Chereads / Dia Nathan dan kata-katanya yang tak pernah usai / Chapter 3 - 3. Dia Mendekat dan Yang Dekat Menjauh

Chapter 3 - 3. Dia Mendekat dan Yang Dekat Menjauh

Dia Mendekat, Namun yang Dekat Menjauh

Kota Tembakau, Awal Oktober, 2019.

Beberapa minggu setelahnya, aku entah tidak tahu sejak kapan tepatnya. Nathan mulai berubah, aku kehilangan sosok yang aku enggan mengatakannya aku rindu, Nathan yang yang aku kenal dulu, mas-mas Jawa yang sering mengusiliku, pria sederhana yang selalu punya cara untuk membuatku bahagia dan tertawa, Nathan mulai menghilang.

Di Kampuspun demikian, aku jarang melihat atau sekedar berpapasan dengannya, bahkan jika bertemupun, dia tampak menghindar seolah ada sesuatu yang tak bisa dia utarakan. Akan tetapi aku tersadarkan oleh satu hal, wajahnya tampak semakin tirus, matanya terlihat lelah, dan senyum hangat itu sudah jarang terlihat.

Selain itu, Nathan tampak lebih sibuk daripada biasanya, dia sekarang menjadi sosok yang dibutuhkan semua orang, Ketua panitia acara fakultas, delegasi prodi untuk lomba debat, bahkan protokoler di seminar-seminar besar. Aku jadi teringat ceritanya waktu itu, Nathan adalah mahasiswa beasiswa, jadi mungkin inilah alasannya dia tampak mengejar segala hal, hingga tidak memperhatikan dirinya sendiri akhir-akhir ini.

Rasanya setiap waktu yang dia miliki hanya untuk kampus. Aku cukup sering mendengar desas-desus tentang betapa kerasnya dia memimpin panitia, bahkan beberapa kali dia marah besar di rapat.

Walaupun beberapa kali kami bertemu saat seminar-seminar besar, setiap kali kami bertemu di kampus atau saat acara organisasi, Nathan seakan menghindar dariku. Sebelumnya, kami selalu berbicara ringan, namun kini ada jarak yang tidak bisa dijelaskan.

Nathan yang kutemui sekarang bukanlah Nathan yang dulu aku kenal. Dia terlihat seperti seseorang yang terus berlari, tapi aku tidak tahu ke mana. Nathan yang kukenal dulu selalu penuh energi, bahkan dalam situasi tersulit sekalipun. Tetapi belakangan ini, dia berbeda. Rambutnya yang dulu rapi kini mulai sedikit panjang gondrong memberikan aura baru, Badboy. Tubuhnya kini terlihat lebih kurus, dan senyumnya terasa semakin jarang. Aku kerap kali mendengar dari teman-temannya bahwa dia sering bolos kelas, katanya karena sibuk dengan rapat himpunan atau organisasi. Tapi aku tahu ada hal yang lebih dari itu.

Kenapa dia jadi begini?" gumamku dalam hati. "Aku tidak mengerti. Apa aku salah ngomong tadi saat tak sengaja berpapasan dengannya di lorong? Atau dia memang tidak nyaman lagi dekat-dekat sama aku?" Kadang aku bertanya-tanya, apakah dia juga merasa kehilangan? Ataukah aku yang terlalu banyak berharap bahwa Nathan yang dulu masih ada?.

Lambat namun pasti, Nathan semakin jarang terlihat. Ketika aku beberapa kali kesulitan mencari buku untuk tugas kelompok, justru Arbani yang muncul. Pria jangkung dengan senyum ramah itu terlihat memancarkan aura percaya diri yang menenangkan.

"Kamu lagi cari buku teori komunikasi ya? Aku lihat buku ini baru diletakkan seseorang tadi di rak belakang." Ucap Arbani santai sambil menyerahkan buku yang kucari tadi.

"Oh iya, makasih banget Bani." Aku tertegun dan tersenyum kecil.

"Nih. Kalau ada yang kamu perlukan lagi, bilang aja. Si Nathan ke mana, ya? Biasanya dia yang membantu kamu."

"Dia...sibuk, kayaknya." Jawabku sedikit murung.

"Yasudah. Mulai sekarang kalau ada apa-apa, kamu bisa hubungi aku." Balasnya dengan tersenyum lembut.

Ketika aku merasa bingung tentang Nathan, Arbani hadir sebagai sosok yang menenangkan. Arbani beberapa kali menawarkan bantuan dalam berbagai hal, dari tugas kuliah hingga hal-hal yang lebih personal. Sikapnya yang hangat dan perhatian membuatku merasa lebih dihargai.

"Malaa, kamu terlihat capek, ada masalah?" Selidiknya.

"Aku cuma...bingung aja belakangan ini." Jawabku singkat dengan senyuman.

