Chereads / Dia Nathan dan kata-katanya yang tak pernah usai / Chapter 2 - Desir Laut dan Bayang-Bayang Baru

Chapter 2 - Desir Laut dan Bayang-Bayang Baru

2. Desir Laut dan Bayang-Bayang Baru

Kembali ke Pulau dewata, 2027

Malam ini entah mengapa suasana Denpasar terasa lebih hangat, padahal aku hanya memakai kaos dan celana pendek dan sedang berada di balkon kamar apartemenku, yang tidak begitu jauh dari pantai, aku termenung di atas balkon apartemen ini, di tanagku tergenggam sebah buku yang sudah aku selesaikan kemarin malam.

Sebuah buku kumpulan puisi dari seorang penulis dengan nama "J", buku itu telah selesai beberapa kali aku baca kemarin malam, entah mengapa semakin aku baca aku semakin terhanyut dalam penggalan demi penggalan kata yang dia tulis, dan membuatku kembali kini membacanya lagi, terutama pada halaman ke 9, halaman favoritku itu, bait puisi pertama yang sangat hangat layaknya pantaisore itu, menyambutku dan membuatku kembali tenggelam ke dalamnya.

Di bawah jingga yang hangat membentang

Ombaknya berisik, namun mengantarkan cerita

Di pasir lembut kita duduk bersama

Kau tertawa kecil, aku gugup tak berkata.

Aku menarik nafas dalam, semakin aku baca dan aku ulang bait-bait ini terasa lebih akrab. Pantai itu, momen yang membuatku teringat padanya, seseorang yang kurindu, seseorang yang sederhana. Tanganku gemetar saat aku membalik halaman berikutnya, seolah takut menemukan lebih banyak kenangan yang cobaku kubur. Tapi bait berikutnya mengalir seperti ombak, membawaku kembali ke masa itu, masa ketika Nathan mengajakku ke pantai setelah ospek.

***

Kota Tembakau, pertengahan Sepetmber 2019.

Pagi itu aku telah disibukkan dengan cucian baju yang menumpuk hingga menjelang siang hari, padahal aku berharap di hari weekend ini bisa bersantai dengan tenang, namun sejak shubuh tadi Tante mengomel mengenai cucian baju yang menumpuk.

"kamu ini Malaa, weekend-weekend malah rebahan terus, mbok yo cuci baju tah apa gitu!, jadi cewe ko rebahan sama maen hape pagi-pagi, yang produktif gitu lho, jangan sampe Tante telpon Mamamu biar di omelin". Cerocos tanteku tanpa jeda.

"iyaaa- iyaa ntee, bentar lagii, baru aja maen HP malah kenak omel pagi-pagi". Jawabku sebal.

 Yah beginilah kegiatanku jika tidak pergi ke kampus, ospek telah selesai dua minggu lalu, dan aku mulai disibukkan oleh kegiatan kampus setelahnya, dan sejak dari tadi pagi buta aku sudah menekuni kegiatan ini selama beberapa minggu terakhir di sini, dan tidak terasa jarum jam menunjukkan pukul 10 siang, dan kegiatan mencuci, mandi serta beres-beres rumahku selesai.

Aku segera merebahkan tubuhku pada kasur empukku ini, melepaskan penat sejenak. Tanganku meraih ponsel genggam di seberang belahan kasurku, dan segera memeriksa ada pesan masuk atau tidak, entah pesan dari grup kelompok ospek ataupun grup kelasku, dan yah ternyata tidak ada notifikasi apapun yang masuk. Tidak berselang lama ponselku bordering menandakan ada notifikasi masuk, dan kalian bisa menebaknya pesan dari siapa itu, yah Nathan. Namun bukan pesan pribadi melainkan pesan dari grup kelompok ospek kemarin.

"wahai orang berbudiman, adakah kalian senggang hari ini?" pesannya di grub itu.

"yah sorry Nath, lagi keluar, nemenin Nyokap belanja", balas Risal setelahnya.

"skip dulu lagi bareng ayang beb".

"yah Tan, kenapa ga ngajak dari pagi si ah, kan lagi di luar kost nih, next time ajalah" balas Jarip kemudian.

Dan dalam hitungan kurang dari lima menit pesan grub ini menjadi ramai, namun saling membalas pesan bahwasannya masing-masing dari mereka hari ini ada kesibukan.

Tanganku kemudian mengetik sesuatu menanggapi pesan Nathan dengan pesan pribadi.

"Kenapa Fii?, butuh bantuan kah?, atau gimana?" balasku pada pesan pribadi itu.

