Chereads / The Golden Prince - Allen Nolleps / Chapter 4 - Bab 4. Sumpah Kesatria

Chapter 4 - Bab 4. Sumpah Kesatria

Istana Kerajaan memiliki banyak ruang dengan fungsinya yang beragam. Kamar hunian, ruang tahta, aula perjamuan, tempat pertemuan, dan lain sebagainya. Di antara semua ini, ada satu lokasi yang merupakan tempat terbesar di seluruh Kastil, yakni ruang perpustakaan.

Ada ribuan buku, makalah dan jurnal dari berbagai zaman yang diwariskan dan dijaga baik oleh keluarga kerajaan.

Deretan besar rak buku berjejer memenuhi ruangan, hampir mustahil melihat sudut tempat yang tidak ada buku di dalamnya. Di beberapa titik tempat, disematkan juga deretan meja dan kursi, mengakomodir mereka yang berkunjung.

Di tengah ruangan, yang merupakan salah satu tempat dengan ketersediaan meja dan kursi, Alicia terduduk, begitu fokus menulis di buku catatannya, sesekali dia akan melirik buku yang terbuka di sampingnya, sebelum kembali menulis. 

Tak jauh darinya, seorang pria yang hanya beberapa tahun lebih tua dari Alicia, menatap gadis itu dengan aneh. "Tuan Putri, apa hari ini anda salah makan?"

Alicia menghentikan aktifitasnya, menatap bingung. "Tuan Hilman, apa maksudnya?"

Hilman terbatuk. "Ehem, maaf atas ketidaksopananku, tapi... Tuan Putri, hari ini anda begitu rajin tidak seperti biasanya."

Alicia cemberut tak senang. "Hmph! biasanya juga rajin kok."

Hilman menggeleng tak berdaya, Putri Alicia jelas berbeda dari biasanya, seharusnya, saat ini gadis itu tengah terduduk layu, mengerjakan tugasnya dengan malas, dan berharap sesi belajar hari ini akan berakhir secepatnya.

Karenanya, pemandangan Putri Alicia, mengerjakan segala sesuatu dengan penuh semangat, membuatnya heran. Tapi dirinya tak mengoreksi lebih dalam, sudah bagus bahwa dia memiliki motivasi belajar, Hilman hanya berharap bahwa ini tidak akan hilang dalam waktu dekat.

Di sisi lain, Alicia lanjut menulis, mengerjakan tugasnya, sepenuhnya mengabaikan tutornya yang bertugas untuk mengajarinya ilmu pengetahuan umum. Namun, di setiap sesi belajarnya, sesekali Alicia akan melirik pada jam mekanik yang diletakkan di atas pintu ruang perpustakaan.

Meskipun dia begitu antusias dalam mengerjakan tugasnya, dirinya tahu bahwa antusiasme ini lebih ditujukan pada apa yang akan terjadi setelah jam belajarnya. Lagi pula, ada kencan penting yang menunggunya.

Waktu berlalu hingga ketika Hilman melihat bahwa jam sudah menunjukkan akhir sesinya, dia menutup buku dan berkata. "Baiklah Tuan Putri, mari kita akhiri-"

"Yey!!"

Bahkan sebelum Hilman menyelesaikan kata-katanya, dirinya tersentak, terkejut akan ledakan Alicia.

Tanpa memperdulikannya, Alicia bangkit, tak sengaja menyenggol bukunya dan jatuh ke lantai, tapi gadis itu juga tampak tidak peduli karena dia segera berlari ke luar perpustakaan dengan sorakan bahagia.

Hilman, yang ditinggal sendiri, butuh waktu beberapa saat untuk kembali tenang. Dia meraih buku Alicia yang terjatuh, menepuk ringan untuk membersihkan.

Menatap ke arah pintu perpustakaan yang terbuka lebar, tempat dimana gadis itu pergi dan menghilang, Hilman menggeleng dengan senyum pahit sebelum mulai berbenah, membereskan tempat belajar mereka sebelumnya.

