Garis Serta Jarak Yang Jelas
Aku hanya bisa menjadi bayangan gelap,
Diantara langkahmu yang kian cepat,
Kau duduk di sisi lain cerita,
Dengan senyum yang bukan lagi untukku.
Kota Tembakau, Pertengahan September, 2020.
Dinginnya hawa pagi di kota ini selalu punya ciri khasnya tersendiri, apalagi sejak tadi pagi di kampus, dunia akademisi setiap tahunnya entah mengapa selalu memiliki cerita indah, dan keseruan di setiap awal Tahunnya. Kampusku juga mengalami hal yang serupa, beberapa minggu lalu, para mahasiswa baru telah selesai melakukan masa orientasinya mereka. Suasana pagi riuh dengan obrolan mahasiswa baru yang antusias yang saling mengenal, senior-seniorpun beberapa memberikan arahan pada para MABA yang kebingungan, dan beberapa aktivitas organisasi mulai bergulir.
Selain itu, wajah mereka yang segar dengan mententeng ransel-ransel berisi buku pelajaran atau alat elektroniknya, atau wajah bahagia mahasiswa yang kasmaran lantaran mendapatkan pujaan hatinya selepas masa ospek selesai. Berbicara mengenai ospek, jadi teringat Nathan, Nathan cukup beruntung di kesempatan kemarin menjadi pemandu kelompok ospek bagi para MABA, aku ga bisa membayangkan ekspresi ketakutan MABA waktu itu, apalagi kemarin-kemarinnya Nathan kan super-duper galak, emosional, perfeksionis, tempramen, ah sudahlah, bikin bete pagi-pagi saja kalo ingat dia.
Ditengah hiruk pikuk kampus pagi hari, hari ini aku ada kelas pagi, dan entah mengapa aku berpapasan dengan manusia menjengkelkan ini, Nathan. Sejak pagi tadi di kawasan parkiran, cukup ramai dengan banyaknya wajah-wajah baru mahasiswa muda ini, namun yang menjadi penarik perhatian adalah di sudut parkiran arah barat itu tampak beberapa mahasiswa muda ini mengerubungi beberapa mahasiswa senior, salah satunya Nathan.
Rambutnya dulu mungkin terlihat acak-acakan, kini tampak lebih rapi dengan dikuncir man burn ala-ala samurai Jepang, suaranya tampak lebih tegas namun tenang, tidak ada emosi berlebih, pakaiannya lebih stylish, posturnya kini lebih tegap berisi, bahkan sedikit terlihat atletis, sorot matanya tenang namun tajam, dan ketika dia berbicara seolah-olah dia tahu setiap katanya diperhatikan oleh teman-teman mahasiswa baru ini. Namun yang menjadi perhatian bukanlah ini saja, disisinya ada Yanti.
Iya dia mahasiswi tahun kedua, seangkatanku, teman satu jurusan dengan Nathan. Dia mengenakan blouse putih sederhana tetapi tetap terlihat mencolok, ditambah Nathan juga memakai kaus dengan warna senada, dengan celana jeans biru, dan sepatu sports putih andalannya itu.
Yanti tersenyum manis, seolah-olah dari senyumannya saja sudah bisa diartikan, 'Kami pasangan serasi bukan?, lihatlah aku, aku adalah pasangan sempurna untuk Nathan'. Mereka tampak serasi sekali pagi ini, bagaimana tidak, Si Wanita cantik, dan Si Pria Berkarisma, sungguh serasi. Aku segera mengalihkan pandanganku, dan mengabaikan mereka, namun setiap inchi gerak-gerik mereka seolah-olah mengundang segala perhatian, termasuk perhatianku.
Sedangkan Nathan dia tampak nyaman-nyaman saja, dengan kehadiran Yanti, seolah tak mempermasalahkannya, sungguh dia sekarang begitu berbeda.
Nathan sekarang berubah, terlihat semakin dewasa, dia bukan lagi pria yang mudah tersulut emosi atau berbicara tanpa berfikir seperti dulu. Kini dia berbicara lebih tenang, penuh pertimbangan. Setiap gerak-geriknya mencerminkan kedewasaan baru, tetapi juga jarak yang tak terdefinisikan.