Tanpa berselang lama diapun tanpa membalas pesan dia menelponku.

"Halo Vhee, emm, sibuk ga?, mantai yuk, bosen dirumah terus nih". Ucapnya antusias diseberang sana kemudian.

"hmm, mantai ya?", ucapku menimbang-nimbang keputusan.

"yah Vhee juga sibuk juga, huhu, yasud.."

"ayok, sana siap-siap, ku tunggu di depan rumah ya". ucapku memotong kalimatnya tadi.

Yah apa salahnya untuk melepas penat sesekali, mana tadi selesai nyuci baju yah mungkin Tante tidak keberatan jika aku keluar sebentar.

***

Senja saat itu begitu hangat dan sempurna, kami duduk berdua, langit pantai yang indah dan semilir angin lembut membelai wajah kami, Nathan mengajakku duduk di atas pasir, jauh dari keramaian.

"Vhee, kamu suka pantai ga?". Tanyanya disaatku terlamun dengan keindahan pantai.

"hm… suka sih, tapi biasanya bersama keluarga, dan ya baru kali ini pergi bersama… ya teman." Jawabku dengan muka sedikit memerah, karena panas, kalian pikir apaa? Tersipu? Jangan harap, belum.

"wih seriusan?, wah berarti aku istimewa dong, bisa jadi yang pertama." Ujarnya antusias.

"Jangan ge-er dulu." Ucapku terkekeh sambil memukul pelan lengannya.

Cukup lama kami berbincang diatas tumpukan pasir indah dan ombak laut yang tenang, kemudian Nathan berinisiatif mengajakku ke warung terdekat untuk beristirahat sekaligus meneduh sejenak. Es kelapa muda adalah pilihannya di sore ini, namun rat mukanya berubah, seketika wajahnya terlihat tidak biasa dan panik.

 

"Hm…Vhee, kayaknya aku lupa bawa dompet. Jadi, bisa nggak... kamu traktir dulu kali ini? Aku janji bakal balikin." Sudah kuduga, Yah begitulah dia, terlihat tenang, namun ada saja kecerobohannya.

"Ish. Ko bisa sih Fii, yasudah Boleh, tapi bunganya dua kali lipat ya." Ancamku pada dia dan berpura-pura sebal.

"Deal. Tapi aku nggak janji bisa bayar baliknya dengan uang." Balasnya, dan sudut bibirkupun sedikit terangkat, melihat tingkahnya ini.

Aku tahu dia merasa malu. Wajahnya sedikit memerah sore itu, meskipun dia mencoba menutupinya dengan bercanda. Tapi aku juga merasa ini adalah sisi Nathan yang berbeda, yang jarang dia tunjukkan kepada orang lain.

***

Dengan kelapa muda di tangan, aku memandangi pantai yang tenang, di sebelahku, Nathan tampak tidak bisa diam, menggeser-geser posisi duduknya.

"Aku tahu kamu tidak bisa tenang," aku berkata sambil tertawa kecil dan mukanya tampak memerah.

"Ya.. karena aku baru ingat sesuatu." Katanya sambil menggaruk kepala.

"Aku lupa bawa dompet," lanjutnya.

Aku tertawa pelan,

"Jadi sekarang aku mentraktirmu ya? wah rugi besar dong aku."

Kami tertawa, meski wajahnya tanpak masih mau-malu, ada sesuatu yang dimiliki Nathan yang membuatku lebih ringan saat di dekatnya, walaupun dia sendiri sedang canggung.

Saat kami duduk lebih lama, dia mulai bercerita mengenai kehidupannya, tentang Si Bro, motor tua yang selalu menemani hari-harinya, dan tentang masa depan dan harapannya yang begitu luas, yang selalu dia usahakan. Namun, ditengah canda tawa yang manis itu, aku menemukan sesuatu dimatanya, sebuah keseriusan yang jarang aku temukan.

Tawa kecil dan senja indah dimatamu,

menjadi cerita indah,

Yang tertingal dalam kenangan,

dan tak bisa di tuliskan, bahkan dengan pena emas.

"Vhee," tiba-tiba Nathan berbicara, suaranya kini lebih berat dari biasanya.

"Aku Cuma mau bilang, aku senang kita bisa kesini hari ini." Ucapnya sambil sedikit mengucap kepalaku lembut dengan gemas.