***

Ren duduk di bangku taman, menunggu kedatangan seseorang. Ada banyak taman di Istana, tempat saat ini dia berada adalah taman yang paling dekat dengan kamar Alicia, dia bahkan bisa melihat jendela kamar gadis itu dari sini.

Pikirannya dipenuhi akan misi yang akan datang. Dia bertanya-tanya, perlukah memberi tahu Alicia akan hal ini. Dia meresa lebih baik untuk tidak mengatakan apa-apa, tapi hatinya agak berkonflik karena menyembunyikan sesuatu yang penting dari seseorang yang dia cintai.

Konflik batinnya terinterupsi saat indranya sebagai Master Pedang, merasakan pergerakan yang mengarah padanya, itu masih cukup jauh, tapi dia sudah bisa merasakan. Menunggu sesaat, Ren mendengar suara langkah kakinya dan bisikan yang memanggil.

Menoleh, Ren dihadapkan pada pemandangan yang aneh. Dia melihat seseorang yang bersembunyi di balik pilar batu, mengenakan jubah yang menutupi seluruh tubuhnya. Wajah orang itu tertutupi tudung jubah, tapi Ren dengan jelas tahu siapa itu.

"Cia?"

"Sssts... sini buruan." Alicia meletakkan jarinya di bibirnya, melambai, memintanya datang.

Tapi Ren terlalu bingung untuk menanggapi. "Kamu ngapain?"

Melihat pria itu hanya menatap bodoh padanya, Alicia berjalan mendekat, menoleh ke sekitar, berharap tak ada yang melihat. Sampai di sana, dia segera menyodorkan jubah lainnya. "Ayo pakai ini, kita keluar sekarang."

Sudut wajah Ren berkedut, bertanya-tanya hal bodoh apa lagi yang tengah dilakukannya. "Cia, kenapa kamu pake baju kayak gini?"

Alicia menghela napas, marik tudungnya, menunjukkan wajah cantiknya. "Kenapa gimana? kita kan mau kencan di luar, kita harus nyamar, biar nggak ada yang sadar kita kabur dari Istana."

Ren menahan keinginan untuk menepuk jidat gadis ini. Apa gunanya memakai jubah jika Raja bahkan sudah tahu akan hal ini. Juga, jubah itu sendiri adalah masalah, bagaimana mungkin tidak ada orang di Istana yang curiga pada orang berjubah, mengendap-endap pergi. Bukannya menyamar, ini seolah berkata: 'Hei! lihat aku! aku aneh dan mencurigakan!'

"Cia, kamu yakin jubah ini ada gunanya?"

Alicia yang sedari tadi melirik sekitar dengan waspada, menatap sebal Ren. "Ih! banyak tanya! udah ayo buruan, aku baru aja berhasil lepas dari pantauan Bibi Mai, aku bilangnya pengen tidur siang, jadi ayo buruan, sebelum dia tahu."

Ren yang mendengarnya terdiam, pandangannya beralih ke jendela kamar Alicia, ada sebuah siluet seorang wanita disana, dengan setelan pakaian pelayan dan wajah yang familiar, menatap ke sini, itu adalah Bibi Mai!

Ketika tatapan mereka bertemu, Bibi Mai, dari balik jendela kamar Alicia, tersenyum ramah, bahkan melambaikan tangan padanya.

Pandangan Ren beralih ke tunangannya, menggelengkan kepala dan meraih jubah itu. Bukan hal buruk untuk memiliki ini, karena meski akan tampak bodoh jika dikenakan di lingkungan Istana, di luar, ini cukup berguna.

Berita hadirnya Putri Emas, Alicia dan Pangeran Emas, Ren, pasti akan membawa kehebohan di masyarakat, jadi tidak buruk untuk mengenakan ini. 