Kadang aku merasa, dia seperti sengaja membuat dinding antara dia dan orang disekitarnya, mungkin itu caranya untuk melindunginya dari dirinya sendiri, atau mungkin…itu adalah caranya untuk menujukkan caranya bahwa dia tidak lagi sama, dan aku tak tahu harus bangga atau kecewa. Apakah itu pengaruh Yanti? Atau tamparanku waktu itu? Aku tidak tahu. Yang jelas, Nathan kini bukan lagi Nathan yang aku kenal. Dan itu membuatku merasa seperti kehilangan sesuatu yang tidak pernah benar-benar menjadi milikku.
***
Kelas pagi itu tampak tenang, selain beberapa mahasiswa yang berdiskusi dengan satu sama lain, dan saling melemparkan argumen, namun ada hal yang menggangguku, yakni obrolan Ryana, teman sebangkuku. Maklum saja, di kelas kami Ryana termasuk mahasiswi hits yang selalu update dengan hal-hal atau berita tentang kampus. Termasuk kali ini, obrolan yang mengganggu pagi tenangku.
"Mala, kamu tahu tidak? Ternyata Nathan sedang dekat dan berpacran lho dengan Yanti, selebgram kampus kita. Ih cute…" ucapnya tadi yang membuat aku kehilangan konsentrasi pagi ini.
"Nih, nih, coba lihat deh, foto Nathan sama Yanti yang baru di-upload tadi malam? Mereka romantis banget, sih!" Lanjutnya sambil memperlihatkan Ponsel genggamnya dengan memamerkan foto Nathan yang tengah di peluk oleh seseorang dengan mesra, yakni Yanti.
"Oh ya?, aku belum lihat, mugkin nanti saja". Balasku berusaha tenang.
"Serius, kamu harus lihat! Mereka kayak couple goals banget. Entah gatau gimana caranya penampilan Nathan tuh makin keren ya, sejak sama Yanti." Balasnya dengan sangat excited.
"Mending kamu selesain quis dari Pak Rasyid minggu lalu, nanti siang di kumpulin, awas aja minta contekan" Balasku seolah tak peduli dengan apa yang terjadi dengan mereka berdua.
"Ih.. Mala kebiasaan, ga asik kalo di ajak bahas yang seru-seru. Eh tapi BTW, bukannya kamu, Arbani dan Nathan dulu sering bareng ya pas maba, kok sudah jarang keliatan bareng si kalian?, apalagi Nathan, kalian ada apa sih sebenernya?" Tanyanya antusias alias KEPO.
DEG!, aku bingung harus menanggapi seperti apa, masalahnya bukan aku yang sengaja menjaga jarak, namun Nathan, ah sudahlah sulit mendefinisikannya.
"Ya mungkin, Nathan lagi sibuk, apalagi bulan depan ada pemilihan ketua himpunan jurusan, dengar-dengar diakan calon kandidat kuat di jurusannya." Balasku mengalihkan pembicaraan.
Tapi benar, di satu sisi kampus sedang mengalami banyak hal, dan lagi sibuk-sibuknya, terutama bagian himpunan dan organisasi untuk sebulan ke depan. Dan yang menjadi kabar mengejutkan, Nathan merupakan salah satu kandidat kuat di jurusannya.
Ya.. selama beberapa bulan ini Nathan sudah menunjukkan kapasitasnya untuk himpunan jurusan, ikut serta kepanitiaan, menjadi ketua pelaksana acara, menjadi salah satu pengkomando di rapat angkatan, dan apalagi beberapa minggu lalu dia menjadi salah satu senior yang menarik perhatian para MABA, yah wajar jika dia menjadi salah satu kandidat kuat, selain karismatik, penampilannya akhir-akhir ini tampak lebih menarik.
Dia sudah bekerja keras sejauh ini, keluar dari zona nyamannya, walaupun rumor jelek dia suka bolos mata kuliah dulu masih terdengar, tapi itu tidak mempengaruhi karismanya untuk pencalonan di periode ini.
Selepas kelas, aku Ryana dan beberapa teman kelas pergi ke kantin kampus, mengisi amunisi sejenak, sebelum kembali memasuki kelas siang nanti. Kami duduk di salah satu bangku tengah kantin, menunggu pesanan siap dengan sedikit mengobrol ringan.
