Ospek yang tak terlupakan
Pulau Dewata, 2027
Langit biru tanpa awan membentang di atas Denpasar, mengiringi langkahku yang terburu-buru menuju toko buku kecil di seberang jalan., suhu udara yang tinggi membuat orang-orang beranung di balik Gedung-gedung di sepanjang jalan kota, dan sebagai penanda Denpasar sudah tidak seperti dulu, pantas saja para bule suka berkeliaran disini.
Di bawah matahari yang terik aku berjalan gontai sambil beberapa kali membenarkan rambut panjang indahku, aku menelusuri terotoar dan segera mempercepat langkahku ketika hampir tiba di Toko Buku tujuan ku di Seberang jalan. Mugkin cukup terasa aneh sebagai wanita karir yang sibuk, aku masih suka menghabiskan membaca buku di tengah rutinitasku yang padat ini, namun bagiku membaca buku adalah liburan secara sederhana, seperti dia dan hal-hal sederhana yang melekat padanya. Yah, namaku Evhe Nur Kumala, wanita karir 26 Tahun yang menurut beberapa orang mungkin cukup sukses, bagaimana tidak aku sudah bisa hidup nyaman dan berkecukupan diumurku yang terbilang muda ini. Namun di satu sisi aku cukup kesepian karena ya hingga saat ini aku masih singgle, atau bahasa anak mudanya 'Jomblo'.
Aku cukup terkejut melihat keadaan Toko Buku pada hari ini, gimana ngga, Toko buku kecil ini biasanya tidak terlalu ramai dengan satu atau beberapa orang saja yang datang, namun kali ini tidak, banyak orang mengantre di bagian rak buku baru itu, dan membuatku cukup penasaran buku apa kali ini yang membuat mereka rela-rela berdesakan.
Mataku tertuju pada buku baru yang menarik perhatian banyak orang itu, padahal buku ini biasa saja, dari segi sampulpun buku ini tidak terlalu mencolok, namun entah dorongan dari mana membuatku membulatkan tekat untuk segera membeli buku ini.
Buku ini merupakan buku kumpulan puisi dari seorang penulis baru aku rasa, mengingat aku cukup kurang familiar dengan nama pena si penulis. "J" apa-apaan nama pena ini, sungguh tidak niat memberikan nama pena si penulis, belum baca saja aku sudah jengkel dengan namanya. Namun rasa penasaranku mengalahkan semua hal yang ada, pada akhirnya aku tetap membeli buku ini. Aku ingin lihat seberapa indah kata yang bisa dia ciptakan dalam puisinya hingga orang rela-rela berdesakan dan mengantre untuk membelinya. Segera aku pergi ke meja kashir untuk melakukan pembayaran dan tidak ingin lama-lama berdesakan dengan orang-orang ini, apa mereka tidak tahu pengap tahu!.
" mang ini aja ya.." ucapku segera ke meja kashir setelah mengantre sesaat.
" eh neng Mala udah lama ga kelihatan, sibuk banget kayaknya, hmm.. kali ini mau mencari keseruan di buku apalagi nih kali ini?, wah buku baru ternyata, buku ini belum seminggu memang best seller sih neng, abang juga heran, padahal penulisnya juga belum lama-lama ini menerbitkannya, tapi udah banyak aja yang beli, keren sih beliau". Ucap mamang kashir sebagai ramah-tamah kepada pelanggan, mengingat aku cukup sering pergi ke sini untuk sesekali membeli buku, baik itu buku lama ataupun buku yang menurutku bagus.
" ah si mamang bisa aja. Ngga ini penasaran aja sama buku ini, bisa-bisanya banyak yang antre padahal nama penulisnya aja aneh dan ga jelas gini. Sok misterius banget sih penulisnya!". Balasku sopan namun diselingi candaan.
"ah neng mala mah gatau aja, mamang juga heran, sama si penulisnya, padahal terbilang baru, tapi dah rame aja orang ngantre dari pagi sejak Toko buka, denger denger si orangnya Kasep neng, yah mamang si gatau ya, mungkin itu kali daya tariknya neng, eh ini neng jadi keasikan ngobrol haha". Balas si mamang sambil memberikan belanjaan bukuku.