Alicia memperhatikan Ren dalam balutan jubahnya dan terkikik lucu. Di hadapkan pada tatapan tajam Ren, dia berdehem. "Ehem, kalo gitu ayo kita pergi."

Ren mengerutkan kening, melihat ke arah mana gadis itu berjalan. "Cia, kamu mau kemana?"

Alicia berbalik, menatap bingung. "Kemana? ya keluar dong sayang, kan gerbangnya ada di sana."

Ren memutar bola matanya, mengantupkan bahu gadis itu. "Alicia sayang, sekarang kamu pikir deh, ada dua orang pakai jubah kayak gini dari dalam Istana, berjalan ke luar. Menurut kamu, penjaga gerbang akan kasih kita lewat atau justru malah nangkap kita hah?"

Mata Alicia melebar, baru menyadari bahwa dia tidak bisa membandingkan situasinya yang sekarang dengan yang biasanya. Alicia tertunduk malu. "Aku lupa, terus gimana dong?"

"Hah... ayo, ikut aku." Ren menarik Alicia, berjalan pergi ke arah lain. Dia bisa saja untuk tetap pergi melewati gerbang seperti biasanya. Lagi pula, dia sudah mendapat izin Raja. Tapi mengingat usaha gadis ini untuk pergi secara diam-diam, Ren memutuskan untuk bermain peran.

Di bawah pantauan Bibi Mai, mereka berjalan pergi dari taman, menaiki tangga, pergi ke atas tembok benteng yang mengelilingi Istana. Perjalanan tak sepenuhnya berjalan lancar, di beberapa kesempatan akan ada prajurit yang menatap curiga pada mereka, namun Ren hanya perlu membuka tudung jubahnya, menunjukkan identiasnya dan memberi kode untuk diam. — syukurlah mereka cukup kooperatif.

Tiba di atas, Ren menatap ke bawah, ada jarak setinggi dua puluh meter ke tanah. Dia menggendong Alicia dengan gendongan ala putri dan melompat turun. 

Alicia bersorak senang saat mereka terjatuh. Ren dengan fisik Master Pedangnya, menginjakkan kaki ke tanah dengan aman, meski ada sedikit retakan di tanah.

"Hahaha... tadi seru banget, kita harus lakuin itu lagi, hehe..."

Menggeleng atas respon senang gadis itu, Ren dan Alicia berjalan, melawati deretan pohon dan tiba di bukit kecil dengan pemandangan sebuah kota, itu adalah Ibu kota Kerajaan Artia, Kota Emerald.

Tudung Alicia terbuka oleh desiran angin. Ren meliriknya, menemukan wajah gadis itu yang begitu terpesona melihat kotanya sendiri. Dua minggu bukan waktu yang lama, tapi bagi Alicia, itu sudah terasa seperti selamanya, kini dia akhirnya bisa kembali menjajaki kota tercintanya.

Manatap Ren, Alicia, dengan senyum cerah dan mata emasnya yang berbinar senang, berseru. "Ayo! kita berangkat sekarang!"

Menarik lengan pria itu, Alicia berlari, bersorak saat mereka berjalan menyusuri bukit, menuju kota, bersiap memulai kencan mereka hari itu.

Tempat pertama yang mereka kunjungi berada di kawasan bisnis, tempat dimana banyak bangunan toko, tempat makan, bar dan model bisnis lainnya.

Sebuah jalan besar dengan lusinan kereta kuda berjalan lalu-lalang. Orang-orang berjalan di tepi, mengisi kehidupan kota dengan aktifitasnya masing-masing.

Deretan banguan tiga lantai memenuhi kawasan ini, lengkap dengan plat nama dari bisnisnya masing-masing. Warna-warna pucat dengan gaya arsitekturnya yang klasik, memberi kesan mewah dan artistik.

Alicia menatap sekitar dari balik tudungnya, suasana keramaian dan hiruk-pikuk di sini sangat berbeda dengan suasana damai di Istana, dirinya merasa lebih hidup di sini.

