Diantara Kejatuhan Dia Semakin Menjauh
Kota Dewata, keesokannya, 2027
Satu kata untuk menggambarkan hari ini, Sial!. Pulau dan kota ini indah jika kalian pernah berkunjung ke sini, namun keindahannya pagi ini entah mengapa aku mengabaikannya, bagaimana tidak?, sejak pagi-pagi tadi rasanya bukan hariku yang biasannya, malam tadi aku tidur cukup larut dan bangun-bangun sudah dengan kondisi yang berantakan, mata bengkak, rambut acak-acakan, dan tergesa-gesa pergi berberes karena aku bangun kesiangan, jelas kali ini aku terlambat, atasanku pasti marah besar.
Tidak seperti aku yang biasanya, jelas-jelas hari ini kacau, bahkan hingga di perjalanan, mobil taxi online yang aku tumpangi terjebak macet, huh, sebal rasanya. Aku mencoba menenangkan diri sejenak, namun apa daya, telpon dari teman-teman kantor memaksaku untuk bergegas, karena pagi hari ini ada meeting penting.
Setibanya aku di kantor, kebiasanku biasanya cukup ringan, pergi ke pentry membuat segelas kopi, merilekskan tubuh sejenak sebelum benar-benar fokus dalam kegiatanku seharian. Namun tidak kali ini, Angel sudah menungguku dan menariku ke depan ruangan meeting. Katanya meeting di majukan, aku telat melihat info itu di pesan grub kantor, pantas saja mereka sangat heboh tadi saat beberapa kali menghubungiku tadi pagi.
"Fuhh, ayo Mala kamu bisa!" ucapku untuk memberikan kepercayaan diri singkat, sebelum benar-benar, dihabisi nanti di ruangan meeting.
Meetingpun berlangsung dan dimulai dengan membahas rekap bulanan, hingga akhirnya bagianku untuk menyetorkan hasil kinerja divisiku, divisi pemasaran yang setahun kebelakang dipimpinku ini.
Awalnya aku cukup tenang dan siap untuk mempresentasikannya, namun di pertengahan presentasiku entah mengapa, laptopku tiba-tiba macet, laptop yang ku tabung selama setahun penuh di tahun pertamaku bekerja ini, tiba-tiba tidak bisa di ajak bekerja sama, sejenak aku mungkin tidak panik, namun setelah melihat ekspresi lusuh dan pasrah dari timku kepanikanpun melandaku, file ini merupakan file penting, hasil rekapan bulan ini, dan planning bulan depan yang nantinya akan digunakan oleh tim pemasaran dan tim yang lain.
Sial!, umpatku dalam hati, meeting pagi tadi hancur total di bubarkan dan reschedule nanti sore, atasanku tampak marah besar kali ini, pak tua itu pagi tadi tak seperti biasanya yang selalu memuji kinerjaku.
"huhh… cape bangeet Tuhan.. argh!!" keluhku sambil menyeruput kopi yang pahit, yang bahkan kalah pahit dengan pagiku kali ini.
Saat aku kembali fokus memperbaiki file tadi pagi, ponselku bergetar, sebuah notifikasi muncul.
Pengingat Rapat!! 14.00 WITA, segera selesaikan berkas yang belum, gada toleransi kali ini!.
Hade… kali ini apa lagi, aku menghela napas hari ini tidak berjalan seperti biasanya. Pagi ini sungguh berantakan, tetapi entah kenapa semua kekacauan ini mengingatkanku pada Nathan. Ia dulu juga seperti ini, selalu terburu-buru, mencoba menangkap semua tanggung jawab yang dilemparkan padanya. Tapi bedanya, Nathan selalu tampak tahu apa yang ia kejar. Aku? Aku hanya terjebak dalam rutinitas tanpa arah yang jelas. Aku merasa kehilangan kontrol kali ini, pikiranku mulai melayang, dan disanalah dia muncul, Nathan.