" ah iya mamng maaf, dan nuhun ya mang. Saya pulang dulu hehe".
Langkahku pun mulai semakin menjauh dan sedikit demi sedikit meninggalkan Toko Buku ini. Di perjalanan pulang, rasa kesalku berkurang. Penasaran mulai mengambil alih. Siapa sebenarnya si 'J'? Dan kenapa tulisannya membuatku merasa seperti mengenal dia?
"Aku jadi tambah penasaran dengan si penulis sok misterius ini, bikin keinget sama sesorang aja, sudahlah bodoamat, awas aja kalau tulisannya ga seberapa akan langsung aku review dan ku viralkan, ini namanya pembodohan". Gerutuku sepanjang jalan selagi pergi ke halte terdekat untuk menunggu taxi online yang ku pesan.
Beberapa menit berlalu di dalam mobil saat di perjalanan pulang, dikarenakan bosan aku iseng dan mulai membuka bungkus plastik yang berisi buku yang aku beli barusan.
"hmm.. 'J' nama yang unik dan tidak pasaran, tapi aneh dan sok misterius tau!" gerutuku sambil membolak-balik halaman awal.
KATA YANG HANYA DI PAHAMI OLEH KESUNYIAN.
By: J
"Judul yang menarik aku rasa."
Gerakan tanganku terhenti saat membaca kata demi kata. 'Hari itu di bawah langit dan senja yang sama,' judul setiap puisinya sederhana, tetapi setiap barisnya menyentuh sesuatu dalam diriku yang sudah lama terkubur. Dan melihat sambutan beberapa kata pengantar buku ini, dan membuat prespektifku terhadapnya entah mengapa sedikit demi sedikit berubah.
"Terimakasih Tuhan, terimakasih Alm. Ayah, untuk perempuan hebat bernama ibu, saudara hebat bernama kakak, pembaca yang murah hati yang rela meluangkan hartanya dan wanita spesial yang menjadi inspirasiku dalam setiap tulisan".
Jujur aku sedikit speachless sesaat membaca sambutan hangat itu. Sudut bibirku tanpa sengaja sedikit naik tersenyum.
"Selain aneh dan sok misterius kau juga punya sisi humanisme dan humor yang baik ya, eh Vhee, ngomong ngawur apa sih!, ngga, ngga, sambutan pengantar apa-apan nih, ga jelas!, apasih pak, ga usah liat-liat!". Sebalku sambil melampiaskan pada driver taxi online ini, karena dia melirik dari kaca mobil sambil sedikit terkekeh karena melihat tingkahku di kursi belakang.
Tanpa terasa kesebelanku terhenti mengingat mobil ini sudah tiba di depan lobby apartemenku, ya sudahlah kulanjut di kamar saja nanti membacanya, aku mau beres-beres dan bersih-bersih dan istirahat dulu.
Akupun melangkahkan kaki memasuki kamar dengan luas empat puluh meter persegi itu. Dan yah aku tinggal sendiri di sini, walapun masih satu kota dengan keluarga besarku disini, namun dengan alasan pekerjaan aku lebih suka menyendiri untuk fokus dan memudahkanku berangkat ke tempat kerja mengingat jarak dari apartemen dengan kantor cukup dekat hanya 10 menit dengan taxi online.
Kuletakkan tas dan barang-barang belanjaanku tadi di atas kasur, selagi aku hendak mengambil handuk untuk pergi ke sesi terapi yakni mandi.
Tiga puluh menit berlalu akupun keluar dari kamar mandi dan segera ganti baju. Setelah siap semua aku mencari ponsel genggamku untuk mengechek email dari kantor siapa tahu bosku tiba-tiba mengirim file untuk ku selesaikan. Setelah beberapa menit berkutat di layar ponsel, atensiku entah mengapa beralih kepada barang-barang di atas kasur tadi, aku jadi penasaran kelanjutan buku yang aku beli siang tadi.
Aku segera mengambil buku tadi dan lanjut membaca karena tadi ada sedikit distraksi. Dan pada halaman pertama saja entah mengapa aku sudah mulai sedikit terhanyut dalam setiap penggalan kata yang dia tuliskan dalam puisinya.