Melirik sekitar, mata Alicia berbinar saat dia menatap satu dari banyaknya deretan bangunan. Menarik lengan Ren, dia mendekat. Melihat plat bangunan bertuliskan: Carpe Diem Cafe, mereka segera masuk.

Para pelayan Cafe tampak curiga saat melihat dua orang berjubah masuk. Namun setelah mengetahui siapa keduanya, mereka hampir berteriak histeris. Syukurlah, Ren lebih dulu membuat mereka diam, memastikan yang lain tidak tahu akan keberadaan mereka.

Dengan pelayanan yang ramah dan antusias, mereka di bawa ke lantai tiga, di lokasi terbaik Cafe itu. Alicia membuat pesanannya dan Ren hanya mengikuti pesanan Alicia.

"Hmm... enak banget! akhirnya aku bisa makan disini lagi, aku sudah kangen banget bisa makan ini."

Alicia mengunyah dengan gembira kue coklat pesanannya, tepi mulutnya dipenuhi oleh noda makanannya.

"Di Istana, bukannya kamu juga bisa makan ini?" tanya Ren, memakan kuenya sendiri.

Alicia mengunyah sebentar dan menelannya sebelum menjawab. "Bedalah, koki di sana nggak sama kayak yang di sini, yang ini lebih enak."

Ren hanya tersenyum tak berdaya, melihat gadis di depannya yang makan dengan penuh antusias seolah dirinya belum makan selama berhari-hari. Dirinya hanya makan sedikit, karena memang dia bukan pecinta makanan manis, sehingga Alicia dengan senang hati mengambil bagian miliknya.

Selesai makan, mereka lanjut pergi ke Alun-alun Kota, sebuah kawasan publik yang menjadi destinasi favorit orang-orang dalam menghabiskan waktu akhir pekannya.

Tempat ini berupa area taman yang luas, dengan banyak jalan setapak dan deretan bangku taman di sekitar. Tepat di tengah taman terdapat kolam air mancur dengan ikan kecil yang hidup di dalamnya. Ditengah kolam, berdiri patung setinggi sepuluh meter.

Patung dengan figur seorang pria, mengenakan pakaian kehormatan serta mahkota di kepalanya, berdiri dengan gagah sambil memegang gagang pedang yang ditancamkan ke bawah. Ini adalah patung Raja Pertama Kerajaan Artia, Arkham Von Artia.

Tiba di dekat kolam, tatapan mereka terpusat pada deretan bunga yang diletakkan di sekitar kolam. Ini adalah wujud belasungkawa masyarakat atas insiden yang terjadi dua minggu lalu.

Meski target kudeta sebelumnya adalah tokoh terkemuka, tidak sedikit korban yang jatuh dari pihak sipil. Pertempuran dimulai di Istana sebelum merambat ke kota, terutama ketika upaya pelarian para pengkhianat setelah gagal dalam upayanya.

Banyak prajurit yang tewas, begitu pula warga sipil yang kebetulan terjebak di antara konflik. Diperkirakan, ada sekitar 218 prajurit dan 94 warga sipil yang menjadi korban tewas. Sisanya ada ratusan orang lainnya yang terluka dan mendapat perawatan dan bantuan dari keluarga kerajaan.

"Aku turut berduka cita pada mereka yang menjadi korban." Alicia berkata dengan pandangan sedih, dia mengantupkan kedua tangannya, menundukkan kepala dan berdoa. "Semoga mereka tenang disana, dan para pelaku mendapat hukumannya."

Wajah Ren berkerut setelah mendengar kalimat terakhir Alicia, dirinya teringat akan misi yang akan dijalankannya malam ini. Dia belum memberitahu Alicia, atau mungkin lebih baik untuk tidak memberitahunya? Lagi pula, itu hanya akan membuatnya khawatir. Tapi, sebagai tunangannya, bukankah dia punya hak untuk tahu?