Aku menoleh bingung, bingung dengan nada bicaranya yang berubah. Dia hanya tersenyum, menatap ke arah ombak, dan aku membiarkannya. Aku tak tahu saat itu ada kata-kata yang tertahan dalam dirinya, seperti bait puisi yang belum selesai di tulis. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi untuk saat ini, aku merasa... nyaman. Mungkin terlalu nyaman.

***

Kota Dewata, Malamnya, 2027.

Malam semakin larut, udara sejuk mulai menghampiri balkon apartemenku, tangankupun dengan perlahan mulai menutup buku ini dan bersiap untuk pergi kedalam untuk beristirhat, aku membiarkan punggungku bersandar pada sandaran kasurku ini.

Bait-bait puisi terngiang-ngiang dikepalaku, seolah-olah si "J" mengajakku untuk kembali mengingat momen itu, dan seolah Nathan hadir disini untuk mengajakku berbicara langsung padanya.

"Nathan… malam ini aku bingung, kenapa aku merasa bait yang ditulis oleh 'J' terasa ini untukku, dan bukan cuma tentang pantai itu? tapi aku tahu ada sesuatu yang lebih. Apakah ini tentang semua momen yang kita bagi, momen yang aku abaikan karena aku terlalu takut untuk melihatnya sebagai sesuatu yang nyata?."

Akupun mulai memejamkan mata, dan membiarkan pertanyaan-pertanyaan ini membawa pikiranku pada momen-momen yang tak pernah aku lupakan, momen di atas Si Bro, motor tuamu. Hal yang tak pernah aku tahu kejelasannya hingga esok hari, kata-kata yang hilang diantara deru angin malam.

***

Kota Tembakau, Malamnya, 2019.

Setelah sore yang tak akan aku lupakan, sore yang bahagia, walaupun sederhana seperti dia, kamipun pergi pulang, meninggalkan pantai dan momen indah di dalamnya.

Nathan mengantarkanku pulang dengan motor tuanya, Si Bro namanya, cukup lucu untuk nama sebuah motor. Suara mesin tua itu memekakkan telinga, dan angin malam terasa dingin menusuk. Di tengah perjalanan, Nathan memperlambat laju motornya.

"Vhee, aku mau bilang sesuatu," katanya. Aku hanya mengangguk, mencoba menangkap kata-katanya di tengah suara angin yang ribut.

Dia melanjutkan, tetapi semua yang ia katakan tertelan oleh deru mesin Si Bro dan angin yang memotong suara. Aku tidak mendengarnya, dan dia tidak mengulanginya. Malam itu berakhir dengan keheningan, tetapi aku merasa ada sesuatu yang hilang di antara kami. Kata-kata yang aku sesali di esok hari, mengapa dia tak mengulangnya, kata-kata yang mungkin akan merubah semuanya, segala cerita kehidupan kampusku.

***

Kota Dewata, Keesokannya, 2027.

Pagi dini hari aku terbangun, tersadarkan dari mimpi indah sore hari dan malam yang membingungkan itu. Kata-katanya yang tak pernah terucap, kata-katanya yang terlambat dia sadari, akupun membuka buku itu sekali lagi, membaca bait terakhir dari puisi tersebut.

Keberanianku hilang dalam deru roda tua ini,

Meninggalkan aku sendiri dalam penyesalan yang tak terdefinisi.

Mataku mulai berkaca-kaca. Aku tidak pernah tahu apa yang Nathan coba katakan malam itu, dan sekarang, aku merasa terlalu terlambat untuk mengetahuinya. Tapi satu hal yang pasti, Nathan telah menuliskan segalanya dalam puisi-puisinya, meninggalkan jejak yang takkan pernah hilang.

"Nathan... aku mendengarnya sekarang, meskipun aku terlambat. Maafkan aku. Aku harap kau tahu bahwa aku juga merasakan sesuatu, bahkan jika kau tak pernah mengatakannya."

***

Pagi hari yang melow membuatku kurang fokus, atasanku beberapa kali menegur karena data yang aku sajikan kurang tepat, jadi pengen cepat pulang dan menangis di kamar semalaman, namun saat mulai patah semangat bayangan Nathan yang tersenyum hangat kembali teringat, kenapa sih dia mulu yang ada dipikiran ini huh!.

Padahal kejadian itu sudah terjadi beberapa tahun lalu, kini dia mungkin sudah hidup bahagia, sudah hidup dengan kehidupannya sendiri, dengan cintanya mungkin, yang jelas aku juga sekarang bahagia, walaupun lingkungan kerja memberikan tekanan, namun aku bahagia karena sudah mapan untuk wanita seusiaku.