Hari itu di bawah langit dan senja yang sama
Oleh: J
Akhir Agustus 2019
Langit terik yang cerah, namun yang kulihat hanya wajah-wajah asing
Semua orang sibuk, sibuk mencari tempat, sibuk mencari arah
Sampai tanpa sadar kau muncul
Dengan pipi tembam, rambut hitam indah bergelombang dan senyum yang gugup
Â
Kita bukan teman, belum,
Hanya dua orang yang terjebak di barisan yang sama,
Berusaha memahami aturan yang entah untuk siapa
Â
Kau berbicara, sederhana saja,
Nama, asal, mimpi-mimpi yang masih muda,
Tapi ada sesuatu di suaramu,
Yang membuat semua terasa lebih nyata.
Aku tak pernah berpikir,
Bahwa hari itu,
Adalah awal dari banyak hal yang tak pernah kuduga.
Awal dari tawamu yang selalu kutunggu,
Awal dari cerita yang entah kapan akan selesai.
Â
Entah mengapa penggalan demi penggalan, kata demi kata yang dia susun mengingatkanku pada seseorang di kota itu. Kota yang hampir bebrapa tahun ini aku tinggal, kota tempatku belajar di perantauan, kisah-kisah remaja, kisah wanita mecoba dewasa, dan kisah indah yang belum aku tahu jawaban akhirnya.Â
Langit Bali sore itu mengingatkanku pada langit kota kecil itu, tempat pertama kali aku bertemu dengannya. Langit terik, tetapi ada sesuatu yang lebih hangat dari matahari senyuman seorang pria yang akan selalu aku ingat.
***
Â
Kota Tembakau, 2019
Kisah ini bermula dimana ketika aku baru menginjakan kaki di Universitas kota itu. Salah satu universitas cukup bergengsi yang berada di kota itu.
Pagi itu aku berangkat pagi sekali dengan terburu-buru naik angkutan kota, untung saja tidak terlambat ku rasa, maklumlah jarak rumah Tante dengan kampus cukup jauh jadi aku terpaksa pergi pagi buta agar tidak terlambat mengikuti apel pagi hari pertama masa orientasi ini.
Ospek hari pertama selalu menjadi momen paling menegangkan bagi siapa pun, termasuk aku. Di tengah keramaian mahasiswa baru, aku merasa seperti butiran pasir yang tenggelam di lautan. Tetapi di antara semua wajah asing itu, ada dia yang entah kenapa terasa lebih familiar.
Pagi itu, aku berdiri di barisan mahasiswa baru, berusaha menahan rasa gugup. Matahari sudah mulai menyengat, tetapi lebih panas lagi tatapan para senior yang sibuk berteriak memberi perintah. 'Baris yang rapi! Jangan keluar dari barisan!' suara itu menggema di antara kami yang diam membisu.
"WOI DEEKK! Baris yang rapi!, itu siapa itu kok keluar barisan hah!" lamunanku tersentak seketika ketika para senior membentak beberapa mahasiswa yang bebal keluar barisan. Haha rasakan, suruh siapa tidak taat aturan, mana datang terlambat lagi.
"maaf bang, maaf, ga lagi dah, janji". Ucapnya menyesal.
"yasudah, sana pergi barisan kamu, kelompok berapa kamu?, 6. Oke Nathan kuberi peringatan, mengingat ini masih pagi, jangan diulangi, lain kali sama senior yang lain jangan sangan sampai begini inget!" tegas abang senior itu pada mahasiswa tadi setelah melihat name tag yang dia miliki.
Haha mampus suruh siapa bandel, eh bentar tadi kata abang senior kelompok 6? Lah bukannya itu kelompokku? Waduh bisa gawat, aku tidak mau mencari dekat-dekat mahasiswa ini, bisa bahaya, bisa kena masalah yang ada selama aku ospek seminggu kedepan.