"Sayang? halo? hei! Ren!" Alicia berseru sambil menarik jubah Ren, membuat yang terakhir berkedip akan kesadaran. Melirik Alicia, Ren bertanya bingung. "Iya kenapa?"

"Kamu yang kenapa, dari tadi aku panggil malah bengong begitu," sahut jengkel Alicia.

Ren menggelengkan kepala, mencoba menyembunyikan konflik batinnya. "Nggak, nggak apa-apa, cuma kepikiran perihal tragedi kemarin."

Alicia menangguk menerima, tidak menaruh curiga. Tidak seperti dirinya yang sudah diamankan oleh para prajurit ketika kudeta terjadi, Ren ada disana, terlibat langsung, jadi tak heran jika pria itu memiliki kesan yang lebih dari pada dirinya.

Alicia melirik sekitar, menemukan penjual bunga di pinggir alun-alun. Meminta Ren untuk menunggu, sementara dirinya pergi untuk membeli buket bunga.

Di sisi lain, Ren, yang ditinggal Alicia, menatap patung di tengah kolam, ada binar rasa hormat yang terpancar dari matanya.

Kemudian pandangannya beralih, menatap tepat di bawah kaki sang patung. Ada sebuah quote yang bertuliskan: Tuhan Memberiku Anugrah Berupa Waktu, Dan Aku Tidak Akan Melepaskan Kesempatan Kedua Ini. 

Itu adalah kata-kata yang telah banyak mengispirasi orang, tidak terkecuali dirinya. Ren begitu mengagumi Raja Arkham, bukan hanya prestasi beliau yang luar biasa dalam membangun kerajaan ini, tapi buah pikirnya juga begitu bertampak padanya.

Alicia kembali dengan mambawa beberapa buket bunga, meletakkannya di tepi kolam. Gadis itu tak langsung beranjak dari tempatnya, berdiam sejenak seolah tengah berdoa. Menatap punggung mungilnya, Ren menghela napas saat konflik batinnya kembali.

Alicia bangkit dan berjalan kembali, meraih tangan Ren, dia berkata dengan senyum lembut. "Ayo, kita lanjut jalan lagi."

Ren tersenyum tipis, mengangguk setuju. 

Keduanya melanjutkan kencan mereka, kini berada di kawasan yang agak kumuh, mengingat jalannya sedikit berlumpur, dan orang-orang disini tampak lebih kasar secara penampilan.

Perhatian Alicia teralihkan saat dia melihat sekumpulan anak-anak, sedang melakukan semacam permainan perkelahian.

"Aku akan mengalahkan kalian semua!"

Seorang bocah, sekitar umur sepuluh tahun, mengacungkan ranting kayu, berteriak dengan begitu semangat kepada anak-anak lain di depannya yang juga memiliki ranting kayu yang sama.

"Aku adalah Pangeran Emas! Kesatria hebat yang akan menghukum kalian para pengkhianat!"

Mendengar seruannya, anak-anak lainnya tampak kesal.

"Leo! aku sudah bilang, akulah yang jadi Pangeran Emas!"

"Tidak Varel! itu harusnya aku!"

"Cindy, kamu itu perempuan!"

"Diam Varel! memangnya perempuan tidak boleh jadi Pangeran Emas?!"

Rentetan keluhan dari suara melengking bocah-bocah itu mengisi suasana sekitar, membuat dunia tampak lebih hidup.

"Pftt~" Alicia menutup mulutnya, menahan tawa, sementara wajah Ren berkedut melihat drama jalanan di depannya.

Melihat ketiga wajah yang familiar itu, Ren mengenal mereka, ketiganya adalah anak dari panti asuhan yang dikelola oleh keluarga kerajaan.

Alicia sering mampir ke sana untuk bermain dengan anak-anak. Ren berpikir, fakta bahwa Alicia membawanya kesini, gadis itu pasti ingin mampir kesana, tapi ternyata dia salah.

Alicia menyeretnya kembali, mereka berlari menyusuri gang-gang kecil, beberapa kali hampir menabrak seseorang.