"Eh guys, kalian sudah liat postingan Yanti semalam tidak di Instagram?." Ucap Ryana membuka obrolan di kantin ini.
"Oh yang sama Nathan itu ya?, ih… mereka serasi banget tahu, apalagi Nathan, dia keliatan tambah ganteng ga sih akhir-akhir ini, apa mungkin pengaruh Yanti juga ya?." Balas Rhani tak kalah antusias.
Lagi-lagi obrolan tak penting seperti ini, terutama obrolan tentang Yanti, jujur aku kurang berminat jika berurusan dengannya, ya walaupun dia memang salah satu primadona kampus, bukan berarti harus setiap saat dibuat menjadi bahan obrolan, siapa tahu yang bersangkutan risih kan?, itu sungguh tidak sopan.
Aku tidak tahu siapa yang pertama kali menyebut nama Yanti di antara teman-temanku, tetapi sekali nama itu muncul, aku mendengarnya di mana-mana. 'Yanti, pacar barunya Nathan, cantik banget. Dia juga selebgram, loh,' kata temanku saat itu, dengan nada antusias. Aku mencoba tersenyum, seolah-olah aku tidak peduli. Tetapi di dalam hati, aku merasa kecil. Aku hanya Mala, gadis biasa yang tidak punya apa-apa untuk dibanggakan selain nilai akademik yang rata-rata dan pipi tembam yang sering jadi bahan ledekan Nathan dulu.
Namun semakin aku tolak dan tak menghiraukan obrolan ini entah mengapa hatiku rasanya ingin mendegarkan jika itu berhubungan dengan Nathan. Di tambah aku sudah melihat postingan itu tadi pagi dan kembali melihat iseng saat perjalanan ke kantin.
Dalam postingan itu Yanti dan Nathan tampak serasi sekali, foto mereka di sebuah kafe kekinian yang hits, mereka tampak serasi sekali, foto yang menampakkan Yanti tengah memeluk Nathan, dan Nathan yang merangkul hangat, dengan caption 'With my greatful boy', sebuah caption yang menunjukkan bahwa 'Ini hanya milikku, kita sempurna bukan? jadi menjauhlah.' Tanganku bergtar menggenggam ponselku, jelas-jelas disana nampak sepasang kekasih yang bahagia, hatiku seperti terbakar, dan aku tidak tahu cara memadamkannya, entah aku iri atau bagaimana, tapi yang jelas aku mencoba tidak peduli lagi kali ini.
"Ohya Mala, kamu belum menjawab pertanyaanku tadi pagi di kelas, bukankah kamu dan Nathan dulu tampak sering bersama, namun kini seperti orang asing saja." Ucap Ryana mengaburkan lamunanku.
"Tadi kan sudah aku jawab, kami sama-sama sibuk Ryanaa.. apalagi Nathan digadang-gadang menjadi kandidat kuat pencalonan periode ini. Jadi mungkin itu." Jawabku asal, aku juga tidak begitu mengerti tentang kehidupan Nathan yang sekarang, dan jujur aku merindukan momen-momen itu walau sesaat.
Disela-sela obrolan kami, kantin menuju siang hari ini tampak penuh, untung saja kami segera pergi kesini tadi, kalau tidak, bisa tidak dapat kursi yang ada. Namun di tengah-tengah keramaian kantin tiba-tiba entah ada angin dari mana, kantin semakin pecah riuh dengan kedatangan pasangan kekasih yang sedang hangat dibicarakan oleh beberapa mahasiswa akhir-akhir ini, dan yah itu Yanti dan Nathan.
Kehadiran mereka seolah menjadi magnet bagi orang-orang sekitar, apalagi Yanti, selebgram hits dari kotanya itu, di tahun kedua ini kepopulerannya menjadi daya tarik, terutama kaum adam.