"Apa kali ini yang bikin kamu bingung?"

"Semuanya... tapi nggak apa-apa. Aku bisa kok."

"Ohiya Mala, ngomong-ngomong mengenai kuliah, jika ada tugas Komunikasi, atau Administrasi Negara or something like that. Atau kalau kamu butuh teman diskusi, aku selalu siap membantu." Tawarnya.

"Terima kasih, Bani. Kamu memang selalu bisa diandalkan." Kata-kata bani membuatku teringat Nathan, aku tahu Nathan juga sering menawarkan bantuan seperti ini, tapi kali ini dia tidak ada di sini. Aku tahu dia sangat sibuk atau... karena sesuatu yang lain.

Aku mencoba mengingat kapan terakhir kali Nathan benar-benar berbicara denganku seperti dulu, tanpa basa-basi, tanpa jarak yang aneh ini. Tapi aku tidak bisa mengingatnya. Rasanya dia menghilang, meskipun dia masih ada di sini, di kampus yang sama.

Tidak terasa kehidupan kampusku kian padat, dan beberapa kali aku ingin hadir di setiap acara seminar yang Nathan pimpin kepanitiannya, ditemani Bani yang suka rela meluangkan waktunya.

Nathan terlihat sibuk dan sedikit tegang, dan aku mulai menyadari perubahan pada Nathan ketika melihat dia memaksakan diri di acara kampus. Nathan yang biasanya tenang dan hangat, kini dia mulai berbeda, dia menjadi lebih mudah emosi, bahkan di depan teman-temannya. Aku tidak pernah melihat Nathan seperti ini sebelumnya. Dia berdiri di depan ruangan, memberikan Arah dengan suara tegas, tetapi raut wajahnya terlihat berbeda, lebih serius, lebih tajam. Nathan yang kukenal biasanya ramah, penuh canda, bahkan saat sedang sibuk .Tetapi hari ini... dia terlihat seperti orang lain.

Di satu sisi, entah sejak kapan kehadiran Arbani membuatku nyaman dengan keberadaanya, semenjak hari minggu dan beberapa hari kemarin, Arbani terus berada di sisinya, berbicara dengan lembut, dan sesekali membantuku dengan tugas-tugas kecil seperti mencatat materi atau semacamnya.

"Seminarnya lumayan berat ya, Mala. Keren banget temenku satu itu bisa mengundang pemateri sehebat ini, tapi kayaknya kamu nggak ada masalah ngikutinnya." Ucap Bani disela-sela istirahat singkat seminar tadi.

"Aku nggak yakin sih, Bani. Cuma memang berat materinya tadi terkadang aku suka nggak fokus."

"Kalau ada yang nggak jelas, setelah pulang nanti, kita diskusi aja. Aku juga mau belajar lebih banyak kok." Balasnya tenang.

Sesuai yang aku ucap tadi, Arbani selalu ada di dekatku, dengan caranya yang tenang dan penuh perhatian. Dia berbeda dari Nathan, yang lebih sering usil dan penuh kejutan. Tapi mungkin itu yang membuatku merasa nyaman. Dalam situasi seperti ini, kehadiran Arbani terasa seperti jangkar, sesuatu yang menahanku tetap tenang dan mungkin.. nyaman. Dan tanpa sadar ada sesorang yang memperhatikan kebersamaan dan obrolan kami dari jauh, seseorang yang mungkin kalian kenal.

Tidak lama, di tengah seminar berlangsung, di luar gedung aku mendengar ada sedikit keributan, dengar-dengar dari beberapa orang yang berlalu lalang, mereka berbicara mengenai sikap Nathan yang tempramen, Nathan tampak lebih emosional dari biasanya. Ada kesalahan kecil yang dilakukan oleh salah satu panitia, dan Nathan memarahinya dengan nada tinggi. Aku, hanya memperhatikan dari jauh, merasa asing dengan sikap Nathan kali ini. Nathan jarang sekali seperti ini. Dia selalu menjadi orang yang sabar dan bisa menyelesaikan masalah dengan tenang. Tapi hari ini... dia berbeda. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi rasanya aku sedang melihat sisi lain dari dirinya yang belum pernah aku kenal sebelumnya.

Aku berdiri di tengah hiruk pikuk ini,

Memimpin, berbicara, mencoba terlihat kuat.

Tetapi hatiku lelah, berat oleh pikiran tentangmu,

Kau, yang semakin jauh, semakin tak terjangkau.

Kau duduk di sana, tersenyum tanpa beban,

Di sisimu, seseorang yang lebih tenang,

Dia memberi tawa yang dulu pernah kuberi,

Dan aku, hanya penonton dalam drama ini.