"Hati-hati Cia!" tegur Ren, saat mereka hampir menabrak seorang pria yang terlihat tengah membawa tumpukan kertas.

Kertas yang dibawanya berhamburan, jatuh ke tanah. Alicia berbalik, meminta maaf tanpa menghentikan larinya. "Maaf!"

Membetulkan kacamatanya, pria itu menatap keduanya yang menjauh dan bergumam. "Sir Ren? Putri Alicia?"

Meski hanya rakyat jelata biasa, dia pernah memiliki kesempatan melihat keduanya secara langsung. Karenanya, dia tampak mengenali suara mereka.

Berdiri dalam diam, lamunannya harus diinterupsi oleh suara keras yang penuh emosi.

"Lumian! kenapa lama sekali! cepat kesini! dasar kau anak tidak berguna!!"

Mendengar amarah dan makian ibunya, Lumian dengan cepat mengumpulkan kembali kertasnya yang berserakan.

"Sial! kenapa aku harus melahirkan sampah seperti itu!"

Tanganya yang memegang kertas mengeras mendengar kata-kata tajam ibunya. Lumian mengigit bibirnya untuk meredakan rasa sakit hatinya. Mengumpulkan semua kertas dan pergi memasuki rumah sederhananya yang tersembunyi di dalam gang kecil. 

Sementara itu, Alicia menyeret Ren, mereka menaiki jalan menanjak dan tiba di sebuah taman terpencil yang sepi. Dari sini, mereka bisa melihat pemandangan kota yang disorot oleh cahaya sore hari.

Alicia menatap pemandangan di depan dengan binar senang. Dia merentangkan kedua tangannya, menikmati semilir angin yang menyibakkan tudung jubahnya, membiarkan rambut pirang panjangnya terurai.

Ren menatap Alicia, terpesona dengan sosoknya di bawah pancaran cahaya.

"Sungguh kota yang indah, aku cinta kota ini." Alicia berkata langsung dari hatinya.

Ren mengalihkan pandangan, menatap pemandangan di depan, pada sebuah kota dengan matahari di ujung cakrawala, bergerak turun, akan terbenam untuk memberi tahu berakhirnya sebuah hari.

Wajahnya berkerut, hatinya gelisah akan sesuatu. Untuk pertama kalinya, Ren memiliki keinginan konyol untuk berharap agar waktu bisa dibekukan, dia tidak ingin hari ini berakhir.

Alicia melirik kekasihnya, alisnya terajut saat melihat wajah khawatir Ren, dia tidak mengharapkan ekspresi seperti itu.

"Ren?" Alicia memanggil, namun pria itu masih melamun menatap ke kejauhan.

"Hey sayang!" Alicia menarik jubahnya, membuat pria itu menoleh padanya.

"Iya, kenapa Cia?" tanya Ren.

"Kamu kenapa sih? kayak lagi banyak pikiran gitu?"

Ren menghela napas, menggeleng dan menjawab dengan senyum tipis. "Nggak, nggak apa-apa."

Alicia menyipitkan matanya, menatap curiga. Dihadapkan tatapan menyelidiknya, Ren merasa tak nyaman, dia menoleh untuk menghindari mata Alicia.

"Ah bohong!" Alicia berseru. "Kamu nggak akan menghindar kalo barusan jujur."

Ren tersenyum pahit, menyadari dirinya bukan pembohong yang baik. Kini dia dihadapkan oleh desakan Alicia untuk menceritakan apa yang disembunyikannya.

"Ayo, apa sih yang kamu pendam, kasih tahu aku."

Wajah Ren tampak rumit sementara hatinya berkonflik. Melihat itu, Alicia meraih tangannya dan berkata lembut. "Ren, kita bukan orang asing loh, kamu bisa bagi beban kamu ke aku, jadi tolong jangan ragu ya, keraguan kamu untuk berbagi itu justru bikin aku nggak nyaman."

