpa ragu.

"Tentu aja, Emi. Nih, aku kasih."

Emilenia mencatat nomor Arya di ponselnya sambil tersenyum.

"Makasih. Tapi tenang aja, aku nggak bakal ganggu kamu sering-sering."

Arya tertawa kecil. "Nggak masalah kok, Emi. Kadang aku juga butuh teman ngobrol."

Sore itu, saat Arya masih duduk di taman, dosen kedisiplinan yang kemarin menghukumnya datang mendekat.

Arya langsung berdiri, sedikit canggung.

"Relax, Arya. I'm not here to give you another punishment," ujar dosen itu sambil tersenyum.

Arya duduk kembali, merasa sedikit lega. "Thank you, Professor. What brings you here?"

Dosen itu duduk di samping Arya. "I noticed you've been struggling lately. It's normal, Arya. Being a student and a leader isn't easy. But remember, mistakes are part of the process. What matters is how you learn from them."

Kata-kata dosen itu terasa seperti angin segar bagi Arya. Dia mengangguk pelan. "Thank you, Professor. I'll try to do better."

Setelah hari yang panjang, Arya akhirnya memutuskan untuk pulang ke asrama.

Badannya lelah, tapi pikirannya lebih tenang.

Arya belum sempat melihat ponselnya, yang sekarang penuh dengan pesan dari Nadira dan teman-temannya.

Saat masuk ke kamar, Arya langsung merebahkan diri di tempat tidur. "Besok aku harus lebih disiplin," gumamnya pelan sebelum akhirnya tertidur.

Setelah sekian lama hanyut dalam kesibukan duniawi, pagi itu Arya bangun lebih awal.

Alarm di ponselnya belum berbunyi, tapi tubuhnya seolah tahu bahwa ini saatnya untuk berubah.

Dengan mata setengah terbuka, Arya duduk di tepi tempat tidur.

Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.

"Udah dua tahun, Arya. Nggak ada alasan lagi buat ninggalin ini," gumamnya.

Dia mengambil air wudhu dengan hati-hati, membiarkan air dingin menyentuh wajah dan tangannya.

Rasa segar itu seperti menghapus beban yang selama ini dia bawa.

Di kamar yang tenang, Arya membentangkan sajadah.

Dia memulai sholat tahajjud dengan penuh kekhusyukan, mengingat setiap langkah yang telah dia ambil, setiap kesalahan yang telah dia buat, dan setiap nikmat yang selama ini dia abaikan.

Dalam doa, Arya berbisik pelan, "Ya Allah, terima kasih atas semua yang Engkau berikan. Berikan aku kekuatan untuk menjalani hari-hari yang penuh tantangan ini. Lindungi aku dari kesombongan dan ingatkan aku untuk selalu bersyukur."

Air mata jatuh perlahan di pipinya. Bukan karena rasa sedih, tapi lebih karena rasa syukur yang meluap-luap.

Setelah selesai sholat, Arya duduk bersila di samping tempat tidurnya.

Dia mengambil ponsel yang sejak tadi menyala karena notifikasi pesan.

"Ya ampun, Nadira spam aku lagi," gumamnya sambil tersenyum kecil.

Pesan-pesan Nadira kebanyakan berisi cerita tentang hari-harinya di SMA, keluhan soal drama di klub seni, hingga pertanyaan sederhana seperti, "Arya, kamu udah makan belum?"

Arya mulai membalas satu per satu.

"Maaf ya, aku baru sempat baca. Tadi aku habis sholat tahajjud. Kamu gimana? Semua aman, kan?"

Pesannya belum terkirim sepenuhnya, tapi balasan Nadira sudah muncul.

"Kok baru balas sekarang? Aku kira kamu sibuk lagi kayak kemarin. Tapi aku seneng dengar kamu sholat lagi. Jangan lupa terus jaga, ya, Arya."

Arya tersenyum kecil. "Pasti. Kamu juga jaga kesehatan, jangan terlalu capek di klub seni."

Setelah itu, Arya menyimpan ponselnya dan mengambil Al-Qur'an yang terletak di meja kecil samping tempat tidur. Dia membuka lembar demi lembar, membaca dengan suara pelan tapi penuh penghayatan.

Setelah selesai mengaji, Arya kembali mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat subuh di masjid. Udara pagi di sekitar asrama terasa segar, dengan suara azan yang bergema dari kejauhan.

Di masjid, Arya bertemu dengan beberapa teman asrama yang juga sedang menunaikan ibadah. Meski hanya bertukar senyuman kecil, momen itu terasa hangat.

"Kayaknya kamu jarang ke masjid ya, Arya?" tanya salah satu temannya sambil bercanda setelah sholat selesai.

Arya hanya mengangguk sambil tersenyum malu. "Iya, lagi coba balik rutin ke sini. Doain aja."

Setelah kembali ke asrama, Arya langsung bersiap untuk ke kampus. Kali ini, dia memastikan semuanya berjalan tepat waktu. Tas sudah terisi rapi, seragam sudah dia setrika semalam, dan sepatu sudah siap di depan pintu.

Jam 6 tepat, Arya berangkat ke kampus. Perjalanan ke sana terasa menyenangkan, dengan jalan yang masih lengang dan udara pagi yang segar.

Di kampus, Arya menghadiri semua kelas tanpa hambatan. Dia bahkan sempat mengerjakan tugas kelompok dengan lebih fokus. Teman-temannya sempat kaget melihat Arya yang biasanya agak ceroboh sekarang terlihat lebih terorganisir.