Nathan, sudah bertahun-tahun aku mulai melupakannya, tapi hari ini, dia kembali. Mungkin karena aku mulai sibuk, sama dengan dirinya dahulu, sibuk terhadap sesuatu yang dulu mungkin aku pikir penting, tapi perlahan kehilangan diriku sendiri dalam prosesnya.
***
Aku berdiri di antara keramaian, suara mereka menggema,
Semua mata tertuju padaku, tapi aku tidak tahu harus kemana
Langkahku semakin jauh, semakin cepat,
meninggalkan semuanya, termasuk diriku sendiri.
Kota Tembakau, Pertengahan April, 2020.
Aku sudah mulai terbiasa dengan kesibukan kampus di pertengahan semester genap ini, untung saja ada Arbani yang sering membantuku, apalagi ketika beberapa kali aku kerepotan, dia dengan senang hati membantuku, berbeda dengan Nathan sekarang.
Disisi lain, suasana kampus kian riuh dan intens karena isu-isu organisasi dan akademik. Setelah pertemuan di acara seminar nasional waktu itu. Nathan tambah sibuk kian harinya, teman-teman kian sering memberikan desas-desus mengenai dia.
Nathan merupakan salah satu orang yang menjadi perhatian di fakultas kami, dia sering di isukan menjadi ketua himpunan jurusan periode berikutnya. Aku beberapa kali kedapatan melihat dia sering bercengkrama dengan senior-seniornya, dia disebut-sebut sebagai 'calon pemimpin masa depan'. Tapi aku melihat dia di sisi yang berbeda kali ini, dia terlihat seperti memikul beban yang membuat dia kehilangan dirinya sendiri.
Di satu sisi Arbani selalu berada disiku, dia berbeda dengan Nathan, dia tenang, tidak ambisius, tapi selalu hadir saat aku selalu membutuhkan seseorang untuk mendengarkan. Perlahan, aku tersadar bahwa Arbani merupakan tempatku bersandar.
Arbani mulai mengambil penuh peran penting yang kosong itu. Dia sering mengajakku belajar, atau bertukar pikiran santai, membantu tugas-tugas kampus dan organisasi, bahkah dengan lapang dada mendengarkan keluh kesahku mengenai Nathan.
"Mala… kamu ga perlu sok tegar tahu, kamu juga perlu istirahat." Ucapnya memecahkan lamunanku malam ini.
Yah malam ini kami belajar bersama, seperti hari-hariku sebelumnya. Tadi sore selepas kelas, dia menghampiriku di kelas dan mengantarkanku pulang setelahnya dan mengajakku belajar malamnya.
"Aku tahu Bani. Tapi aku tidak bisa berhenti, jika aku berhenti sekarang, aku merasa akan berantakan semuanya." Balasku dengan tersenyum kecil.
"Kalau begitu, izinkan aku jagain kamu, jika kamu merasa kesepian, dan butuh apa-apa tinggal bilang saja." Ucapnya menenangkanku malam ini.
Arbani selalu tahu cara untuk membuatku menjadi lebih baik. Walapun dia bukan Nathan, tapi kehadirannya memberikan rasa nyaman yang aku butuhkan diantara semua kekacauan ini.
***
Hari-hari berikutnyapun begitu, kami sering menghabiskan waktu bersama, Arbani selalu tahu jika aku membutuhkan sesuatu. Nathan?, dia semakin sibuk jika kau tanya aku, terakhir kami bersinggungan di lorong kampus saat aku dan Bani duduk bersama di lorong kampus minggu lalu, penampilannya semakin berantakan, rambut ikalnya yang panjang kini tambah panjang, bahkan sudah gondrong sebahu. Badannya idealnya dulu ketika awal kami bertemu, sekarang benar-benar kurus. Bahkan kini aku sering memergokinya merokok didaerah parkiran kampus.