Aku mencoba fokus pada diriku sendiri, sampai seorang pria tiba-tiba berdiri di sebelahku. Dia tersenyum lebar, senyum yang terlalu santai untuk situasi seserius ini. Dan yah tanpa sadar lamunanku buyar karena mahasiswa ini tiba-tiba di barisanku.
"hai, halo salam kenal, aku Jhonalafiathan, panggil aja Nathan, Jhona, Juna bebas, kita satu kelompok, kamu jurusan apa?" sapanya singkat yang membuat lamunanku buyar sambil dengan senyum hangat.
"eh iya halo, na-namaku Evhe Nur Kumala, panggil aja Mala, jurusan Tata Negara". Aku tertegun, terlalu gugup untuk menjawab, dan Jawabku terbata-bata, gimana ngga, walaupun kesan pertama tadi buruk, ternyata dia tidak seburuk itu aku rasa, buktinya dia menyapa ramah, sepertinya diajari sopan santun yang baik oleh orangtuanya.
"oke, salam kenal Nur hehe". Jawabnya santai dengan gurauan. ia tertawa kecil, tapi aku hanya memandangnya kesal.
What!! Apa, aku tidak terima barusan aku sudah beri nama panggilanku, dia malah membuat nama panggilan sendiri, apa-apaan itu.
"ha?! Apa maksudmu huh?! Seenaknya saja membuat nama panggilan. Mala, biar ku eja M-A-L-A, mala, seenaknya saja membuat panggilan huh!". Balasku sebal.
"hehe, maf, maaf, oke Vhee saja kalau begitu, aku lebih suka berbeda. Piece ". Ucapnya sambil terkekeh sambil berpose dua jari, padahal tidak ada yang lucu dia malah tertawa. Dia hanya terkekeh lagi, dan aku mendapati diriku merasa lebih santai. Mungkin karena dia terlihat begitu percaya diri meskipun tubuhnya kurus dan agak berantakan.
"huft yasudah terserahmu sajalah, toh aku juga ga mau berurusan denganmu, aneh, bebal, bisa stress yang ada kehidupan kampusku". Balasku sebal dan mengalah, karena tidak mau memperpanjang urusanku dengan dia.
Tapi sebentar dia belum menyebutkan jurusannya, bisa gawat jika nanti aku ditanya senior tentang teman satu barisanku jurusannya apa, nanti aku malah tidak bisa menjawab.
"oh iya Fii.. kau jurusan apa?" tanyaku
~ hening
Sialan dia tidak merespon dan menjawabku.
"fii.. kau jurusan apa hey? Ucapku agak keras, sambil memukul lengan kurusnya.
"oh Vhee, apa? Kamu berbicara padaku?, kukira pada temanmu yang lain, karena tadi memanggil Fii, aku kan bukan Fi, eh bentar oh iya, ada Fi dalam Jhonalafiathan hehe, maaf, maaf". Cengirnya tanpa rasa dosa.
"aku jurusan Hukum Ekonomi Vhee, yah satu fakultas lah kita. Fakultas sosial dan hukum". Imbuhnya santai.
Jderrr, What! Dia satu fakultas? Apa ga salah denger aku. Mampuslah kehidupan kampusku ini Huhu T_T.
Empat tahun kedepan aku pikir tidak akan berurusan lagi dengan mas-mas jawa kurus dengan tinggi sekitar seratus enam puluh sembilan senti meter ini. Eh? Maaf, tapi beneran dia dari jawa aku rasa, melihat kulit eksotis khas Indonesia, kumis tipis serta interaksinya dengan abang senior dengan logat khas jawanya, ya wajar dong aku langsung menyimpulkan dia dari jawa.
Ya walaupun dia kurus yang bikin sebel, tapi dia lebih tinggi 15 senti daripada ku kan jadi ga bisa membalas kalau dia bahas fisik.
Yah pagi itu mengalir begitu saja. Aku yang masih muda, naif, kikuk dan kadang suka tantrum bertemu dengan dia, mas-mas jawa usil yang suka usil mengataiku tembam dikemudian hari. Mas-mas jawa biasa yang tenang, usil, dengan senyuman hangat tipisnya yang penuh arti, membuat kesan auranya berbeda dari pria manapun. Pria yang ikhlas tanpa pamrih menolongku di kala susah dikemudian hari itu, ya dia Fii, Jhonalafiatan, ya aku lebih suka memanggilnya Fii, seperti katanya yang unik dan berbeda itu mudah dikenal.