Namun harapan mereka harus pupus, karena kini Yanti sudah memiliki kekasih, apalagi sosok kekasihnya seperti Nathan, selain pintar di akademik dan urusan organisasi, Nathan juga dulunya atlit beladiri, dia pernah bercerita dan menunjukkannya padaku saat itu, dia adalah atlit pelatnas cabor boxing, namun saat itu dia tidak meneruskannya, aku dengar dari dia, bahwa dia kesulitan membagi waktu antara belajar dan latihan jadi dia sengaja beberapa kali bolos, dan berujung dia dikeluarkan dari karantina, padahal saat itu dia adalah anak emas provinsi, namun apa daya, Nathan begitulah adanya dia akan mengerjar apa yang menurutnya penting, dan mungkin saat itu yang dianggap penting bagi Nathan adalah lulus ujian dengan nilai bagus dan bisa diterima di kampus yang dia inginkan dengan beasiswa.
Namun sayang rasanya, jika dia menempuh jalur lain, apakah aku masih bertemu dengannya?, entahlah. Jadi keasikan membahas Nathan kan, kali ini aku melihat Nathan di kantin kampus, berjalan bersama Yanti. Mereka terlihat cocok, Yanti dengan penampilannya yang selalu rapi dan sempurna, Nathan dengan gaya barunya yang lebih dewasa. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa aku tidak peduli, tetapi bayangan mereka terus terpatri di pikiranku sepanjang hari. Awalnya aku tidak peduli. Tapi semakin sering aku melihat mereka bersama, semakin sulit bagiku untuk mengabaikannya. Aku tidak tahu apakah itu karena Yanti, atau karena Nathan memang berubah, tetapi aku tidak bisa menghilangkan rasa asing yang muncul setiap kali melihat mereka.
Mereka berdua duduk di meja sebrang kami, bersama beberapa teman Nathan yang lain, duduk dengan tenang. Makananku datang setelahnya, aku mencoba mengalihkan perhatianku dari mereka, dan fokus menyelesaikan istirahat di kantin ini. Namun ketenangan dan konsentrasiku buyar saat ada yang memanggilku dari meja seberang.
"Oh Hai, kamu Mala bukan?" Sapanya singkat dan hangat.
Aku menoleh sejenak siapakah yang menyapaku kali ini.
"Er.. iya, aku Mala, kamu Yanti ga sih?" Balasku dengan senyum singkat.
"Wah..! ga nyangka bisa ketemu langsung, aku sering dengar dari Nathan, kalian teman satu kelompok ospek dulu ya?"
"Oh ya..? Aku sering dengar tentang kamu juga. Dari teman-teman, kalian sungguh serasi." Entah keberanian dari mana aku menjawab seperti itu.
Namun, setelah aku menjawab tadi, Nathan berdiri dari tempat duduknya, sambil menggaruk kepala tak gatal, dia berdiri dan menarik tangan Yanti.
"Ayo pergi, aku ga jadi makan, aku tiba-tiba teringat ada urusan dengan senior sebentar lagi, mau membahas mengenai pembentukan panitia pemilu nanti." Ucap Nathan dengan datar.
"Oh benarkah? Huhu, tapi janji ya nanti pulang rapat traktir makan ya, kamu merusak jam makan siangku lho sayang, huh!." Balas Yanti dengan nada merajuk manja dibuat-buatnya.
"Iya.. nanti, ayo cepat."
"Yey, makasi my boy, oh ya Mala, sepertinya obrolan kita, kita lanjutkan saja lain waktu, see ya.." Ucap Yanti dan segera mereka pergi meninggalkan kantin.
Yanti tersenyum manis, memeluk lengan Nathan dengan santai. Mereka terlihat serasi, seperti pasangan yang saling melengkapi. Aku mencoba mengabaikan rasa canggung yang muncul di dadaku. 'Mereka bahagia,' pikirku, meskipun hatiku tidak ingin mengakuinya. Aku hanya bisa duduk diam di sana, melihat mereka berjalan menjauh. Nathan bahkan tidak menatapku saat berbicara tadi. Jelas itu bukan Nathan yang kukenal. Nathan yang dulu selalu punya waktu untuk bercanda dan meledekku, kini dia tampak seperti orang asing. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa aku tidak peduli, tetapi hatiku berkata sebaliknya. Aku tidak tahu kenapa aku terus memikirkannya. Yanti adalah segalanya yang aku bukan: cantik, percaya diri, dan populer. Dan sekarang dia punya Nathan, seseorang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, meskipun aku tidak pernah mengakuinya.