Ditengah-tengah hiruk pikuk yang berkecamuk, aku tanpa sadar mendengar beberapa teman kantor berbincang-bincang dan bergosip di sampingku, namun kali ini tentang apa?.

"Eh Dinn, kamu sudah baca bukunya si 'J' yang terbaru itu ngga?, Aaa.. meweek, kata-katanya nyentuh banget, jadi kebawa sama perasaannya dia pas nulis, kek tulus banget gitu dia." Ucap Angel salah satu teman kantorku yang suka bergosip itu, dia seniorku disini saat magang dulu, dia ramah dan yang jadi hal serunya dia suka mendapatkan kabar-kabar yang hot dan terbaru, termasuk sekarang, kali ini mengenai 'J'penulis baru itu.

"Iyaa tau, Ngel, kek aaa… pas nulis dia bayangin siapa sih?, pasti cantik banget kayaknya wanita yang si 'J' jadikan inspirasi itu, eh btw Mala kan sering tuh beli dan baca buku baru, Mala sudah baca?" ucap Dina sambil menoleh dan mengajakku dalam obrolannya.

Obrolan mereka tanpa sadar mengalihkan atensiku dari pekerjaan sejenak.

"eh iya Din? Kamu tanya aku?, aku si baru beres baca kemarin si," balasku singkat.

"wah seriusan Malaa?, tapi bukunya ga terlalu tebal si, tapi seriusan secepat itu kamu bacanya?, wah pasti kamu juga terhanyutkan pas baca setiap kata-katanya ya??." Entah datang setan dari mana, Angel dan Dina tampak antusias mau baca buku, padahal beberapa kali aku selesai beli buku novel atau yang lain mereka tampak tak seantusias ini.

"Yah wajar si, penulisnya juga kan ganteng dari rumor yang beredar, aaa… jadi ga sabar pengen ketemu kamis depan."

"Seriusan?" Aku cukup terkejut, dengan penuturan Angel kali ini.

Sebab dari penuturan Angel tadi, dia bilang si 'J' mau ke Denpasar, emang mau ngapain?.

"Ya serius dong Mala cantik… diakan mau sekalian tur buku di tempat-tempat bukunya diterbitkan. Jadi ga sabar, nanti mau foto-foto bareng ah, nanti juga…"

Kata-kata mereka berikutnya mulai tak aku hiraukan, aku dengan tanpa sadar merasa seperti ada persaingan, dan mulai tenggelam dalam lamunanku, tenggelam dalam mengingat momen itu, momen yang membuatku jauh dengan Nathan.

Siang itu ditengah-tengah kesibukan pekerjaanku, aku mulai terhanyut lagi pada barisan kata dan bait puisi yang ku baca kemarin malam, kali ini, puisinya terasa berbeda, tidak tentang momen indah, tetapi tentang jarak yang perlahan tercipta. Kata-katanya sederhana, tetapi membawaku kembali pada saat-saat ketika Dia pertama kali muncul di kehidupannya.

Dia datang dengan senyum tanpa beban,

Mengisi ruang yang seharusnya menjadi tempatku.

Milikku, ya hanya milikku.

Namanya bergema di antara tawa dan cerita,

Namun, hanya aku yang diam dalam luka.

***

Kota Tembakau, Pertengahan September, 2019.

Hari itu, setelah selesai kelas, Nathan mengajakku ke kantin kampus, hiruk pikuk kantin siang ini tampak ramai dan sesak, seperti biasa dia tampak santai, dengan senyum khasnya dia menyapa di bangku sebrang sudut itu.

"Vhee, sini aku kenalin sepupuku," kata Nathan sambil melambaikan tangan ke seorang pemuda tinggi di sudut kantin.

Aku melihat sosok itu mendekat, rambutnya rapi, postur tubuhnya tegap, dan senyumnya ramah. Berbeda dengan Nathan yang terlihat santai, pemuda ini tampak percaya diri tetapi tenang.

"Ini Arbani," katanya, memperkenalkan pria itu dengan singkat.

"Dia sepupu sekaligus teman sepermainanku sejak kecil."

Arbani mengulurkan tangan dengan sopan, dan aku menjabatnya sambil tersenyum kecil.

"Hai, kamu pasti Mala atau Vhee, kan? Aku sering dengar cerita tentang kamu dari Nathan, katanya kamu orang yang paling cerewet di kelompok ospek kalian." Ucapnya antusias.

"Hei, jangan percaya itu! Dia lebay banget kalau ngomong." Potongn Nathan tidak terima.