***

Di tengah seminar sesi istirahat terakhir, Arbani menghampiriku di tempat duduk. Dia membawa dua botol air mineral dan memberikannya padaku. Aku tersenyum, merasa bersyukur ada seseorang yang begitu perhatian. Kami berbicara tentang seminar, tentang tugas-tugas, dan aku merasa nyaman seperti biasa di dekatnya. Namun, aku tidak menyadari bahwa Nathan melihat kami dari jauh. Matanya menatap ke arah kami dengan raut ekspresi wajah yang sulit dijelaskan, campuran antara kemarahan, kekecewaan, dan sesuatu yang lain.

Tak lama seminarpun berakhir, Setelah seminar selesai, Nathan menghampiriku. Wajahnya tampak lelah, namun nada suaranya masih terdengar tegas. Dia berbicara dengan singkat, seolah-olah tidak ingin berada di situ terlalu lama.

"Seminar tadi nggak terlalu berat kan? Atau ada yang kurang jelas?" tanyanya singkat, tanpa berbasa-basi.

"Nggak kok, aku paham. Tapi kalau ada yang kurang, Arbani tadi sudah janji mau bantu diskusi."

"Yasudah bagus. Kalau ada dia, kamu tidak perlu repot-repot mencari orang lain." Balasnya datar, kemudian Nathan segera berbalik dan berjalan pergi.

Aku memandang punggung tegapnya yang kini badannya tampak semakin kurus, mencoba mencari sesuatu di balik nada bicaranya, tetapi dia tidak memberiku waktu untuk bertanya, meninggalkanku dengan rasa bingung yang tak terjawab. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya. Tetapi ada sesuatu dalam kata-katanya yang terasa menyakitkan, seolah-olah dia marah, tapi bukan. Ataukah dia marah... karena aku?. Entahlah aku tak tahu.

Aku berjalan pulang bersama Arbani, di dalam mobilnya, aku coba kesampingkan semua hal tentang Nathan, tetapi pikiranku terus kembali ke Nathan. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa aku baik-baik saja, dan Nathan juga baik-baik saja. Tetapi jauh di dalam hati, aku tahu itu bohong. Aku rindu Nathan yang dulu, tapi aku terlalu takut untuk mengakuinya.

Setiap tawa yang kau bagi di dekatnya,

adalah luka kecil yang tak pernah sembuh.

Setiap langkahmu menjauh dariku,

adalah beban yang tak pernah mampu kulepaskan.

***

Kota Denpasar, Pagi harinya, 2027.

Aku duduk di kursi balkon apartemen memandangi pantai, langit Denpasar pagi sungguh menyejukkan mata, langit kebiruan di padu dengan keemasan sinar mentari, langitnya indah dan cerah, namun suasana hatiku mendung. Aku mengalihkan pandanganku pada buku yang berapa kali selesai aku baca kemarin malam. Kata-kata yang di tulis oleh Si 'J' seperti menceritakan kisah Nathan, bukan hanya Nathan, namun semua kisah kami yang tertuang disana.

Setiap langkahmu menjauh dariku,

adalah beban yang tak pernah mampu kulepaskan.

Aku menghela napas panjang. Rasa rindu yang selama ini kukubur muncul lagi, tetapi kali ini berbeda. Rindu itu tidak hanya pada Nathan yang pernah kutahu, tetapi juga pada diriku sendiri dan kisah kami yang indah dulu.

Pikiranku melayang ke saat-saat aku dan Arbani mulai dekat. Dia adalah pelabuhan yang aman, seseorang yang membuatku merasa dihargai, tetapi... apakah itu cukup? Arbani hadir di saat Nathan menjauh, di saat aku merasa kehilangan arah. Tapi kenapa sekarang, bahkan setelah semua yang terjadi, pikiranku kembali pada Nathan?. Aku menutup buku itu perlahan, mencoba menghentikan aliran kenangan yang terus membanjiri pikiranku. Tapi bait-bait puisi Si 'J' seperti menceritakan Nathan, dan membuatku terngiang, terutama yang satu ini:

Keberanianku hilang dalam deru roda tua ini,

Meninggalkan aku sendiri dalam penyesalan yang tak terdefinisi.

Air mataku mengalir pelan, dan aku tertawa kecil di tengah kesedihan ini.

"Nathan, kenapa kau selalu tahu cara membuatku merasa seperti ini, bahkan ketika kau tidak di sini?"

Teleponku berbunyi, mengalihkan perhatianku sejenak. Itu pesan dari kantor, mengingatkanku pada deadline data bulanan yang harus kuselesaikan hari ini. Aku menghapus air mata, mencoba membalikan fokusku pada rutinitas. Aku beranjak dari balkon, aku tahu bahwa hari ini aku membawa kenangan itu bersamaku, kenangan yang entah kapan akan benar-benar bisa kulepaskan.

***