Aku jadi tidak mood makan untuk siang itu, dan aku putuskan untuk mennggalkan kantin dan pergi ke perpus, menenangkan diri sejenak.
***
Perpus nampak lenggang, namun tetap banyak mahasiswa ataupun mahasiswi berdiskusi kecil atau berlalu lalang mencari buku di rak atau di komputer pencarian. Nathan pernah memberitahuku sesuatu, salah satu tempat yang membuatnya tenang adalah perpustakaan, baik itu perpustakaan kota ataupun perpustakaan milik lembaga pendidikan. Dulu dia berkata, bahwa buku-buku selalu punya tempat tersendiri untuk menenangkan suasana, entah dari cerita sejarah bangsa-bangsanya, atau cerita-cerita romansa atau bahkan buku penambah wawasan.
Bagi Nathan membaca buku adalah liburan dengan sederhana. Karena dari buku kita bisa berkelana kemana saja, entah itu tempat indah atau semacamnya, sederhana, namun itu cukup.
Dan sekarang, entah sejak kapan aku mulai ikut-ikutan dia, mencari ketenangan di tempat buku-buku berada. Ponselku bergetar di atas meja sejak tadi, namun aku abaikan, aku tidak ingin diganggu kali ini. Pikiranku cukup kalut sejak dari kantin tadi siang.
"Hayo..Mala, kamu kelihatan nggak semangat hari ini. Ada apa hm?" , pikiranku buyar tiba-tiba karena ada yang menepuk bahuku pelan.
"Tidak apa Bani, aku hanya ingin baca buku sejenak." Ya tadi Arbani yang megagetkanku.
Dia menyusulku, kesini, namun mengherankan wajahnya cukup panik kali ini.
"Oh ya?, masalah tugas kuliah apa ada hal yang lain?" balasnya.
"Enggak, Bani. Aku cuma lagi capek aja. Tugas-tugas semester ini berat banget tahu, udah sayang kamu bantu aku sini." Balasku dengan senyum kecil.
"Kalo begitu dengan senang hati, tapi Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja. Aku selalu di sini buat kamu."
"Makasih, ya sayang. Aku tahu aku bisa ngandelin kamu." Senyumku lagi.
Arbani selalu tahu cara membuatku merasa tenang. Tapi entah kenapa, setiap kali dia berkata 'Aku di sini buat kamu,' aku merasa ada sesuatu yang hilang. Dan aku sangat tahu Arbani adalah segalanya yang diinginkan oleh banyak perempuan: tampan, cerdas, dan perhatian. Tapi kenapa, meskipun aku bersamanya, ada bagian dari diriku yang merasa kosong? Kenapa aku masih memikirkan Nathan, bahkan ketika aku tahu dia sudah punya Yanti?. Mungkin karena aku tahu, bahkan dengan Arbani di sisiku, pikiranku masih sering kembali pada Nathan.
Hari itu berakhir dengan banyak pertanyaan. Malam itu aku berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit yang gelap. Bayangan Nathan dan Yanti terus bermain di kepalaku, bersama dengan kata-kata Arbani yang menenangkan. Aku tidak tahu apa yang salah denganku. Aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa berhenti peduli pada seseorang yang sudah jelas-jelas memilih jalannya sendiri. 'Apakah ini cemburu?' tanyaku pada diriku sendiri. Tapi ini lebih dari itu. Ini adalah perasaan kehilangan, perasaan tertinggal, dan perasaan... tidak cukup baik. Dan itu membakar hatiku lebih dari yang bisa aku ungkapkan.
Dan Nathan, kau telah berubah begitu banyak. Kau lebih dewasa, lebih tenang, lebih terkontrol. Kau juga bahagia dengan Yanti, dan aku tahu aku seharusnya ikut bahagia untukmu. Tapi kenapa, bahkan sekarang, aku merasa ada jarak yang tidak pernah bisa aku jembatani?. Dan Arbani... dia adalah segalanya yang aku butuhkan, tetapi kenapa aku merasa seperti aku sedang berlari, mencoba melupakan sesuatu yang bahkan aku tidak tahu apa itu?.
***