Seperti sekarang, aku tidak sengaja bertatapan dengannya di parkiran, dia sedang bersama dengan beberapa senior, merokok bersama, sambil membahas mengenai kegiatan acara selanjutnya. Jika itu dulu, mungkin aku akan segera menghampirinya, mengambil barang haram itu dan langsung membuangnya seketika. Namun kali ini tidak, kakiku tertahan dan hanya menatapnya dengan perasaan kecewa.
Dulu Nathan sempat berhenti merokok karena menghargaiku. Ceritanya begini, ketika masa ospek berlangsung dia merokok tanpa sepengetahuanku di sela-sela istirahat bersaama teman-teman ospek yang lain, namun saat dia kembali ke barisan dan lingkaran kelompok, aku mencium bau aneh di bajunya, seperti bau asap, namun ini berbeda, ini bau rokok.
"Nathan, boleh aku nanya sesuatu?." Tanya ku mengintrogasinya.
"Er.. i-iya Vhee, ada apa ya?." jawabnya gugup.
"Kamu habis dari mana tadi?, tumben lama, biasanya pergi istirahat hanya sebentar, dan juga bau apa ini, tumben banget baumu apek, biasanya ngga, kamu habis ngapain, dan habis nyembunyikan apa hm?" ucapku tanpa henti untuk menginterogasinya.
"Boleh aku tau isi kantong celanamu? Sepertinya kamu menyembunyikan sesuatu," belum selesai menjawab aku kembali menanyainya, seolah tahu apa yang dia sembunyikan.
"Er.. a-anu Vhee, ini HP ko, bukan sesuatu yang penting." Jawabnya ragu.
"Fii.., kamu tahu kan aku ga suka pria pembohongkan, jadi jujurlah aku tidak akan marah."
Tanpa menjawabku lagi dia merogoh saku sampingnya, dan mengambil barang itu dengan paksa, barang yang merusak kesehatan, apapun yang membuatnya tidak baik.
Tanpa kata-kata, aku remas dan hancurkan bungkus kotak kecil itu, padahal dia tahu aku sangat sensitif sama bau asapnya yang mengganggu orang sekitar, tapi masih saja dia mengkonsumsi hal-hal yang kurang bermanfaat ini.
Selepas kejadian siang itu hingga keesokannya aku sengaja mengabaikannya, aku marah padanya, namun tetap saja Nathan selalu saja punya cara sederhana untuk membuatku memaafkannya. Selepas saat itu aku sudah tidak lagi melihatnya merokok, atau kedapatan bau asap rokok di bajunya saat bersamaku, entah bagaimana caranya, aku tidak tahu, yang jelas, dia bilang 'aku mencoba menguranginya'. Tapi dia bohong, lihat sekarang, aku berdiri dari jauh, melihatnya tertawa kecil bersama teman-temannya. Tapi itu bukan tawa yang aku kenal. Tangannya memegang sesuatu yang tidak pernah ia tunjukkan di depanku dulu, sebatang rokok. Bau asapnya seperti menyengat hatiku, mengingatkanku bahwa dia tidak lagi peduli dengan hal-hal kecil yang dulu kami jaga bersama.apa yang dia pegang diantara kedua jari telunjuk dan jari tengahnya, benda yang aku tak suka.
Seolah-olah dia menantangku, dan ingin melihat reaksiku, tidak Nathan, aku capek, aku capek. Kamu benar-benar egois sekarang, aku tidak menyalahkanmu karena sedang mengejar sesuatu yang mungkin kamu anggap ini penting, tapi ini?, menyelesaikan stres tidak begini caranya Nathan, kenapa tidak kamu tuangkan dalam hal yang lebih positif misalnya?, aku tahu kamu punya banyak cara sederhana untuk menhabiskan stresmu itu, tapi tidak dengan ini Nathan.
Aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa mendekatinya hari itu. Mungkin karena aku takut apa yang akan aku lihat dari dekat, seseorang yang tidak lagi aku kenal, seseorang yang semakin jauh dari diriku.