***
Â
Beberapa hari kemudian sebelum masa orientasi selesai, dia mengantarkanku pulang sore hari itu, suasana sore hari setelah hujan di atas motor tua klasik miliknya menambah kesan hangat kota Tembakau ini. Bau wangi parfum kopi segar berpadu dengan keringatnya seharian entah mengapa membuatku tenang.
Walaupun kami baru beberapa hari kenal dan berteman, ternyata dia tidak seburuk pikiranku dulu, mas-mas jawa sederhana ini ternyata begitu baik, awal mula perkumpulan kelompokpun demikian, disaat kami bingung mengenai jargon apa yang hendak kami jadikan iconic bagi kolompok ini, dia dengan beberapa teman tiba-tiba menyeletukkan ide aneh.
"rek, guys, rencang-rencang sedoyo, aku ada ide untuk jargon kelompok, gimana kalau begini, 'enam, enam, kelompok enam, kelompok enam cantik dan tampan', gimana?". Hehe, lucu bukan dengan nada khas lagu anak anak menanam jagung dia mengusulkan idenya.
"gimana, gimana? Angkut yak?"
Dan yah kalian bisa tebak endingnya bagaimana, usulan idenya diterima dengan tawaan riang di malam itu. Dan kekonyolan sederhana lainnya di masa ospek itu. Padahal dia terbilang cukup kalem tapi ternyata punya sisi humor dan ide yang diluar nalar hehe.
"aduh," seruku karena dia tiba-tiba berhenti mendadak. Lamunanku terhenti ketika dia berhenti mendadak di lampu merah persimpangan jalan, tiga ratus meter sebelum rumahku.
"Kenapa sih Fii? Jangan jadiin kebiasaan ah, berenti mendadak!" kesalku padanya.
"Hehe, maap, maap, ku kira tadi nutut eh ternyata ga bisa nerobos, maaf yaa, ga di ulangi lagi dah janji". Cengirnya lebar dengan tak berdosa.
"awas aja kalau di ulangi"
"iyaaa, janjiii".
Keasikan bertengkar sambil bercanda, tibalah kami di rumahku dengan selamat, walaupun ya ada insiden kecil tapi dia mengantarkanku dengan selamat hingga tujuan.
Setelah meletakkan helm di stang motor dia ikut turun dari motor.
"yee sampe, makasi ya Fii, lah eh? ngapain turun?, tumben." Ucap dan taanyaku curiga.
"gapapa pingin aja." Ucapnya santai sambil berjalan masuk ke arah depan rumah.
Disela saling tatap-tatapan, tantekupun keluar rumah, dan menyambutku.
"loh Mala sudah sampe rupanya."
Belum sempat aku menjawab, Fii berjalan ke arah tante sambil salaman menunduk sopan dengan mencium tangan, kesopanan khas masyarakat jawa.
"assalamualaikum nte".
"ini siapa Mal? Kebiasaan, ko ngga di tawari mampir dan singgah dulu?" tanya tante padaku.
"ini Nathan te, teman kampus satu kelompok." Jawabku.
"walah nak nathan, mari, singgah dan mampir dulu." Tawarnya ramah.
"mungkin lain kali saja nte, sudah sore, maaf ya." Tolaknya halus.
"eh, begitu, yasudah hati-hati ya nak"
"iya nte, maaf yaa marik, selamat sore"
Sambil menuntun motor, dia pergi menjauh dan pulang.
"Yasudah kamu masuk rumah dah sore, mandi bau tau kamu tu".
"ihh, tantee"
Yah hari itu usai disertai langit sore indah kota tembakau ini. Hari-hari berikutnya aku tahu bahwa pertemuan dan pertemananku dengannya ini bukan tanpa sengaja, seolah-olah Tuhan telah menakdirkannya. Seseorang yang menjadi tempatku pulang kelak di esok hari, seseorang yang aku gengsi untuk mengucapkan 'aku rindu'.