"Oh, ya? Semoga kamu ceritanya yang baik-baik saja Nathan." Balasku dengan kekehan kecil.

"Selalu," Gumamnya singkat dengan menatap ke arah lain.

"Hahaha, ya, dia suka lebay. Tapi kali ini kau percayalah dia benar kok." Balas Arbani singkat.

Tak terasa kamipun berbincang-bincang lama, namun aku melihat Nathan cukup pendiam kali ini. Momen itu terasa biasa, tetapi aku tidak bisa mengabaikan bagaimana Nathan tampak sedikit berbeda hari itu, lebih pendiam, seolah ada sesuatu yang mengganggunya. Di satu sisi aku tahu satu hal, Arbani cukup ramah, dan sopan, terlepas sifatnya yang kalem dan cuek di luar. Pantas saja Nathan betah berteman dengannya. Hari itupun berakhir, dengan hening dan bungkamnya Nathan, momen yang mungkin aku sesali suatu sat nanti.

***

Hari-haripun berlalu tugas kampus mulai menumpuk, terkadang aku juga kesulitan, biasanya Nathan setiap akhir pekan selalu menawarkan bantuan, namun sejak siang di kantin itu dia tampak mengindar, dia semakin sibuk, dan mulai ikut beberapa kegiatan organisai terutama Himpunan Jurusannya.

Dikarenakan tugas kuliah yang semakin banyak, suatu waktu Arbani memberikan tawaran bantuan, kami sering menghabiskan waktu bersama, walaupun tanpa Nathan. Dan seiring waktu, aku dan Arbani mulai lebih sering berbicara. Kami memiliki banyak kesamaan, terutama tentang cara kami memandang kehidupan. Namun, di sisi lain, Nathan mulai tampak menjaga jarak. Ia masih tersenyum dan bercanda seperti biasa, tetapi aku merasakan bahwa ada sesuatu yang hilang.

Nathan yang biasanya cerewet dan suka meledekku mulai berbicara lebih sedikit. Kadang aku mendapati dia menatap ke arah kami dari kejauhan, tetapi saat aku menoleh, dia langsung mengalihkan pandangan. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku merasakan ada jarak yang perlahan muncul di antara kami.

***

Kota Dewata, Malamnya, 2027.

Di tengah kenangan itu, aku kembali mengingat salah satu bait puisi yang tulis Si 'J' di buku yang kini ada di tangannya. Kata-kata itu terasa seperti jendela ke hati Nathan, sesuatu yang ia sembunyikan selama ini.

Dia hadir dan datang, tinggi dan ramah tanpa beban,

Sepupu, teman, dan kini lawan tanpa pertarungan.

Dia menjadi bagian dari cerita yang mulai terasa berbeda,

Dan aku tetap diam, menunggu sesuatu yang tak akan pernah tiba

Bait itu menusuk hatiku, membuatku menyadari bahwa mungkin ini yang Nathan rasakan saat itu, mungkin Nathan merasakan sesuatu yang ia sendiri terlalu takut untuk dia akui. "Jadi ini alasannya," pikirku.

Aku kembali menutup buku ini secara perlahan, menatap ke luar jendela kamar apartemenku. Kenangan tentang Arbani, Nathan, dan dirinku sendiri mulai terasa seperti cerita lama yang sulit aku pahami.

"Nathan... kenapa kau tidak pernah mengatakan apa pun? Kau membiarkan aku bertanya-tanya, bahkan setelah semua yang terjadi. Apakah aku terlalu sibuk dengan duniamu sendiri untuk melihat apa yang kau rasakan?"

Aku menghela napas panjang, mataku perlahan memandangi bulan yang menggantung di langit malam. "Dan sekarng Arbani," pikirku, "apakah aku pernah benar-benar tahu apa yang ada di pikirannya?"

Aku ingat sekali saat itu, Nathan duduk di sudut, menunduk, sambil memainkan sedotan plastik di tangannya. Arbani dan Aku sibuk membahas sesuatu tentang kuliah, tetapi Nathan tidak mengatakan sepatah kata pun. Aku ingat menoleh ke arah Nathan, yang tampak lebih diam dari biasanya. "Nathan, kamu nggak apa-apa?" tanyaku. Dia hanya tersenyum kecil dan berkata, "Nggak, aku cuma capek aja." Tapi aku tahu ada sesuatu yang lebih dari itu. Aku hanya tidak tahu apa, dan mungkin aku terlalu takut untuk bertanya lebih jauh.