Seseorang yang tanpa dia sadari membuatku terluka, terluka karena tindakan bodohnya. Aku sadar tekanan itu pasti tidak mudah, tapi aku mohon Nathan, jangan berubah.
Selain kebiasaan buruk ini yang membuatku jauh darinya, salah satu yang membuatku kian asing, adalah sikapnya yang kian tempramental. Mungkin kalian sudah mengetahuinya, di akhir semester kemarin, dia memarahi anggota kepanitiaan yang melakukan kesalahan. Namun kali ini berbeda, kali ini dia sudah kelewatan. Bagaimana tidak, di seminar nasional kali ini dia tidak telalu terbebani dengan tugas-tugas penting, hanya devisi dokumenter. Namun entah bagaimana, dimanapun tempatnya dia tetap menjadi leader, kali ini dia berperan sebagai leader dokumentasi. Namun saat seminar hampir selesai, Arbani yang sekarang ikut berpartisipasi dalam kegiatan kepanitiaan ikut kena semprotnya.
Aku tahu Arbani baru saja ikut dan berpartisipasi, namun dia sungguh kelewatan, maksudku, mengapa dia tidak menegurnya dengan baik-baik, padahal mereka kan teman, apalagi mereka juga saudara kan?, sungguh aku tidak paham jalan pikirnya.
"Woy Ban!, bisa ga kalo nyari engle yang bagusan dikit, ini apa heh?, daritadi keliling gajelas!, bisa kerja ga sih!" Tegasnya saat brefing setelah seminar usai.
Aku tahu dia begitu tegas, namun, ayolah, ini kelewatan. Bani saudaramu, aku paham maksudmu Nathan, kamu sengaja tegas agar dia bisa berproses lebih dan menjadi lebih baik. Tapi ucapanmu kelewatan, seolah tidak membiarkan orang-orang untuk gagal dalam prosesnya, kamu seolah mengejar kesempurnaan.
PLAKK!
"Nathan, kamu sudah kelewatan kali ini. Kamu Jahat!. Ayo Bani kita pulang, ini sudah sore." Ucapku menghampirinya, setelah mendaratkan tamparan keras di pipinya.
Aku kecewa padamu Nathan. Nathan, apa yang terjadi padamu? Aku tahu kau sedang berjuang untuk sesuatu yang lebih besar dari dirimu sendiri, tetapi kenapa harus seperti ini? Kau yang dulu selalu sabar kini berubah menjadi seseorang yang asing bagiku. Aku ingin mendekat, tetapi aku takut, takut bahwa aku tidak akan menemukan Nathan yang dulu aku kenal. Masa bodoh dengan imagenya yang hancur, aku tahu tadi lancang, aku tanpa izin pergi ke backstage, tapi yang jelas, aku ingin pulang sekarang.
***
Di perjalanan pulang, tangisku pecah di dalam mobil Bani, aku benar-benar kecewa, aku dan Nathan semakin jauh, seolah ada tembok tinggi yang menghalangi kami. Di antara keheningan yang menusuk itu Bani mencoba menenangkanku.
"Aku gapapa ko Mala, kamu ga perlu terlalu keras padanya tadi, Nathan memang seperti itu, dia memang tegas, tapi percayalah niat dia baik ko." Ucapnya memecahkan keheningan ini.
Tanpa merespon, tangisku kembali pecah, Arbani terlalu lembut dan baik, seharusnya dia marah. Apalagi dia dipermalukan seperti tadi, di permalukan di depan umum tahu. Sebesar apa hatinya, apalagi dipermalukan oleh saudara dan temannya sendiri.
"Mala aku boleh bercerita?"
"Nathan itu, dia tidak memiliki sosok ayah di dalam hidupnya, jadi kehidupannya sekarang, dia sungguh belajar secara otodidak, belajar dengan kehidupan." Lanjutnya.