"Wow, Arya. Did you wake up on the right side of the bed today? You're unusually calm," kata Ethan saat mereka bekerja sama di salah satu tugas.

Arya tertawa kecil. "Let's just say I'm trying to be better."

Sore harinya, Arya pulang dari kampus dengan hati yang lebih ringan. Hari itu terasa seperti awal yang baru baginya. Meski lelah, ada rasa puas yang memenuhi dadanya.

Dia berjalan pelan menuju asrama, membiarkan pikirannya merenungi semua yang terjadi hari itu.

"Ini baru namanya hari yang produktif," pikirnya sambil tersenyum kecil.

Pagi itu, Arya terbangun lebih awal dari biasanya. Setelah beberapa hari penuh drama dan kesalahan yang bikin dia kena diskorsi.

Pagi ini dia memutuskan untuk mulai dengan rutinitas yang lebih teratur.

"Gue nggak bisa begini terus. Kalau mau jadi kapten yang baik, gue harus benerin semuanya, mulai dari disiplin diri sendiri," gumam Arya sambil meregangkan tubuh.

Arya membuka jendela asramanya, membiarkan udara dingin pagi menyentuh wajahnya. Setelah mandi, dia duduk di meja belajar dan mulai mengecek tugas-tugas kuliah yang selama ini sedikit terabaikan karena fokusnya terlalu banyak di basket.

Dia membuka laptop dan memulai dengan tugas esai tentang etika olahraga. Sebagai atlet, Arya tahu ini penting, tapi dia juga sadar tulisannya harus lebih dari sekadar teori biasa.

"Kalau gue cuma tulis ini kayak template tugas lain, dosen bakal langsung tahu. Harus ada yang beda," gumam Arya sambil mengetik.

Sambil menyelesaikan tugasnya, Arya juga sempat menyiapkan materi untuk latihan tim sore nanti. Dia membuat catatan strategi untuk pertandingan uji coba minggu depan.

Setelah menyelesaikan tugas paginya, Arya bergegas ke kampus. Hari itu ada dua kelas yang harus dia hadiri: kelas sejarah olahraga dan matematika terapan.

Di kelas sejarah olahraga, dosen membahas kisah para atlet yang berhasil melewati tekanan besar di dalam dan luar lapangan.

"Kesuksesan nggak cuma soal bakat, tapi juga soal ketahanan mental. Atlet terbaik adalah mereka yang tahu bagaimana menghadapi kegagalan dan belajar dari sana," ujar dosen dengan penuh semangat.

Kata-kata itu terasa seperti tamparan kecil buat Arya. Dia ingat bagaimana dia sempat kehilangan fokus beberapa hari lalu dan dampaknya ke tim basket.

"Bener juga. Gue nggak boleh nyerah cuma karena kesalahan kecil. Semua ini bagian dari proses," pikir Arya sambil mencatat.

Sore harinya, Arya memimpin latihan tim basket.

Dengan clipboard di tangan, dia berdiri di tengah lapangan sambil memberikan arahan ke rekan-rekannya.

"Guys, kita harus fokus ke defense hari ini. Kalau kita nggak bisa nahan serangan lawan, percuma kita nyetak poin banyak," ujarnya dengan nada serius.

Ethan, yang selalu suka bercanda, mengangkat tangan. "But Captain, what if the defense is too good and we can't score either?"

Arya menatap Ethan dengan senyum kecil. "Then I'll bench you, Ethan."

Semua tertawa, termasuk Ethan sendiri. Meski suasana latihan jadi lebih santai, Arya tetap memastikan semua berjalan sesuai rencana. Dia bahkan memberi latihan tambahan untuk memperkuat koordinasi tim.

Di tengah latihan, pelatih mendekati Arya.

"You're doing great, Arya. But remember, leadership isn't just about giving orders. It's about inspiring your team to be better," ujar pelatih dengan nada bijak.

Arya mengangguk pelan. "Yes, Coach. I'll keep that in mind."

Setelah latihan selesai, Arya duduk di pinggir lapangan untuk istirahat. Saat itu, Emilenia datang membawa dua botol air mineral.

"Capek banget ya?" tanya Emilenia sambil menyerahkan satu botol ke Arya.

Arya mengangguk sambil membuka tutup botol. "Lumayan, tapi gue nikmatin. Latihan ini penting buat persiapan minggu depan."

Emilenia tersenyum. "Lo selalu serius banget kalau soal basket. Gue salut sih, tapi jangan lupa jaga kesehatan juga."

"Thanks, Emi. Gue bakal inget itu," jawab Arya.

Mereka mengobrol sebentar tentang hal-hal ringan, dari cerita konyol di kelas sampai rencana pertandingan.

Malamnya, Arya kembali ke asramanya dengan badan yang lelah tapi hati yang puas.

Hari itu berjalan lancar, tanpa drama atau kesalahan berarti.

Dia duduk di tempat tidurnya, membuka ponsel, dan melihat beberapa pesan dari Nadira.

"Arya, gimana harimu? Lancar nggak latihan timnya?"

Arya tersenyum kecil dan membalas, "Lancar banget, Nadira. Gue tadi fokus ngasih strategi baru buat tim. Lo gimana? Semua aman di klub seni?"

Nadira membalas cepat. "Aman, tapi tetep capek, he-he. Gue tahu lo pasti bisa handle semuanya. Semangat terus, Arya."