Ren merasa semacam pukulan tak kasat mata di hatinya, melihat Alicia berkata dengan serius, membuat pendirinannya goyah. Alicia benar, keengganannya untuk berbagi justru adalah bentuk ketidakpercayaannya.

Menghela napas berat, Ren akhirnya bercerita, mengakatakan secara garis besar apa yang terjadi saat pertemuan sebelumnya, perihal misi yang akan dijalankannya malam ini.

Ren mengharapkan gadis itu untuk menunujukkan tanda-tanda kekhawatiran. Namun ternyata tidak, selain terkejut sesaat, Alicia kembali tenang, gadis itu justru tersenyum tipis.

"Hoh, jadi Tuan Pahlawan kita akan mengejar para penjahat, seperti yang diharapkan dari Kesatriaku." Alicia memukul ringan Ren, berkata dengan canda.

Entah mengapa, reaksi santainya membuat Ren lebih tenang, dia merasa seolah beban di pundaknya menghilang. 

"Kamu nggak mengeluh tentang ini?" tanya Ren penasaran.

"Mengeluh? kenapa? Kesatriaku kan kuat banget, jadi apa yang perlu dikhawatirin?" Sejenak Alicia terdiam, dia melanjutkan dengan nada yang lebih lembut. "Selama kamu kembali, aku nggak akan mengeluh."

Ren tersenyum, mengangguk. "Tentu, aku akan kembali ke Tuan Putriku yang cantik ini."

Keduanya tersenyum, saling menatap wajah satu sama lain yang diselimuti cahaya sore hari.

Alicia, tenggelam akan suasana, menatap sendu pada wajah tampan Ren. Tanpa menyadarinya, wajahnya bergerak sendiri, mendekat kepada wajah Ren. Yang terakhir berkedip akan keterketujan, sebelum akhirnya juga mendekatkan wajahnya ke wajah cantik gadis itu.

Alicia menutup mata, mengharapkan sesuatu yang manis dan lembut di bibirnya. Namun, dia tak merasakan apapun kecuali semilir angin.

Membuka mata, dia melihat pria di depannya, menyeringai padanya. "Wah wah... apa ini Tuan Putri? bukankah anda begitu berani?"

Wajah Alicia memerah, dia memukul, kini dengan kekuatan yang serius. Ren menahannya, tertawa akan kejenakaannya sendiri.

"Kenapa kamu nggak ikutin arusnya aja sih!" Alicia berseru kesal, masih dengan wajah malunya. "Emangnya kamu nggak mau?"

Ren menggeleng. "Bukannya nggak mau, tapi aku pikir itu akan jadi hadiah yang bagus saat aku kembali."

"Cih, hadiah, kenapa nggak sekarang aja hadiahnya," keluh Alicia dengan wajah cemberut.

Ren tersenyum. "Yah... untuk sekarang, ini aja hadiahnya..."

Ren berlutut di hadapan Alicia, meraih tangan kanannya, menatap pada sepasang mata emasnya. "Aku bersumpah sebagai Kesatria, akan menyelesaikan tugasku dan kembali padamu, kembali pada Tuan Putriku, kembali pada gadis yang kucintai, Alicia Von Artia."

Mata Alicia berbinar akan cinta dan haru. Sumpah Kesatria adalah sesuatu yang sakral, seorang kesatria dihormati atas integritasnya yang solid dan luhur. Bagi seorang kesatria, sumpah mereka bahkan lebih berarti dari pada nyawa mereka sendiri.

Di bawah cahaya lembut sore hari yang akan terbenam di ujung cakrawala, Alicia menatap pria yang dicintainya, berlutut, mendeklarasikan sumpahnya, sebelum bergerak untuk mencium punggung tangannya.

Sensasi lembut bibirnya di tangannya adalah sebuah cap yang mengunci sumpah. Keduanya akan hidup dengan mengenang sumpah ini sampai akhir hayat mereka.