"Dia hidup cukup keras sejak kecil, menjadi murid beasiswa sejak SMA hingga kuliah, jadi wajar rasanya ketika ada orang yang tidak bisa dia handle dan diluar ekspetasinya,"
"Jadi Mala, aku harap kamu pun demikian, kamu ga perlu terlalu keras sama dirimu sendiri, aku tahu ini tidak mudah bagimu. Tapi setidaknya jika hidupmu mulai terasa berat, kamu ga perlu memikulnya sendiri, ada aku disini."
Entah bagaimana, kata-kata Bani bisa menenangkanku kali ini, kata-katanya tidak memaksa, sederhana, tapi penuh kehangatan di dalamnya. Untuk pertama kalinya, setelah cukup lama, aku kembali merasakannya, aku merasa tidak sendirian. Arbani mungkin tidak sama dengan Nathan, tapi kehadirannya yang sederhana, seolah-olah membuatku lebih berarti dan menegaskan bahwa aku tidak sendiri.
Di dalam mobil sore itu, Arbani membuatku tenang, tetapi hatiku entah mengapa bereriak lain. Aku tidak tahu kenapa pikiranku masih kembali pada Nathan, pria yang sekarang terasa seperti bayangan. Apakah aku memilih ini karena aku takut kehilangan kenyamanan, atau karena aku benar-benar ingin membuka lembaran baru? Aku tidak tahu.
Aku jadi teringat gelang hitam seperti tasbih milik Nathan, gelang yang menandakan kepercayaan dirinya itu. Sekarang, aku jarang melihatnya memakainya, seolah Nathan juga kehilangannya, kehilangan sesuatu yang membuatku nyaman selalu saat berada di sisinya.
Tak lama mobil hitam sedan itu berhenti, memecahkan keheninganku, suara mesin mobil memenuhi keheningan di antara kami. Arbani tampak gugup, jari-jarinya mengetuk setir dengan ritme yang tidak beraturan. Aku hanya diam, menatap ke luar jendela. Hujan mulai turun perlahan, seperti menyuarakan semua perasaan yang tak mampu aku ungkapkan.
"Mala," suara Arbani memecah keheningan.
Aku menoleh, dan saat itu, aku tahu ada sesuatu yang besar yang akan ia katakan.
Dia datang dengan hangat, tenang tanpa ragu,
Mengisi ruang sejenak aku tinggalkan tanpa sadar.
Aku melihat kalian dari kejauhan, dan aku tahu,
Aku kalah, bahkan sebelum aku mulai berjuang.
***
Kota Dewata, Malamnya, 2027.
Hari yang melelahkan telah usai, hari yang cukup berat, namun aku berhasil melewatinya. Seperti Nathan, yang selalu berhasil melewati hari-harinya yang tidak mudah ketika itu.
Malam ini aku sedikit berlembur di depan meja kerja apartemenku, menyelesaikan beberapa berkas, agar besok atasanku tidak kembali mengomel panjang. Cukup lama aku merapikan berkas, dan aku ingin istirahat sejenak, aku kembali membuka halaman-halaman buku puisi itu, aku begitu penasaran dengan Si 'J', kamis depan, iya kamis depan aku ingin ikut degan beberapa teman kantor untuk bertemu dengannya di pameran itu. Dia benar-benar misterius, seolah-olah dia tidak mau di liput oleh media. Tapi yasudah itu haknya, seperti Arbani saat itu, yang tidak memaksaku.
Lambat laun aku kembali membuka buku puisi ini sekali lagi, aku membaca bait terakhir puisi halaman itu. kata-katanya menancap dalam di hatiku.
Aku berdiri di antara keramaian, tetapi aku selalu sendirian.
Bait itu kembali mengingatkanku pada Nathan. Nathan, kau tidak pernah benar-benar pergi dari pikiranku. Tapi kenapa, bahkan sekarang, aku tidak tahu apa yang sebenarnya ingin kau katakan?. Aku bingung Nathan, dan mungkin aku berani berkata dalam diam, aku juga rindu.